Tisha menutup mulut yang baru saja menguap. Di hari ketiga akhirnya dia bisa datang ke perpustakaan tepat waktu. Namun, dia dilanda kebosanan karena hanya duduk memperhatikan Sawala yang bekeliling membantu pengunjung lain.
Kali ini dia tak berniat mengumpati mereka, terserah sajalah mau Sawala dihormati atau tidak, itu bukan bagian tantangannya. Yang dia harapkan hanyalah segera keluar dari bangunan ini.
“Mau ikut ke luar, Dek?” Sawala mendekati Tisha dengan tangan yang dipenuhi beberapa paper bag dan kemoceng.
Tisha tertegun. Apakah ini artinya harapannya terkabul? Kok bisa, ya? Padahal biasanya apa pun harapannya malah mendapat hasil yang berbanding terbalik. Apa jangan-jangan ini efek beberapa hari ini dia salat tepat waktu bersama Sawala? Oh, apakah dia harus meneruskan kebiasaan itu?
“Dek?”
“Iya, aku ikut.” Tisha buru-buru bangkit, mengikuti langkah Sawala sambil menelan ludah. Di ujung tenggorokannya tersimpan tanya tentang akan ke mana Sawala dengan barang bawaan begitu. Namun, dia memilih menahannya kuat-kuat karena tidak mau menunjukkan ketertarikan lebih. Tisha akan berusaha mempertahankan keapatisannya.
“Hari ini kita berduaan di outdoor, ya.” Namun, seperti yang lalu-lalu, Sawala senantiasa dengan senang hati memeberikan penjelasan tanpa ditanya. Dia melambatkan gerakan kakinya agar bisa sejajar dengan Tisha. “Jadi, kamu bisa sedikit melepas rindu menghirup aroma luar bangunan. Ya ... meskipun enggak akan sama persis dengan tempat favoritmu. Maaf, ya.”
Tisha setia mengatupkan bibir. Tidak peduli. Dia lebih memilih memperhatikan koridor yang mereka lewati, jajaran kelas IPS yang sangat jarang Tisha lewati. Meski makin penasaran dengan alasan Sawala membawanya ke sana, tetapi Tisha memilih tak bertanya. Pikirnya, Sawala tidak mungkin berbuat yang aneh-aneh apalagi mencelakai dirinya.
Begitu tiba di dekat tangga yang menghubungkan lorong kelas sepuluh dan sebelas, Sawala mengajak Tisha berbelok, mendekati sebuah benda berbahan kayu yang menyangga berbagai buku.
Mata Tisha menyipit. Itu kan pojok baca. Kenapa Sawala membawanya ke sana hanya untuk membaca? Padahal di lorong jurusan mereka juga ada. Tisha menahan geram. Tidak bisa membayangkan jika harus duduk di sana bersama lalu lalang orang-orang yang tidak dikenalnya. Dengan teman sejurusan pun Tisha tidak banyak kenal apalagi dari jurusan lain.
Namun, bukannya duduk, Sawala malah menggerak-gerakkan kemoceng ke susunan buku itu. Setelah debunya hilang, Sawala memindahkan buku di sekat terdepan menjadi agak ke belakang, kemudian mengeluarkan isi paper bag yang ternyata adalah buku, dan menatanya di sekat yang telah dikosongkan.
Setelah rapi, Sawala kembali ke sisi Tisha dan mengajaknya kembali berjalan. Menyambangi pojok baca lainnya. Sampai tiba di yang paling dekat dengan kelas Tisha.
“Ini yang terakhir, Dek!” Sawala memasukkan kemocengnya ke paper bag. “Maaf, ya, jadi bikin kamu ikut keliling-keliling.”
Uh, Tisha tidak suka sorot mata itu, yang begitu menunjukkan rasa bersalah dan selalu menarik Tisha untuk balas menenangkan dengan kalimat 'aku tidak apa-apa’ atau ‘aku baik-baik saja'.
Tisha mengepalkan kedua tangan. Kali ini dia tidak akan melakukan hal itu. Biar saja jika Sawala merasa bersalah, Tisha tidak peduli, karena memang begitu kenyataannya. Sawala salah karena membuat Tisha lelah. Jadi, Tisha hanya memasang wajah tanpa ekspresi.
“Sekarang mau kembali ke perpustakaan atau nyoba ke tempat favorit kamu?”
Tisha tidak langsung membalas. Dia melihat arlojinya. “Sudah akan bel. Aku izin ke kelas saja, ya.” Nada suaranya begitu datar.
“Eh, oh, iya silakan.” Sawala membalas lemah. Memperhatikan punggung Tisha yang menjauh.
***
“Kenapa berhenti, Kak?” tanya Tisha pada Sawala yang menekan rem motor dan menurunkan kaki di pinggir jalan, padahal belum terlalu jauh dari sekolah mereka. Tidak mungkin Sawala akan menurunkan Tisha di sana, kan? Mengingat jarak rumahnya masih sangat jauh.
Tisha pikir setelah aksinya tadi mengabaikan Sawala, kakak kelasnya itu akan kesal dan tidak mau lagi bertemu. Namun, ternyata saat pulang Sawala malah stand by di depan kelasnya. Mengajak salat berjamaah, lalu memboncengnya dengan laju motor sedang.
“Ke sana dulu, yuk!” Tangan Sawala terarah menunjuk bangunan di sebelah kiri mereka, sebuah kedai makanan yang sepi.
“Kakak mau makan?”
Sawala malah menggeleng dan tersenyum. “Bukan aku, tapi kita.”
“Hah?” Tisha mengernyit.
Sawala malah menurunkan standar motor. “Ayo makan sore bareng!” ajaknya dengan gerakan kepala yang mengisyaratkan Tisha untuk turun.
Dengan agak linglung Tisha menurut, meninggalkan motor dan melangkah mengekori Sawala menuju tempat pemesanan.
“Kamu mau apa, Dek?”
Tisha yang terlalu sibuk memperhatikan tempat yang asing dipijaknya itu tergagap. “Sa–samain aja.”
“Teh, mi ayamnya dua, sama jeruk hangatnya dua.” Setelahnya Sawala mengajak Tisha menuju sebuah bangku.
Begitu duduk berhadapan, Tisha baru menyadari bahwa mereka berdua sama-sama masih menggunakan helm. Akhirnya dia membuka miliknya
Sawala yang melihat itu turut melepas helmnya sambil terkekeh. “Saking semangatnya buat isi perut jadi lupa.”
Tisha tak menyahut. Jika sebelumnya dia sempat menanggapi beberapa ucapan Sawala dengan senyum tipis, kini dia tidak mau melakukannya lagi. Tisha akan berusaha mempertahankan sifat datarnya.
“Kamu suka mi ayam, Dek?”
Tisha mengangguk. Meski enggan membuka mulut, tetapi dia tidak mau Sawala mengiranya alergi atau apa.
“Kalau jus jeruk?”
Tisha kembali mengangguk sambil mencibir dalam hati. Sawala terlalu mengganggu karena hobinya bicara dan bertanya. Sawala keseringan membangun obrolan setiap mereka berdekatan, kecuali di motor.
Saat sedang berkendara Sawala terlihat sangat fokus pada jalanan. Gadis itu teramat rapat menyatukan bibirnya. Yang bekerja hanya mata dan tangan. Hal itu membuat Tisha yang berada di belakangnya amat kesenangan. Sebab, selain merasa aman, dia juga dapat menghemat energinya.
Kursi berderit. Sawala tiba-tiba bangkit dan beranjak dari depan Tisha.
Tisha tersentak. Dia takut Sawala kesal karena tidak diindahkan dan berniat meninggalkannya. Maka, dia segera berlari mengejar Sawala.
Namun, begitu tiba di luar kedai, Tisha tertegun melihat Sawala yang sedang berjongkok di depan seekor kucing. Tanpa ragu Sawala menggendong dan membawa kucing itu menjauh ke tanah yang lebih lapang. Setelahnya mengeluarkan bungkusan dari tasnya dan menuangkan di depan kucing itu.
Tisha melebarkan netra karena apa yang barusan dilihatnya. Itu ... Sawala sedang ngasih makan kucing? Namun, kenapa? Itu pasti bukan kucingnya, kan?
“Kok di sini, Dek!”
Terlalu larut melamun, Tisha tidak menyadari Sawala sudah kembali ke depannya dengan tangan yang sibuk mengelap dengan tisu basah. Tisha tidak bicara apa-apa. Hanya memberi jalan untuk Sawala lewat. Sampai mereka kembali duduk ke semula.
Tidak lama kemudian, penjual menyajikan pesanan mereka.
Dengan menekan segala bingungnya, Tisha mengambil kemudian mengaduk bumbu di mangkuk bagiannya.
“Hari ini lumayan menguras tenaga, kan?” Di tengah jeda menyuap, Sawala bicara. “Kamu udah menemani aku urus pojok baca, terus nungguin lipat mukena. Semoga makanan ini bisa mengobati lapar yang enggak sempat keganjel di musala kayak biasa karena tadi aku lupa bawa roti.”
Ya, tadi Sawala memang tidak berbagi makanan apa pun. Tisha kira Sawala sudah bosan, ternyata lupa. Seketika Tisha melambatkan kunyahannya saat menyadari sesuatu. Ya ampun. Jadi ... ceritanya Sawala sedang mengkhawatirkan perut Tisha? Sawala ... memperhatikannya?