Loading...
Logo TinLit
Read Story - Fidelia
MENU
About Us  

London Bridge is falling down, falling down, falling down ...”

Kelihatannya tidak ada yang salah dari tempat ini.

Bunyi gemercik air terdengar samar. Angin berembus lembut, seolah menyisiri rambutku dengan aroma tropis. Kaki telanjangku merambah rerumputan yang basah oleh embun.

London Bridge is falling down, falling down, falling down ...”

Sebuah suara ceria seorang anak bergema di antara pepohonan raksasa di sekitarku. Nyanyian kecil itu agak fals nadanya, karena lumrah bagi anak-anak untuk belum mampu membidik nada dengan benar. Atau mungkin karena anak itu masih sangat kecil. Dari pendengaranku yang seorang pecinta paduan suara, agaknya anak itu baru saja belajar mengucapkan kata. Konsonan dan lafalnya berantakan; tapi aku suka suaranya.

Suara anak itu menimbulkan nuansa damai dan suci—seperti kain putih tak bernoda, lebih tepatnya—dan kupikir hal itu menjadi pelengkap yang harmonis untuk tempat seluas dan setenang hutan ini. Rasanya seperti mendengar nyanyian syahdu di gereja-gereja kuno Eropa yang pernah kulihat di televisi. Itu lho, yang anggota paduan suara anak-anaknya memakai seragam jubah putih dan bernyanyi a capela[1] di gedung berlangit-langit tinggi serta berkaca patri. Diiringi rasa penasaran, aku terdorong untuk menemukan anak yang bernyanyi itu. Akan menyenangkan untuk bernyanyi bersama, apalagi aku tahu beberapa lagu anak-anak berbahasa Inggris.

Aku terus berjalan, tak benar-benar tahu apa yang menggerakkan kakiku. Kusadari dengan lambat-lambat bahwa di sini aku tak sedang mengenakan kacamata minus empatku, tapi segala garis bentuk pohon dan semak tampak sama tajamnya seperti aku sedang berkacamata. Aku merasa bebas, tanpa lensa mika yang membatasi lapang pandangku, bisa melihat jelas ke mana pun bola mataku bergerak. Tubuhku terasa ringan, seringan bulu. Rasanya ingin menari, dan tanpa sadar aku pun berjalan sambil melompat-lompat. Sekarang tingkahku yang seperti anak kecil, padahal aku sudah berumur kepala dua.

London Bridge is falling down ... my fair lady.

Suara itu kedengarannya sudah dekat. Apa mungkin si anak ada di belakang batu dekat mata air itu? Aku berjalan mengitarinya dan nyaris mendapati intuisiku tepat.

Di luar dugaan, suara yang bernyanyi itu berhenti seketika saat aku melangkah ke belakang batu besar itu sambil berharap menemukan sesosok wajah anak kecil yang menyerupai malaikat. Tidak ada siapa-siapa di sana. Yang kutemukan bukanlah seseorang—bukan manusia, setidaknya—namun hanya sekelompok burung yang sedang mencari makanan di tanah.

Mendadak aku disergap perasaan tak enak. Tampaknya aku berbuat kesalahan dengan berada di tempat ini. Aku tidak seharusnya ada di sini. Aku bahkan tak tahu bagaimana aku bisa tahu itu. Di dalam pikiranku seolah ada yang meneriakkan peringatan yang terlambat.

London Bridge is falling down ...”

Aku melihat berkeliling dan tetap tak menemukan siapa pun. Di mana anak yang sedang bernyanyi itu?

“MY FAIR LADY!”

Sebuah seringai menyeramkan dari wajah yang pucat dengan rongga mata yang kosong muncul entah dari mana, tubuhnya meloncat ke arahku dengan tangan serupa cakar yang terulur—

—dan aku terbangun, menjerit sambil terengah-engah. Seorang wanita berbaju serbaputih bergegas masuk ke kamarku. Dia menggumamkan sesuatu yang tak dapat kupahami seraya membuka kotak yang ada di sebelah ranjang, sesekali menatapku ngeri.

Dia mencoba mencungkil mataku! teriakku sekencang mungkin, berusaha menegakkan tubuh.

Tapi gagal. Aku terikat dengan tali ke tempat tidur. Wanita itu bergumam lagi.

Mataku! Aku mulai menangis. Rasa nyeri di belakang kelopak mataku terasa sungguh nyata. Itu tadi tak mungkin hanya mimpi buruk.

Dua wanita lain masuk, saling bicara dengan melempar lirikan kasihan ke arahku, dan lagi-lagi aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Apakah tak hanya penglihatanku yang mau diambil, sekarang pendengaranku juga direnggut oleh mereka?

Wanita yang pertama memegang sebuah jarum suntik di tangannya.

Jangan. Tidak lagi. Aku tidak mau. Tolong. Kumohon!

Dua wanita yang lain memegangi tanganku, mencegahku untuk berontak. Jarum itu masuk ke bawah kulitku dan aku bisa merasakan cairan obat mengalir dalam darahku. Segera saja aku merasa kehabisan tenaga.

Kalau bukan Midazolam[2], mestinya obat dalam satu golongan yang sama, dengan efek secepat hitungan detik ini. Aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali mengembuskan jeritan putus asaku yang terakhir.

Aku menutup mata, berharap bahwa aku tak perlu bangun lagi besok.

Tapi hari esok selalu datang padaku tanpa belas kasihan.

*

London Bridge is falling down, falling down, falling down ... London Bridge is falling down, my fair lady.

Aku bahkan tak tahu apakah benar jembatan London yang membelah sungai Thames yang tersohor itu pernah runtuh lalu diperbaiki atau tidak. Bahkan siapa fair lady yang dimaksud dalam lagu itu. Rimanya terdengar menyenangkan untuk dinyanyikan, dan sepanjang sisa malam itu aku memimpikan bernyanyi seperti anak kecil yang sebelumnya.

Mengapa bisa pikiranku memilih lagu itu untuk muncul dalam mimpi buruk, barangkali akar penyebabnya ada pada sebuah film animasi Jepang yang pernah kutonton bertahun silam. Tokoh utama perempuannya diculik oleh seorang perempuan lain yang ingin membalas dendam pada teman laki-lakinya yang pernah berkhianat, dan si penculik menyanyikan lagu London Bridge is Falling Down itu seolah mengejeknya. Aku merasa seperti menjadi si tokoh utama perempuan yang adalah korban kejahatan dan tidak berdaya.

Mereka memperlakukanku seperti pasien skizofrenia.

Aku tahu bahwa skizofrenia tidak sama dengan gila; keduanya sama, menurut orang-orang, tapi sesungguhnya pikiranku tidak terganggu. Mereka membuat kesalahan dengan mengirimku ke rumah sakit jiwa.

Pagi itu aku bangun dengan ingatan akan kejadian malam sebelumnya sejelas garis awan di langit yang cerah. Seorang perawat membasuh tubuhku—ya, dengan tali yang masih mengikat di tangan dan kaki. Dia membuka bajuku lalu membersihkan badanku dengan kain basah. Pandang mataku yang sayu menelusuri tiap gerakannya di tubuhku yang kurus. Aku memang kurus dan tinggi, tapi seumur hidupku belum pernah aku kehilangan berat badan sebanyak ini. Bahkan kulitku tampak pucat dan sangat tidak sehat. Kapan terakhir kali aku bersepeda di bawah sinar matahari?

Aku tak pernah membayangkan akan berada di rumah sakit jiwa di sebelah sini; harusnya aku ada di apoteknya, memberi konsultasi tentang obat-obat antipsikotik, bukannya menjadi pasien dan malah disuntik dengan obat itu.

Aku seorang mahasiswa farmasi. Aku tahu tentang efek samping ekstrapiramidal dari antipsikotik generasi lama[3] dan jelas aku tak mau minum obat-obat semacam itu—tak pernah terbayangkan aku akan diberi obat itu secara intravena—dan aku hanya tinggal menunggu saja sampai efek samping itu muncul. Untungnya sampai saat ini aku belum mengalami tremor.

Belum.

Aku belajar tentang keselamatan pasien di kuliah, tapi orang-orang ini tak peduli dengan efek samping yang ekstrem terhadap sistem saraf pasiennya. Mereka juga mengadakan sesi terapi dengan konselor dan semacamnya, tapi soal obat, tidak boleh ada pasien yang melewatkan dosisnya. Maka semua obat diberikan lewat suntikan. Dengan begitu mereka bisa memastikan obat betul-betul masuk—berbeda dengan jika mereka memberikan tablet dalam wadah, yang jika lenyap isinya maka belum tentu obatnya berpindah ke perut pasien. Bisa saja masuk ke tempat sampah atau wastafel, atau, yang paling konvensional tapi juga paling bodoh, ke kolong tempat tidur.

Rumah sakit ini memang seketat yang aku tahu dari kakak tingkat yang pernah penelitian untuk tugas akhirnya.

Aku juga sudah akan mengerjakan tugas akhirku di fakultas farmasi dan sudah menjalani magang di apotek, puskesmas, dan rumah sakit. Jika ada yang bertanya padaku mengenai obat, aku akan memuaskan rasa ingin tahu mereka sesuai kebutuhan. Meski awalnya sulit, aku bekerja keras dengan memanfaatkan keunggulanku, kartu as yang sangat kubanggakan: memori.

Aku suka membaca buku dan sangat menikmati berjam-jam tenggelam dalam samudera informasi bahkan meski buku teks perpustakaan sebagian besar out-of-date. Dari teman-teman sekelasku, aku tahu di mana bisa mendapatkan buku-buku yang tidak tersedia di perpustakaan; dengan kata lain, buku-buku baru yang lebih up-to-date. Aku bukannya kontra dengan buku teks jadul, tapi terkadang orang perlu membandingkan apa yang ditemukan pada tahun 1974 dengan 2010. Di negaraku saja, buku kompendium obat bernama Farmakope yang tebalnya hampir setengah kardus Aqua diperbarui terakhir kali tahun 1995 (saat aku baru lahir!) dan sampai aku kuliah baru akan ada perbaruan lagi.

Tentang cara mendapat buku, umumnya ada dua cara, di mana yang satu adalah cara primitif (beli ke toko buku) sedangkan satunya melibatkan kedekatan dengan kakak tingkat yang (mungkin) dengan senang hati menghibahkan buku-bukunya, atau membanting harga semurah mungkin atas dasar belarasa sesama mahasiswa perantauan yang perlu mengirit uang saku. Untuk yang belakangan ini, biasanya kakak tingkat juga kasihan, daripada bikin orang dilema memilih untuk beli buku Kimia Organik atau beli tahu terik.

Bagaimana soal informasi dari dunia maya? Bahkan buku teks masih ketinggalan beberapa tahun dibandingkan artikel di internet, dan untuk ini aku cukup bangga karena punya solusinya. Bukannya aku langganan majalah berbayar atau semacamnya; kalau majalah digital gratis, tentu saja. Pesatnya kemajuan teknologi selama belasan tahun terakhir membuat lautan informasi bisa diselami sejauh apa pun tanpa kenal batas negara. Kendala bahasa memang ada, tapi bagiku, yang dibesarkan oleh orang tua yang mengajar bahasa Inggris, itu bukan tantangan yang berat.

Di luar jurusan kuliahku, aku punya cukup banyak teman di sini, di Kota Pelajar, di mana bisa ditemukan makanan tradisional dari nangka dan beragam mahasiswa nomaden dari berbagai kota. Aku tinggal di asrama khusus mahasiswi dan dari situ saja aku punya bermacam-macam kenalan. Aku percaya bahwa orang memerlukan orang lain untuk bisa sukses, dan menjalin banyak relasi sesungguhnya bukan hal yang mudah buatku, karena orang bilang aku introvert.

Ya, aku lebih suka membaca buku di rumah waktu akhir pekan. Aku bersyukur kalau hari hujan sehingga aku tak perlu bepergian. Aku hanya bicara jika diperlukan. Betul-betul personifikasi dari definisi introvert sejati.

Itu dulu, ketika masa sekolah. Aku bertekad untuk membuka diriku dan berhasil membuktikan bahwa seseorang sepertiku pun bisa aktif: kegiatan asrama, kepanitiaan di fakultas, dan klub paduan suara di universitas. Aku paling menikmati kegiatan yang terakhir. Teman-teman dari berbagai daerah, semuanya suka bernyanyi. Tiga kali dalam seminggu kami berlatih aneka lagu berbagai genre dan bahasa. Kami bahkan diperbolehkan membawa pulang teks musiknya—kukumpulkan dan kutunjukkan pada orang tuaku tiap kali aku pulang ke rumah.

Orang tuaku juga suka bernyanyi, bahkan mereka memberi nama anak bungsu mereka ini dengan sebuah kata kerja berbahasa asing yang artinya sama. Tentu saja cita-cita mereka juga agar anak mereka menjadi seperti apa yang mereka doakan dalam pemberian nama itu. Seperti orang bilang, nama adalah doa, bukan?

Di Paduan Suara Mahasiswa, kami mengadakan konser mini tiap akhir tahun dan beberapa dari kami ikut serta dalam kompetisi paduan suara kelas tinggi—bahkan di luar negeri—meskipun, aku belum pernah terpilih. Tapi, menjadi anggota dari sebuah komunitas yang prestisius untuk setahun saja sudah cukup bagi harga diriku yang diam-diam ambisius.

Ya, aku punya banyak ambisi namun tak pernah mengkoar-koarkannya pada banyak orang. Hanya segelintir orang yang kupercaya yang kubagi cerita tentang impian-impianku. Tapi aku lupa bahwa orang juga perlu untuk mendengarkan cerita orang lain di samping berbicara tentang ceritanya sendiri, dan untuk kesalahan yang besar ini aku betul-betul menyesal.

Karena kemudian kesialan menimpaku tanpa kusadari, dan di sinilah aku berakhir sekarang, gagal meraih gelar sarjana yang tadinya sudah dekat.

Berulang kali aku bilang bahwa aku tidak gila.

Tapi aku mengkhayalkan makhluk-makhluk yang tidak nyata: seorang anak botak tanpa mata yang bisa bernyanyi dengan suara malaikat, seorang wanita bersayap peri dengan buku hitam bersampul bulu, dan seorang pria dengan rok kilt yang membawa terompet.

Di abad ke-21 ini, di mana media sosial dan telepon pintar seolah jantung bagi masyarakat, orang tidak akan percaya adanya makhluk-makhluk negeri dongeng. Omong kosong. Mereka hanya ada di buku-buku cerita bergambar anak-anak atau novel-novel fantasi. Aku tahu itu, tapi aku melihat mereka. Aku juga mendengar mereka. Bahkan menyentuh mereka—dan dilukai oleh salah satu dari mereka. Seperti tadi malam. Kalau mereka sesungguhnya tidak nyata, lalu dari mana sumber rasa sakit yang kurasakan di belakang mataku? ‘Kan tidak mungkin aku sendiri yang mencakar mataku, karena tanganku bahkan tak bisa digerakkan? Aku dirawat sendirian di kamar itu dan, sekali lagi menurut testimoni kakak tingkatku, penjagaan rumah sakit ini sedisiplin sekolah militer.

Aku tak bisa paham mengapa makhluk-makhluk serupa-manusia-tapi-bukan itu juga menampakkan diri dalam mimpiku. Mereka biasanya muncul begitu saja di dunia nyata, persis seperti kemunculan jin dalam botol di dongeng lokal, tapi sangat jarang ada orang yang bisa melihat mereka.

Saat ini aku tak bisa menemukan orang lain yang bisa melihat apa yang kulihat. Persyaratannya sangat langka ... bukannya ini berbau mistis seperti pekerjaan dukun atau orang harus jadi indigo untuk bisa melihat mereka—aku bahkan bukan keduanya. Syarat ini juga bukan ditempuh dengan cara meditasi atau puasa tujuh hari tujuh malam atau semacam itu. Ini tak ada hubungannya, sama sekali, dengan hal-hal tentang agama.

Seperti yang kubilang tadi, syaratnya hanya ... sesuatu yang langka.

Aku pernah merasa bersyukur karena aku memiliki hal yang langka itu, tapi kini, dengan tidak ada apa pun yang menanti di masa depanku selain tembok rumah sakit dan kekacauan saraf, aku mulai marah. Apakah aku dikutuk untuk tinggal dalam sangkar burung seperti ini sementara harusnya aku sudah menjadi apoteker yang hebat di luar sana? Orang tuaku, kakak laki-lakiku, teman-teman dekatku, bahkan pacarku—aku sudah punya pacar, percayalah—mereka semua tak percaya padaku. Mereka terus datang untuk menengokku, mencoba bersimpati dan memahami kondisiku, tapi yang kubutuhkan bukanlah rasa kasihan atau simpati.

Kecuali ... jika memang tidak ada yang bisa melihat mereka, mungkin saja benar bahwa pikiranku yang sakit.

Tapi kalau tidak benar ... kalau tidak benar, dan pikiranku sehat, dan semua itu nyata tapi tak ada yang percaya? Apa yang bisa kulakukan? Seandainya saja hal yang satu itu tidak pernah terjadi, hidupku pasti sangat jauh berbeda sekarang.

---

[1] Bernyanyi tanpa iringan musik.

[2] Salah satu obat sedatif/penenang.

[3]Antipsikotik: obat untuk gangguan psikotik seperti skizofrenia. Efek ekstrapiramidal: sekumpulan gejala yang merupakan efek samping dari antipsikotik generasi lama; generasi baru tidak banyak menimbulkan efek ini. Salah satu efeknya adalah tremor/gemetar.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dark Fantasia
5252      1554     2     
Fantasy
Suatu hari Robert, seorang pria paruh baya yang berprofesi sebagai pengusaha besar di bidang jasa dan dagang tiba-tiba jatuh sakit, dan dalam waktu yang singkat segala apa yang telah ia kumpulkan lenyap seketika untuk biaya pengobatannya. Robert yang jatuh miskin ditinggalkan istrinya, anaknya, kolega, dan semua orang terdekatnya karena dianggap sudah tidak berguna lagi. Harta dan koneksi yang...
My Perfect Stranger
9174      3394     2     
Romance
Eleanor dan Cedric terpaksa menjalin hubungan kontrak selama dua bulan dikarenakan skandal aneh mengenai hubungan satu malam mereka di hari Valentine. Mereka mencurigai pelaku yang menyebarkan gosip itu adalah penguntit yang mengincar mereka semenjak masih remaja, meski mereka tidak memiliki hubungan apa pun sejak dulu. Sebelum insiden itu terjadi, Eleanor mengunjungi sebuah toko buku misteri...
Mic Drop
981      529     4     
Fan Fiction
Serana hanya ingin pulang. Namun, suara masa lalu terus menerus memanggilnya, dan tujuh hati yang hancur menunggu untuk disatukan. Dalam perjalanan mencari mic yang hilang, ia menemukan makna kehilangan, harapan, dan juga dirinya sendiri. #bangtansonyeondan #bts #micdrop #fanfiction #fiction #fiksipenggemar #fantasy
Veintiséis (Dua Puluh Enam)
838      460     0     
Romance
Sebuah angka dan guratan takdir mempertemukan Catur dan Allea. Meski dalam keadaan yang tidak terlalu baik, ternyata keduanya pernah memiliki ikrar janji yang sama sama dilupakan.
Night Wanderers
18160      4233     45     
Mystery
Julie Stone merasa bahwa insomnia yang dideritanya tidak akan pernah bisa sembuh, dan mungkin ia akan segera menyusul kepergian kakaknya, Owen. Terkenal akan sikapnya yang masa bodoh dan memberontak, tidak ada satupun yang mau berteman dengannya, kecuali Billy, satu roh cowok yang hangat dan bersahabat, dan kakaknya yang masih berduka akan kepergiannya, Ben. Ketika Billy meminta bantuan Julie...
Of Girls and Glory
4301      1703     1     
Inspirational
Pada tahun keempatnya di Aqiela Ru'ya, untuk pertama kalinya, Annika harus berbeda kamar dengan Kiara, sahabatnya. Awalnya Annika masih percaya bahwa persahabatan mereka akan tetap utuh seperti biasanya. Namun, Kiara sungguh berubah! Mulai dari lebih banyak bermain dengan klub eksklusif sekolah hingga janji-janji yang tidak ditepati. Annika diam-diam menyusun sebuah rencana untuk mempertahank...
Be Yours.
3115      1457     4     
Romance
Kekalahan Clarin membuatnya terpaksa mengikuti ekstrakurikuler cheerleader. Ia harus membagi waktu antara ekstrakurikuler atletik dan cheerleader. Belum lagi masalah dadanya yang terkadang sakit secara mendadak saat ia melakukan banyak kegiatan berat dan melelahkan. Namun demi impian Atlas, ia rela melakukan apa saja asal sahabatnya itu bahagia dan berhasil mewujudkan mimpi. Tetapi semakin lama, ...
Ayugesa: Kekuatan Perempuan Bukan Hanya Kecantikannya
7830      2394     204     
Romance
Nama adalah doa Terkadang ia meminta pembelajaran seumur hidup untuk mengabulkannya Seperti yang dialami Ayugesa Ada dua fase besar dalam kehidupannya menjadi Ayu dan menjadi Gesa Saat ia ingin dipanggil dengan nama Gesa untuk menonjolkan ketangguhannya justru hariharinya lebih banyak dipengaruhi oleh keayuannya Ketika mulai menapaki jalan sebagai Ayu Ayugesa justru terus ditempa untuk membu...
Dialog kala Hujan
604      451     3     
Short Story
Teman sekelas yang berbincang ketika hujan sedang turun deras.
Antara Tol dan Nasi Bebek
34      32     0     
Romance
Sebuah kisah romantis yang ringan, lucu, namun tetap menyisakan luka dalam diam.