“Woy bengong aja!” seru Dinda sambil menepuk bahu kencang kananku. Membuyarkan lamunan.
“Gue pikir lo ngga balik lagi.”
Kedua tanganku tak henti mengusap-usap kedua lengan. Sesekali bergidik ketika udara malam berembus.
“Niatnya begitu, tapi gara-gara ada yang nitip sesuatu buat lo, jadi sebagai seorang teman yang baik gue harus menyampaikan,” ujarnya seraya memberikan sebuah jaket padaku.
Apa jaket ini yang dimaksud Dinda sebagai ‘sesuatu’ yang dititipkan itu? Aku menunggu Dinda menjelaskan lebih, tapi dia justru sudah lebih dulu bertanya pada Danu mengenai siapakah tokoh perempuan dalam cerita tadi, karena dia sudah melewatkannya.
“Ayunda. Udah dijawab sama Oni. Kata kuncinya ada di kata perahu sama kertas yang mengarah ke nama Maudy Ayunda,” jelas Danu dan bersamaan dengan itu kulihat tiga sekawan, yaitu Eca, Yogi, dan Randa juga baru saja kembali dari vila.
“Ayunda? Kok kayaknya asing ya?” tanya Dinda bingung.
“Kan udah gue bilang …” Sigap tangan Rangga menangkap lemparan sebungkus camilan dari Yogi. “Dia ngga seterkenal gue.”
Sebuah ranting langsung melesat tepat di depan wajah Rangga. Arah lemparannya sudah jelas berasal dari Jonathan. Lelaki itu selalu tidak terima jika ada orang selain dirinya yang merasa terkenal di sekolah.
“Eh, tunggu. Itu yang jawab Oni? Emang lo bisa jawab, On? O-on?” tanya Eca dengan maksud meledek. Sepanjang sejarah aku mengenal Eca, tidak pernah sekali saja, ucapannya itu gagal menimbulkan tawa atau sekadar senyum.
Oni—seorang perempuan yang tak pernah peduli akan penampilan, terutama rambut keritingnya yang jarang disisir, juga nilai-nilainya yang hampir selalu remedial—langsung mengangkat wajahnya ketika mendengar namanya terpanggil.
“Selama itu bukan pelajaran, gue bisa jawab kok,” jawab Oni jujur mengedikkan bahu.
Meski itu bukan lelucon, tapi cukup membuat beberapa dari kami yang mendengar jadi ikut tertawa. Hal seperti ini sebenarnya sudah biasa terjadi di dalam kelas. Kalau tidak Eca yang menghibur dengan celetukan-celetukannya, sudah pasti Oni yang akan bersedia menggantikan.
Sayangnya saraf tertawaku kali ini sedang tidak bekerja. Dan itu dikarenakan oleh jaket asing yang diberikan Dinda.
“Siapa yang titip ini ke lo?”
Dinda mendesah. “Ya menurut lo siapa lagi? Katanya dari tadi dia udah ngeliat lo mulai kedinginan. Heran deh. Sampe sekarang masih aja gue jadi perantara.”
Perkataan Dinda tadi kurasa benar-benar berasal dari hati. Belum pernah kudengar dia protes seperti tadi. “Maaf ya, Dinda,” kataku menyesal dan Dinda hanya memberikan senyumannya yang langka padaku.
Jaket pemberian ini hanya bisa kutatap tanpa ada niat untuk memakainya. Lagi pula lelaki itu—lelaki yang sudah kembali duduk di sana itu—kenapa dia tidak memberikannya langsung padaku? Mengapa harus lewat Dinda? Pantas saja dia langsung ikut pergi ke dalam vila ketika tahu Dinda pergi, lalu ikut kembali setelah Dinda kembali.
Aku sungguh tidak mengerti. Ada apa dengannya? Bagaimana sebenarnya perasaannya? Dia peduli juga perhatian padaku, tapi apa aku salah jika aku yang menunggunya bicara lebih dulu?
“Untuk cerita pertama ini, selamat buat Maya sama Oni. Ditunggu aja hadiah spesial dari kita ya.”
Tepukan tangan Danu menarik kami semua ikut serta. Dicampur dengan siulan nyaring milik Rangga sendiri. Heran. Cerita cintanya yang buruk itu tersebarluaskan, tapi dia tidak terlihat menyesal sama sekali.
“Kalau gitu, kita lanjut ke cerita kedua.”
“Apa aku boleh membacakannya lagi?” tanya Jeff antusias.
"Ah, jangan. Ganti yang lain aja," protes Jonathan.
"Sebenarnya ngga masalah sih kalau Jeff mau bacain lagi. Daripada ngga ada yang mau sama sekali," sahut Danu menggaruk pelipisnya.
"Okay fine. Gue cabut kalau gitu."
"Ih, Jojo ngambekan kayak anak kecil," ledek Joy menjulurkan lidah saat Jonathan memelotot padanya.
"Jadi boleh ngga ikutan nih?" Eric tetiba langsung nimbrung. Air mukanya mendadak segar.
"Ngga boleh. Harus ikut," tegas Sonya memancarkan sinar laser dari matanya.
Eric seketika memberengut. "Danu, cari pembaca lain aja. Biar ada variasi. Biar ngga pada kabur juga," lanjutnya memberi saran.
Danu tampak menghela napas selagi membenarkan posisi kacamatanya. "Oke. So sorry, Jeff."
"It's okay."
Aku melirik Jeff yang mungkin agak merasa kecewa. "Kita tebak bareng-bareng ya," kataku dan Jeff mengangguk tersenyum.
"Aku pasti akan berusaha untuk bantu kamu."
"Ana doang nih yang dibantu? Gue ngga?" celetuk Dinda yang tengah memakan kuaci.
Jeff mengembangkan senyumnya lagi. "Aku juga pasti bantu Dinda."
"Aduh, Jeff. Sampai kapan sih lo mengumbar-umbar senyuman maut lo itu ke banyak perempuan?" tanya Dinda kesal.
Dinda memang tomboi, tapi bukan berarti dia tidak suka lelaki. Apalagi yang semenarik Jeff. Bahkan Dinda secara terang-terangan mengaku padaku, andai saja Jeff tidak lugu dan tidak merepotkan seperti ini, dia pasti akan benar-benar kepincut dan mungkin dia akan rela mengubah diri menjadi lebih perempuan untuk menarik perhatian Jeff.
Jeff menoleh bingung padaku. "Apa aku salah?"
Aku tertawa menanggapi itu. "Ngga kok. Senyum itu bagus. Cuma maksud Dinda, mungkin jangan terlalu mudah memberi senyum ke lawan jenis."
"Kenapa?"
Kali ini aku melihat Dinda. Meminta bantuan.
"Gue nyerah," katanya mengangkat tangan dan langsung berpaling ke depan.
Sial.
"Soalnya, perempuan itu terkadang mengartikan senyuman laki-laki sebagai … tanda suka, tanda kalau dia tertarik," jelasku mengamati reaksi Jeff. Berharap dia tidak bertanya lebih jauh. "Padahal sebenarnya ngga bermaksud begitu."
Jeff bergeming sesaat. "Begitu rupanya. Aku cuma ingin dianggap ramah oleh banyak orang, karena yang aku tahu senyum itu melambangkan keramahan dan jika kita ramah, kita bisa memiliki lebih banyak teman."
Kali ini berganti aku yang bergeming. Entah sudah berapa detik terlewat hanya untuk menatap Jeff.
"Udah, hei. Ada yang ngeliatin tuh," tegur Dinda.
Segera mataku tercabut paksa dari Jeff. Beralih melihat ke depan dan kutemukan dia langsung melengos dengan wajah gusar.
Bukan bermaksud apa-apa, aku hanya merasa kagum dengan apa yang dipikirkan dan dilakukan Jeff. Rasa semangatnya untuk berbaur tidak pernah hilang, padahal aku tahu walau sudah hampir dua tahun Jeff bersekolah di tempat kami, tetap saja dia merasa kesulitan. Aku tahu karena dia pernah bercerita mengenai masalah itu padaku. Membuat seseorang yang melihat menjadi kesal—seperti yang baru saja terjadi. Seingatku, itulah pertama kalinya aku diperlakukan ketus olehnya.