Nora masih belum bisa menemukan Kieran.
Ia tahu ia bodoh. Ia hanya berjalan tak tentu arah, menyusuri setiap tikungan dalam labirin ini seenak jidat tanpa mempertimbangkan banyak hal. Tapi apa yang bisa ia pertimbangkan di dalam sini? Semua bagian labirin tampak sama saja. Semua bagian temboknya dibuat dari ranting-ranting berduri yang memiliki daun setebal telapak tangan. Tak dapat ditembus, tak dapat ditandai. Langit di atasnya masih sama, tanah yang dipijak juga tak jauh berbeda. Barangkali ia hanya berputar-putar di poin yang sama tanpa melakukan perpindahan apapun.
Sudah berjam-jam lalu ia berhenti merasa cengeng. Perutnya keroncongan dan sangat butuh diisi, namun terlalu sayang mengurangi sepotong dua potong roti yang dibawanya untuk bekal.
Nora memutuskan berhenti. Ia sudah sekian kali melakukan hal ini. Sedikit bagian bagel di dalam tasnya ia sobek. Ia kunyah dengan gerakan kilat karena instingnya mulai merasakan datangnya suatu hal. Nora mendengar langkah yang kokoh dan stabil dari balik tikungan. Ketika ia akhirnya melihat surai gelap berantakan dan sorot biru yang familiar, kelegaan menyergap benak Nora.
Ia langsung berlari mendekati Kieran yang justru memandangnya dingin. Seluruh tubuhnya, bahkan wajah dan rambut semua bagian tubuhnya seperti terguyur oleh bertong-tong darah segar. Nora berhenti untuk memperhatikan semua itu. Firasat buruk tiba-tiba datang dan melolong keras di dalam benaknya.
"Kieran?"
"Senang bertemu denganmu lagi, Hathaway."
Nora menahan nafasnya. Ia refleks mundur satu langkah untuk menghindari Kieran yang semakin mendekat.
"Aku memintamu untuk menolak Alhok. Kau melakukannya, kan?"
Kieran tersenyum miring. "Aku ada di sini, di babak ilusi Alhok yang lain. Bersamamu. Menurutmu bagaimana?"
"Itu.... Itu hal bagus, ya, sangat bagus." Mata Nora mengobservasi setiap detail penampilan Kieran yang lumayan mengganjal logikanya. "Kenapa ada banyak darah di tubuhmu?"
Kieran maju selangkah demi selangkah. Pedangnya tergantung di tangannya yang terbalut sarung tangan hitam. Nora menyadari Kieran tak lagi memakai kemeja hitam lon Nora ikut mundur, lama kelamaan semakin cepat. Hingga Kieran berhenti. Nora masih mengambil beberapa langkah cepat ke belakang hingga akhirnya ia sekian meter lebih jauh dari jarak mereka sebelumnya.
"Ada apa, Nora? Kau takut padaku?"
"Kau seperti habis berenang dalam kolam darah. Kenapa? Apa yang kau lakukan? Apa ini salah satu bentuk ilusi yang Alhok berikan padamu?"
"Apa kau takut padaku?"
Kieran mengulang pertanyaannya. Ekspresi wajahnya ikut menggelap sejalan dengan kalimat itu dilontarkan. Tak ada lagi tatapan peduli nan penuh perhitungan yang sering Nora temui di kedua mata birunya. Hal itu membuat Nora yakin akan satu hal.
"Kau bukan Kieran."
Nora berusaha berlari sejauh mungkin dari pria itu. Tapi Nora tahu Kieran tak akan diam saja di tempatnya.
"Ini aku, Nora. Aku Kieran Hall." Pria itu tertawa. Bukan tawa ramah nan pasrah seperti yang bisa diingatnya. "Aku adalah partner yang sangat kau percaya itu, Nora Hathaway."
Tenaga Nora tak lagi bisa ia gunakan untuk berlari cepat. Abdomennya nyeri, lambungnya perih dan kepalanya mulai terasa tak nyaman. Percuma ia memaksakan diri berlari, langkahnya tak bisa secepat yang ia inginkan. Sementara Kieran terus berderap dengan langkah lebar dan kokoh yang menakutkan. Kieran akan bisa mencapainya mau sekuat apapun Nora berusaha.
Tangan Nora meraih tembok labirin ketika ia berbelok. Tangkai tanaman berduri itu menggesek kulitnya, membuat hampir seluruh telapak tangannya tersayat dan berdarah.
Ia tak sempat mengeluh untuk luka itu karena sesuatu, atau seseorang, menabraknya dari balik tikungan. Tubuhnya jatuh terjerembab di tanah becek. Nora berteriak sekeras-kerasnya karena lengannya yang baru beberapa jam lalu mendapat banyak jahitan dari Kieran, ditekan kencang.
Seseorang yang saat ini menindih tubuhnya bukanlah Kieran seperti yang ia takutkan. Tetapi seorang manusia yang memiliki mata dan tulang pipi cekung, rambut kemerahan hanya bersisa satu dua helai di atas kepala, dan tubuh yang kurus bagai tulang berbalut kulit semata. Nora seperti hendak dimakan hantu. Atau mayat hidup yang baru saja bangkit dari kubur.
Kaki Nora menendang-nendang di udara. Ia berusaha sekuat mungkin melepaskan tangannya yang ditekan kuat dan menahan rasa sakit di lengan kanannya.
Kieran mengejar di belakang, berlumur darah dan membawa sebilah pedang. Mayat hidup ini juga hendak memakannya. Luka yang telah terjahit dan terbalut sempurna kini kembali segar dan terbuka. Ia tak bisa menemukan Kieran Hall yang dia inginkan. Perut dan kepalanya nyeri bukan main. Dan Nora tak bisa menemukan sesuatu atau seseorang yang bisa ia mintai bantuan.
Maka ia harus menangani semua ini sendiri.
Nora menggerung marah. "Bajingan!"
Tangannya yang berdarah-darah ia gunakan paksa untuk mendorong makhluk itu. Namun sebelum ia benar-benar berhasil, suara tebasan pedang mengudara di langit-langit labirin. Tubuh mayat hidup di hadapannya terbelah menjadi dua.
Kieran Hall berdiri di hadapannya dengan tatapan khas pembunuh bayaran. Nora bingung harus cemas atau berterimakasih. Ia buru-buru melempar tubuh mayat hidup yang masih ada di atasnya dan berusaha untuk bangkit. Tapi Kieran menancapkan pedang tepat di samping telinga kiri Nora.
Nora menahan nafas, refleks berhenti.
"Menjauhlah!"
"Aku bertanya padamu sebelumnya, Hathaway, apa kau takut padaku?"
Nora meludah ke samping, nyaris mengenai bilah pedangnya. Kieran menarik pedangnya dengan marah dan nyaris menghunus leher Nora. Ia akan melakukannya jika Nora tak menendang dada pria itu dan buru-buru merangkak untuk melarikan diri.
"Alfred Roster adalah korban pertamaku—aku ingat sekali."
Nora menggerung sambil berjalan terpincang-pincang. Ia merasa kakinya sedikit tergores pedang Kieran, namun ia tak bisa melihat sedalam apa luka sayatannya. Ia tak memiliki waktu untuk itu.
"Tuanku menginginkannya, entah kenapa. Padahal ia hanya gelandangan yang kerjanya menipu orang-orang dan mengambil dompet mereka tanpa mereka tahu. Ia tidak berguna, jadi aku memilihnya sebagai pembunuhan pembuka."
Dari pertigaan di hadapannya, Nora mendengar suara koakan aneh yang seperti berasal dari burung sekarat. Ia bergegas memilih jalan ke kiri, namun dari sanalah suara koakan itu berasal. Barisan mayat hidup yang beranggotakan belasan, atau mungkin puluhan, nyaris menyergapnya seperti pendemo. Nora langsung menyeret kakinya ke arah lain, memaksanya berlari lebih cepat karena Kieran benar-benar hanya sejengkal dari meraih tubuhnya.
"Kau tidak mungkin melakukan itu." Nora menukas dengan suara berat.
"Aku lebih dari yang kau tahu, Hathaway. Kau pikir kau paling mengenalku karena ayahmu menyelamatkanku?" Kieran berdecak, lalu tertawa mirng. "Perlu kau tahu jika aku juga membunuh orang-orang itu."
Kieran pasti berucap tentang mayat-mayat hidup di belakang mereka. Nora meringis ngeri saat melihat jumlahnya. Itu nyaris seratus orang, atau mungkin lebih.
"Kau monster." Nora menggerung.
"Benar sekali, Lady Hathaway."
Ia akhirnya jatuh dengan tangan kanan menumpu tubuh lebih dulu. Karena ketidakstabilannya, Nora langsung tumbang, bahunya tak cukup mampu untuk membuatnya bertahan. Namun ia masih berusaha bangkit.
Aku tak mungkin mati di sini. Nora mencoba mengatakan apa yang harus dikatakan pada semua orang. Pada Alhok, pada Kieran. Ia tidak akan mati di sini.
Tapi Kieran sudah berdiri di hadapannya. Ia meremat pedangnya seolah ujungnya yang membisu di samping wajah Nora bisa bergerak lapan saja. Sorot kebiruan yang Nora kagumi beberapa jam terakhir kini membuatnya takut. Namun di waktu bersamaan, tatapan dingin itu mendatangkan emosi lain dalam benak Nora.
"Kau menjadi monster lima tahun terakhir."
Nora mengusap wajahnya sendiri, membuat rahangnya ternoda darah. Ia berusaha merangkak mundur, masih dengan tubuh telentang menghadap Kieran.
"Kau menjadi momok menakutkan bagi semua orang, aku mengerti."
Kieran terdiam di tempatnya. Barisan mayat hidup masih mengejar. Mereka berjalan tertatih-tatih mendekati keduanya dengan kegesitan yang dipertanyakan Nora. Sementara Nora berhasil kabur dari hunusan pedang Kieran sekali lagi, laki-laki itu tertawa jahat sembari meraih satu kepala mayat hidup.
Nora memutuskan berhenti sejenak, untuk beristirahat dan menetralkan nafas, juga melihat apa yang Kieran lakukan. Nora menyentuh lengannya yang terus mengeluarkan darah sambil menatap ke dalam mata Kieran.
"Tapi kenapa, Kieran?"
"Menurutmu bagaimana, Hathaway Alasan apa yang kau mau?" Pria itu menunjukkan kepala itu pada Nora seolah tubuh wanita terbalut gaun balon itu adalah seorang boneka. "Ini adalah Esther Roosevelt."
Nora menukas sebelum Kieran berbicara. "Guru Matematika-mu?"
"Bibiku yang super duper jahat. Aiden membunuh seluruh kerabatnya tahun lalu, tapi dia gagal membunuhnya. Jadi aku menyelesaikan apa yang harus dia selesaikan."
Pedang Kieran menyayat leher mayat hidup Esther dengan kuat hingga tubuhnya jatuh terjerembab tanpa kepala. Setelahnya, Kieran melempar kepala itu hingga mendarat di samping kaki Nora. Nora langsung menjerit dan melompat-lompat mundur.
"Ini adalah Leah Sullivan. Kau harusnya ingat."
Nora tak ayal membelalakkan matanya. Bagaimana ia bisa lupa?
Kieran memenggal leher Sullivan seperti ia melakukannya pada Roosevelt. Lagi-lagi, kepala wanita itu ia lemparkan ke depan Nora. Ia semakin mundur selama Kieran meraih kepala-kepala mayat hidup dan memainkan mereka seperti boneka.
Kebanyakan dari mereka Nora kenali, ada yang tidak, namun ia mengenali hampir semua orang yang menjadi korban Kieran.
Sullivan, Hughes, Fredster, Lyons...
Hingga ia teringat akan Patrice yang menyebutkan beberapa nama itu dan membahas kasus-kasus pembunuhan misterius ketika mereka bersama. Patrice membahas kematian Jack Fawn yang tragis ketika mereka sedang menikmati sundae buatan Helen di suatu musim panas. Sementara Kieran memenggal kepalanya, membunuhnya untuk yang kedua kalinya, sembari menjelaskan siapa Jack Fawn dan apa yang ia perbuat ketika Kieran mendatanginya.
Saat Kieran memberi kaki Nora satu kepala lagi, Nora tak tahan untuk berteriak dan meloloskan satu isakan.
"Orang-orang menyebutnya City Phantom. Dia membunuh banyak orang selama lima tahun terakhir, dengan cara yang misterius, namun tak lebih misterius dari caranya membunuh ibuku. Ia sangat aktif lima tahun terakhir." Nora mengatakannya sembari berusaha untuk tak tersedak. Ia terus melangkah mundur sementara Kieran berhenti berbicara, namun tetap memenggal kepala mayat-mayat hidup yang bisa ia raih.
"Ah, panggilan yang manis sekali. Tentu saja, sayangku, dia sangat aktif lima tahun terakhir."
Nora semakin terisak. Ia tak kuat lagi berjalan mundur. Tapi ia tetap berusaha melakukannya.
"Namun buku catatanmu tak memuat korban Alhok setelah angka tujuh puluh. Tak ada yang dirasuki Alhok setelah pembunuhan ibuku."
Kieran berhenti melakukan pembantaian ulangnya setelah memenggal satu mayat hidup terakhir dalam barisan. Mayat hidup pria itu amat Nora kenali. Hal itu membuatnya tersedak dan terisak lebih keras daripada sebelumnya.
"Malam itu bukan Logan pelakunya." Nora berucap parau, penuh kekecewaan. "Tapi kau yang melakukannya."
Kieran berjalan ke arah Nora dengan ekspresi yang masih sama dinginnya. Tapi Nora tak lagi ingin mundur ataupun menghindar. Ia membiarkan tangannya turun dari lengan kanannya. Ia membiarkan tubuhnya terbuka pada Kieran. Rasanya sudah cukup ia mencoba untuk menjauh dan menyelamatkan diri.
"Kau melakukannya dengan Alhok merasuki tubuhmu."
Pria itu akhirnya berhenti ketika tubuhnya telah berjarak satu meter dari Nora. Pedang pria itu, yang telah basah oleh cairan merah, telah siap menebas Nora juga.
"Kau sialan."
Sementara Nora, mengeluarkan belati dari balik mantelnya dan menusuk Kieran dengan gerakan yang tak pernah pria itu sangka. Pedang yang ia pegang terlepas dari tangannya. Ia bergegas jatuh berlutut sementara Nora menusukkan belati miliknya lebih dalam ke abdomen Kieran, lalu mencabutnya sekeras mungkin.
Nora berhenti menangis, membiarkan sisa-sisa tangisnya menggantung di tenggorokan. Ia mencoba bernafas dengan lebih mudah sebelum kemudian berlari menjauh.
Satu langkah yang dia ambil terasa tak stabil. Sama seperti sebelumnya. Tanah di bawahnya seakan bergejolak, berganti tekstur dan tak lagi bisa menopang tubuhnya di atas bumi. Ketika Nora merasa tubuhnya kembali jatuh bebas dalam kegelapan yang tak tentu, Nora membiarkannya.
Nora memejamkan mata, pasrah pada kemanapun Alhok akan mengirimnya nanti.