“Kalau ini di mana?”
Tisha memutar bola mata. Dia sebal dengan pertanyaan itu. Memang bukan dia yang ditanyai, tetapi karena dia menyaksikan kejadian serupa berulang-ulang di waktu berdekatan, dia jadi jemu. Ingin rasanya meneriaki orang yang mengerubungi Sawala agar mereka mencari sendiri.
Ya, akhirnya Tisha menemukan Sawala di salah satu lorong rak, tengah memberi petunjuk pada para pengunjung yang menanyakan letak buku. Dari teman seangkatan sampai adik-kakak kelas banyak menggunakan jasa Sawala. Tisha yang menontonnya capai sendiri. Namun, Sawala malah terus menunjukkan senyum keramahan.
Yang paling membuat Tisha jengkel adalah tidak semua yang ditolong Sawala tahu diri. Tisha perhatikan ada beberapa orang yang sesudah menerima bantuan main nyelonong menuju jalur keluar, tanpa terlebih dahulu mengapresiasi apa yang telah Sawala upayakan untuknya, walau dengan sekadar anggukan dan terima kasih.
Lagi-lagi Tisha tidak habis pikir karena Sawala hanya membiarkan semuanya. Seolah itu bukanlah apa-apa. Padahal bagi Tisha hal tersebut sangat mengusik ego. Andaikan dia yang ada di posisi itu, sudah pasti dia akan mencak-mencak dan mengatai mereka tidak tahu diri.
Beberapa menit berlalu, dan drama menjemukan itu pun berlalu. Benar sekali ternyata ucapan Sawala kala itu, bahwa yang berkepentingan hanya datang di lima belas menit awal. Sungguh kilat. Hingga setelahnya, ya ... lengang.
Akhirnya Tisha segera menegakkan punggung dan menjauh dari celah-celah rak buku non-fiksi yang dia jadikan tempat persembunyian untuk memperhatikan Sawala. Tisha bergerak pelan untuk mendekati Sawala yang sedikit lagi akan melewati area sana.
Sawala terkesiap saat menyadari keberadaan Tisha. Dia langsung menepuk kening lebarnya. “Astaghfirullah.”
Tisha jelas heran karena gestur tersebut. Namun, belum sempat mempertanyakan apa yang salah, Sawala sudah lebih dulu menangkupkan kedua tangan di dada dengan sorot mata yang .... Ah, Tisha benci mengatakannya, tetapi sorot itu kentara sekali menunjukkan penyesalan.
“Maaf, ya, Dek.”
Nah, kan ... perkiraan Tisha sangat tepat sasaran. Meskipun baru satu hari mengenalnya, tetapi Tisha sudah dapat mengingat kebiasaan Sawala–yang tidak Tisha sukai sebenarnya–yaitu selalu mengucap maaf tiba-tiba, dengan alasan yang .... Ah, terlalu random. Tisha menghela napas. Kali ini kira-kira apa lagi penyebabnya?
“Maaf karena keasyikan berinteraksi dengan pengunjung lain aku jadi melupakan kamu. Maaf banget, ya.” Mata Sawala mengedip lambat.
Ah, itu ternyata. Tisha menahan diri untuk tidak berdecak karena merasa itu tidak penting. Dia malah senang Sawala abaikan. “Enggak apa-apa, Kak.”
Huh, inilah yang menyebabkan Tisha tak menyukai kebiasaan Sawala untuk meminta maaf. Sebab, setelah itu Tisha jadi selalu membuat kebohongan yang bukan dia sekali. Padahal selama ini Tisha hobi berdecak dan mendengkus, tetapi kini dia malah harus berkamuflase menjadi sosok yang senantiasa berusaha menenangkan Sawala.
Aura Sawala yang teramat positif, bagai menarik untuk dikasih sayang, membuat Tisha jadi terlalu segan untuk sekedar menggores dengan sikapnya. Eh, Tisha mencubit tangan sendiri. Kok pikirannya jadi macam para jantan yang sedang merencanakan rayuan untuk betina begini, sih? Ih, Tisha bergidik sendiri dan menggeleng tanpa sadar.
“Dek!”
“Ah?” Tisha terkesiap karena tepukan Sawala di pundaknya. Dia meringis, yakin tadi Sawala telah mengatakan sesuatu, tetapi belum dia balas karena sibuk melamun. Oleh karena itu, Tisha pun berdeham dan berusaha mengonfirmasi. “Gimana, Kak?”
“Aku tanya kamu dari tadi di mana dan ngapain?”
Itu ... Tisha menggigit bibir dan meremas ujung kerudung. Tidak mungkin dia mengatakan bahwa sejak tadi berada di pojokan untuk menonton aksi Sawala. Egonya tidak mau dianggap kepo, meski memang dia penasaran.
“Oh!” Belum juga Tisha membuka mulut, Sawala sudah kembali bersuara. “Pasti tadi kamu habis hunting buku, ya? Kemarin juga kan kamu keliling-keliling lama di sini sampai kita enggak sempat ngobrol lagi karena keburu masuk. Pasti kamu sangat suka cuci mata dan mencium aroma buku kayak Bu Riana, ya?”
Tisha bersorak dalam hati. Baiklah, dia tidak akan munafik. Ada hal yang dia sukai dari Sawala, yaitu saat dia menjawab sendiri pertanyaaanya, sehingga Tisha yang kebanyakan gelagapan merasa sangat terbantu. Tisha yang sudah terlalu lama tidak mengobrol dengan orang asing bisa merasa nyaman-nyaman saja diserobot Sawala, karena dengan begitu dia tidak perlu terlalu keras memeras otak untuk mengada-ada jawaban. Akhirnya Tisha mengangguk cepat. Membuat mata Sawala jadi berbinar.
“Kalau gitu, ayo ikut aku.” Tiba-tiba Sawala meraih pergelangan tangan Tisha, sehingga Tisha terpaksa mengikutinya dengan terseok-seok. Sampai berhenti di ruangan lain yang berada tepat di belakang meja penjaga.
“Tada ...!” seru Sawala sambil melepas tangan Tisha. “Mari kita berpesta!”
Tisha mengangkat sebelah alis. “Pesta?” gumamnya heran karena di tempat yang baru dipijaknya itu tidak ada balon, dekorasi, apalagi kue. Yang ada malahan berbagai buku yang berserakan memenuhi lantai.
Sawala malah menanggapinya dengan anggukan antusias. “Iya, pesta. Ini semua buku yang baru datang. Kita bisa senang-senang, intip-intip isinya duluan sebelum yang lain.”
“Hah?” Tisha hanya bisa cengo. Bagaimana mungkin mengintip buku bisa menjadi hal semenyenangkan itu sampai Sawala mengganggapnya sebagai pesta. Tisha jadi bergidik.
“Lihat ini, Dek!”
Tisha tersadar. Dilihatnya Sawala sudah bersila di salah satu sudut sambil mengacungkan sebuah buku. Tisha pun mendekati Sawala. “Apa, Kak?”
“Lihat!” Sawala membuka jilidnya. “Ini tuh novel lama yang aku pengen banget baca, tapi enggak kutemui di toko-toko buku.”
Tisha hanya membulatkan mulut. Matanya memandang buku-buku yang kebanyakan masih terbungkus plastik itu tanpa minat. Sudah dia katakan bahwa dia tidak suka membaca. Dia hanya suka berpura-pura agar menjauh dari Sawala. Perlukah sekarang dia melakukannya lagi? Pura-pura apa enaknya, ya? Apa nyari buku untuk tugas?
Ah, Tisha menggeleng. Dia takut Sawala melapor ke Riana. Nanti, bisa-bisa kakaknya menganggap Tisha tidak mau lanjut tantangan. Akhirnya dia diam memperhatikan Sawala yang membaca sambil senyum-senyum.
Sekian menit berlalu, Tisha mulai bosan. Sampai tanpa sadar bergumam agak keras. “Emang boleh baca ini sebelum dibereskan ke rak?”
Sawala mengangkat wajah. “Boleh, asal jangan dibawa pulang. Soalnya kan belum ditandai.” Setelahnya dia menepuk kening. “Astaghfirullah! Tadi tuh sebenarnya aku ngajuin diri buat itu.”
Tisha mengernyit. “Apa?”
“Membereskan buku-buku ini. Aku tadi bilang sama ibu penjaga mau bantu, makanya beliau ngasih izin aku masuk sini.” Sawala melepas buku di tangannya sembari bangkit. “Aduh ... gegara keasyikan baca aku jadi lupa. Bentar, ya,” ucapnya gelisah sebelum menjauh dari sana.
Tidak lama kemudian Sawala kembali dengan beberapa barang. Dia segera kembali bersimpuh dan menggunakan gunting untuk memotong tali-tali rapia pengikat buku yang bertumpuk. Selajutnya dia menggunakan cutter untuk membuka plastik sampul buku satu per satu. Kemudian dia memilah-milah hasilnya.
Hati Tisha terusik karena melihat kedua tangan Sawala yang terus bergerak dengan teramat cekatan. Bukan, Tisha bukan iri. Perasaannya kini lebih seperti saat tadi melihat Sawala membawa banyak buku, kasihan dan ... membuatnya jadi ingin membantu.
Tisha mencubit tangan sendiri. Meyakinkan diri untuk tidak melakukan apa yang ada dalam pikirannya. Dia terus menyugesti untuk tetap tak acuh. Ayo, apatis saja, Tisha!