Akhirnya! Tisha bersorak dalam hati tatkala melihat Sawala bangkit sembari menepuk-nepuk roknya yang agak kusut, tanda aktivitas beres-beres di musala telah usai, terlihat dari semua mukena sudah kembali terlipat dan tersimpan dengan rapi di lemari.
Tisha segera menjauh dari jendela yang digunakan untuk mengintip Sawala. Kembali menuju tempat sepatu Sawala tersimpan, dan berdiri di sana. Kedua tanganya mengencangkan tali ransel, bersiap untuk pulang cepat.
Tidak seperti kemarin, hari ini Tisha tidak banyak terlibat dan terbeban dalam kegiatan Sawala. Saat di perpustakaan tadi dia bisa bebas duduk sendirian di pojokan sambil melamun. Sebab, setelah membantu pengunjung lain di awal-awal jam istirahat, Sawala tidak ada membuka topik obrolan dengan Tisha. Bahkan Sawala juga tidak menawari Tisha permen karet seperti biasanya. Sawala malah asik membaca sendirian.
Saat menjemput untuk pulang pun Sawala tidak merangkul Tisha. Sawala hanya memberikan kode untuk melangkah bersama ke musala. Sampai barusan, selesai salat Ashar dan menunggu waktu untuk merapikan mukena, Sawala masih tak banyak berkata.
Tisha bertanya-tanya dalam kepala. Mungkinkah Sawala sakit gigi? Namun, kenapa di dalam musala sana Sawala tampak bercanda bahkan sesekali tertawa?
Hari ini Sawala tidak membereskan mukena sendirian. Sesaat setelah kloter terakhir selesai salat dan Sawala kembali masuk ke bangunan itu, dua gadis–yang Tisha yakini seangkatan dengannya–datang, ikut membantu Sawala. Sampai kegiatan yang biasanya memakan waktu setengah jam itu, beres hanya dengan sepuluh menit.
Tisha menggigiti bibir bawah. Apa yang sedang mereka bicarakan, ya? Kenapa terlihat penuh keseruan? Duh, dia jadi penasaran. Namun, bingung juga memikirkan cara mencuri dengar. Tak mungkin dia ujug-ujug masuk. Terlalu mencolok. Dia hanya bisa berharap semoga Sawala menunjukkan kepekaannya lagi, sehingga begitu Tisha memasang raut wajah penuh tanya Sawala akan langsung memberitahu tentang mereka tanpa ditanya, seperti biasa.
Namun, Tisha hanya bisa menelan ludah pahit. Karena saat keluar, Sawala seolah tak memperhatikan mimik Tisha, jadi tak ada penjelasan untuknya.
Setelah mengenakan sepatu, Sawala malah memberinya isyarat untuk segera ke parkiran, kemudian meninggalkan sekolah. Menyisakan Tisha yang hanya bisa mangap-mngap, kebingungan. Tisha ingin bertanya, tetapi ragu terlalu mendominasi. Dia takut Sawala akan marah jika diajak berbicara saat sedang berkendara.
Tiba-tiba Tisha khawatir apabila Sawala sudah jemu terhadapnya yang selalu harus dipancing dulu baru bersuara, sehingga akhirnya Sawala memilih mengabaikan. Tisha pun was-was jika pada akhirnya Sawala memilih bicara pada Riana untuk menghentikan kebersamaan mereka, yang artinya membatalkan tantangan Tisha.
Jelas itu bukan yang Tisha inginkan. Setidaknyaman apa pun keaadan sekarang, dia masih ingin bertahan, karena iming-iming hadiah dari kakaknya itu masih terus membayang.
Setelah melewati berbagai pertimbangan, Tisha memajukan wajah ke bahu Sawala. "Kak," panggilnya pelan.
Tak diduga, Sawala menyahut dengan cepat, "Kenapa, Dek?"
Tisha meremas kerudung. Haduh, yang barusan itu impulsif. Niatnya mengetes saja apa Sawala akan menyahut atau tidak. Sebenarnya Tisha belum ada topik matang untuk menjadi bahasan.
Tepat begitu motor melewati pedagang kaki lima, bagai ada bohlam yang menyala di dekat dahi Tisha. "Kita gak makan sore lagi, Kak?"
"Kamu lapar, Dek?" tanya Sawala dengan nada yang membuat Tisha ketar-ketir, itu ... mengandung perhatian.
"Eh, enggak."
"Oh, oke."
Sudah. Senyap lagi. Ah, Tisha kira Sawala akan memperpanjang pembicaraan ke hal lain seperti yang lalu-lalu, tetapi ternyata .... Ah, makin takut Tisha.
Tuk!
Helm Tisha terantuk pada helm Sawala. Tisha terkejut karena Sawala menghentikan motor tiba-tiba tepat beberapa meter sebelum mencapai tanjakan. "Ada apa, Kak?"
"Boleh tolong turun dulu, Dek?!" pinta Sawala sambil membuka pengait helm.
Tisha menurut. Saat dia akan melakukan hal yang sama dengan Sawala untuk membuka helm, Sawala malah menahan. "Jangan, Dek!"
"Kenapa?"
Sawala menggantungkan helm di kaitan motor lalu menyetandarkannya. "Kamu bisa bawa motor kan, ya?"
"Iya," sahut Tisha agak linglung. Ke mana tujuan pembicaraan ini?
"Kalau begitu aku minta tolong, kamu bawa motor ini dulu, ya. Aku ada yang harus dilakukan sebentar. Nanti kita ketemu lagi di depan warung yang tadi pagi aku berhenti itu."
"Tapi ...." Ucapan Tisha tak sempat terlanjutkan, karena Sawala sudah ngacir, berlari sambil sedikit mengangkat rok besarnya ke arah tanjakan.
Tisha tertegun. Apa ini artinya dia ... dicampakkan? Mungkinkah Sawala sudah benar-benar tak mau lagi berdekatan dengan dirinya?
Tisha memejam sesaat, membuang napas kasar. Ya sudahlah, terserah saja. Tisha pasrah. Mungkin memang belum rezekinya untuk mendapat hadiah dari Riana.
Lesu, Tisha menaiki motor Sawala dan menyalakan mesinnya, kemudian dengan kecepatan sedang dia mengendarainya menuju tanjakan.
Bagai slow motion, tepat saat mencapai pertengahan jalan menanjak itu Tisha mendapati keberadaan Sawala. Gadis itu sedang bergerak mendorong sebuah motor di belakang seorang perempuan tua. Tisha tertegun. Kok bisa Sawala mau melakukan hal itu? Padahal Tisha yakin meskipun model motornya khas perempuan yang tidak sebesar yang biasa digunakan para lelaki, tetapi di keadaan jalanan yang curam seperti itu tidaklah ringan untuk membawanya naik.
Memangnya ibu itu siapanya Sawala? Apa hubungan mereka? Mungkinkah dia adalah saudara Sawala? Atau jangan-jangan ... dia malah bukan siapa-siapanya Sawala?
Ah, kalau opsi terakhir mendapat jawaban 'ya', maka daftar hal yang membuat Tisha tidak habis pikir tentang Sawala akan makin membengkak. Sungguh meresahkan.
Setelah agak jauh dari mereka, Tisha mengedikkan bahu. Ya, sudahlah. Sawala kan memang acak sekali orangnya. Tisha tak perlu membebani pikiran sendiri. Yang harus jadi fokusnya sekarang adalah mengikuti titah Sawala tadi dengan harapan Sawala memang benar-benar akan mendatanginya dan tidak akan menghentikan kedekatan mereka, setidaknya sampai tantangan Tisha usai.
Dari tanjakan Tisha belok ke kanan, kemudian setelah beberapa meter dia menekan rem tepat di dekat sebuah pohon besar yang menaungi parkiran sebuah bangunan dengan dominasi bahan kayu. Itu tempat yang tadi pagi Sawala singgahi. Tisha mematikan mesin dan menurunkan standar.
Sesuai perkataan Riana, Sawala memang datang lebih cepat, lima belas menit dari kebiasaannya, untuk menjemput Tisha. Ternyata alasannya karena Sawala harus ke warung makan itu dulu untuk melakukan sesuatu. Entah apa, Tisha tak diberitahu. Seharian ini kan Sawala tidak seaktif biasanya dalam bercerita.
Di saat Tisha sedang asik memperhatikan sekitaran yang tidak terlalu familiar untuknya karena memang dia sangat jarang makan di luar, Sawala datang. Dengan napas yang terdengar ngos-ngosan Sawala berhenti dengan posisi seperti rukuk–memegangi lutut–di sisi motor.
"Maaf lama, Dek," ucap Tisha dengan lemah, kentara sekali dia kelelahan.
"Enggak apa-apa, Kak." Eh, Tisha mencubit tangan sendiri. Kok menjawab, sih? Padahal kan dia sudah berkomitmen untuk membiarkan Sawala merasa bersalah. Namun, kok malah goyah? Bagaimana ini?
Setelah beberapa saat mengatur napas, akhirnya Sawala menegakkan posisi. Dengan mata yang melirik warung makan, dia kembali bersuara,, "Sebentar lagi, ya."
Tisha mengangguk saja sambil turun dari motor.
Ternyata kali ini benar-benar sebentar. Belum ada lima menit, Sawala sudah kembali dengan kedua tangan yang menenteng kantong kresek besar. Dari bentukannya yang menimbulkan tonjolan-tonjolan menyudut Tisha menebak bahwa isinya mungkin saja nasi kotak.
"Yuk, Dek!" Setelah menyusun bawaan di bagian depan motor dan menggunakan helm, Sawala kembali siap membonceng Tisha ke arah yang membuat kening Tisha mengerut dalam.