Ini aneh! teriak Tisha dalam hati. Kenapa bukannya melaju lurus ke depan, motor yang dikendarai Sawala malah berputar arah ke arah yang berlawanan dengan tujuan seharusnya?
Motor Sawala melintasi kembali jalanan yang tadi sudah mereka lewati. Tisha menggigit bibir bawah, gusar. Jangan bilang Sawala akan membawanya ke sekolah lagi!
Tisha bingung. Ingin bertanya, tetapi takut akan respons Sawala yang mungkin saja secuek tadi karena merasa terganggu diajak bicara saat sedang berkendara. Akhirnya yang dapat Tisha lakukan hanya satu, yaitu berharap. Tisha akan berharap saja semoga Sawala tidak akan membawanya bolak-balik tak tentu arah. Tisha harap Sawala segera menghentikan motornya.
“Eh?” Tisha terkesiap ketika motor tiba-tiba berhenti melaju. Mata Tisha berbinar. Mungkinkah harapannnya menjadi nyata? Atau jangan-jangan Sawala memang bisa membaca pikiran dan mendengar suara hatinya? Ah, apa pun itu yang penting Tisha senang mendapatnya.
Sementara itu, Sawala sudah menurunkan kaki dengan kedua tangan erat menekan rem. “Maaf, berhenti lagi, ya. Kakak masih ada yang harus dilakukan, di sana!” Sawala mengarahkan tangan menunjuk bangunan yang ada tepat di sisi kiri mereka.
Tisha mengikuti arah pandang Sawala. Panti Asuhan Lentera Asa, begitulah nama yang tertera pada plang di depannya. Tisha melihat Sawala lagi yang sudah membawa motor memasuki pekarangan. “Kakak mau ke ...?”
Sawala mengangguk. “Iya, aku mau ke panti dulu.”
Tisha menangkap isyarat perintah untuk menuruni motor.
“Kalau mau, kamu bisa ikut masuk,” tawar Sawala setelah menjinjing kantong kresek. Sebelum benar-benar melangkah, dia memandang Tisha saksama. “Tapi kalau enggak mau pun enggak apa. Kamu bisa tunggu di motor. Kebetulan di sini teduh. Kakak enggak akan lama kok di dalamnya.”
Sesaat Tisha menimbang. Setelahnya dia menggeleng. “Aku tunggu di sini saja.”
Sawala merendahkan bahu. “Baiklah. Sebentar, ya.”
Tisha mengiringi kepergian Sawala dengan helaan napas. Setelah tubuh Sawala tidak lagi tampak di matanya, Tisha kembali mendudukkan diri di motor.
Netra Tisha memindai sekeliling. Ini memang bukan yang pertama kali dia datang ke sana. Namun, karena kedatangan yang dulu teramat singkat dan penuh ketegangan, maka baru kali ini dia bisa memperhatikan detail luarnya.
Halamannya cukup luas. Rumbut jepang tumbuh subur menjadi alas, hingga terasa empuk saat dipijak, mungkin hal itu dibuat agar dapat lebih meminimalisir luka anak-anak jika terjatuh saat sedang di luar. Namun, itu hanyalah asumsi Tisha. Dia tidak tahu benar atau salahnya, dan sama sekali tidak berniat mencari tahu.
Tisha mengalihkan atensi ke sebelah kiri. Di sana terdapat alat-alat bermain khas anak. Seperti ayunan, jungkat-jungkit, perosotan, juga tiang-tiang panjat. Sepertinya itulah spot utama untuk anak-anak bersenang-senang.
Adapun saat memutar kepala ke kanan, Tisha mendapati tali-tali berisi jemuran yang isinya sedang diangkat oleh beberapa perempuan dewasa. Mereka bergerak begitu cepat, mungkin takut kain-kain itu terkena ... hujan.
Tisha melihat langit yang tiba-tiba kelabu dan menjatuhkan tetesannya, padahal beberapa sekon yang lalu masih sangat menampilkan teriknya mentari, hingga Tisha harus berteduh di bawah pohon untuk melindungi diri.
Bagaimana sekarang? Apakah Tisha harus membiarkan tubuhnya kebasahan karena menunggu Sawala yang entah kenapa tidak kunjung menampakkan diri?
Di tengah kebingungannya, Tisha rasakan sentuhan di bahu kiri. Saat menoleh, dia melihat seorang wanita–yang merupakan salah satu dari pengangkat jemuran tadi.
“Hujan, Nak,” kata wanita berkerudung lebar itu.
Tisha menahan dengkusan. Dia tahu. Jelas-jelas sekarang tubuhnya sudah diterpa air langit. Ingin sekali Tisha mendumel karena basa-basi itu, tetapi saat menyadari garis-garis halus di wajah wanita itu yang menandakan usianya jauh di atasnya, Tisha urung. Takut dikatai tidak sopan. Akhirnya, Tisha hanya membalas dengan anggukan.
“Ayo meneduh dulu di dalam,” ajaknya sambil menunjuk bangunan panti dengan dagu.
Tidak dapat menolak, akhirnya Tisha membuntuti wanita itu menuju teras yang sama dengan yang tadi dilewati oleh Sawala. Tisha melepas sepatu dan menyimpannya di tempat teduh sesuai arahan si ibu.
Setelahnya, Tisha digiring menuju pintu. Sembari menekan knop, ibu itu menyuruh Tisha masuk, sementara dirinya pamit membereskan jemuran, sehingga mau tidak mau dengan langkah kaku Tisha membawa tubuhnya melewati bingkai pintu.
Suasana ramai menyambut Tisha. Gemuruh hujan di luar sana tidak dapat meredam riuhnya suara-suara dalam bangunan itu. Dari tempatnya berdiri, Tisha mendapati anak-anak bermacam usia yang tengah berlarian, berebut mainan, dan saling meneriaki.
Semua sangat sibuk, sampai-sampai tidak ada yang menyadari kehadiran Tisha. Dia terjebak sendiri dengan lingkungan yang sangat tidak dikenali. Tisha dilema. Haruskah tetap di sana atau kembali saja ke luar demi kenyamanannya?
Belum sempat Tisha mempertimbangkan, seorang gadis berkerudung instan mendatanginya. Tisha terpaku. Dia memang tidak mengenalnya. Namun, Tisha merasa pernah melihatnya.
Oh! Pupil Tisha melebar. Dia ingat. Anak perempuan itu adalah siswa SMP yang dulu diboceng Sawala. Berarti mereka saling kenal. Atau jangan-jangan mereka bersaudara? Saudara angkat mungkin? Apa jangan-jangan Sawala anak panti ini?
“Cari siapa, Kak?” tanya gadis berpipi chubby itu dengan lembut.
“Kak Sawala,” balas Tisha teramat cepat.
“Oh, sekarang Kak Sawala ada di kamar. Mari aku antar ke sana,” tawarnya dengan jempol tangan yang terangkat santun sebagai penunjuk arah.
Tisha menggeleng-geleng. “Tidak usah. Saya tunggu di sini saja,” putusnya. Menurutnya, kamar adalah area privasi. Maka, sungguh tidak bagus sembarangan dikunjungi orang asing.
“Enggak usah sungkan, Kak. Yuk, mari aku antar.” Anak itu malah memaksa dan hampir meraih tangan Tisha.
Namun, Tisha cepat menghindar. Kukuh dengan pendirian.
“Ay—”
Perkataan gadis itu terpotong kehadiran ibu yang tadi mengajak Tisha masuk. “Ada apa, Lana?” Matanya menyorot penuh tanya pada lawan bicara Tisha.
“Begini, Bu, kakak ini teman Kak Sawala. Tapi waktu aku tawari mengantar ke tempat Kak Sawala sekarang, kakaknya malah enggak mau. Jadi, aku berusaha meyakinkan, takutnya kakak ini sungkan.”
“Kamu ini kebiasaan, Lana.” Suara ibu itu terdengar jengkel. “Jangan suka memaksa. Kalau kakaknya tidak mau diantar, ya sudah biarkan saja kakaknya tetap di sini.”
“Takut kakaknya pegal, Bu.” Gadis bernama Lana itu merengek.
“Ya diajak duduk, dong. Ini kan dekat pintu ada bangku.” Ibu tadi menghela napas. “Udah, jangan ganggu kakaknya lagi. Sana ke dapur ambilkan minum untuk kakaknya.”
“Eh, tidak usah, Bu.” Tisha menginterupsi. Dia memang haus, lapar juga. Sejak di sekolah perutnya tidak diisi makanan, kecuali sekotak susu. Namun, dia anti merepotkan orang lain.
“Tidak apa-apa, Nak. Sudah. silakan duduk saja.”
Tidak enak mendebat, akhirnya Tisha duduk di bangku panjang, bersebelahan dengan si ibu.
“Kamu teman sekelas Nak Sawala?”
Tisha menghadap si ibu. “Bukan, saya adik kelasnya.”
“Oh, iya, sekarang Sawala sudah kelas sebelas, ya? Sudah jadi kakak kelas. MasyaAllah, cepat sekali waktu berlalu. Rasanya baru kemarin Ibu bertemu dengan Sawala, ternyata sudah lama.”
Tisha diam saja. Dia sudah lama tidak berinteraksi dengan manusia seusia ibu itu, kecuali guru sekolah, sehingga ia tidak tahu harus bagaimana menanggapinya.
“Dua tahun lalu Sawala datang ke sini untuk yang pertama kalinya bersama kakek-neneknya yang merupakan sahabat Ibu.” Ibu itu melanjutkan cerita. “Setelahnya dia rutin ke sini setiap hari Kamis dan Minggu untuk membagikan makanan juga mengajak anak-anak bermain.”
Oh, berarti asumsi yang sempat melintas di kepala Tisha salah. Ternyata Sawala bukan penghuni bangunan ini, melainkan pengunjung setianya.
“Silakan, Kak.” Lana telah kembali dan menghidangkan segelas teh beserta setoples kue kering di meja depan Tisha.
“Terima kasih,” ucap Tisha kaku. Kerongkongannya terasa makin kering. Dia butuh makanan dan minuman itu. Namun, dia tidak mau mengubah pegangan dirinya. Dia hanya berharap bisa kuat sampai Sawala muncul.
“Sama-sama.” Lana duduk lesehan tidak jauh dari posisi Tisha. “Oh iya, Kak. Barusan kata Kak Sawala tunggu sebentar lagi, ya. Dia harus membujuk adik kami dulu. Tapi katanya diusahakan secepatnya.”
Tisha memejam sesaat, menanam harap kuat-kuat. Semoga secepatnya yang dimaksud memang berarti tidak ada jeda lama lagi. Sebab, sekarang sudah terlalu sore, sudah melenceng jauh dari jam biasanya pulang. Tisha sudah tidak tahan, ingin segera mencapai rumah. Dia ingin mengisi perut.
“Kakak baik!”
Tisha mendongak, matanya menyipit ke arah bingkai pintu di belakang anak-anak yang sedang berlarian. Di sana ada Sawala yang berdiri dengan seorang anak perempuan di sebelahnya.
Itu kan ....
Tisha menahan napas. Apa lagi sekarang?