Read More >>"> Seharap (11. Yang Ingin Dilupakan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Seharap
MENU
About Us  

“Ayo!” ajak seorang anak perempuan berusia delapan tahun. Itu adalah Tisha kecil yang sedang merengek pada kedua orang tuanya yang duduk di kedua sisinya. Hari itu Minggu, tetapi bukannya bersantai bersama keluarga seperti hari biasanya, Tisha malah minta diantarkan ke rumah temannya yang kemarin tidak masuk sekolah.

“Tapi di luar hujan, Nak.” Bunda mengusap kepala Tisha. “Lagian orang sakit itu, apalagi yang baru satu hari, enggak perlu dijenguk. Biarkan dia istirahat dulu.”

Tisha mencebik. “Tapi tadi Amel SMS kalau kemarin dia cuman sakit leher karena salah bantal. Sekarang dia udah enggak sehat, makanya minta tolong ke aku buat lihat catatan tugas, soalnya besok dia mau sekolah, takut ketinggalan. Lagian kan kita naik mobil, enggak akan kehujanan.”

“Tapi ....”

“Ya udah.” Ayah memotong ucapan Bunda. “Ayo Ayah antar.”

“Yeay!” Tisha berjingkrak, segera mengambil peralatan belajarnya.

“Bunda ikut.” Bunda tiba-tiba menyusul ke garasi.

Begitu mobil bergerak pelan, Ayah melirik Bunda yang memangku Tisha. “Eh, tapi nanti yang antar sayur gimana?”

Orang tua Tisha memiliki usaha perkebunan. Setiap akhir pekan pegawainya melakukan penyetoran ke rumah mereka.

“Kita langsung pulang aja setelah antar Tisha.” Bunda menoel pipi sang bungsu. “Lagian kamu pasti mau main kan di sana?”

Tisha menyengir.

“Nanti dijemput Kakak, ya?”

Tisha menggeleng. “Mau sama Ayah.”

“Tapi Ayah sama Bunda enggak bisa, Nak.” Bunda menyahut.

“Urus sayur, ya?”

Pasangan itu hanya saling lirik, tanpa memberikan balasan.

Tisha menghela napas. “Ya udah, sama Kak Riana.”

Akhirnya, Tisha diturunkan di depan rumah temannya yang berada di pinggiran desa yang dikelilingi persawahan. Karena hujan, Tisha disuruh langsung berlari ke terasnya tanpa menunggu mobil orang tuanya parkir. 

Tisha menurut. Dia hendak mengetuk pintunya, tetapi suara benturan dan jeritan, membuatnya tersentak. Dia menoleh, dan melihat mobil yang dikendarai ayahnya dalam posisi miring, salah satu bannya tergelincir jatuh ke sawah yang letaknya beberapa meter lebih rendah dari jalanan.

Tisha berlari sambil memanggil-manggil orang tuanya. Namun, langkahnya tertahan oleh warga yang memintanya tak mendekat karena akan melakukan evakuasi.

Tak sampai dua jam mereka berhasil dievakuasi. Namun, Tisha dibuat histeris karena hasilnya. Raga orang tuanya memang terlihat baik, hanya baret dan berdarah di beberapa bagian, tetapi ternyata jiwanya sudah tak ada lagi di sana.

“Huh!” Tisha mengerjap dengan deru napas memburu. Lagi-lagi kenangan itu menyambangi mimpinya. Sudah bertahun-tahun orangtuanya pergi, tetapi mimpi itu selalu menghantuinya. Membuat lukanya makin menganga. Sakit.

Tisha sangat merindukan keduanya. Namun, perasaan bersalahnya lebih besar. Dia menyesali niatnya membantu sang teman. Itu sebabnya dia tak mau bertemu temannya itu lagi. Setelah masa berkabung selesai, Tisha langsung meminta pada Riana untuk pindah sekolah dan memulai hidup baru sebagai sosok apatis akut.

Tisha bangkit dan mengusap wajah kasar. Dia butuh pengalihan, tetapi dia tak tahu harus melakukan apa. Sampai beberapa saat berlalu, tak ada satu pun ide yang melintas di kepalanya. Yang muncul malah suara nyaring khas lambung minta diisi. “Hadeuh, malah lapar,” keluhnya sembari mengusap-usap perut.

Akhirnya Tisha turun dari ranjang dan keluar dari kamar. Tiba di ambang dapur, suasana gelap menyapa netra Tisha. Tanpa berniat menyalakan lampu, gadis itu melangkah menuju sudut ruangan itu. Sejak kecelakaan itu Tisha sudah bertekad untuk jadi pemberani. Baginya bukan masalah harus menerobos kegelapan ataupun kesunyian, asalkan sendirian.

Berbeda jika dia harus melaluinya dengan orang lain, itu malah tak mengenakkan, dan Tisha tidak sedang dalam suasana hati baik untuk memikirkannya. Skip saja. Intinya dia merasa bukan sosok penakut.

Kaki Tisha berhenti tepat di depan tempat mencuci piring. Tangan kanannya terulur untuk memutar keran. Begitu airnya keluar, ragu-ragu dia menengadahkan telapak kirinya ke air. Tisha bergidik. Dingin.

Akhirnya Tisha mengurungkan niatnya untuk membasuh muka. Memilih membalikkan badan sembari mengusapkan sedikit air yang tertinggal di jemarinya ke sudut-sudut mata, mengurangi kotoran-kotoran di sana.

Terlihat sedikit–atau mungkin sangat–jorok memang. Namun, memangnya siapa yang mau repot-repot bersentuhan dengan air di waktu buta seperti itu? Di saat seharusnya masih lelap menikmati mimpi.

Ah, apa pun keanehannya, biarkan saja Tisha. Toh dia juga tak sedang mengusik orang lain. Maka, Tisha harap yang lain pun tidak mengusiknya.

“Mau ngapain?”

Baru juga Tisha akan membuka lemari makanan, ruangan malah jadi benderang. Saat menoleh dia lihat Riana berdiri di ambang pintu dengan tangan dekat sakelar lampu.

“Makan,” sahut Tisha ogah-ogahan dengan tangan yang meraba-raba wadah roti. Melihat semuanya berasa kacang, seketika mengingatkannya pada Sawala. Tisha segera menggeleng, berusaha mengusir nama yang sudah membuatnya tidur larut.   

Semalam Tisha sempat kesulitan tidur. Kepalanya terlalu penuh. Otaknya mumet memikirkan kelanjutan pemenuhan tantangannya. Tisha dilema, sedikit banyak mulai terpikir untuk mundur saja. Sebab, dia tak mau lagi menerima perhatian Sawala. Tingkah Sawala yang begitu ramah, penyayang, dan penuh perhatian membuat Tisha ketakutan. Tisha takut akan terlena.

Namun, jika memilih berhenti ... rasanya kok sayang, ya? Tidak, Tisha tidak mungkin sayang Sawala! Seberapa baik pun gadis itu, bagi Tisha dia tetap pengganggu ketenangan. Tisha tidak tergiur untuk memberikan afeksi. Dia hanya sayang dengan tenaganya sendiri yang sudah dikerahkan selama tiga hari kemarin.

Bukan hal mudah menghadapi segala basa-basi Sawala. Tisha harus selalu memeras tenggorokan dan memutar keras otaknya dengan intensitas yang membuatnya sangat kelelahan. Meskipun, ya, Sawala senantiasa memberinya camilan bahkan makanan berat, tetapi Tisha akan tetap merasa rugi jika hanya sampai sini, lalu berhenti.

“Sahur?” Riana yang sedang menuangkan air putih, membuyarkan lamunan Tisha.

Tisha berdecak. “Enggak, lah!” Ini bukan bulan Ramadan, dan Tisha juga sudah tak punya hutang qadha.

Riana mengusap bibir setelah menegak air. “Yakin?”

Tisha mendengkus. “Aku lapar, makanya makan! Udah, enggak ada alasan lain!”

“Dih, sewot. Padahal kan Teteh cuma penasaran, siapa tahu kamu mau puasa sunnah Kamis juga."

Juga? batin Tisha. “Teteh mau puasa?”

Riana mengangguk, mendekati Tisha untuk ikut melongok pada isi lemari. “Ini mau sahur,” imbuhnya.

Seketika Tisha mendorong Riana untuk menjauh dan mengembalikan roti yang sempat diambilnya ke tempat semula. “Aku masakin,” putusnya dengan tangan yang sibuk membuka kulkas dan memilah-milah isi wadah sayuran.

Senyum Riana mengembang. “Makasih, Chef.”

”Heem,” sahut Tisha sekenanya. Dia terlalu sibuk memindahkan bahan-bahan masakan ke tempat memotong.

“Perlu Teteh bantu, enggak?” Riana mengekori sang adik.

Tisha menggeleng tak santai. “Enggak perlu,” tolaknya gusar. Membiarkan Riana berkutat dengan alat masak adalah hal yang cukup meresahkan untuknya. “Udah sana duduk aja.”

“Oh, oke.” Akhirnya Riana menurut. Lagipula yang tadi itu hanya basa-basi. Dia tahu jelas bagaimana kapasitasnya.

***

"Eh, ini aja?"

Tisha melihat kembali hasil karya tangannya. Ada tumis kangkung, tempe goreng, dan telur dadar. “Iya. Atau masih ada yang Teteh mau? Apa? Aku buatkan sekarang.”

“Bukan itu.”

Tisha mengangkat alis kanan. “Terus?”

“Ini dikit banget, kayaknya sekali makan kita sekarang bakal langsung habis, deh.”

“Emang sengaja bikin segitu.”

“Kok? Enggak nyiapin sekalian buat bekal ke sekolah?” Riana mengusap dagu. “Eh, kemarin juga kayaknya Teteh enggak lihat kamu siapin bekal. Kenapa?”

Tisha duduk, kemudian mengisi piringnya dengan nasi. “Dua minggu ini libur dulu. Gara-gara tantangan dari Teteh aku enggak ada waktu buat makan di sekolah.”

“Lha, kenapa?”

“Waktu istirahat habis di perpustakaan bareng Kak Sawala yang selalu mepet aku, jadi enggak akan sempat buat makan bekal.”

Setelah membuat bekalnya di hari Senin lalu menjadi sia-sia karena kebersamaannya dengan Sawala, Tisha memutuskan untuk libur dulu membawa bekal makanan berat. Dia menggantinya dengan susu kotak yang bisa diminum cepat sebelum pergi ke perpustakaan.

Riana mengernyit. “Emang Sawala melarang kamu makan?”

“Enggak.” Tisha menghela napas. “Dia malah suka ngajak makan baren.” Suaranya memelan di akhir.

“Jadi, masalahnya?”

“Itu ....” Tisha menggigit bibir bawah. “Aku bingung aja kalau tetap bawa bekal, gimana cara makannya di dekat Kak Sawala.”

“Gitu aja bingung.” Riana tertawa. “Ya, tinggal serok pake sendok terus masukin ke mulut.”

Tisha berdecak. Bahkan bayi sekalipun pasti tahu cara makan memang begitu. “Tapi bukan itu masalahnya. Aku ... cuma bingung aja kalau makan sendirian. Gimana, ya, males enggak enak gitu sama Kak Sawala.”

“Oh, segan?” Riana mengambil piring. “Ya udah, sih, tinggal tawarin aja. Toh, Teteh juga yakin dia enggak mungkin langsung nyerobot minta makananmu.”

Tisha mengeratkan pegangan pada sendok. Ah, sudahlah. Memang tak bagus untuknya membahas yang seperti ini dengan sang kakak. Sebab, kakaknya tak mungkin mengerti perasaannya yang selalu diliputi ketidaknyamanan saat harus berusaha berbagi dengan orang lain, walau hanya berembel basa-basi.

Akhirnya hening. Kakak-adik itu sibuk menyantap makanan. Setelah semua piring kosong, Riana kembali mengeluarkan suaranya. “Eh, baru ingat, Sawala titip pesan buat kamu, katanya hari ini berangkatnya agak pagian.”

Tisha yang sedang menumpuk piring memandang lurus Riana. “Kapan Teteh ketemu dia?”

“Enggak ketemu, tapi dia ada nge-chat tadi.”

“Tadi malam?”

“Bukan, tadi pagi, eh dini, eh apa, sih, itu? Pokoknya tadi, sekitar beberapa menit lalu, sebelum Teteh ke dapur.”

Tisha membatin. Jadi, ternyata bukan hanya Tisha yang bangun di jam dini begini. Riana dan Sawala juga melakukan hal yang sama. Namun, apa alasan mereka? Mungkinkah mereka juga memimpikan sesuatu menyesakkan seperti dirinya hingga enggan kembali memejamkan mata?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Premium
Dunia Tanpa Gadget
7845      2335     32     
True Story
Muridmurid SMA 2 atau biasa disebut SMADA menjunjung tinggi toleransi meskipun mereka terdiri dari suku agama dan ras yang berbedabeda Perselisihan di antara mereka tidak pernah dipicu oleh perbedaan suku agama dan ras tetapi lebih kepada kepentingan dan perasaan pribadi Mereka tidak pernah melecehkan teman mereka dari golongan minoritas Bersama mereka menjalani hidup masa remaja mereka dengan ko...
ASA
2781      1105     0     
Romance
Ketika Rachel membuka mata, betapa terkejutnya ia mendapati kenyataan di hadapannya berubah drastis. Kerinduannya hanya satu, yaitu bertemu dengan orang-orang yang ia sayangi. Namun, Rachel hanya diberi kesempatan selama 40 hari untuk memilih. Rachel harus bisa memilih antara Cinta atau Kebencian. Ini keputusan sulit yang harus dipilihnya. Mampukah Rachel memilih salah satunya sebelum waktunya ha...
Jelek? Siapa takut!
2113      1010     0     
Fantasy
"Gue sumpahin lo jatuh cinta sama cewek jelek, buruk rupa, sekaligus bodoh!" Sok polos, tukang bully, dan naif. Kalau ditanya emang ada cewek kayak gitu? Jawabannya ada! Aine namanya. Di anugerahi wajah yang terpahat hampir sempurna membuat tingkat kepercayaan diri gadis itu melampaui batas kesombongannya. Walau dikenal jomblo abadi di dunia nyata, tapi diam-diam Aine mempunyai seorang pac...
The Skylarked Fate
4097      1508     0     
Fantasy
Gilbert tidak pernah menerima takdir yang diberikan Eros padanya. Bagaimanapun usaha Patricia, Gilbert tidak pernah bisa membalas perasaannya. Seperti itu terus pada reinkarnasi ketujuh. Namun, sebuah fakta meluluhlantakkan perasaan Gilbert. Pada akhirnya, ia diberi kesempatan baru untuk berusaha memperbaiki hubungannya dengan Patricia.
Lebih dari Cinta Rahwana kepada Sinta
542      421     0     
Romance
Pernahkan mendengarkan kisah Ramayana? Jika pernah mendengarnya, cerita ini hampir memiliki kisah yang sama dengan romansa dua sejoli ini. Namun, bukan cerita Rama dan Sinta yang akan diceritakan. Namun keagungan cinta Rahwana kepada Sinta yang akan diulas dalam cerita ini. Betapa agung dan hormatnya Rahwana, raksasa yang merajai Alengka dengan segala kemewahan dan kekuasaannya yang luas. Raksas...
Cinta di Sepertiga Malam Terakhir
3702      1080     1     
Romance
Seorang wanita berdarah Sunda memiliki wajah yang memikat siapapun yang melihatnya. Ia harus menerima banyak kenyataan yang mau tak mau harus diterimanya. Mulai dari pesantren, pengorbanan, dan lain hal tak terduga lainnya. Banyak pria yang datang melamarnya, namun semuanya ditolak. Bukan karena ia penyuka sesama jenis! Tetapi karena ia sedang menunggu orang yang namanya sudah terlukis indah diha...
MAMPU
4154      1844     0     
Romance
Cerita ini didedikasikan untuk kalian yang pernah punya teman di masa kecil dan tinggalnya bertetanggaan. Itulah yang dialami oleh Andira, dia punya teman masa kecil yang bernama Anandra. Suatu hari mereka berpisah, tapi kemudian bertemu lagi setelah bertahun-tahun terlewat begitu saja. Mereka bisa saling mengungkapkan rasa rindu, tapi sayang. Anandra salah paham dan menganggap kalau Andira punya...
DI ANTARA DOEA HATI
703      343     1     
Romance
Setelah peristiwa penembakan yang menewaskan Sang mantan kekasih, membuat Kanaya Larasati diliputi kecemasan. Bayang-bayang masa lalu terus menghantuinya. "Siapapun yang akan menjadi pasanganmu akan berakgir tragis," ucap seorang cenayang. Hal tersebut membuat sahabat kecilnya Reyhan, seorang perwira tinggi Angkatan Darat begitu mengkhawatirkannya. Dia berencana untuk menikahi gadis itu. Disaa...
Rembulan
645      342     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
Gunay and His Broken Life
4551      1852     0     
Romance
Hidup Gunay adalah kakaknya. Kakaknya adalah hidup Gunay. Pemuda malang ini telah ditinggal ibunya sejak kecil yang membuatnya secara naluri menganggap kakaknya adalah pengganti sosok ibu baginya. Hidupnya begitu bergantung pada gadis itu. Mulai dari ia bangun tidur, hingga kembali lagi ke tempat tidur yang keluar dari mulutnya hanyalah "kakak, kakak, dan kakak" Sampai memberi makan ikan...