Nora mendarat di sebuah tanah berumput yang basah dan penuh lumpur.
Ia langsung memekik, bangkit berdiri dan mencoba mencari daratan yang lebih bersih. Tapi semua tampak sama saja, dan botnya anti air. Jadi ia menyerah dan memilih untuk melihat sekitar.
Tak ada yang membuatnya bernafas lebih lega di dalam sini. Kanan kiri Nora lagi-lagi dikelilingi oleh tembok, kali ini terbuat dari tanaman merambat yang bertangkai keras dan sulit ditembus. Tingginya tak lagi seukuran lorong ruangan. Langit di atasnya serupa langit malam yang berawan dan penuh gemuruh. Nora membaui bau tanaman dan tanah bekas hujan yang pekat sekali, tapi Nora tahu ini bukan Moralki. Moralki tercium lebih nyaman meski sedikit tak masuk akal. Di detik ini Nora merasa kegilaannya sudah di tahap serius karena ia merindukan aroma Moralki.
Nora mencoba berjalan perlahan menyusuri tembok-tembok tinggi ini. Lama-kelamaan ia berlari karena gemuruh yang tak diketahuinya seakan mengejarnya. Suara-suara itu kadang semakin jelas, kadang semakin jauh dan samar.
Nafas Nora memburu, seperti saat ia berada bagian-bagian memori Priam. Ia melihat kelokan di depan, Nora memilih berbelok ke dalamnya. Kelokan-kelokan lain tampak di depan sana, membuat Nora sadar dirinya tak hanya berada di antara tembok-tembok biasa. Kelokan-kelokan di depan sana bertujuan pada kelokan-kelokan lain. Sekali Nora berbelok sembarang, ia menemui jalan buntu.
Nora memutuskan berhenti untuk menormalkan deru nafasnya dan menjernihkan kepala.
Ia berada di dalam labirin. Dan ia harus mencari Kieran. Dan labirin ini memiliki tembok tanaman yang tak bisa ditembus setinggi menara jam raksasa di Gresnin dan memiliki tikungan-tikungan yang entah kemana tujuannya. Ini bukan hal yang baik. Apapun yang hendak mereka hadapi di dalam sini bukan hal baik.
"Aku berjanji untuk menemukan Kieran." Nora mencoba menguatkan diri. "Aku akan menemukan Kieran, aku harus menemukannya."
Ia harus menceritakan pada Kieran apa yang ia lihat. Tentang Oberon Priam, memori-memori tak berguna yang ia dapatkan dari kisah tragisnya.
Nora mengusap wajah dan memperbaiki rambutnya yang sudah tak berbentuk. Kusut, lepek. bau keringat, dan ikatannya melonggar. Nora melepasnya lagi dan mengikatnya dengan lebih kencang. Setelah memperbaiki mantelnya, Nora mulai berjalan menyusuri labirin ini lagi.
***
Nora mulai menyesal ia tak memegang jam saku yang sempat Daphne tawarkan, berpikir ia tak akan terpisah dengan Kieran.
Rasanya sudah berjam-jam ia berjalan, kadang berlari, kadang harus berpegangan dengan sulur-sulur tanaman agar bisa tetap berdiri. Nora hampir kehabisan nafas. Ia bersandar dan memutuskan untuk duduk. Peduli amat lumpur atau mungkin cacing yang bisa menempel di mantelnya. Nora butuh duduk.
Langit di atasnya tak berubah—gelap, berawan, bergemuruh. Ia sudah menunggu hujan, tapi menurut tebakannya, tak akan ada hujan di dalam sini.
Nora rasanya lelah sekali. Hati dan fisiknya seperti dikikis sedikit demi sedikit, tak ingin menyisakan barang separuh. Nora ingin menyerah. Tapi di sini menyerah berarti kalah, kalah berarti mati. Mati berarti Logan tak akan selamat dan Alhok akan terus berbuat onar hingga kapanpun. Ia akan abadi jika tak ada yang mencoba membunuhnya.
Namun, dari semua yang dilaluinya di sini, ia tak melihat Logan sama sekali. Setelah melihat jebakan Alhok membawa ia dan Kieran ke medan pertempuran yang berbeda, Nora menyimpulkan Logan sedang melewati jebakan yang berbeda pula. Alhok mempermainkan korbannya seperti ia bermain boneka yang bisa ia ubah-ubah dunianya.
Nora mencoba bangkit lagi setelah sekian menit diam dan menangis. Ia tak bo;eh berhenti, dan ia harus menemukan Kieran. Bagaimanapun caranya ia harus menemukan Kieran.
"Kieran! Kieran Hall!"
Nora meneriakkan seluruh tenaganya untuk itu. Ia takut paru-parunya tak akan berfungsi dengan baik setelah ini. Tapi ia lebih takut kehilangan Kieran. Maka selesu apapun tubuhnya, selemas apapun kaki dan jantungnya, Nora tetap memaksakan diri untuk berjalan. Jika ia harus kehilangan tangan dan kakinya bahkan membuat jantungnya berhenti berdetak saat ini juga, Nora akan tetap mencari Kieran.
"Kieran Hall!"
***
Sementara di kejauhan, di bagian labirin yang lain, Kieran bersandar di tembok tanaman itu. Ia memeluk dirinya sendiri dan mencoba membuat tubuhnya sekecil mungkin. Ia menggigil, mantelnya seperti tak cukup untuk membuatnya hangat. Kakinya tak bisa digunakan untuk berjalan ataupun menopang tubuh. Tenaga sekcil apapun rasanya sudah meninggalkan tubuhnya dan tak akan kembali dalam waktu singkat.
Kieran seperti kembali menjadi kanak-kanak lagi, yang menangis di teras rumah ketika sang kakak bahkan tak ingin bereaksi apapun pada ucapannya. Kieran seperti kembali menjadi anak kecil yang penakut dan terabaikan dan tak ada yang sekedar bertanya keadaannya. Kieran menangis saat ini, seperti ketika ia masih memegang harapan kalau kakaknya akan kembali ke rumah, mengatakan padanya jika apapun yang ia lakukan malam sebelumnya hanyalah bualan jenaka semata.
Ia kemudian mendongak, mencoba bernafas lebih banyak meski aroma yang menyesakkan memasuki indra penciumannya. Lorong lain yang lebih tinggi dan lebih memuakkan terbentang di hadapannya. Dan Kieran harus bangkit untuk bisa bebas dari semua ini.
Tangannya tergores ranting dan duri yang mencuat dari sulur-sulur tanaman ketika ia menyentuhnya untuk berpegangan. Tapi ia tak peduli. Luka yang dibuka lagi di hatinya lebih menyakitkan dari luka apapun yang ia dapatkan di fisiknya. Nora mengatakan ia akan menemukannya. Ia juga sudah berjanji pada Nora untuk menemukannya, melindunginya, dan membantunya melewati ini. Meskipun dengan kondisi seperti ini.
"Kieran! Hall! Kiki!"
Kieran mendongak. Ia memandang kelokan-kelokan yang terbentang di depannya dan menebak-nebak dari mana suara itu berasal.
"Kieran!" Lalu suara terbatuk yang lumayan keras.
Kieran langsung mendapatkan tenaganya kembali dalam waktu cepat. Ia memaksakan dirinya berlari menuju suara itu, masuk ke tikungan-tikungan dan memilih satu jalur di pertigaan. Hingga ia menemukan figur seorang gadis yang berjalan tertatih di balik jalur yang diambilnya. Rambut legam yang dikuncir tinggi dan mantel kecoklatan dengan corak kotak-kotak mini milik Kieran—gadis itu jelas Nora.
Rasanya sudah berabad-abad sejak Kieran terakhir mengeluarkan suara. Ia meneriakkan nafasnya sekeras mungkin. "Nora!"
Gadis itu menoleh, lalu tersenyum lega. Ia terseok-seok mendekati Kieran. Namun Kieran berhasil mencapainya lebih dulu dan keduanya kini larut dalam pelukan erat. Kieran menangis di bahu Nora seolah ia telah menemukan apa yang ia cari selama berabad-abad. Nora juga tak bisa menahan kelegaannya dan tak mau melepas tautan mereka terlalu cepat.
"Rasanya seperti selamanya." Nora terisak di bahu Kieran. "Aku mencarimu sampai kakiku nyaris copot."
Kieran tak mengatakan apapun. Fokusnya saat ini adalah Nora dan kehangatan yang dapat gadis itu salurkan padanya. "Aku sekarang di sini. Kita berhasil menemukan satu sama lain."
Nora mengangguk kuat-kuat di bahu Kieran. "Iya."
"Apa lagi yang Alhok perlihatkan padamu?" tanya Kieran saat ia akhirnya menarik diri.
Tatapan Nora tiba-tiba berubah kosong. Ia membuka mulutnya, mencoba berbicara. Tapi ia kembali menutupnya. Kieran meraih bahu gadis itu untuk menyalurkan sedikit keyakinan. Tapi Nora mengangkat tangannya untuk menghindari sentuhan Kieran. Kieran bahkan lupa kapan terakhir kali Nora menolak afeksinya.
"Nora—"
"Aku melihatmu." Nora mengatakannya dengan tatapan tajam dan berani. "Aku melihat apa yang kau lakukan lima tahun terakhir."
Nafas Kieran seperti diambil lagi dari jiwanya.
"Kau tidak berusaha mencari Alhok."
Kieran menggeleng. "Aku berusaha mencarinya dan aku ingin dia lenyap."
"Kau justru melakukan yang sebaliknya."
"Nora apa yang kau katakan?"
Langkah perlahan Nora ambil sepanjang ia berbicara. Tangan Kieran ia hempaskan dengan begitu kasar. Ia membuat ketakutan Kieran, yang bagaikan telah terpupuk dalam-dalam, timbul lagi ke permukaan dan membuatnya gelisah.
"Kau membunuh banyak orang. Wanita, pria, orang-orang kaya, orang-orang miskin, anak-anak, remaja. Ada orang yang hanya ingin menikmati malam tahun mereka, Kieran, namun kau merenggut nyawa mereka."
"Nora—"
Nora berjalan mundur semakin cepat. Tapi Kieran tak bisa mencapainya. Ia hendak mengejar Nora, namun kakinya seperti dipaku di tanah dan tak bisa diangkat sama sekali.
"Aku tak melakukannya!" Kieran berteriak.
"Pembohong."
Kieran makin susah bergerak, sementara Nora semakin berjalan menjauh.
Gadis itu menggeleng tak percaya. "Aku mempercayaimu, Kieran. Kupikir kau hanyalah seorang pria biasa yang mencoba mencari pembenaran dari hal-hal buruk di masa lalumu. Tapi kau berbuat sesuatu yang begitu kejam. Aku tak pernah menduga hal seperti itu datang darimu."
Kieran menggerakkan kakinya dengan susah payah. Ia akhirnya jatuh ke tanah dengan telapak tangan dan lutut yang berhasil menumpu tubuh lebih dulu. Tangannya tanpa sadar meremat rerumputan di bawahnya. Bibirnya bergetar, begitupun kepalan tangannya. Rasanya Kieran ingin melesak ke dalam tanah itu sedalam-dalamnya dan tak pernah bangkit lagi.
"Kau pasti mengingat Alfred Roster, laki-laki kurus yang jalannya pincang. Yang malam itu hanya berjalan-jalan di teras pub dengan jaket kanvasnya yang tipis."
Kieran dipaksa mengangkat kepalanya. Alfred Roster betul-betul muncul di hadapannya. Mata dan tulang pipi cekung yang muncul membuatnya menggeleng ngeri. Jaket kanvas kumal yang disebutkan Nora masih ia pakai. Rambut kemerahannya jarang. Matanya yang kosong menatap Kieran seperti hantu.
Gigi Kieran beradu keras dengan satu sama lain. "Nora, aku tidak mengenalnya."
"Kau mengenalnya dengan baik, Kieran. Kau membunuhnya, bagaimana kau bisa tidak mengingat korbanmu sendiri?!"
"Aku tidak membunuh siapapun!"
Kieran meremat pedangnya dengan geram. Ia hendak bangkit untuk menebas kepala hantu Roster tapi Nora ada di belakang pria itu. Menatapnya, menunggunya melakukan sesuatu yang gadis itu benci.
"Dan lihatlah orang-orang itu." Nora menunjuk ke belakang tubuh Kieran.
Ada belasan—atau mungkin puluhan—orang memenuhi jalan labirin itu, berdiri dengan tatapan kosong dan tubuh kaku. Wajah-wajah manusia mereka masih bisa Kieran kenali—bohong kalau Kieran tidak mengingatnya. Tapi ia bersumpah, Kieran berani bersumpah, dirinya tidak melakukan apapun. Namun orang-orang itu tetap merupakan korban Kieran. Pedang yang kini sedang ia genggam menyimpan memori dari darah mereka. Kieran dengan susah payah bangkit berdiri.
"Kau mengenali mereka semua, ya kan?" Kali ini, Nora telah berada di hadapannya. "Kau membunuh mereka, satu-persatu, dengan pedangmu yang telah ternoda dosa-dosamu."
Barisan mayat hidup di belakang Kieran bergerak maju perlahan-lahan. Namun Kieran tak menyadarinya. Ia bahkan tak menyadari Foster, korban pertamanya, telah bergabung dengan mayat-mayat hidup itu.
Kieran hanya terfokus pada Nora. Yang kini ada di depannya, menatapnya dengan semua emosi kekecewaan yang bisa gadis itu tunjukkan.
"Mereka sekitar... puluhan. Atau mungkin ratusan. Lima tahun, Kieran, aku yakin kau sudah ratusan kali melakukan hal serupa."
"Tidak, Nora—Aku tidak melakukannya. Aku tidak pernah—"
Kieran melempar pedangnya ke tanah. Ia mencoba menangkup wajah Nora namun darah melumuri seluruh telapak tangannya. Jejak merah itu tercetak di kulit pipi Nora yang berbekas sentuhan Kieran.
Sekali lagi, Kieran tak bisa merasakan nafasnya dengan benar. Nora tampak buruk dengan semua darah itu. Kieran tak menyukainya. Ia mencoba menghilangkan noda itu dari seluruh wajah Nora dengan mantelnya tapi mantelnya juga terendam oleh bau anyir. Seluruh tubuhnya ternoda darah, namun semua cairan itu bukan miliknya.
"Nora, aku—" Kieran kebingungan.
Ia mencoba meraih apapun yang bisa membuat tangannya bersih dari darah—ranting pohon, dedaunan di tembok labirin. Tapi hal itu justru berakhir menambah lebih banyak darah di tangannya.
"Ini adalah dirimu, Kieran. Kau hidup dengan tubuh terendam darah. Bukan darahmu sendiri. Tapi darah dari orang-orang yang—"
Sebuah bilah pedang yang familiar tiba-tiba menembus dari punggung Nora. Gadis itu tersedak, refleks menghentikan kata-kata bahkan nafasnya demi mengeluarkan cairan merah yang begitu pekat. Pedang itu kembali ditarik, meninggalkan jejak merah berongga di besi pipihnya. Matanya membelalak ketika menatap Kieran sebelum ia tersungkur di tanah. Kieran tak bisa langsung menangkapnya karena dua tangannya ditarik ke belakang.
Tangan-tangan itu memiliki kulit yang mengering, yang menempel erat pada tulang-tulang yang berada di bawahnya seolah pemiliknya tak memiliki jaringan otot sama sekali. Jumlahnya tak hanya satu atau sepasang. Ada belasan, atau puluhan, atau lebih banyak lagi yang tak bisa Kieran lihat. Semuanya berusaha untuk menyeret Kieran menjauh dari Nora dan sesosok manusia yang baru saja membunuhnya.
Kepala Kieran seperti hendak meledak. Pandangannya memburam oleh emosi tak terbendung di dada yang memaksa untuk diekspresikan. Nora tergeletak tanpa nyawa, darah menggenang dan akan menenggelamkannya. Pedangnya tertinggal di samping tubuh Nora. Figur dirinya sendiri, dengan jubah gelap, rambut panjang menutup separuh wajahnya yang kejam, memegang pedang berlumur darah dan berdiri di tengah-tengah jalur labirin seperti bintang dunia.
Dagu pria itu terangkat dengan congkak, terkesan tak peduli. Sementara Kieran asli di sini meraung dan terus meraung. Ia berusaha lepas dari cengkraman dan kungkungan mayat hidup yang semakin ganas mengurungnya.
Gerombolan wajah-wajah cekung yang mengering berkoak-koak aneh di depan wajahnya. Kieran menggerung semakin keras saat tubuhnya dihimpit dan terus dihimpit hingga rasanya ia tak bisa lagi bernafas. Pandagannya hanya dipenuhi kegelapan. Telinganya penuh dengan koakan kematian dan setiap inchi kulitnya merasakan sakitnya terinjak-injak.
Namun rasa sakit di dadanya terasa semakin menyakitkan ketika ia mengingat Nora di luar sana. Mati, karena dirinya sendiri.