Di sinilah Kieran berdiri. Di lantai yang keras nan suram yang sebenarnya sangat ia takutkan.
Nora menghilang dari pandangannya. Dinding kemerahan di kanan-kirinya sama berisiknya dengan isi kepala sendiri. Versi mini dirinya dua meter jauhnya, menampilkan senyum yang tampak seperti jaminan bagi Kieran.
Tapi semua itu hanya tampak. Kau harus menolaknya.
Langkahnya mundur dengan signifikan. Kieran mencoba untuk melakukan itu. Lututnya selemas seolah tanpa tulang dan tubuhnya nyaris tumbang. Tapi ia memaksakan diri untuk berjalan menjauh.
"Masa laluku adalah hal valid." Kieran mencoba menolak. "Aku tidak akan merubah apapun—"
"Perubahan kadang diperlukan, Kieran."
Tidak.
Kieran tetap mencoba menjauh meski dengan langkah terseok.
"Kau merasa berbuat kesalahan. Dan kau memang melakukannya. Apa yang diperlukan ketika kita melakukan kesalahan adalah perbaikan dan ampunan—aku yakin kau mengetahuinya."
Jangan. Jangan berhenti.
Kieran mulai mencoba untuk berlari.
Tapi pintu-pintu yang ia lewati menampilkan berbagai memori miliknya yang tak pernah ingin Kieran ingat lagi.
Memori-memori itu memuat semua kesalahan yang ia perbuat di masa lalu. Ketika ia masih remaja, ketika ia masih seumur jagung. Ketika ia bahkan belum mengenal Alhok. Ia sudah berbuat kesalahan dan ia betul-betul menyesalinya.
Barangkali ia telah membuat Alhok marah. Tubuhnya ditarik turun hingga ia terjatuh dan wajahnya menabrak kerasnya lantai. Ia ditahan oleh sesuatu yang tak terlihat dan dipaksa melihat ke salah satu pintu.
"Keluarga ayahmu amat menyayangimu."
Kieran sangat menyetujuinya.
"Tapi kau mengecewakan mereka."
Kieran mengerang. Ia mencoba berdiri, tapi tubuhnya justru kesakitan karena paksaan itu.
"Dan kau juga mengecewakan orang lain juga."
Seluruh tubuh Kieran dibekukan dengan paksa di lantai. Ia bahkan tak bisa menggerakkan tangannya, atau mengeluarkan sedikitpun suara.
"Malangnya."
Jika Kieran bisa berteriak, Kieran akan berteriak sekencang yang ia bisa.
Memori itu diputar dari dalam pintu.
Kieran kecil, berusia sepuluh tahun, dengan setelan jas rapi dan rambut yang ditata serapi mungkin dengan minyak rambut, berjalan dengan senyum cerah ke dalam sebuah aula. Ia digandeng oleh sang Ibu yang memakai gaun panjang berwarna ungu. Di depannya sang Ayah juga memakai setelan yang sama, dan kakaknya, Aiden, berjalan di sampingnya.
Pesta yang indah namun menyakitkan, sepanjang yang bisa Kieran ingat.
Ia ingat ia diajak salah satu sepupunya untuk bermain-main di aula utama. Ia ingat gadis kecil yang bernama Lily itu mengajaknya mencuri banyak sekali makanan untuk mereka makan di bawah meja. Ia ingat sekali firasat buruk yang ia rasakan malam itu.
"Lily." Kieran berjongkok di samping gadis itu, melihat kesana kemari, menarik-narik roknya.
Gadis itu berdecak. "Apa sih? Aku sedang sibuk, nanti dulu."
Lily sedang sibuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya kue mangkuk di dalam nampan, memilah-milah kue yang memiliki krim berwarna pink atau ungu. Lalu ia mengangkat nampan yang ia curi juga dari seorang pelayan, menyuruh Kieran untuk membuka taplak meja dan menyelundupkan nampan itu ke dalamnya.
Nampan itu sudah masuk. Kini tinggal dirinya dan Kieran. Tapi sebuah sentakan terdengar dari belakang Lily. Kieran buru-buru bangkit, menarik Lily hingga gadis itu berdiri di belakangnya.
"Apa yang kalian lakukan?!"
Lily menahan nafasnya. "Oh tidak. Bibi Besar."
Kieran memiliki sejarah buruk sendiri dengan wanita ini. Wanita berbadan gemuk dengan tahi lalat besar di bawah bibir, yang hobinya mendelik dan menyumpahi keponakannya sendiri. Wanita ini adalah salah satu anggota keluarga sang Ayah yang ia benci.
"Maaf, Bibi Esther. Aku—"
"Hei, kau pikir maaf bisa menyelesaikan masalah? Dasar anak tak tahu diri. Kau seharusnya bisa menempatkan diri dengan baik. Sudah untung keluargamu ikut diundang. Tapi sekalinya diundang kau malah membuat masalah." Esther mengulurkan tangan, hendak menarik tangan Kieran. Anak itu menggeleng, buru-buru menyuruh Lily mundur dengan tangannya yang terentang.
Namun Lily berderap maju dan justru menjadikan dirinya sendiri sebagai tameng Kieran.
"Jangan sentuh Kieran!"
Kieran yang hendak menyerukan maaf lagi terpotong oleh omelan sang Bibi yang bergaung keras di sepejuru aula. Ia menutup telinganya kuat-kuat, namun cemas bukan main ketika Lily malah balik mendebat wanita itu.
Kieran hendak menangis. Ia begitu ketakutan. Ia sadar dirinya memang penakut. Namun ia tak pernah setakut ini sebelumnya. Ia merasa takut hingga suara sang Bibi seperti ikut bergaung dalam kepalanya, mengacaukan semua keberanian dan kekuatan yang sudah ia bangun untuk menghadiri pesta ini. Ia merasa takut hingga matanya memanas, kedua tangannya bergetar dan mulai berkeringat, dan ia bahkan tak bisa merasakan lututnya sendiri.
Kieran kecil merasakan tatapan semua orang. Lily dan sang Bibi masih berdebat tanpa henti, mulai menunjuk-nunjuk dirinya. Tak ada yang menghentikan mereka. Tak ada satupun yang peduli.
"Ibunya adalah Penyihir Gelap! Kau sudah tahu hal itu tapi kau masih membelanya?!"
"Kieran dan keluarganya bukan orang-orang jahat!"
Wajah Esther memerah saat ia berteriak lagi. "Kau bicara seperti itu karena kau tidak tahu apa yang sudah mereka perbuat! Kau adalah putri terhormat, calon Lady keluarga Roosevelt. Menjauh darinya atau kau akan—"
"Cukup!"
Kieran mencoba menjauhkan Lily dari sang Bibi. Tapi pikirannya buntu. Ia hendak mendorong tangan bibi-nya, namun ia juga ingin menarik Lily untuk mundur sehingga ia akan berhenti mengeluarkan argumen-argumen lain.
Tapi tangannya justru mengeluarkan pusaran gelap yang serupa bola rugby, menghantam sang Bibi dan juga membuat Lily terdorong hingga menabrak dinding.
Tangisan Lily anehnya menjadi alarm bagi orang-orang untuk mulai mendekat. Esther juga melolong di lantai aula, menangis dan menyerukan matanya yang berdarah-darah.
Kieran kecil tak lagi tahu apa yang terjadi. Ia tak ingin tahu, ia tak ingin mengetahuinya.
Sementara Kieran Masa Kini yang masih terkunci di lantai jelaga, mengingat dengan jelas apa yang keluarganya dapat setelah itu.
Rumah baru di Grey Hill, jauh dari hiruk-pikuk kota. Nama terakhirnya yang beralih marga. Berita buruk yang memenuhi koran-koran, menjelek-jelekkan ayah dan ibunya. Kehidupan baru yang senyap dan sepi, dikelilingi gandum dan hewan-hewan ternak. Juga kakaknya yang membencinya.
Kieran Masa Kini berusaha lepas dari apapun yang menahan tubuhnya. Ketika ia berhasil mengangkat pedangnya kembali, hal yang pertama ia lakukan adalah menebas apapun yang ada di belakangnya. Adalah bayangan dirinya yang kini berubah menjadi Esther.
"Kau bisa merubahnya, Kieran! Anak bangsat! Kau melukai mataku, membuatku buta! Kau bisa menarik Lily menjauh tepat waktu, kau bisa mengerahkan lebih banyak tenagamu, kau bisa lebih berani!"
Kieran berusaha untuk terus berjalan menjauh. Meskipun kakinya terasa lemah dan tak berguna, ia tak ingin berhenti. Nora memintanya untuk tak berhenti, maka ia tak akan berhenti.
Lantai di bawah tubuhnya terasa seperti hendak menelannya. Dinding lorong juga masih berbisik-bisik. Esther berteriak-teriak di belakangnya. Kepalanya memberat dan telinganya berdengung seperti hendak copot. Kieran mengerang. Ia melempar pedangnya yang menyusahkan pergerakannya, lalu mengerang lagi.
Tuhan.
Tiba-tiba tubuhnya diseret ke belakang, nyaris menabrak Esther yang masih berteriak-teriak. Tapi figur Esther berubah memecah menjadi bayangan gelap yang bergumul di udara, lalu menyebar dan kembali menyatu.
Kieran diberhentikan di depan pintu yang lain. Ia melihat kakaknya di pintu itu. Bayangan yang sejak tadi menerornya juga menjadi Aiden.
Karena hal itu, Kieran memberontak semakin kuat hingga buku-buku jarinya memutih, nadinya memerah dan tercetak jelas di kulit lehernya, rahangnya mengencang, dan dadanya sakit bukan main.
Kieran ingin lari.
"Kieran."
"Tidak!"
"Kieran, aku selalu bilang aku bisa membantumu. Aku akan mengulurkan tanganku dalam hal ini juga."
Isak tangis dan gerungan putus asa memupuk di tenggorokan Kieran.
"Kau tak benar-benar mengatakannya."
"Sekarang aku mengatakannya dengan serius. Aku sadar kesaahanku di masa lalu dan bukan sepertimu, aku ingin memperbaikinya di sini."
Ia menggeleng kuat-kuat.
"Aku peduli padamu, Kieran."
"Aku membencimu!"
"Aku menyayangimu."
"Aku tidak mau! Aku tidak ingin—"
Kieran tersedak, kehabisan suaranya.
"Maka kau harus melihat seburuk apa kelakuanmu di masa lalu. Supaya kau sadar, dan kau bisa tahu mana yang harus kau perbaiki."
Tak ada gunanya menolak dan memberontak, Kieran tahu. Ia telah mencobanya berulang kali dan ia tetap kembali menatap memori yang tak ingin ia ulang lagi di dalam kepalanya.
Tubuhnya kembali membeku di lantai. Pintu di depannya berisi rumah kayu yang sederhana dan reyot di tengah-tengah perkebunan gandum. Atapnya selalu bergerak-gerak dan betul-betul berisik ketika terkena angin. Halaman pasir merepotkan penghuninya ketika angin meghempaskan butiran-butirannya ke teras. Sumur airnya berat dipompa dan Kieran selalu meminta bantuan sang kakak ketika ia diminta sang Ibu untuk mengambil air di sana.
Namun kakaknya selalu menolak. Aiden selalu menolak Kieran yang meminta bantuannya, yang mengharapkannya untuk bermain atau belajar bersama, yang membuatkannya makanan dan memberinya hadiah kecil. Ia selalu menolak Kieran.
Hingga pada suatu malam, Kieran terbangun tanpa sengaja. Telinganya nendengar suara aneh di teras dan kakinya berderap secara refleks kesana.
Ada sang kakak, yang membawa ransel besar di punggung, berdiri menghadap pelataran yang gersang. Dedaunan gandum di kejauhan bergoyang terkena angin. Lentera kecil di teras dikerubuti laron-laron yang haus cahaya. Kakaknya berdiri diam di sana, hendak berjalan ketika Kieran memanggilnya.
"Kakak?"
Aiden berhenti, menghadap Kieran dengan wajah dingin.
"Kemana kau hendak pergi?"
Aiden semula tak ingin menjawab. Tapi ia berdecak dan menoleh dengan enggan. "Kau tak akan pernah tahu. Ayah dan Ibu juga tidak akan pernah tahu, kau mengerti?"
"Tapi—"
"Sudahlah, Kieran. Kau menghancurkan hidupku. Tapi kau menuntut ini dan itu padaku seolah kau tak pernah berbuat salah. Seolah kau bukanlah penyebab keluarga kita jadi seperti ini."
Kieran kecil mengerti apa yang hendak sang Kakak sampaikan.
"Kakak, aku minta maaf. Tapi kumohon jangan—"
"Terlambat untuk mengatakan itu."
Kieran kecil menangis. Ia berlari ke teras, hendak menyusul sang Kakak. Tapi Aiden sudah berlari lebih dulu menuju mobil tua yang sudah bobrok milik sang Ayah. Ia berhasil menyalakannya dan mulai berkendara menjauh.
Suara mesin yang menderu kencang dan tangisan Kieran berhasil membawa kedua orang tua mereka ikut turun ke teras. Tapi mereka terlambat.
Yang bisa keduanya lakukan hanyalah merengkuh Kieran kecil yang menangis di teras, memeluk dirinya sendiri, lalu mengeluhkan tentang kepergian sang Kakak. Tangisnya mungkin terhenti dalam hitungan jam, namun luka yang tertoreh tak akan sembuh selama bertahun-tahun.
Kieran Masa Kini, yang tak lagi mencoba untuk memberontak, dilepaskan dari beban berat yang menahan pergerakannya.
"Kau bisa menahanku. Kau bisa mencobanya lagi dan menahanku."
Kieran menggeleng. Ia berusaha bangkit dan lari.
Pintu-pintu di sekitarnya bergerak, berpindah, melayang cepat di dalam lorong. Kieran seperti berada di peron, di antara kereta api yang sedang melaju ke tujuan yang berlawanan. Lalu kakinya dipaksa bergerak lagi mengikuti semua pintu-pintu itu.
Kieran ingin semua ini berhenti. Dan jika masuk ke salah satu pintu itu adalah cara untuk membuatnya bebas, maka ia akan—
Tidak. Kieran menggeleng. Di tengah paksaan yang mejerat tubuhnya, yang membuat kepalanya berguncang dan jantungnya seperti berhenti berdetak sejak lama, Kieran menggeleng.
Ia tidak boleh masuk ke sana.
Namun bayangan kakaknya tetap berbentuk seperti kakaknya meskipun bayangan itu telah terpecah kembali. Figurnya kini begitu dewasa—sosok yang tak lagi bisa Kieran kenali, namun masih terasa familiar. Barangkali dirinya yang sekarang, berada entah dimana, bersembunyi di salah satu tempat tergelap Kontinen ini. Atau ia bahkan sudah sampai ke seberang pulang? Kieran tidak tahu.
Ia mendorong Kieran hingga tubuhnya terjerembab ke lantai. Kieran tak lagi ingin menolak.
Ia meninju Kieran beberapa kali dan membuat Kieran menoleh ke salah satu pintu. Rahangnya dingin ketika bertabrakan dengan permukaan lantai.
"Lihat apa yang terjadi jika kau tidak menahanku dengan benar malam itu."
Kieran tersedak isakannya sendiri.
Pintu itu menunjukkan kilas balik kematian orang tuanya. Di tengah-tengah ladang Grey Hill yang dingin, berdebu, dan sepi senyap.
Pintu depan mereka rusak karena didobrak. Malam itu kedua orang tuanya tak mendapat waktu istirahat yang cukup dan Kieran gagal membuat mereka merasa lebih baik. Mereka marah-marah, turun ke bawah, menyalahkan Kieran yang mereka sebut lalai karena tak mengunci pintu. Kieran bahkan tak bisa membela dirinya sendiri malam itu.
Ketika ia turun, ia sudah melihat genangan darah di lantai dan dua tubuh tergantung di daun pintu.
Teriakannya malam itu selaras dengan teriakan yang Kieran Masa Kini keluarkan di bawa tekanan Aiden. Bayangan yang berwujud pria kurus berambut panjang itu meninju perut Kieran, lalu menyuruhnya menoleh ke pintu yang lain.
Kieran, yang tak mempedulikan apapun lagi, menyaksikan semua hal yang pintu itu sajikan.
"Dan lihat apa yang bisa terjadi jika kau tidak melakukan kesalahan-kesalahan itu."
Semua kemungkinan yang Kieran bayangkan ada di dalam sana. Keluarganya yang tetap hidup bahagia di wilayah elit kota Gresnin, dikelilingi kemewahan dan hak istimewa sebagai keluarga bangsawan. Kakaknya yang berhasil menyelesaikan studinya, tertawa bahagia saat menemani kelulusan Kieran. Bibi Esther yang berhenti menjelek-jelekkannya.
Namun tak ada Nora di sana.
Surai gelap dan mata kelabu yang terus memicing tajam itu entah kenapa berkelebat di pikirannya. Tidak ada Nora di dalam semua kemungkinan itu. Fakta itu sedikit membuatnya merasa kurang nyaman.
Kieran memejamkan mata, tak peduli replika figur Aiden yang masih menghajarnya, menampar-nampar pipinya karena Kieran tak mau menurut. Kieran lalu memegang tangan yang telah melayangkan banyak tinju padanya. Ia sepenuhnya melakukan apa yang lewat di dalam kepalanya begitu saja; melempar Aiden ke dalam pintu itu.
Teriakan yang dalam dan bergema memenuhi rongga telinga Kieran. Bersamaan dengan Aiden yang memudar menjadi serat-serat bayangan semu, kilasan kejadian dalam pintu-pintu di sepanjang lorong ikut memudar. Ujung lorong seperti tersedot ke dalam lubang hitam yang terus berpusing, semakin lama kecepatannya semakin meningkat.
Kieran tak repot-repot bergerak. Ia membiarkan drinya ikut larut dalam pusaran itu, entah akan dijatuhkan dimana dirinya nanti.
Ia telah menolak apapun yang Alhok tawarkan di dalam sini. Meski dengan sedikit penyesalan di dada, Kieran setidaknya berhasil menghentikan Alhok menyiksa batinnya lebih lama.