Loading...
Logo TinLit
Read Story - Seharap
MENU
About Us  

Tisha menutup mulut yang baru saja menguap. Di hari ketiga akhirnya dia bisa datang ke perpustakaan tepat waktu. Namun, dia dilanda kebosanan karena hanya duduk memperhatikan Sawala yang bekeliling membantu pengunjung lain.

Kali ini dia tak berniat mengumpati mereka, terserah sajalah mau Sawala dihormati atau tidak, itu bukan bagian tantangannya. Yang dia harapkan hanyalah segera keluar dari bangunan ini.

“Mau ikut ke luar, Dek?” Sawala mendekati Tisha dengan tangan yang dipenuhi beberapa paper bag dan kemoceng.

Tisha tertegun. Apakah ini artinya harapannya terkabul? Kok bisa, ya? Padahal biasanya apa pun harapannya malah sering mendapat hasil yang berbanding terbalik. Apa jangan-jangan ini efek beberapa hari ini dia salat tepat waktu bersama Sawala? Oh, apakah dia harus meneruskan kebiasaan itu?

“Dek?”

“Iya, aku ikut.” Tisha buru-buru bangkit, mengikuti langkah Sawala sambil menelan ludah. Di ujung tenggorokannya tersimpan tanya tentang akan ke mana Sawala dengan barang bawaan begitu. Namun, dia memilih menahannya kuat-kuat karena tidak mau menunjukkan ketertarikan lebih. Tisha akan berusaha mempertahankan keapatisannya.

“Hari ini kita berduaan di outdoor, ya.” Namun, seperti yang lalu-lalu, Sawala senantiasa dengan senang hati memeberikan penjelasan tanpa ditanya. Dia melambatkan gerakan kakinya agar bisa sejajar dengan Tisha. “Jadi, kamu bisa sedikit melepas rindu menghirup aroma luar. Ya ... meskipun enggak akan sama persis dengan tempat favoritmu. Maaf, ya.”

Tisha setia mengatupkan bibir. Tidak peduli. Dia lebih memilih memperhatikan koridor yang mereka lewati, jajaran kelas IPS yang sangat jarang Tisha lewati. Meski makin penasaran dengan alasan Sawala membawanya ke sana, tetapi Tisha memilih tak bertanya. Pikirnya, Sawala tidak mungkin berbuat yang aneh-aneh apalagi mencelakai dirinya.

Begitu tiba di dekat tangga yang menghubungkan lorong kelas sepuluh dan sebelas, Sawala mengajak Tisha berbelok, mendekati sebuah benda berbahan kayu yang menyangga berbagai buku.

Mata Tisha menyipit. Itu kan pojok baca. Kenapa Sawala membawanya ke sana hanya untuk membaca? Padahal di lorong jurusan mereka juga ada. Tisha menahan geram. Tidak bisa membayangkan jika harus duduk di sana bersama lalu lalang orang-orang yang tidak dikenalnya. Berpapasan dengan teman sejurusan pun Tisha cukup risi, apalagi dengan dari jurusan lain.

Namun, bukannya duduk, Sawala malah menggerak-gerakkan kemoceng ke susunan buku itu. Setelah debunya hilang, Sawala memindahkan buku di sekat terdepan menjadi agak ke belakang, kemudian mengeluarkan isi paper bag yang ternyata adalah buku, dan menatanya di sekat yang telah dikosongkan.

Setelah rapi, Sawala kembali ke sisi Tisha dan mengajaknya kembali berjalan. Menyambangi pojok baca lainnya. Sampai tiba di yang paling dekat dengan kelas Tisha.

“Ini yang terakhir, Dek!” Sawala memasukkan kemocengnya ke paper bag. “Maaf, ya, jadi bikin kamu ikut keliling-keliling.”

Uh, Tisha tidak suka sorot mata itu, yang begitu menunjukkan rasa bersalah dan selalu menarik Tisha untuk balas menenangkan dengan kalimat 'aku tidak apa-apa’ atau ‘aku baik-baik saja'.

Tisha mengepalkan kedua tangan. Kali ini dia tidak akan melakukan hal itu. Biar saja jika Sawala merasa bersalah, Tisha tidak peduli, karena memang begitu kenyataannya. Sawala salah karena membuat Tisha lelah. Jadi, Tisha hanya memasang wajah tanpa ekspresi.

“Sekarang mau kembali ke perpustakaan atau nyoba ke tempat favorit kamu?”

Tisha tidak langsung membalas. Dia melihat arlojinya. “Sudah akan bel. Aku izin ke kelas saja, ya.” Nada suaranya begitu datar.

“Eh, oh, iya silakan.” Sawala membalas lemah. Memperhatikan punggung Tisha yang menjauh.

***

“Kenapa berhenti, Kak?” tanya Tisha pada Sawala yang menekan rem motor dan menurunkan kaki di pinggir jalan. Kini mereka dalam perjalanan pulang, belum terlalu jauh dari area sekolah. Tidak mungkin Sawala akan menurunkan Tisha di sana, kan? Mengingat jarak rumahnya masih sangat jauh.

Tisha pikir setelah aksinya tadi mengabaikan Sawala, kakak kelasnya itu akan kesal dan tidak mau lagi bertemu. Namun, ternyata saat bel terakhir berbunyi Sawala sudah stand by di depan kelasnya. Mengajak salat berjamaah, lalu memboncengnya pulang.

“Ke sana dulu, yuk!” Tangan Sawala terarah menunjuk bangunan di sebelah kiri mereka, sebuah kedai makanan yang sepi.

“Kakak mau makan?”

Sawala malah menggeleng dan tersenyum. “Bukan aku, tapi kita.”

“Hah?” Tisha mengernyit.

Sawala malah menurunkan standar motor. “Ayo makan sore bareng!” ajaknya dengan gerakan kepala yang mengisyaratkan Tisha untuk turun.

Dengan agak linglung Tisha menurut, meninggalkan motor dan melangkah mengekori Sawala menuju tempat pemesanan.

“Kamu mau apa, Dek?”

Tisha yang terlalu sibuk memperhatikan tempat yang asing dipijaknya itu tergagap. “Sa-samain aja.”

“Teh, mi ayamnya dua, sama jeruk hangatnya juga dua.” Setelahnya Sawala mengajak Tisha menuju sebuah bangku.

Begitu duduk berhadapan, Tisha baru menyadari bahwa mereka berdua sama-sama masih menggunakan helm. Akhirnya dia membuka miliknya

Sawala yang melihat itu turut melepas helmnya sambil terkekeh. “Saking semangatnya buat isi perut jadi lupa.”

Tisha tak menyahut. Jika sebelumnya dia sempat menanggapi beberapa ucapan Sawala dengan senyum tipis, kini dia tidak mau melakukannya lagi. Tisha akan berusaha mempertahankan sifat datarnya.

“Kamu suka mi ayam, Dek?”

Tisha mengangguk. Meski enggan membuka mulut, tetapi dia tidak mau Sawala mengiranya alergi atau apa.

“Kalau jus jeruk?”

Tisha kembali mengangguk sambil mencibir dalam hati. Sawala terlalu mengganggu karena hobinya bicara dan bertanya. Sawala keseringan membangun obrolan setiap mereka berdekatan, kecuali di motor.

Saat sedang berkendara Sawala terlihat sangat fokus pada jalanan. Gadis itu teramat rapat menyatukan bibirnya. Yang bekerja hanya mata dan tangan. Hal itu membuat Tisha yang berada di belakangnya amat kesenangan. Sebab, selain merasa aman, dia juga dapat menghemat energinya.

Kursi berderit. Sawala tiba-tiba bangkit dan beranjak dari depan Tisha.

Tisha tersentak. Dia takut Sawala kesal karena tidak diindahkan dan berniat meninggalkannya. Maka, dia segera berlari mengejar Sawala.

Namun, begitu tiba di luar kedai, Tisha tertegun melihat Sawala yang sedang berjongkok di depan seekor kucing. Tanpa ragu Sawala menggendong dan membawa kucing itu menjauh ke tanah yang lebih lapang. Setelahnya mengeluarkan bungkusan dari tas dan menuangkan di depan kucing itu.

Tisha melebarkan netra karena apa yang barusan dilihatnya. Itu ... Sawala sedang ngasih makan kucing? Namun, kenapa? Itu pasti bukan kucingnya, kan?

“Kok di sini, Dek?”

Terlalu larut melamun, Tisha tidak menyadari Sawala sudah kembali ke depannya dengan tangan yang sibuk mengelap dengan tisu basah. Tisha tidak bicara apa-apa. Hanya memberi jalan untuk Sawala lewat dan mereka kembali duduk ke semula.

Tidak lama kemudian, penjual menyajikan pesanan mereka.

Dengan menekan segala bingungnya, Tisha mengambil kemudian mengaduk bumbu di mangkuk bagiannya.

“Hari ini lumayan menguras tenaga, kan?” Di tengah jeda menyuap, Sawala bicara. “Kamu udah menemani aku urus pojok baca, terus nungguin lipat mukena. Semoga makanan ini bisa mengobati lapar yang enggak sempat keganjel di musala kayak biasa karena tadi aku lupa bawa roti.”

Ya, tadi Sawala memang tidak berbagi makanan apa pun. Tisha kira Sawala sudah bosan, ternyata lupa. Seketika Tisha melambatkan kunyahannya saat menyadari sesuatu. Ya ampun. Jadi, ceritanya Sawala sedang mengkhawatirkan perut Tisha? Sawala ... memperhatikannya?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
PATANGGA
888      606     1     
Fantasy
Suatu malam ada kejadian aneh yang menimpa Yumi. Sebuah sapu terbang yang tiba-tiba masuk ke kamarnya melalui jendela. Muncul pula Eiden, lelaki tampan dengan jubah hitam panjang, pemilik sapu terbang itu. Patangga, nama sapu terbang milik Eiden. Satu fakta mengejutkan, Patangga akan hidup bersama orang yang didatanginya sesuai dengan kebijakan dari Kementerian Sihir di dunia Eiden. Yumi ingin...
Teman Berbagi
3728      1366     0     
Romance
Sebingung apapun Indri dalam menghadapi sifatnya sendiri, tetap saja ia tidak bisa pergi dari keramaian ataupun manjauh dari orang-orang. Sesekali walau ia tidak ingin, Indri juga perlu bantuan orang lain karena memang hakikat ia diciptakan sebagai manusia yang saling membutuhkan satu sama lain Lalu, jika sebelumnya orang-orang hanya ingin mengenalnya sekilas, justru pria yang bernama Delta in...
Teman Hidup
6823      2483     1     
Romance
Dhisti harus bersaing dengan saudara tirinya, Laras, untuk mendapatkan hati Damian, si pemilik kafe A Latte. Dhisti tahu kesempatannya sangat kecil apalagi Damian sangat mencintai Laras. Dhisti tidak menyerah karena ia selalu bertemu Damian di kafe. Dhisti percaya kalau cinta yang menjadi miliknya tidak akan ke mana. Seiring waktu berjalan, rasa cinta Damian bertambah besar pada Laras walau wan...
Langit Indah Sore Hari
151      128     0     
Inspirational
Masa lalu dan masa depan saling terhubung. Alka seorang remaja berusia 16 tahun, hubungannya dengan orang sekitar semakin merenggang. Suatu hari ia menemukan sebuah buku yang berisikan catatan harian dari seseorang yang pernah dekat dengannya. Karena penasaran Alka membacanya. Ia terkejut, tanpa sadar air mata perlahan mengalir melewati pipi. Seusai membaca buku itu sampai selesai, Alka ber...
1'
4532      1507     5     
Romance
Apa yang kamu tahu tentang jatuh cinta? Setiap kali ada kesempatan, kau akan diam-diam melihatnya. Tertawa cekikikan melihat tingkah konyolnya. Atau bahkan, kau diam-diam mempersiapkan kata-kata indah untuk diungkapkan. Walau, aku yakin kalian pasti malu untuk mengakui. Iya, itu jarak yang dekat. Bisa kau bayangkan, jarak jauh berpuluh-puluh mil dan kau hanya satu kali bertemu. Satu kese...
Rembulan
1245      702     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
Aku baik-baik saja Âż?
3843      1424     2     
Inspirational
Kayla dituntut keadaan untuk menjadi wanita tangguh tanpa harus mengeluh, kisah rumit dimulai sejak ia datang ke pesantren untuk menjadi santri, usianya yang belum genap 17 tahun membuat anak perempuan pertama ini merasa banyak amanah yang dipikul. kabar tentang keluarganya yang mulai berantakan membuat Kayla semakin yakin bahwa dunianya sedang tidak baik-baik saja, ditambah dengan kisah persaha...
Premium
Di Bawah Langit yang Sama dengan Jalan yang Berbeda
22409      1961     10     
Romance
Jika Kinara bisa memilih dia tidak ingin memberikan cinta pertamanya pada Bian Jika Bian bisa menghindar dia tidak ingin berpapasan dengan Kinara Jika yang hanya menjadi jika karena semuanya sudah terlambat bagi keduanya Benang merah yang semula tipis kini semakin terlihat nyata Keduanya tidak bisa abai walau tahu ujung dari segalanya adalah fana Perjalanan keduanya untuk menjadi dewasa ti...
Acropolis Athens
5536      2068     5     
Romance
Adelar Devano Harchie Kepribadian berubah setelah Ia mengetahui alasan mendiang Ibunya meninggal. Menjadi Prefeksionis untuk mengendalikan traumanya. Disisi lain, Aram Mahasiswi pindahan dari Melbourne yang lamban laun terkoneksi dengan Adelar. Banyak alasan untuk tidak bersama Aram, namun Adelar terus mencoba hingga keduanya dihadapkan dengan kenyataan yang ada.
Through This Letter (Sudah Terbit / Open PO)
5765      1625     0     
Romance
Dia—pacarku—memang seperti itu. Terkadang menyebalkan, jail, sampai-sampai buatku marah. Dan, coba tebak apa yang selalu dia lakukan untuk mengembalikan suasana hatiku? Dia, akan mengirimkanku sebuah surat. Benar-benar berbentuk surat. Di tengah-tengah zaman yang sudah secanggih ini, dia justru lebih memilih menulis sendiri di atas secarik kertas putih, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah a...