“Lady, maaf Anda berbicara apa, ya? Saya tidak sedang mencari muka dengan Tuan Versailles dan Putri, tapi apabila saya sedang melakukan hal itu apa masalahnya dengan Lady? Lady berkata seolah mengenal Tuan Versailles dan Putri padahal saya tidak pernah, tuh melihat Lady sekalian dekat dengan beliau.”
Ray mengangguk puas akan jawaban Maria. Sejak kapan mereka begitu mengenal Tuannya? Ray yang selalu mengikuti Vince tidak pernah sekalipun melihat Tuannya bersama Lady-Lady lain.
Jikalau pun para Lady yang sedang merundung Lady Schneider pernah terlihat bersama tuannya, akan dipastikan interaksi mereka tidak akan bertahan lama. Tuannya itu ramah kepada siapa saja namun ia seperti memiliki kemampuan untuk melihat isi pikiran orang yang mendekatinya.
“Jangan mengelak, Lady! Lady pasti ingin merebut Tuan Versailles dari Tuan Putri, kan!”
“Oh, ya benar! Mereka kan selalu terlihat berdua. Lady pasti ingin merusak hubungan mereka.”
Setelah membahas hal yang tadi, sekarang mereka malah berkata bahwa ia akan merusak hubungan tuannya. Ray lama-lama ingin keluar dan langsung berseru menentang ucapan mereka. Ia juga baru mengenal Lady Schneider, tetapi menurutnya Lady Schneider tidak ada intensi untuk melakukan hal seperti itu.
Rencananya seperti itu, tetapi ketika melihat kebawah ia melihat seekor kucing tengah mendusel pada kakinya.
“Eep!” serunya tertahan. Ray segera menutup mulutnya dan menyesali tindakannya. Tubuhnya bergetar karena kucing dan juga seorang Lady yang ternyata mendengarnya.
“Siapa disana?!”
Lady berambut cokelat menghampirinya dan menatapnya dengan wajah terkejut. “Wah, Sir Lindsey suka ikut campur urusan orang lain ternyata, ya.”
Ray dapat melihat empat Lady yang tidak ia kenal dan juga Lady Schneider. Ia dapat melihat tatapan tidak terdefinisikan milik Lady Schneider padanya. Mungkin saja benar Lady tersebut marah karena ia diam-diam mencuri dengar pembicaraan mereka.
“Wah, ternyata Sir Lindsey suka menguping pembicaraan orang lain, ya.”
“Hanya anak dari seorang Baron rendahan dan merasa pantas untuk ikut campur dengan masalah orang lain.”
Ray masih terus bergetar di tempatnya. Semua yang dilontarkan oleh para Lady itu tidak ada yang masuk di pendengarannya karena ia dihadapkan pada sumber ketakutannya.
Maria pun mengehela napas melihat celotehan tiada guna itu. Ia memilih mengabaikannya dan maju mendekati Ray lalu membawa kucing gembul menggemaskan itu kedalam dekapannya. Sepertinya kucing ini memang menjadi peliharaan di akademinya melihat dari tubuhnya yang bersih dan terawat.
“Tuan, apakah Anda baik-baik saja?” tanya Maria dengan lembut.
Ray tersadar dari gemetarnya dan menatap Maria dengan mata berkaca. Ia melihat kucing dalam dekapan Lady tersebut dan berjengit lagi.
“Tenang saja, saya memegangnya. Ngomong-ngomong Anda ingin pergi kemana? Apakah saya bisa menemani Anda juga?”
Ray berpikir sebentar dan melirik Lady lain dari ekor matanya. Ia dapat menebak bahwa para Lady itu pasti berpikir ia kurang ajar karena mengabaikan mereka. Namun ini adalah sebuah kesempatan untuk kabur dengan cepat.
“Lady, ayo kita menemui Tuan. Saya Tuan Vince pasti sedang ingin makan camilan sekarang. Biasanya Tuan Putri juga selalu ada bersama beliau, jadi Anda tidak perlu risau. Anda senantiasa selalu diterima oleh Tuan kami.”
Kedua mata Maria tampak berbinar mendengarnya. Tanpa Ray tahu, sebetulnya Maria sangat merasa bersemangat untuk makan kudapan yang disiapkan oleh Ray lagi.
Maria melepaskan kucing dari dekapannya dan mengibaskan tangannya dari bulu-bulu yang melekat. Ia lalu mengulurkan tangannya pada Ray agar dapat digandeng oleh pria itu.
“Maaf bila saya baru memegang bulu kucing. Apakah Anda alergi dengan bulunya, Tuan?”
“Tidak, saya hanya merasa takut dengan keberadaannya mereka.” Gilbert menarik napas dalam lalu menerima tangan Maria. “Mari, saya antar menemui Tuan, Lady.”
Dengan kedua tangan saling terkait, Maria dan Ray meninggalkan tempat itu. Para Lady yang lainnya terlihat syok. Mungkin saja mereka ingin mencegah lagi namun tidak memiliki keberanian. Biarlah seperti itu, Ray harap tidak ada orang-orang yang sok tahu tentang tuannya lagi.
“Omong-omong, Tuan Lindsey. Apa yang sebelumnya Anda lakukan? Apa saya tidak menghalangi tujuan awal, Tuan?” tanya Maria.
Ray menggeleng pelan dan menjawab, “tidak, Lady. Saya awalnya memang ingin mencari Tuan, tetapi malah mendengar hal yang seperti itu. Maafkan saya karena mendengar hal yang tidak seharusnya.”
Ray melihat senyuman manis Maria yang begitu tulus untuknya. “Justru saya senang karena Tuan Lindsey membebaskan saya dari situasi seperti itu. Saya juga ingin mencicipi camilan buatan Tuan Lindsey lagi! Tuan Vince pasti sangat beruntung karena memiliki pelayan yang mengkhawatirkannya dan yang dapat memasakkan makanan yang begitu enak!”
Panas dan rona merah menyebar di kedua pipi Ray. Kedua matanya menghindari tatapan Maria dan menoleh ke arah lain karena malu. Ia bahkan tersedak dan terbatuk sendiri karena saking malunya. Panas di pipinya semakin bertambah ketika Maria mencoba mengelus pungggungnya.
“Lady terlalu melebihkan. Bukankah seharusnya kewajiban pelayan seperti itu? Saya selalu merasa khawatir dengan Tuan Vince. Apalagi Tuan Vince selama ini selalu sendirian, saya jadi tega dengannya. Ia juga sudah sangat baik pada saya. Lama kelamaan saya berpikir Tuan Vince hanya mengenal saya dari kecil dan saya juga hanya mengenal beliau. Perasaan saya hanya untuk memenuhi keinginan beliau. Yah, walaupun Tuan bisa sangat jahil pada saya. Ah, maaf saya malah menceritakan ini pada Anda!”
“Tidak apa. Saya juga sudah mendengarnya langsung dari Tuan Vince. Kami sama-sama sendirian di kediaman, tidak ada yang mempedulikan kami selain tugas pokok para pelayan. Aku menginginkan perhatian, tetapi rasanya sudah terlambat. Jadi aku hanya bertindak bebas sesuai isi hatiku. Aku juga tidak menyuruh Nina untuk terus mengikutiku. Sepertinya saya dan Tuan Vince sama-sama memiliki keinginan bisa melakukan kehendak bebas, oleh karena itu kami berdua cocok berteman.”
Mendengar cerita dari Maria membuat ia sedikit setuju. Tuannya Vince, walaupun sendirian, ia juga tidak suka dikekang. Sendirian dan selalu bebas, hal itu yang membuat Tuannya bebas bepergian dan berkenalan dengan siapa saja. Namun tentunya ada saat-saat dimana Tuannya merasa melankolis dan rapuh. Saat itu Ray turut merasa sedih juga dan harus memastikan rona wajah Tuannya kembali lagi.
“Hei,” Maria memanggilnya. Mereka berdua berhenti sejenak di dekat rumah kaca yang memang jaraknya cukup dekat dengan lapangan tempat mereka bertemu tadi.
“Bolehkah saya memanggil Anda dengan nama langsung? Anda juga dapat memanggil saya Maria,”
“Ah m-maaf Lady hal itu tidaklah sopan! Saya tidak berhak memanggil saya. Bagaimana bila Anda didengar oleh bangsawan lain dan mereka malah keberatan. Maaf saya tidak bermaksud untuk mengungkit kejadian seperti tadi.”
Maria tertawa kecil, Ray tampak menggemaskan di matanya. “Kalau begitu, bagaimana kalau hanya berdua saja? Jika hanya kita berdua seperti ini, tidak ada yang mendengar, bukan, hm Ray?”
Ray tidak bisa menyembunyikan lagi rasa malunya yang membludak. Ia menghindari tatapan Maria. Wajahnya kembali sangat panas sehingga ia menyembunyikan wajahnya dibalik telapak tangannya.
Sementara itu Maria yang menutup mulutnya dengan kipas menyunggingkan sebuah senyuman. Bila ada yang melihat pasti ada yang menyadari jikalau tatapan itu penuh siratan ketertarikan. Entah apa yang dipikirkannya, sepertinya mulai dari saat ini entitas diatas mulai menghendaki isi hatinya.