Loading...
Logo TinLit
Read Story - Fidelia
MENU
About Us  

Semuanya bermula tiga setengah tahun yang lalu.

Langit masih gelap saat tukang kebun membuka pagar dan berjalan masuk ke halaman luas itu, tak menyadari keberadaan dua gadis yang mengendap-endap dari pintu depan—barangkali aku dan Kristin memang ditakdirkan jadi partners in crime padahal kami baru saling kenal sebulan terakhir. Lampu-lampu telah dimatikan karena hari sudah pagi, dan setelah beraksi kami bersembunyi di balik semak mawar untuk menghindari si tukang kebun. Malang bagi kami, ternyata pria paruh baya itu melihat kami.

“Kalian berdua, ngapain di situ pagi-pagi begini?”

Dan kami tak punya pilihan selain bicara yang sebenarnya—kalau tidak, kami betulan bakal dijuluki pencuri. Padahal apa yang aku dan Kristin lakukan hanya mengambil beberapa kuntum mawar dari kebun itu untuk tugas OSPEK.

“Err, selamat pagi, Pak Teguh,” Kristin bicara cepat-cepat. “Kami mau berangkat ke kampus.”

“Oo iya, kalian anak baru, ‘kan?” Dia mengamati atribut kami yang tampak lucu—caping petani, kartu pengenal buatan sendiri, serta rambut yang dikucir dua dengan pita merah-putih. Dan, jangan lupakan sebuah tas dari kantong semen di punggung kami.

“Iya, Pak,” aku menyahut sambil meringis. “Maaf Pak, kami udah hampir telat ....”

“Apa itu yang kalian sembunyikan?” Suara Pak Teguh yang memegang sapu terdengar curiga.

Uh-oh. Pak Teguh mesti sangat bersyukur punya sepasang mata elang yang begitu jeli mengenali gerak-gerik tersembunyi dari sepasang pencuri—atau itu berkat pengalamannya mengabdi di asrama selama beberapa dekade. Tapi tidak, Kristin dan aku bukan pencuri. Kami sudah berniat minta izin pada Suster Eva setelah kami pulang siang nanti ....

“Kami perlu mawarnya Pak, soalnya untuk atribut OSPEK hari ini,” Kristin menjelaskan dengan singkat sambil mengeluarkan mawarnya, jelas sama-sama tidak ingin dipanggil pencuri.

“Ka-kami minta maaf karena ngambil tanpa izin, Pak!” Aku membungkuk dengan perasaan malu.

Pak Teguh memandangi kami satu per satu lalu tertawa.

“Nah, ‘gitu, dong. Saya nggak nuduh kalian, kok. Tapi, selalu bilanglah dulu kalau kalian perlu bunga.” Dia tersenyum lebar, senyuman khas Pak Teguh yang membuatku hapal dengan wajahnya sebulan ini, hingga garis-garis di sekitar matanya tampak makin jelas sementara mata itu sendiri tampak seperti terpejam. Mungkin karena banyak tersenyum itulah maka tukang kebun kami belum tampak seperti lansia padahal tahun depan sudah akan pensiun.

“Anda baik sekali, Pak Teguh,” ujar Kristin.

“Terima kasih, Pak Teguh. Kami pamit dulu,” sambungku.

“Ya, hati-hati di jalan, kalian berdua ... eh, tunggu dulu. Saya ini payah kalau hal mengingat-ingat nama, apalagi anak baru.” Dia tertawa malu-malu.

Kristin dan aku ikut tertawa.

“Saya Kristin, Pak.”

“Dan saya Ashira.”

“Kristin dan Ashira, ya ...” Pak Teguh bergumam, tampaknya berusaha merekam nama dan wajah kami dalam ingatannya. Lalu dia memandangiku lekat-lekat. “Ashira, dari bahasa Arab kah?”

Aku menggeleng. “Bahasa Ibrani, Pak. Orang tua saya suka bahasa-bahasa asing.”

“Dan, Mbak Ashira juga kuliah bahasa?” Lagi-lagi Pak Teguh mencermati seragam kami, yang memiliki logo universitas.

“Nggak juga, Pak. Saya di jurusan farmasi,” sahutku geli.

Pak Teguh manggut-manggut. “Farmasi. Berarti meracik obat?”

Aku mengiyakan.

“Kalau Mbak Kristin, kuliah apa?”

“Saya di Hubungan Internasional, Pak.”

Tampaknya Pak Teguh tidak terlalu paham soal jurusan kuliah Kristin. Dia manggut-manggut sekali lagi sambil bertelekan sapunya.

“Baiklah, Mbak Kristin dan Mbak Ashira. Selamat OSPEK dan hati-hati di jalan. Sekarang saya harus mulai menyapu atau saya bakalan dimarahi Suster.” Pak Teguh membuat mimik ketakutan yang lucu dan membuat kami tertawa bersama.

“Da-dah Pak Teguh!”

“Terima kasih banyak ya, Pak!”

Berikutnya, aku dan Kristin harus berlari sepanjang jalan sampai ke kampus karena percakapan dengan si tukang kebun telah menghabiskan sepuluh menit kami yang berharga. Kami bahkan tak sempat merutuki tangan yang kena gores duri saat terburu-buru memetik mawar itu. Atau sebaiknya memang tak perlu merutuk. Seperti kutipan oleh Abraham Lincoln yang pernah kubaca, kita dapat mengeluh karena mawar memiliki duri, atau bersukacita karena semak duri memiliki mawar.

*

Kristin adalah salah satu teman pertamaku di asrama. Sama sepertiku, dia juga mahasiswi baru dan kami juga satu kampus. Meskipun jurusan kuliahnya, Hubungan Internasional, ada di sisi timur kampus dan jurusanku ada di sebelah barat, tapi selama belum mulai kuliah kami sudah akrab karena berbagi ruang cuci bersama. Kristin sudah pernah indekos waktu SMA sehingga lebih tahu tips dan trik perihal cuci baju, tak sepertiku yang sedari lahir selalu satu rumah dengan orang tua dan kebingungan ketika busa deterjen di baju tak kunjung hilang meskipun sudah dibilas air. Gengsi kalau bertanya pada senior di asrama, akhirnya aku belajar banyak dari Kristin.

Ketika aku bilang asrama, asrama yang satu ini bisa dibilang legendaris. Asrama tempatku tinggal sudah berusia lebih dari tujuh dekade, dikelola oleh sebuah kongregasi biarawati, dan terkenal seantero Kota Pelajar dengan auranya yang angker berkat bangunan tua zaman penjajahan Belanda. Aku juga tidak tahu dari mana isu itu pertama kali beredar, tapi orang-orang yang bertanya padaku di mana aku tinggal di Kota Pelajar selalu jadi tampak sedikit takut. Aku sendiri sih, belum pernah melihat hantu selama sebulan aku tinggal di asrama.

“Tapi beneran ada, tahu! Aku pernah lihat Mbak-mbak berambut panjang bergaun putih yang kakinya nggak menapak di lantai. Di sana, dekat kantor Suster Eva.”

“Jangan-jangan kamu baru bangun tidur? Yang kamu lihat, ya, Suster Eva mestinya.”

“Bukan, lah! Buktinya, aku nggak merinding.”

“Lho, kok, malah nggak merinding?”

“Kalau beneran Suster Eva bakal merinding, lah! Suster Eva, ‘kan, nyeremin!”

Yang barusan, sih, adu argumen dua orang senior di asrama yang berakhir dengan dagelan yang ambigu. Jadi, lebih seram mana, hantu atau Suster Eva?

Seluruh penghuni asrama adalah perempuan—para mahasiswi, tidak termasuk beberapa karyawan laki-laki yang tiap hari pulang-pergi ke rumah masing-masing. Kami para mahasiswi berasal dari berbagai pulau di nusantara, dan aku sendiri berasal dari pulau yang sama, yang membuatku cukup bersyukur tak perlu melintasi laut untuk kuliah.

Kampusku sendiri termasuk dalam jajaran universitas terbaik negeri, bagaimana mungkin aku tak bersyukur dapat lulus seleksi masuknya berdasarkan nilai rapor? Sebuah tempat baru untuk belajar, kumpulan orang-orang baru untuk dikenal, dan sekelebat masa depan untuk diraih. Sebuah berkat sekaligus tantangan prestisius.

Jalan panjang yang dilalui Kristin tak semulus pengalamanku. Dia sebetulnya ingin menjadi polisi wanita—syukurlah dia punya badan yang tinggi dan proporsional—tapi orang tuanya tidak setuju. Mereka tidak mau putri tunggal mereka bekerja di bidang yang berbahaya. Jadi, bisa dibilang, masuknya Kristin ke kampus kami lebih bersifat paksaan dari orang tuanya karena tentu yang bersangkutan sebetulnya ingin ikut ujian masuk di akademi polisi. Kristin sendiri, karena bisa berpikir dewasa dan setuju untuk tidak membuat orang tuanya cemas dengan pekerjaannya di masa depan, memilih kuliah di Hubungan Internasional. Dia punya ketertarikan terhadap budaya dan orang-orang dari luar negeri, juga cukup terampil menulis untuk media. Pekerjaannya akan berada di kubikel kantor dan kedutaan, dalam lingkaran rasa aman. Dan atas dasar syarat keamanan yang sama, Kristin harus masuk asrama selama kuliah.

Meski kami baru saling mengenal selama kurang-lebih sebulan, aku sudah tahu sebanyak itu tentang latar belakang Kristin memilih jurusan kuliahnya di Kota Pelajar. Sebagai gantinya, aku bercerita padanya tentang keluargaku—bahwa orang tuaku mendukung apa pun pilihanku untuk studi, bahwa jarak rumahku ke Kota Pelajar cukup dekat sehingga aku bisa sering pulang atau mereka yang datang mengunjungiku sekitar dua kali sebulan, dan bahwa aku punya dua kakak laki-laki yang sudah bekerja di Ibukota. Perihal jurusan yang kupilih untuk kuliah, kubilang aku suka hal-hal berbau medis tapi takut melihat darah, dan menurutku farmasi adalah pilihan yang memenuhi daftar persyaratan yang kubuat sendiri itu.

Seperti yang kuceritakan sebelumnya, aku dan Kristin bukan teman sekamar tapi kami sering mencuci bersama. Obrolan random sembari mencuci, mulai dari novel legendaris The Lord of the Rings dan Harry Potter sampai musisi klasik macam Chopin dan Beethoven, lambat laun mendekatkan kami. Sejak awal masuk asrama aku merasa janggal dan barangkali sedikit homesick, mestinya karena belum pernah jauh dari rumah dan kalau begitu terus, orang bisa depresi. Aku sudah bertekad untuk punya banyak teman di sini, karena inilah rumahku—rumah kedua-ku—di Kota Pelajar. Aku masuk asrama atas pilihanku sendiri, pilihan dengan penuh kesadaran, karena aku belum pernah tinggal berpisah dari orang tua dan aku ingin membuktikan diri bisa hidup mandiri. Tapi tentu saja aku perlu orang untuk menjagaku.

Orang-orang bilang aku pendiam dan sulit berteman. Tidak tepat begitu sebenarnya, karena aku bisa akrab dengan orang yang punya kesamaan denganku. Contohnya, Kristin.

Di minggu pertama tinggal di asrama, aku tahu bahwa Kristin juga suka bernyanyi. Dia biasanya menggelar konser tunggal di kamar mandi, hampir sama sepertiku, tapi nyanyiannya lebih indah dan jauh lebih lantang dariku sampai-sampai juru masak di dapur di bagian depan asrama bilang bisa mendengar gemanya saat sedang mencacah daging.

“Kukira ada yang nyetel The X Factor[1] di TV, tapi kulihat TV-nya mati.”

Demikian testimoni Mbak Beta, juru masak asrama. Sebagai tambahan informasi, ya, ada televisi di asrama. Tepatnya di ruang tamu yang di waktu tertentu beralih fungsi sebagai ruang makan.

Sebagian besar lagu yang dinyanyikan Kristin adalah lagu Gregorian. Kalau bukan itu, seriosa. Wah! Sudah seperti Sarah Brightman, penyanyi sopran yang tenar itu. Sementara aku juga suka aliran Gregorian dan seriosa seperti halnya suka musik klasik, ada satu hal yang membedakanku darinya. Aku juga menyukai budaya Jepang termasuk lagu-lagunya, terutama yang bernama visual kei. Mereka menyanyikan lagu semacam rock dengan selipan musik klasik yang membingungkan jika didengarkan sekilas tapi justru di situlah daya tariknya. Dan kostum panggung mereka, wow, betulan kostum ala abad pertengahan. Aku sendiri tertarik pada genre unik ini karena kakak tertuaku, Faber. Dia punya banyak koleksi lagu itu di laptopnya dan suatu hari saat dia menyetelnya keras-keras aku jadi penasaran. Ketika aku cerita pada Kristin soal visual kei, dia juga jadi tertarik—lebih karena unsur klasiknya daripada musik cadasnya, tentu. Dan, kalau sudah ngobrol seputar musik di teras, kami bisa baru sadar hari sudah berganti setelah lewat beberapa jam.

Di minggu ketigaku di asrama, aku dan Kristin menjadi sibuk akibat tugas OSPEK dari universitas dan dari fakultas (dan jurusan, untuk kasus Kristin. Jadi dia akan OSPEK tiga kali!) tapi yang menjadi prioritas lebih dahulu adalah tugas-tugas di tiga hari pertama.

Kancing-mawar salah satunya. Tiap mahasiswa harus memasang sekuntum mawar segar di kancing teratas kemejanya. Mawarnya harus segar, itu yang bikin susah. Memang kebiasaan yang sudah ngoyot[2] untuk mengerjai anak baru. Untungnya, Suster Eva punya deretan semak mawar merah di kebun asrama. Kudengar teman mahasiswa yang lain patungan belasan orang sekaligus untuk membeli buket mawar segar di toko bunga. Malang sekali nasib buket itu, dibeli dan langsung dicampakkan setelah dicabuti kuntum mawarnya.

Kami tahu harusnya kami minta izin pada Suster Eva lebih dulu sebelum memetik mawarnya, tapi kami dengar bahwa Suster sedang retret di kota sebelah dan kami tak bisa menghubunginya—umumnya dalam kegiatan yang demikian, ponsel harus dimatikan. Pilihan kami hanya mengambil mawar itu sebelum matahari terbit supaya tidak ada yang melihat, baru setelahnya kami bilang pada Suster Eva. Tapi, Pak Teguh yang rajin, yang sudah menginjakkan kaki di kebun asrama jam lima pagi, luput dari perhitungan kami.

Pak Teguh sudah hampir umur kepala enam, dan, meski begitu, adalah karyawan asrama yang paling ceria. Saat ini, ada sekitar sepuluh karyawan di asrama termasuk juru masak, tukang kebun, dan tukang listrik yang merangkap petugas kebersihan. Pak Teguh tampaknya adalah yang tertua. Sejauh ini, aku hanya bisa mengingat namanya dan nama Mbak Beta, juru masak termuda yang adalah favoritku karena kadang membolehkanku mencicip sedikit masakan tiap aku pulang bepergian—dia barangkali kasihan melihat aku yang kurus ini naik sepeda ke mana-mana.

“Kok, nggak naik motor aja, Ashira?” Pernah dia bertanya.

“Hehe. Biar sehat, Mbak,” sahutku sambil memasang cengiran. Keluargaku harus menabung kalau ingin membelikan sepeda motor sebuah lagi untukku. Bisa tinggal di asrama ini saja sudah merupakan penghematan besar-besaran bagiku untuk kuliah di Kota Pelajar. Biaya kuliahku pun, dibantu oleh salah seorang saudara Papa yang tinggal di Ibukota.

Selain Pak Teguh dan Mbak Beta, orang dewasa di asrama yang kuingat namanya hanyalah Suster Eva. Dialah yang mewawancaraiku saat akan masuk asrama dan aku tak akan melupakan sorot mata yang dimakan usia namun tetap tajam itu. Seolah dia bisa melihat menembus jiwaku—kedengarannya konyol, tapi itu kata yang tepat. Karena dia bilang begini,

“Kamu ini banyak diberkati. Jadi harus banyak berbagi berkat. Tapi, jangan terbeban oleh ambisimu sendiri.”

Ambisiku untuk punya banyak teman di asrama rupanya dihadang oleh badai. Ada sekitar enam puluhan identitas yang harus kuingat-ingat, kalau tidak mau dicap sebagai anak baru cuek yang sombong.

Aku merancang sendiri caraku untuk mengingat: mengasosiasikan orang yang bersangkutan dengan segala hal yang familier denganku. Untuk Kristin, aku akan mengingat Christine, tokoh utama wanita dalam cerita Phantom of the Opera yang suaranya indah (tapi Kristin dan aku, ‘kan, memang dekat, jadi itu tidak dihitung). Mutiara punya kulit yang cerah seperti namanya. Natasha cantik dan suka berdandan, seperti nama layanan skincare. Aku sendiri sampai bosan menjelaskan pada orang yang asing terhadap namaku.

“Ashira dari bahasa Ibrani, artinya ‘aku hendak bernyanyi’.”

Kalau yang bertanya seorang Nasrani, akan kujelaskan sekalian dari mana asalnya kata itu, yaitu Kitab Keluaran. Tapi lama-lama aku bosan dan hanya menyampaikan arti harfiahnya saja, membiarkan preferensi masing-masing yang meneruskan.

Kadang aku berpikir bahwa selera orang tuaku dalam memberi nama anak-anaknya aneh sekali, tapi entah mengapa, doa yang terselip dalam nama itu selalu terkabul. Anak pertama mereka, laki-laki, diberi nama Faber yang dalam bahasa Latin artinya ‘tukang besi’ dan dia sekarang bekerja sebagai arsitek. Kakakku yang tengah, laki-laki juga, namanya Jaeger, bahasa Jerman yang berarti ‘pemburu’, orangnya kini di kantor pajak pemerintah dan tiap hari berkutat dengan pejabat politik. Kupikir butuh keberanian seorang pemburu untuk terjun ke dunia politik.

Apa pun itu, aku memang percaya bahwa nama adalah doa.

*

Mawar di lubang kancingku dan di baju Kristin tampak mewah. Warna kuntumnya cerah dan tampaknya memang sudah mekar dengan utuh saat kami memetiknya—lalu dengan semena-mena kami menusuknya dengan peniti agar lekat pada baju, karena dengan hanya diselotip jelas tak akan menempel sampai sore. Tapi, siapa sih, yang bakal memerhatikan mawar kecil seindah apa pun di baju mahasiswa baru saat fokus semua orang tertuju pada ketua panitia yang sedang bicara di panggung? Segelintir mahasiswa datang terlambat paginya—untungnya aku dan Kristin tidak termasuk di antaranya—dan mereka sedang dikuliahi tentang kedisiplinan di pojokan lapangan kampus. Sekitar delapan ribu sisanya, yang berhasil datang sebelum waktunya, berkumpul di bagian tengah. Pemandangan yang direkam oleh drone dari atas akan berupa lautan mahasiswa dengan caping petani berbaris di lapangan berumput hijau.

Matahari merangkak perlahan ke tahtanya di langit, dan selama prosesnya, panas membakar ribuan mahasiswa yang jadi bersyukur akan adanya topi caping di kepala yang tak lagi terasa konyol. Hawa panas dan jumlah orang yang terlalu besar membuat diperlukan waktu yang lama sebelum kami semua bisa diam. Budaya khas yang amat buruk—bicara saat orang lain bicara, padahal manusia dianugerahi dua telinga dan satu mulut, bukannya sebaliknya.

Dari lapang pandangku yang terbatas oleh kacamata minus dua setengah, aku bisa melihat barisan terpisah yang kukira adalah mahasiswa pertukaran dari berbagai negara. Beberapa dari mereka mengenakan pakaian tradisional negara masing-masing. Yang agak lucu, ada mahasiswa yang kuduga dari Skandinavia atau sekitarnya karena mengenakan jaket parka dan topi bulu (topi itu dilepasnya dan dikipas-kipaskannya dengan putus asa. Malang sekali mereka tidak mengenakan caping.) Ada juga seorang mahasiswi dengan gaun lebar dan bandana tulip di rambutnya, serta mahasiswa berbadan gempal dengan rok kilt yang panjangnya selutut khas Skotlandia. Dan, ya ampun, ada satu dari mereka yang mengenakan kimono! Ada orang Jepang di kampusku!

Sempurna. Ini hari pertamaku di universitas dan aku sudah punya banyak hal untuk ditulis di blog-ku. Pikiranku segera bekerja selagi aku mempelajari sosok-sosok mahasiswa dari berbagai belahan dunia itu sambil menebak-nebak negara asal mereka.

Apakah Kristin juga melihat mereka? Kristin dan teman-temannya di jurusan Hubungan Internasional akan jadi narahubung mereka, bukan? Akan sangat menarik kalau bisa mengenal para mahasiswa asing itu selama mereka belajar di negeri ini.

Segera saja pikiranku berkicau, Hei, Ashira, jangan lupa, sebelum kau menulis cerita di blog-mu sepulang dari kampus nanti, kau dan Kristin harus menghadap Suster Eva perihal bunga mawarnya!

---

[1] Salah satu ajang pencarian bakat menyanyi.

[2] Bahasa Jawa: mengakar kuat.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
When Flowers Learn to Smile Again
1252      850     10     
Romance
Di dunia yang menurutnya kejam ini, Jihan hanya punya dirinya sendiri. Dia terjebak pada kelamnya malam, kelamnya hidup, dan kelamnya dunia. Jihan sempat berpikir, jika dunia beserta isinya telah memunggunginya sebab tidak ada satu pun yang peduli padanya. Karena pemikirannya itu, Jihan sampai mengabaikan eksistensi seorang pemuda bernama Natha yang selalu siap menyembuhkan luka terdalamnya. B...
The Friends of Romeo and Juliet
20722      3104     3     
Romance
Freya dan Dilar bukan Romeo dan Juliet. Tapi hidup mereka serasa seperti kedua sejoli tragis dari masa lalu itu. Mereka tetanggaan, satu SMP, dan sekarang setelah masuk SMA, mereka akhirnya pacaran. Keluarga mereka akur, akur banget malah. Yang musuhan itu justru....sahabat mereka! Yuki tidak suka sikap semena-mena Hamka si Ketua OSIS. dan Hamka tidak suka Yuki yang dianggapnya sombong dan tid...
Dialog kala Hujan
604      451     3     
Short Story
Teman sekelas yang berbincang ketika hujan sedang turun deras.
Titip Salam
4030      1523     15     
Romance
Apa kamu pernah mendapat ucapan titip salam dari temanmu untuk teman lainnya? Kalau pernah, nasibmu hampir sama seperti Javitri. Mahasiswi Jurusan Teknik Elektro yang merasa salah jurusan karena sebenarnya jurusan itu adalah pilihan sang papa. Javitri yang mudah bergaul dengan orang di sekelilingnya, membuat dia sering kerepotan karena mendapat banyak titipan untuk teman kosnya. Masalahnya, m...
Redup.
738      433     0     
Romance
Lewat setiap canda yang kita tertawakan dan seulas senyum yang kerap dijadikan pahatan. Ada sebuah cerita yang saya pikir perlu kamu dengarkan. Karena barangkali saja, sebuah kehilangan cukup untuk membuat kita sadar untuk tidak menyia-nyiakan si kesayangan.
Hamufield
31417      3525     13     
Fantasy
Kim Junsu: seorang pecundang, tidak memiliki teman, dan membenci hidupnya di dunia 'nyata', diam-diam memiliki kehidupan di dalam mimpinya setiap malam; di mana Junsu berubah menjadi seorang yang populer dan memiliki kehidupan yang sempurna. Shim Changmin adalah satu-satunya yang membuat kehidupan Junsu di dunia nyata berangsur membaik, tetapi Changmin juga yang membuat kehidupannya di dunia ...
Give Up? No!
484      329     0     
Short Story
you were given this life because you were strong enough to live it.
Helling Dormitory
1376      856     3     
Mystery
Setelah kejadian kebakaran menewaskan ibu dan adik-adiknya, Isaura dikirim oleh ayahnya ke salah satu sekolah asrama di Bogor Di asrama barunya ia dan teman-teman yang lain dihadapkan dengan berbagai kejadian tak masuk akal.
The Last Cedess
960      634     0     
Fantasy
Alam bukanlah tatanan kehidupan makroskopis yang dipenuhi dengan makhluk hidup semata. Ia jauh lebih kompleks dan rumit. Penuh dengan misteri yang tak sanggup dijangkau akal. Micko, seorang putra pekebun berusia empat belas tahun, tidak pernah menyangka bahwa dirinya adalah bagian dari misteri alam. Semua bermula dari munculnya dua orang asing secara tiba-tiba di hadapan Micko. Mereka meminta t...
Be Yours.
3125      1457     4     
Romance
Kekalahan Clarin membuatnya terpaksa mengikuti ekstrakurikuler cheerleader. Ia harus membagi waktu antara ekstrakurikuler atletik dan cheerleader. Belum lagi masalah dadanya yang terkadang sakit secara mendadak saat ia melakukan banyak kegiatan berat dan melelahkan. Namun demi impian Atlas, ia rela melakukan apa saja asal sahabatnya itu bahagia dan berhasil mewujudkan mimpi. Tetapi semakin lama, ...