Read More >>"> Seharap (13. Lentera Asa) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Seharap
MENU
About Us  

    Ini aneh! teriak Tisha dalam hati. Kenapa bukannya melaju lurus ke depan, motor yang dikendarai Sawala malah berputar arah ke belakang tujuan seharusnya?
    Motor berbelok ke kiri, menuruni tanjakan, lalu melintasi kembali jalanan yang tadi sudah mereka lewati. Tisha menggigit bibir bawah, gusar. Jangan bilang Sawala akan membawanya ke sekolah lagi!
    Tisha bingung, ingin bertanya, tetapi takut akan respons Sawala yang mungkin saja secuek tadi karena merasa terganggu diajak bicara saat sedang berkendara. Akhirnya yang dapat Tisha lakukan hanya satu, yaitu berharap. Tisha akan berharap saja semoga Sawala tidak akan membawanya bolak-balik tak tentu arah. Tisha harap Sawala bisa segera menghentikan motor.
    "Eh?" Tisha terkesiap ketika motor tiba-tiba tak lagi melaju. Mata Tisha berbinar. Mungkinkah inginnya menjadi nyata? Apa jangan-jangan Sawala memang bisa membaca pikiran dan mengetahui harapnya? Ah, syukurlah, apa pun itu yang penting Tisha senang mendapatnya.
    Sementara itu, Sawala sudah menurunkan kaki dengan kedua tangan erat menekan rem. "Berhenti lagi, ya. Kakak masih ada yang harus dilakukan, di sana!" tutur Sawala mengarahkan tangan menunjuk bangunan yang ada tepat di sisi kiri mereka.
    Tisha mengikuti arah pandang Sawala. Panti Asuhan Lentera Asa, begitulah nama yang tertera pada plang di depannya. Tisha melihat Sawala lagi yang sudah membawa motor memasuki pekarangan.
    "Kakak mau ke...?"
    Sawala mengangguk sambil memutar kunci dan menurunkan standar. "Iya, aku mau ke panti dulu."
    Tisha menangkap isyarat perintah untuk menuruni motor.
    "Kalau mau, kamu bisa ikut masuk." Sawala turun setelah mengisi kedua tangan dengan kantong kresek. Sebelum benar-benar melangkah, dia memandang Tisha saksama. "Tapi kalau gak mau pun gak apa. Kamu bisa tunggu di motor. Kebetulan di sini teduh. Kakak juga gak akan lama kok di dalamnya."
    Sesaat Tisha menimbang. Setelahnya dia menggeleng. "Aku nunggu di sini saja."
    Sawala merendahkan bahu. "Baiklah. Sebentar, ya."
    Tisha mengiringi kepergian Sawala dengan keheningan. Setelah tubuh Sawala tak lagi tampak di matanya, Tisha kembali maju dan mendudukkan diri di motor.
    Tisha memindai sekeliling. Ini memang bukan yang pertama kali dia datang ke sana. Namun, karena kedatangan yang dulu teramat singkat dan penuh ketegangan, maka baru kali ini dia bisa memperhatikan detail luarnya.
    Halamannya cukup luas. Rumbut jepang tumbuh subur menjadi alas, hingga terasa empuk saat dipijak, mungkin hal itu dibuat agar dapat lebih meminimalisir luka anak-anak jika terjatuh saat sedang di luar. Namun, itu hanyalah asumsi Tisha. Dia tak tahu benar atau salahnya, dan sama sekali tidak berniat mencari tahu.
    Tisha mengalihkan atensi ke sebelah kiri. Di sana terdapat alat-alat khas anak, seperti ayunan; jungkat-jungkit; perosotan; juga tiang-tiang panjat. Sepertinya itulah spot utama untuk anak-anak bermain.
    Adapun saat memutar kepala ke kanan, Tisha mendapati tali-tali berisi jemuran yang sedang diangkat oleh beberapa perempuan dewasa. Mereka bergerak begitu cepat, mungkin takut kain-kain itu terkena ... hujan.
    Tisha melihat langit yang tiba-tiba keabu dan menjatuhkan tetesannya, padahal beberapa sekon yang lalu masih sangat menampilkan teriknya mentari, hingga Tisha harus berteduh di bawah pohon untuk melindungi diri.
    Bagaimana sekarang? Apakah Tisha harus membiarkan tubuhnya kebasahan karena menunggu Sawala yang entah kenapa tak kunjung menampakkan diri?
    Di tengah kebingungannya, Tisha rasakan colekan di bahu kiri. Tisha menoleh kaku dan melihat seorang wanita–yang merupakan salah satu dari pengangkat jemuran tadi–sedang memajukan tangan ke arahnya.
    "Hujan, Nak," kata wanita berkacamata itu. 
    Tisha mendumel dalam hati. Dia tahu. Jelas-jelas sekarang tubuhnya sudah diterpa air langit. Ingin sekali Tisha mendumel karena basa-basi itu, tetapi saat menyadari kerutan di wajah wanita itu yang menandakan usianya sudah tua, Tisha urung. Takut dikatai tidak sopan. Akhirnya, Tisha hanya membala dengan anggukan.
    Wanita itu kian mendekat. "Ayo meneduh dulu di dalam," ajaknya sambil menunjuk bangunan dengan dagu.
    Tak dapat menolak, akhirnya Tisha turun dari motor dan membuntuti wanita itu menuju teras yang sama dengan yang tadi dilewati oleh Sawala. Tisha melepas sepatu dan menyimpannya di tempat teduh sesuai arahan si ibu.
    Setelahnya Tisha digiring menuju pintu. Sembari menekan knop, ibu itu menyuruh Tisha masuk, sementara dirinya pamit membereskan jemuran, sehingga mau tidak mau dengan langkah kaku Tisha membawa tubuhnya melewati bingkai pintu.
    Suasana ramai menyambut Tisha. Gemuruh hujan di luar sana tak dapat melebur riuhnya suara-suara dalam bangunan itu. Dari tempatnya berdiri Tisha mendapati anak-anak bermacam usia yang tengah berlarian, berebut sesuatu, dan saling meneriaki.
    Semua sangat sibuk pokoknya. Sampai-sampai tak ada yang menyadari kehadiran Tisha. Dia terjebak sendiri dengan lingkungan yang sangat tidak dikenali. Tisha dilema. Haruskah tetap di sana atau kembali saja ke luar demi kenyamanan?
    Belum sempat Tisha memutuskan, seorang gadis berkerudung instan mendatanginya. Tisha terpaku. Dia memang tidak mengenalnya. Namun, Tisha merasa pernah melihatnya.
    Oh! Pupil Tisha melebar. Dia ingat. Anak perempuan itu adalah siswa SMP yang dulu diboceng Sawala. Berarti mereka saling kenal. Atau jangan-jangan mereka bersaudara? Saudara angkat mungkin? Sawala anak panti ini?
    "Cari siapa, Kak?" tanya gadis berpipi tembem itu dengan lembut.
    "Kak Sawala," balas Tisha teramat cepat, lalu menambahkan penjelasan tentang ciri-cirinya, "Itu, perempuan pakai seragam SMA yang beberapa menit lalu masuk sambil bawa dua keresek besar. Kamu tahu?"
    Gadis tembem itu mengangguk. "Iya, tahu. Sekarang Kak Sawala ada di kamar. Mari aku antar ke sana," tawarnya dengan jempol tangan yang terangkat santun sebagai penunjuk arah.
    Kilat Tisha menggerak-gerakkan kedua telapak tangan. "Enggak usah. Saya tunggu di sini saja," putusnya. Bagi Tisha kamar adalah area privasi. Maka, sungguh tidak bagus menurutnya sembarangan dikunjungi.
    "Jangan sungkan, Kak. Udah, mari aku antar."
    Tisha menggeleng. Kukuh dengan pendirian.
    "Ay—"
    Perkataan gadis tembem terpotong kehadiran ibu yang tadi mengajak Tisha masuk. "Ada apa, Lana?" Matanya menyorot penuh tanya pada lawan bicara Tisha.
    "Begini, Bu, kakak ini temannya Kak Sawala. Tapi waktu aku tawari mengantar ke tempat Kak Sawala sekarang, kakaknya malah enggak mau. Jadi, aku berusaha meyakinkan, takutnya kakak ini sungkan."
    "Kamu ini kebiasaan, Lana." Suara ibu itu terdengar mengandung kejengkelan. "Jangan suka memaksa. Kalau kakaknya tidak mau diantar, ya sudah persilakan saja kakaknya tetap di sini."
    "Khawatir kakaknya pegal, Bu." Gadis itu merengek.
    "Ya diajak duduk dong kakaknya. Ini kan dekat pintu ada bangku." Ibu tadi menghela napas. "Udah, jangan ganggu kakaknya lagi. Sana ke dapur ambilkan minum untuk kakaknya," titahnya dengan tangan mengisyaratkan pengusiran.
    "Eh, tidak usah, Bu." Tisha mengintrupsi.
    "Tidak apa-apa, Nak. Sudah silakan duduk saja."
    Tak mau berdebat, akhirnya Tisha duduk di bangku panjang berbahan kayu, bersebelahan dengan si ibu.
    "Kamu teman sekelasnya Nak Sawala?"
    Tisha memutar kepala menghadap si ibu. "Bukan, saya adik kelasnya."
    "Oh, iya, sekarang Sawala sudah kelas sebelas. Sudah jadi kakak kelas. Duh, cepat sekali waktu berlalu. Rasanya baru kemarin Ibu bertemu dengan Sawala, ternyata sudah lama."
    Tisha diam saja. Dia sudah lama tidak berinteraksi dengan manusia seusia ibu itu, kecuali guru sekolah, sehingga tak tahu harus bagaimana menanggapinya.
    "Dua tahun lalu Sawala datang ke sini untuk yang pertama kalinya bersama kakek-neneknya yang merupakan sahabat Ibu." Ibu itu melanjutkan cerita. "Setelahnya dia rutin ke sini setiap hari Kamis dan akhir pekan untuk membagikan makanan juga mengajak anak-anak melakukan banyak permainan yang diselipi pelajaran."
    Oh, berarti asumsi yang sempat melintas di kepala Tisha salah. Ternyata Sawala bukan penghuni bangunan ini, melainkan pengunjung setianya.
    "Silakan, Kak." Lana telah kembali dan menghidangkan segelas teh beserta setoples kue kering di meja depan Tisha.
    "Terima kasih," kata Tisha kaku.
    "Sama-sama." Lana duduk lesehan tak jauh dari posisi Tisha. Tangannya terulur mengambil boneka yang tergeletak sembarangan di lantai.
    "Oh iya, Kak." Sembari memeluk boneka, Lana kembali bicara. "Barusan kata Kak Sawala tunggu sebentar lagi, ya. Dia harus membujuk dulu adik kami. Secepatnya dia pasti keluar."
    Tisha memejam sesaat, menanam harap kuat-kuat. Semoga secepatnya yang dimaksud memang berarti tidak ada jeda lama lagi. Sebab, sekarang sudah terlalu sore, sudah melenceng jauh dari jam biasanya pulang. Tisha sudah tidak tahan, ingin segera mencapai rumah.
    "Kakak baik!"
    Tisha mendongak, matanya menyipit ke arah bingkai pintu di belakang anak-anak yang sedang berlarian. Di sana ada Sawala yang berdiri dengan seorang anak perempuan di sebelahnya.
    Itu kan ....
    Ah, Tisha menahan napas, apalagi sekarang?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Premium
Dunia Tanpa Gadget
7845      2335     32     
True Story
Muridmurid SMA 2 atau biasa disebut SMADA menjunjung tinggi toleransi meskipun mereka terdiri dari suku agama dan ras yang berbedabeda Perselisihan di antara mereka tidak pernah dipicu oleh perbedaan suku agama dan ras tetapi lebih kepada kepentingan dan perasaan pribadi Mereka tidak pernah melecehkan teman mereka dari golongan minoritas Bersama mereka menjalani hidup masa remaja mereka dengan ko...
ASA
2770      1094     0     
Romance
Ketika Rachel membuka mata, betapa terkejutnya ia mendapati kenyataan di hadapannya berubah drastis. Kerinduannya hanya satu, yaitu bertemu dengan orang-orang yang ia sayangi. Namun, Rachel hanya diberi kesempatan selama 40 hari untuk memilih. Rachel harus bisa memilih antara Cinta atau Kebencian. Ini keputusan sulit yang harus dipilihnya. Mampukah Rachel memilih salah satunya sebelum waktunya ha...
Jelek? Siapa takut!
2104      1002     0     
Fantasy
"Gue sumpahin lo jatuh cinta sama cewek jelek, buruk rupa, sekaligus bodoh!" Sok polos, tukang bully, dan naif. Kalau ditanya emang ada cewek kayak gitu? Jawabannya ada! Aine namanya. Di anugerahi wajah yang terpahat hampir sempurna membuat tingkat kepercayaan diri gadis itu melampaui batas kesombongannya. Walau dikenal jomblo abadi di dunia nyata, tapi diam-diam Aine mempunyai seorang pac...
The Skylarked Fate
4097      1508     0     
Fantasy
Gilbert tidak pernah menerima takdir yang diberikan Eros padanya. Bagaimanapun usaha Patricia, Gilbert tidak pernah bisa membalas perasaannya. Seperti itu terus pada reinkarnasi ketujuh. Namun, sebuah fakta meluluhlantakkan perasaan Gilbert. Pada akhirnya, ia diberi kesempatan baru untuk berusaha memperbaiki hubungannya dengan Patricia.
Lebih dari Cinta Rahwana kepada Sinta
541      420     0     
Romance
Pernahkan mendengarkan kisah Ramayana? Jika pernah mendengarnya, cerita ini hampir memiliki kisah yang sama dengan romansa dua sejoli ini. Namun, bukan cerita Rama dan Sinta yang akan diceritakan. Namun keagungan cinta Rahwana kepada Sinta yang akan diulas dalam cerita ini. Betapa agung dan hormatnya Rahwana, raksasa yang merajai Alengka dengan segala kemewahan dan kekuasaannya yang luas. Raksas...
Cinta di Sepertiga Malam Terakhir
3702      1080     1     
Romance
Seorang wanita berdarah Sunda memiliki wajah yang memikat siapapun yang melihatnya. Ia harus menerima banyak kenyataan yang mau tak mau harus diterimanya. Mulai dari pesantren, pengorbanan, dan lain hal tak terduga lainnya. Banyak pria yang datang melamarnya, namun semuanya ditolak. Bukan karena ia penyuka sesama jenis! Tetapi karena ia sedang menunggu orang yang namanya sudah terlukis indah diha...
MAMPU
4154      1844     0     
Romance
Cerita ini didedikasikan untuk kalian yang pernah punya teman di masa kecil dan tinggalnya bertetanggaan. Itulah yang dialami oleh Andira, dia punya teman masa kecil yang bernama Anandra. Suatu hari mereka berpisah, tapi kemudian bertemu lagi setelah bertahun-tahun terlewat begitu saja. Mereka bisa saling mengungkapkan rasa rindu, tapi sayang. Anandra salah paham dan menganggap kalau Andira punya...
DI ANTARA DOEA HATI
703      343     1     
Romance
Setelah peristiwa penembakan yang menewaskan Sang mantan kekasih, membuat Kanaya Larasati diliputi kecemasan. Bayang-bayang masa lalu terus menghantuinya. "Siapapun yang akan menjadi pasanganmu akan berakgir tragis," ucap seorang cenayang. Hal tersebut membuat sahabat kecilnya Reyhan, seorang perwira tinggi Angkatan Darat begitu mengkhawatirkannya. Dia berencana untuk menikahi gadis itu. Disaa...
Rembulan
645      342     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
Gunay and His Broken Life
4551      1852     0     
Romance
Hidup Gunay adalah kakaknya. Kakaknya adalah hidup Gunay. Pemuda malang ini telah ditinggal ibunya sejak kecil yang membuatnya secara naluri menganggap kakaknya adalah pengganti sosok ibu baginya. Hidupnya begitu bergantung pada gadis itu. Mulai dari ia bangun tidur, hingga kembali lagi ke tempat tidur yang keluar dari mulutnya hanyalah "kakak, kakak, dan kakak" Sampai memberi makan ikan...