Ini hari Jumat, hari kelima Tisha menjalani tantangannya. Harusnya Tisha bisa tersenyum mengingat ini adalah hari terakhirnya bersama Sawala di minggu ini, karena Sabtu dan Minggu libur sekolah. Tidak mungkin Riana memaksa mereka tetap bertemu, kan?
Namun, sedikit pun Tisha tidak ada menunjukkan semangat, wajahnya malah muram. Sebab, meskipun akan keluar kelas lebih awal, tetapi dia yakin tetap akan telat sampai ke rumah. Menjalani tantangan bersama Sawala membuat jadwal monoton Tisha terdistraksi sana-sini.
Benar saja, setelah bel terakhir berbunyi, bukannya menuju gerbang seperti siswa lainnya yang akan meninggalkan sekolah, Tisha malah harus terseret Sawala ke musala. Katanya ada yang harus gadis itu lakukan. Ah, Tisha mulai muak. Mengapa banyak sekali yang harus Sawala lakukan, urus, atau apalah itu. Sungguh meresahkan. Terlebih kali ini Sawala melarangnya menunggu di luar dan malah mengajak ikut serta ke dalam.
“Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,” ucap Sawala begitu tiba di depan pintu musala yang terbuka.
“Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.” Sahutan kompak dari beberapa orang yang ada dalam bangunan itu.
Mendengar cukup riuhnya suara mereka, Tisha yang berada di belakang Sawala, memicingkan mata. Sepertinya banyak orang. Namun, apa yang sedang mereka lakukan? Mengingat sekarang baru jam sebelas, rasanya terlalu awal untuk menunggu pelaksanaan salat Dzuhur.
“Nah, akhirnya Ibu Sekretaris tiba,” celetuk seseorang.
Mata Tisha menajam. Sekretaris? Bukankah itu bagian dari perangkat organisasi? Tunggu, tunggu!
Tisha memajukan wajah untuk mengintip isi musala. Di sana terdapat beberapa perempuan yang duduk melingkar dengan pandangan tertuju pada kedatangan Sawala. Dilihat dari posisinya seolah menggambarkan kegiatan perkumpulan.
Sebentar. Tisha kembali menegakkan tubuh. Sekarang hari apa? Benarkah Jumat? Oh, ya ampun, itu kan jadwal pertemuan anak Rohis, organisasi keagamaan sekolah. Bola mata Tisha melebar. Ini horor untuknya. Tolong jangan bilang Sawala sedang berupaya menjerumuskannya masuk ke organisasi itu!
“Ayo, Dek!” Sawala menyadarkan Tisha.
Tisha ingin kabur, tetapi tidak punya cukup alasan. Akhirnya, dia tetap terseret melewati bingkai pintu, mengikuti Sawala untuk menuju bagian sudut ruangan, lalu mendudukkan diri tepat di sebelah dua gadis yang kemarin tampak asyik mengobrol dengan Sawala. Pantas saja Sawala tampak akrab dengan mereka, ternyata teman seperjuangan di organisasi.
“Anggota baru?” tanya orang di sisi lain Sawala dengan setengah berbisik, tetapi masih sanggup mencapai indra rungu Tisha.
Tisha bergidik. Seketika berusaha mencari cara agar bisa mengisyaratkan pada Sawala untuk berkata 'tidak'. Sebab, perjanjiannya dengan Riana hanya untuk berdekatan dan mengikuti kegiatan Sawala dalam jangka pendek–dua minggu. Setelahnya, Tisha akan terbebas kembali dalam dunia sunyi bersama hadiah ketentraman karena tidak akan lagi direcoki Riana perkara interaksi. Jadi, tidak mungkin untuknya masuk organisasi yang mengikat untuk waktu lama.
Sawala membalas, “Ini Tisha, adik Bu Riana. Aku diberi amanah oleh beliau untuk mengantarkan adiknya pulang, jadi dia ikut ke sini untuk menemaniku.”
Tisha mengap-mengap. Ingin menyela, tetapi ragu. Dia ingin mengingatkan Sawala bahwa gadis itu lupa menggeleng dan menyertakan kata 'bukan' dalam ucapannya. Padahal itu yang paling penting, penegasan bahwa Tisha bukan calon anggota. Ingat, bagi Tisha kebahagiaannya adalah menjadi siswa biasa saja!
Namun, terlambat. Karena setelah orang yang bertanya ber-oh-ria, orang lainnya sudah bertanya topik lain. Membuat Tisha hanya sanggup menelan ludah susah. Momennya sudah habis.
“Kamu udah hubungi pematerinya kan, Sa?”
Sawala, yang baru mengeluarkan buku besar dari tas, mengangguk. “Semalam aku udah tanya beliau. Katanya siap datang pukul 11.” Sawala melirik arloji di tangan kiri. “Lima menit lagi.”
“Ya sudah, sambil menunggu kita nyanyi dulu aja, ya.” Orang yang tadi bertanya kembali bersuara.
Tisha tahu orang itu. Dia adalah Nida, kakak kelas dua tingkat di atasnya, siswa kelas 12. Salah satu dari yang Senin lalu Sawala ambilkan mukena.
Dengan begitu, cukuplah pengetahuan Tisha bahwa anggota Rohis memang terdiri dari semua angkatan. Yang sedikit mengganjal bagi Tisha hanya tentang keakraban mereka. Kenapa bisa yang tidak berada di jenjang kelas yang sama bisa saling berbincang hangat seperti itu?
Ilahi lastu lil firdausi ahlaa.
Pikiran Tisha buyar karena lantunan serempak yang penuh kemerduan itu. Saat mengedarkan pandangan, Tisha mendapati semua agak memejam dengan bibir yang bergerak-gerak lamat. Seperti sedang ... menghayati?
Wa’ala Aqwa 'alannaril jahiimi.
Fahabli taubatan waghfir dzunubi.
Fainnaka ghafirudzdzambil 'adziimi.
Tidak bisa lagi berpikir, selanjutnya Tisha hanya turut mendengarkan dengan kepala tertunduk. Perasaannya tak keruan.
Dzunuubii mitslu a'daadir rimaali.
Fa hablii taubatan yaa dzaaljalaali.
Tisha tidak paham apa arti kalimat-kalimat itu, tetapi ada sesuatu yang menyelusup ke kalbunya, seperti ... sebuah ketenangan?
Ilahi lastu lil firdausi ahlaa.
Wa’ala Aqwa 'alannaril jahiimi.
Fahabli taubatan waghfir dzunubi.
Fainnaka ghafirudzdzambil 'adziim.
Bersamaan dengan berakhirnya lantunan itu, datang seorang perempuan yang Tisha perkirakan lebih tua darinya, tetapi jaraknya tidak terlalu jauh, mungkin usia mahasiswa. Dengan senyum lebar yang menghiasi wajah ayunya yang berlesung pipit, sosok itu masuk dan duduk di depan kumpulan.
“Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,” ucapnya setelah mendudukkan diri dengan nyaman.
Yang lain menyahut kompak. “Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”
Sementara Tisha hanya menyahut pendek, sekenanya. “Waalaikumsalam.” Wajahnya makin muram. Ketenangan yang tadi dia rasakan sudah hilang. Berganti ketakutan. Dia taku terjerumus sesuatu yang tidak dikenalnya.
“Bagaimana kabarnya, Teman-teman?”
“Baik!” Yang lain kembali menyahut serentak.
“Buruk.” Sedangkan Tisha, lagi-lagi memberikan jawaban yang berlawanan, tetapi kali ini hanya di dalam hati. Lagipula dia tidak merasa menjalin hubungan pertemanan dengan perempuan itu, jadi tidak merasa harus menjawab.
“Alhamdulillah. Semoga kita semua selalu mendapat kebaikan dari Allah SWT, ya. Aamiin ya rabbal ‘alamiin.”
Saat yang lain menyahut lagi, Tisha memilih diam. Mulai sibuk mencari cara untuk memundurkan posisi duduk. Sepertinya bersandar ke tembok di belakangnya akan membuat dia lebih nyaman.
Setelah beberapa mukadimah, pembahasan pun dimulai. “Baiklah, untuk memulai sharing kali ini Kakak ingin bertanya, kira-kira apa, sih, yang bisa membuat kita bahagia?”
“Mendapat apa yang diinginkan!”
“Meraih kesuksesan!”
“Bersama dengan dia!”
“Huu!”
Berbagai jawaban disuarakan. Ramai pokoknya. Semua saling menimpali.
Tisha hanya membatin. Bisa sendirian. Ya, dia yakin itu adalah hal yang paling membahagiakan untuknya. Tidak banyak terlibat dengan orang lain akan membuat suasana hatinya membaik.
Kakak pemateri bertepuk tangan sekali, berusaha menenangkan audiens. “Iya, iya, memang benar semua itu bisa membahagiakan kita. Tapi sebenarnya ada, lho, satu hal lagi yang bisa bikin kita lebih bahagia, yaitu ... menjadi sebaik-baiknya manusia.”
Semua diam mendengarkan, termasuk Tisha. Alasannya antara sedikit tertarik dan tidak memiliki hal lain untuk dilakukan. Gabut gitu.
“Sekarang, ada yang tahu enggak gimana caranya menjadi sebaik-baiknya manusia itu?”
Senyap.
Kakak pemateri tersenyum. “Menurut hadits, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda yang artinya: Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat.”
Pemateri itu mengambil napas, menjeda sejenak sebelum melanjutkan. “Nah, oleh karena itu, kalau kita mau bahagia dengan menjadi sebaik-baiknya manusia, kita harus jadi orang yang bermanfaat. Ingat, ya, untuk menjadi bermanfaat kita tidak perlu menunggu sukses, kaya, apalagi tua. Kapan saja, dengan bagaimanapun kondisinya, kita bisa berupaya untuk memberikan manfaat walau hanya dengan tenaga.
“Dengan apa adanya, kita bisa memberikan manfaat kepada sesama. Asalkan berniat dengan baik, perbuatan sekecil apa pun pasti akan tetap menghasilkan kebermanfaatan. Misal, dengan hal termudah seperti saling memberi salam, saling mendoakan, dan saling menebar senyuman. Kita kan tidak pernah tahu seberat apa hari yang tengah dilalui orang-orang di sekitar kita. Siapa tahu dengan sapaan dan senyum kita kepada mereka dapat meringankan beban hatinya.
“Sekilas memang terlihat sepele, tetapi yakinlah apa pun yang kita lakukan tidak akan menjadi sia-sia. Sebab, Allah SWT telah berkalam dalam Quran surah Al-Qashas ayat 84 telah, yang artinya: ‘Barangsiapa datang dengan (membawa) kebaikan, maka dia akan mendapat (pahala) yang lebih baik daripada kebaikannya itu’.”
Lalu ... blank. Tisha tidak dapat lagi mencerna kalimat-kalimat selanjutnya. Dia memegangi kepala yang terasa berdenyut. Tolong ... siapa pun bawa Tisha keluar!