Maria menunjukkan sihirnya mulai dari teknik yang sederhana. Dengan aliran sungai di dekatnya, Maria mulai menggunakan sihir air. Ia mengangkat tangan dan aliran air terangkat mengikuti tangannya. Setelah cukup dirasa air yang tampak seperti gumpalan itu ia kendalikan, Maria menyibak tangannya dan aliran air tersebut memecah menjadi butiran air yang kemudian menyebar. Dengan dukungan sinar mentari, butir-butir air tersebut tampak berkilauan.
“Woow keren!!” seru Vince.
“Vince, awas basah!” Alice berseru kesal ketika Vince berlarian melihat daerah mana saja yang terkena sihir itu.
Maria lalu mengambil lagi air tersebut dan membuatnya berubah bentuk. Air tersebut mengumpul dan berputar lalu terlempar sebuah pohon disana. Batang pohon yang terkena air tersebut menjadi terpotong dan tumbang.
“Ahhh! Maaf salahh!”
“Lady, tunggu!” Alice dan Vince segera menyusul Maria yang sudah berlari menuju ke arah pohon yang ia tumbangkan. Ray dan juga pelayan yang lain menyusul Lady mereka.
Ray melihat Maria sedikit menunduk. Sekarang Ray melihat terdapat cahaya hijau dari tangan Maria dan melingkupi dua batang pohon yang sudah terbelah tersebut. Sihir yang digunakan oleh Maria dapat membuat batang pohon yang sudah patah menjadi menyatu kembali.
“Lady bisa menggunakan sihir penyembuhan juga?” Alice bertanya.
Sebagai keluarga kerajaan, Alice tentunya bisa menggunakan sihir penyembuhan. Keluarga kerajaan juga bekerja sama dengan keluarga Count Gwydion, tapi tidak terlalu intens. Keluarga kerajaan menjadi perwakilan untuk kuil. Hal ini dikarenakan mereka disebut menerima berkat langsung dari dewa Apollo untuk bakat penyembuhan.
Terdapat jenis sihir penyembuhan lain yang disebut Healer. Mereka menerima berkat dari Askleipos untuk dapat menggunakan kekuatan penyembuhan. Healer dapat menggunakan sihir tanpa perantara atau melalui perantara seperti ramuan.
“Ah, tidak ini bukan,”
“Memanipulasi aliran waktu,” gumam Ray.
Maria menatap Ray dengan mata terbelalak. Ia tampak ragu sesaat namun ia menunjukkkan senyum setuju yang malu-malu.
“Iya, ini dikenal sebagai sihir yang seperti itu singkatnya. Sihir ini memanipulasi waktu sehingga keadaan kembali seperti keadaan sebelumnya.”
“Yang benar, Lady?” Ah, tipikal Vince yang selalu bersuara lantang dan energik.
“Sebetulnya aku sudah menduganya, sih.” Alice ikut menimpali.
“Tuan Putri sudah tahu? Mengapa tidak memberi tauku?”
“Yah, awalnya aku juga terkejut. Lady Gwydion di usia belia mampu melakukan sihir tingkat tinggi seperti ini. Namun, aku pikir itu wajar.” Alice menyeringai. “Soalnya ini Keluarga Gwydion, yang terkenal karena akademi sihirnya. Mereka pasti akan berusaha meningkatkan keluarga mereka sendiri juga.”
Vince bergumam sambil mengangguk-angguk mengerti. Akhirnya mereka kembali berlatih lagi. Ray melihat Maria yang mengajari Tuannya Vince dan juga Tuan Putri Alice. Ia sempat melihat Lady tersebut kewalahan, tetapi tetap saja ingin melanjutkan bermain dengan mereka.
Hari sudah menjelang sore sekitar pukul lima. Mereka sudah puas bercengkrama dan bermain di Bukit Sion. Gilbert dan para pelayan juga sepakat untuk tidak melanjutkan lebih lama lagi. Akan berbahaya bila sampai petang mereka disini. Plus, waktu menuju petang tersisa dua jam lagi, akirnya mereka hanya memilki dua jam untuk menghadiri makan malam.
Vince, Alice, Maria dan rombongan pulang sebelum waktu petang datang. Mereka tidak menyediakan camilan dan teh karena suasana yang tidak tepat untuk melakukan afternoon tea walaupun suasananya sangat bagus.
Tidak dapat menyeruput teh dan kudapan di Bukit, tetapi mereka dapat melihat pemandangan indah. Selama dalam perjalanan, mereka dapat menyaksikan terbenamnya sang surya terang.
Bersamaan dengan itu Gilbert membuka mata dan disambut oleh langit-langit lampu kamarnya. Ia terdiam beberapa saat, berusaha mencerna apa yang baru saja ia alami.
Apakah ia benar mengalami sebuah mimpi? Apakah ini mimpi yang berupa bunga tidur atau pertanda akan sesuatu? Gilbert memang masih memiliki memori-memori tersebut, tetapi ia tampak seperti barusaja melihat secara langsung beberapa memori tersebut.
Plus, Gilbert merasa belakangan ini ia jarang bertemu dengan Eros dalam mimpinya. Semenjak itu pula ia menjadi sering bermimpi mengenai kehidupan lampaunya. Gilbert menjadi ingat dengan masa lalunya yang belum pernah bertemu dengan Eros dalam kehidupan pertamanya dan sebagian kecil kehidupan keduanya.
Gilbert memutuskan untuk pergi ke kampus dan mengerjakan tugas akhirnya di perpustakaan. Benar saja, kampus jurusannya terasa sejuk dan nyaman untuk mengerjakan tugas. Terdapat banyak tempat belajar yang bersekat sehingga tidak perlu takut terganggu dengan yang disebelahnya. Sudah sekitar dua puluh menit ia mencoba untuk menekuni pekerjaannya.
“Hai, Gilbert!”
Gilbert tersadar dari pemikirannya begitu mendengar suara yang familier. Patricia sudah duduk disampingnya dengan laptop berada di meja. Terdapat juga buku skripsi yang tebal yang sepertinya akan ia gunakan sebagai panduan. Sejak kapan Patricia sudah duduk di dekatnya? Ia sama sekali tidak menyadari keberadaannya.
“Apa kabarmu, Gil? Sedang mengerjakan, ya? Aku juga sedang ingin mengerjakan, ya.”
“Tidak baik karena keberadaanmu,” ketus Gilbert. “Aku sedang ingin mengerjakan dengan tenang. Jangan berbicara.”
Patricia terlihat memanyunkan bibirnya. Ia kemudian menghadap laptop lalu melanjutkan pekerjaannya di laptop. Gilbert sedikit melirik atas kepatuhan Patricia.
Biasanya ia akan terus mendekati Gilbert walaupun Gilbert terang-terangan berkata tidak suka. “Itu, kan hanya perasaan terganggu sementara. Untuk dapat menenangkan hatimu aku hanya terus berusaha untuk menggoyahkannya,” katanya disuatu zaman.
Mereka akhirnya lanjutkan untuk mengerjakan apa yang ingin dikerjakan. Gilbert juga berusaha untuk memahami dan mengerjakan tugas akhirnya.
Namun keseriusan Patricia mengerjakan hanya sampai dua puluh menit saja. Ia lalu menghadap Gilbert lagi. Patricia semakin bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri. Rambut panjangnya juga ikut bergoyang dengan lucu.
“Gil, aku mau cerita, dong. Akhir-akhir ini aku sering bermimpi buruk, tau. Aku memimpikan sosok dan kehidupanku yang dulu. Bila dibandingkan dengan sekarang, aku tampak sangat berbeda, ya.” Patricia memulai cerita tanpa ada yang meminta.
Gilbert melirik Patricia sekilas sebelum kembali menatap laptopnya. Walau seperti itu, telinganya serasa membesar untuk mendengar kelanjutan cerita Patricia. Gilbert meyakini ini bukan karena hatinya yang melunak. Gilbert hanya ingin mendengarnya karena ia juga mengalami hal yang serupa.
“Aku di kehidupan perdana dan kedua tampak sangat mencolok dan sangat cantik. Ah, Gilbert juga sudah tampan dari dulu. Aku sudah menyukai Gilbert dari kehidupan yang kedua, loh!”
Patricia menatap Gilbert dengan tatapan sayu yang mengandung banyak rasa. Gadis itu juga tersenyum, manis sekali. “Aku selalu suka Gilbert. Aku suka Ray dalam kehidupan manapun. Gilbert yang sedikit pemalu, manis dan loyal. Gilbert juga selalu memprioritaskan Vince lebih dari apapun, terlepas dari fakta bahwa kamu menjadi pelayannya.”
Bila orang lain yang mendengar pasti akan merasa tersipu dan tersanjung. Ia merasa sedikit tenang memang keberadaannya berarti di dunia ini. Namun Gilbert tidak merasakan perasaan yang menurutnya termasuk dalam perasaaan romansa.
“Ya terima kasih,” Gilbert menjawab dengan cuek.
“Cuma ucapan terimakasih doang, nih? Gak mau coba saja denganku kah?” Patricia bertanya dengan jahil namun Gilbert mengabaikan pertanyaan yang satu itu.
“Ngomong-ngomong, pada kehidupan pertama kita memang tidak dapat menjadi dekat. Akan tetapi kita bisa mulai mengenal lebih dekat dalam kehidupan kedua. Pada kehidupan ketujuh ini pun kita terus bertemu ya, tapi tetap saja aku tidak bisa bersama dengan Gilbert.”
Memang benar apa yang dikatakan oleh Patricia. Memiliki hal pada saat pertama kali memang sangat berkesan bagi Gilbert. Ia sebagai Ray telah mengalami pasang surut kehidupan. Terlahir di keluarga serba kekurangan, tetapi ia akhirnya bekerja pada Tuan yang sangat baik padanya.
Ia bertemu dengan seorang gadis yang merupakan teman akrab tuannya. Alice adalah gadis yang sedikit cuek dan ketus saat pertama kali bertemu, dan ia tak berharap lebih. Lagipula ia siapa berharap seorang Tuan Putri berbicara padanya. Namun pada kenyataannya, gadis itu memang baik.
Pada akhirnya, ia bertemu dengan Maria Gwydion. Ia tidak terlalu mengenal dekat Maria dalam kehidupan pertamanya. Walaupun ia sering berada dalam waktu dan tempat yang sama, Maria terasa lebih tinggi dibanding dirinya. Perbedaan status menjadikan interaksi mereka sangat terbatas.