Akhirnya! Tisha bersorak dalam hati tatkala melihat Sawala bangkit sembari menepuk-nepuk rok, tanda aktivitas beres-beres musala telah usai, terlihat dari semua mukena sudah kembali terlipat dan tersimpan rapi di lemari.
Tisha segera menjauh dari jendela yang digunakannya untuk mengintip Sawala. Kembali menuju tempat sepatu Sawala tersimpan. Kedua tangan Tisha mengencangkan tali ransel, bersiap untuk pulang cepat.
Di hari keempat Tisha cukup senang. Sebab, tidak seperti kemarin-kemarin, hari ini Sawala tidak terlalu merecokinya. Tisha jadi bisa merasa sedikit tenang. Saat di perpustakaan, setelah membantu pengunjung lain, Sawala tidak ada mengajak Tisha mengobrol, perempuan bermata belok itu malah asyik membaca buku bahkan sampai tak menawari permen seperti biasanya.
Saat waktunya pulang pun Sawala menjemput Tisha tanpa banyak aksi. Dia hanya menunggu di teras kelas, kemudian mengode untuk melangkah bersama ke musala tanpa bergandengan. Sampai selesai salat dan menunggu waktu untuk merapikan mukena, Sawala masih tak berbicara, tidak juga menawari roti.
Tisha menggeleng. Bukannya dia ketagihan pemberian Sawala. Tisha hanya merasa heran. Tisha bertanya-tanya. Mungkinkah Sawala sakit gigi? Namun, kenapa di dalam musala sana Sawala tampak bercanda bahkan sesekali tertawa?
Hari itu Sawala memang tidak membereskan mukena sendirian. Sesaat setelah keloter terakhir selesai salat dan Sawala kembali masuk ke musala, datang dua gadis–yang Tisha yakini seangkatan dengannya, ikut membantu Sawala. Sampai akhirnya kegiatan yang biasanya memakan waktu seperempat jam itu, beres hanya dengan beberapa menit.
Tisha menggigiti bibir bawah. Apa yang sedang mereka bicarakan, ya? Kenapa terlihat penuh keseruan? Duh, dia jadi penasaran. Namun, dia bingung memikirkan cara mencuri dengar. Tidak mungkin dia ujug-ujug masuk. Terlalu mencolok.
Tisha hanya bisa berharap semoga Sawala menunjukkan kepekaan lagi, sehingga begitu Tisha memasang raut wajah penasaran Sawala akan langsung memberitahu tentang obrolannya dengan mereka tanpa ditanya, seperti biasa.
Namun, Tisha hanya bisa menelan ludah pahit. Karena begitu keluar, Sawala seolah tak memperhatikan mimik Tisha, jadi tidak ada penjelasan apa pun. Setelah mengenakan sepatunya, Sawala hanya memberi isyarat untuk segera ke parkiran, kemudian melajukan motor meninggalkan sekolah. Menyisakan Tisha yang hanya bisa mengap-mengap. Tisha ingin bertanya, tetapi ragu terlalu mendominasi. Dia takut Sawala akan marah jika diajak berbicara saat sedang berkendara.
Tiba-tiba Tisha khawatir apabila Sawala sudah jemu terhadapnya yang selalu harus dipancing dulu baru bersuara, sehingga akhirnya Sawala memilih mengabaikan. Tisha pun waswas jika pada akhirnya Sawala memilih bicara pada Riana untuk menghentikan kebersamaan mereka, yang artinya membatalkan tantangan Tisha.
Jelas itu bukan yang Tisha inginkan. Setidaknyaman apa pun keadaan sekarang, dia masih ingin bertahan, karena iming-iming hadiah dari kakaknya itu masih terus membayang.
Tersadar dari lamunan, Tisha pun memajukan wajah ke bahu Sawala, lalu berucap pelan, “Kak?”
Tak terduga, Sawala menyahut dengan cepat. “Kenapa, Dek?”
Tisha meremas kerudung. Yang barusan itu impulsif. Niatnya mengetes saja untuk mengetahui apa Sawala akan menyahutinya atau tidak. Sebenarnya Tisha belum ada topik matang untuk menjadi bahasan.
Tepat begitu motor melewati pedagang kaki lima, bagai ada bohlam yang menyala di dekat dahi Tisha. “Kita enggak makan sore lagi, Kak?”
Namun, Sawala malah balik bertanya. “Kamu lapar, Dek?”
Tisha menelan ludah. Dia memang lapar. Namun, jika kesannya jadi dia yang mengajak, dia tidak mau. “Enggak.”
“Oh, oke.”
Sudah. Senyap lagi. Tisha menghela napas. Dia kira Sawala akan memperpanjang pembicaraan ke hal lain seperti yang lalu-lalu, tetapi ternyata .... Ah, makin takut Tisha.
Tuk!
Helm Tisha terantuk pada helm Sawala. Tisha terkejut karena Sawala menghentikan motor tiba-tiba, tepat beberapa meter sebelum mencapai tanjakan. “Ada apa, Kak?”
“Tolong turun dulu, Dek,” pinta Sawala sambil membuka pengait helm.
Tisha menurut. Saat dia akan melakukan hal yang sama dengan Sawala untuk membuka helm, Sawala malah menahannya. “Jangan, Dek!”
Tisha mengernyit. “Kenapa?”
Sawala menggantungkan helm di kaitan motor, lalu menurunkan standarnya. “Kamu bisa bawa motor kan, ya?”
“Iya?” sahut Tisha agak gamang. Ke mana tujuan pembicaraan ini?
“Kalau begitu aku minta tolong, kamu bawa motor ini dulu, ya. Aku ada yang harus dilakukan sebentar. Nanti kita ketemu lagi di depan warung yang tadi pagi aku berhenti itu.”
“Tapi ....” Ucapan Tisha tidak sempat terlanjutkan, karena Sawala sudah ngacir, berlari sambil sedikit mengangkat rok besarnya ke arah tanjakan.
Tisha tertegun. Apa ini artinya dia ... dicampakkan? Mungkinkah Sawala sudah benar-benar tiak mau lagi berdekatan dengan dirinya?
Tisha memejam sesaat, mendengkus keras. Ya sudahlah, terserah saja. Tisha pasrah. Mungkin memang belum rezekinya untuk mendapat hadiah dari Riana. Dengan lesu, Tisha menaiki motor Sawala, mengendarainya dengan kecepatan sedang menuju tanjakan.
Bagai slow motion, tepat saat mencapai pertengahan jalan menanjak itu, Tisha mendapati keberadaan Sawala. Gadis itu sedang mendorong sebuah motor di belakang seorang perempuan tua. Tisha tertegun. Kok bisa Sawala mau melakukan hal itu? Memangnya ibu itu siapanya Sawala? Apa hubungan mereka? Mungkinkah dia adalah kerabat Sawala? Atau jangan-jangan ... dia malah bukan siapa-siapanya Sawala?
Ah, kalau opsi terakhir mendapat jawaban 'ya', maka daftar hal yang membuat Tisha tidak habis pikir tentang Sawala makin membengkak. Sungguh meresahkan.
Setelah agak jauh dari mereka, Tisha mengedikkan bahu. Ya, sudahlah. Sawala kan memang random sekali orangnya. Tisha tidak perlu membebani pikiran sendiri. Yang harus jadi fokusnya sekarang adalah mengikuti titah Sawala dengan harapan Sawala memang benar-benar akan mendatanginya dan tidak akan menghentikan kedekatan mereka, setidaknya sampai tantangan Tisha usai.
Dari tanjakan Tisha belok ke kanan, kemudian setelah beberapa meter dia menekan rem tepat di dekat pohon besar yang menaungi parkiran sebuah bangunan dengan dominasi dinding kayu. Itu tempat yang tadi pagi Sawala singgahi. Tisha mematikan mesin dan menurunkan standar.
Sesuai perkataan Riana, pagi tadi Sawala memang datang lebih cepat, lima belas menit lebih cepat dari kebiasaannya. Ternyata alasannya karena Sawala harus ke warung makan itu dulu untuk melakukan sesuatu. Entah apa, Tisha tak diberitahu. Seharian ini kan Sawala tidak seaktif biasanya dalam bercerita.
Di saat Tisha sedang asyik memperhatikan sekitaran yang tidak terlalu familier untuknya, karena memang dia sangat jarang makan di luar, Sawala datang. Dengan napas yang terdengar ngos-ngosan Sawala berposisi seperti rukuk–memegangi lutut–di sisi motor.
“Maaf lama, Dek,” ucap Tisha dengan lemah, kentara sekali dia kelelahan.
“Enggak apa-apa, Kak.” Eh, Tisha mencubit tangan sendiri. Kok menjawab, sih? Padahal kan dia sudah berkomitmen untuk membiarkan Sawala merasa bersalah. Namun, kok malah goyah? Bagaimana ini? Ah, semoga saja ini bisa membuat Sawala berubah pikiran dan tidak jadi mencampakannya.
Setelah beberapa saat mengatur napas, akhirnya Sawala menegakkan tubuh. Dengan mata yang melirik warung makan, dia kembali bersuara. “Tolong tunggu sebentar lagi, ya.”
Tisha mengangguk saja sambil turun dari motor.
Ternyata kali ini benar-benar sebentar. Belum ada lima menit, Sawala sudah kembali dengan kedua tangan yang menenteng kantong kresek besar. Dari bentukannya yang menimbulkan tonjolan-tonjolan menyudut Tisha menebak bahwa isinya mungkin saja nasi kotak.
“Yuk, Dek!” Setelah menyusun bawaan di bagian depan motor dan menggunakan helm, Sawala kembali siap membonceng.
Tisha mengernyit dalam dengan gerakan stang Sawala. Bukan ke arah pulang. Ke mana lagi sekarang? Apa jadi ke arah mencampakkan Tisha?