"Apa aku perlu menggendongmu lagi?"
Nora melenguh di bahu Kieran. Ia mencoba menormalkan penglihatannya dan mencari tempat yang tepat untuk menunggu hingga kepalanya berhenti berputar. Tapi ia tetap berakhir di punggung Kieran, diam-diam menyalahkan Moralki.
"Bagaimana kau bisa tetap berjalan?" Nora masih ingin menyalahkan seseorang.
"Aku sudah melakukan ini puluhan kali, Nora. Atau mungkin ratusan, ribuan."
Nora bergumam, memilih tak berkata apa-apa lagi. Dibawa dengan teleportasi Moralki sama sensasinya dengan naik kereta kuda dalam kecepatan turbo untuk melewati perbukitan yang naik turun. Isi perutnya seperti dilambungkan bersamaan dengan cairan otaknya.
Tapi Nora akhirnya bisa menguatkan kakinya kembali ketika Kieran berhenti di depan gerbang. Gerbang manor itu digembok dan berkarat. Kieran dengan mudah menghancurkan gembok itu dan membuka gerendelmya. Bunyi berderit yang dihasilkan membuat Nora mengerutkan hidung.
"Sudah berapa lama rumah ini kosong?" tanya Nora. Ia mengikuti Kieran sembari merapatkan mantel. Udara dingin yang menguar di sini terasa tak wajar.
"Entahlah. Dua puluh tahun? Tiga puluh? Oberon lahir sekitar seabad lalu. Lalu setahuku rumah ini sempat beralih tangan ke banyak orang. Entah sejak kapan rumah ini dibiarkan tak terurus."
Nora menatap janggal patung ular di air mancurnya, menggeleng pelan. "Kurasa mereka meninggalkannya karena berhantu."
Ia melanjutkan memeriksa dan berlari kecil menyusul Kieran.
Manor tiga lantai ini lebih besar dari miliknya, juga lebih suram dan lebih mengancam. Cat tembok manor ini mungkin memang kelabu, atau sebenarnya hijau gelap yang sudah termakan usia. Ada lebih banyak tanaman merambat di sini daripada yang terlihat di luar pagar. Uniknya dua pilar yang menyambut tamu-tamu di masa lalu masih berdiri kokoh. Nora merasakan tangannya terkena campuran debu, tanah, bahkan cat dan mungkin sejuta bakteria.
Kieran menyerahkan sebuah senter saat mereka masuk. Pria itu juga menarik Nora supaya berjalan lebih dekat dengannya.
"Kapan kau membawa ini di dalam tasmu?"
Kieran mencoba mengingat. "Saat berangkat? Ini benda penting untuk dibawa jika kau hendak pergi untuk berpetualang."
Nora menghela nafas. "Kita tidak pergi untuk berpetualang."
"Pada akhirnya kita berpetualang. Di manor ini." Kieran mengangkat bahu, mulai berjalan menyusuri lantai manor yang terbalut karpet coklat berdebu. Entah apa warna aslinya Nora tidak tahu.
"Kenapa Moralki membawa kita kemari?"
"Entahlah." Kieran mengarahkan senter ke sepenjuru ruangan, sementara Nora masih belum menyalakan miliknya. "Moralki kadang lebih tahu apa yang hendak dilakukan daripada aku. Kupikir kita nanti akan kembali ke kabin lagi, berdiskusi dengan Daphne dan asistennya, lalu pergi lagi entah kemana untuk mencari cara menyelamatkan Logan tanpa membuatnya terluka atau mati. Tapi kemudian dia membawa kita kesini."
Nora mengernyit. "Kau pernah kesini sebelumnya?"
Kieran mengangkat bahu. "Ya, tapi tak ada yang berguna. Mungkin Moralki merasa ada yang terlewat."
Nora mengangguk-angguk, mendapati ruangan-ruangan dengan lorong terbuka yang gelap. "Aku akan memeriksa ke tempat lain."
Kieran bergumam. “Jangan sampai hilang.”
Nora mengerutkan matanya. Hanya ada mereka berdua di sini. Skenario terburuk yang Nora ketahui adalah ia akan tersesat di sembarang ruangan, lalu ia justru akan menemukan Kieran lebih dulu ketika pria itu mulai panik mencarinya. Apa yang bisa membuatnya hilang selain hal itu?
Nora berbelok ke lorong kanan dengan patung ular bersayap tergeletak bisu di depannya. Lorong itu berakhir cepat dan ruang bersantai yang luas langsung menyambut Nora. Bau apek, tanah bekas hujan, kayu-kayu lapuk, dan kain yang termakan debu serta rayap merasuk ke hidungnya. Empat sofa lebar dan satu meja tertutup kain putih. Juga berbagai furnitur lain di rumah ini yang tak ingin Nora periksa satu-satu. Perapian hanya menyisakan kayu-kayu yang sudah berjamur. Lampu gantung raksasa terjatuh di tengah ruangan, dua tangkainya patah dan masih ada pecahan dari penyangga lilin yang tergeletak. Jendela lebar nan tinggi menampilkan halaman depan manor. Kacanya berdebu dan ternoda kotoran-kotoran, hampir tak bisa Nora kenali apa yang ada di luar.
Kieran berteriak dari luar. Ia kemudian datang dengan senter menyorot ke wajah Nora.
"Hei!"
"Kupikir kita tak seharusnya berpisah. Bagaimana kalau kau hilang? Atau diculik orang lain? Atau dimakan hantu?" Ia mendekati Nora dan mencengkam lengannya seperti Nora adalah murid balita yang sedang berwisata ke tempat asing.
“Kupikir kau berlebihan. Aku bukan anak kecil.”
“Tempat ini tidak ramah bagi siapapun, bahkan bagi petugas Kementerian sekalipun.” Kieran berujar tegas, benar-benar terlihat seperti pak gurunya saat ia masih kanak-kanak.
Kieran menyeretnya, mengajaknya untuk masuk ke ruangan lain. Kali ini destinasinya adalah lantai atas.
“Kau merasakan sesuatu?” Kieran bertanya setelah kembali memperingati Nora soal anak tangga yang licin.
“Bau sofa busuk dan patung-patung yang terkena hujan asam? Ya, kurasa.”
“Bukan, seperti—” Kieran mencoba menjelaskan dengan tangannya, membuat mata Nora seolah berteriak ‘kau pikir aku akan mengerti hanya dengan hal itu?’. Tapi kemudian Kieran mengibaskan tangannya kembali. “Ada yang mencoba berbicara padaku.”
"Kubilang tempat ini berhantu."
"Aku tak pernah mendengar arwah-arwah mencoba berkomunikasi," Kieran menahan nafas, berucap rendah, "seberisik ini."
"Kau bisa bicara dengan mereka?" Nora berjalan lebih dekat dengan Kieran.
"Sedikit. Menurutmu Moralki itu apa?"
Nira terperangah. "Lalu kau seharusnya bisa berbicara dengan Alhok."
"Nah, untuk Alhok, aku sudah mencoba ribuan kali, Nora. Melakukannya sama seperti membiasakan diriku dengan Moralki—sama seriusnya dan sama seringnya—namun aku selalu berakhir tipes." Kieran menggeleng pelan. "Seisi Holy Turner sampai hafal aku."
"Holy Turner?"
"Rumah sakit khusus Penyihir."
"Jadi kau tipes pun tipes ala Penyihir?"
Kieran hendak tertawa mendapati wajah serius Nora. Kedua alisnya antara berkerut ke dalam atau naik ke atas. Bola mata kelabunya menyala di tengah gelap.
"Ya. Ada gejalanya sendiri. Seperti, muntah kelabang—"
"Oke cukup, aku tahu kau berbohong setelah mengatakan apapun yang hendak kau katakan nantinya."
Kieran tertawa, menarik Nora lebih dekat. Mereka sampai di lantai atas. Kieran berhenti sejenak, menarik nafas dalam. Pegangannya di tangan Nora mengerat, ia menatap sekeliling dengan mata menerawang, seolah-olah mencari sesuatu.
"Mereka ramai sekali di sini. Mengerubutiku seperti wartawan."
Nora hampir tersedak tawanya sendiri. "Atau penggemar."
"Apa kau pikir jika aku menampilkan Moralki di acara televisi nasional akan membuatku jadi artis?"
Nora berdecak, masih dengan tawa yang tertahan, menyenggol lengan Kieran yang berhimpitan dengannya. "Kenapa tiba-tiba menanyakan itu, sih?"
Ia bisa melihat ekspresi Kieran yang lebih rileks. Laki-laki itu mengajaknya menjelajahi isi manor lebih jauh, terutama di lantai ini. Meski Nora sempat terkesiap dan refleks berjalan lebih dekat dengan Kieran ketika melihat isi lorong yang hendak mereka lalui. Banyak sekali patung dan lukisan ular dan furnitur-furnitur yang hancur. Cakaran besar bahkan tertoreh di tembok bersandingana dengan bekas hujan peluru dan noda aneh yang Nora tidak tahu. Dan mungkin seharusnya ia tidak usah tahu.
"Sesuatu terjadi di manor ini."
Kieran mengangguk menyetujui.
“Dadaku sesak.”
Nora tiba-tiba jatuh berlutut di samping Kieran. Laki-laki itu bahkan tak sempat menangkapnya.
Dada Nora betul-betul sesak. Ia seperti diserang dari segala arah, semuanya berkekuatan masif dan menuntut, menahan dadanya. Ia ingin muntah. Ia ingin berbaring di lantai dan mengecilkan tubuh. Ia ingin memukul dadanya sendiri hingga rasa sakit itu hilang. Ia juga ingin menarik belahan jantungnya dari tempatnya bersemayam. Nora ingin melakukan apapun untuk membebaskan diri namun ia juga tak tahu apa yang bisa dilakukan.
Ia seperti dihimpit. Suara Kieran hanya serupa dengingan baginya. Sentuhannya di leher dan bahu Nora terasa seperti kapas yang tak memiliki massa tentu. Nora bisa merasakan pria itu memeluknya. Nora bisa merasakan nafasnya yang berhembus dekat dengan nadinya.
Tapi Nora tak bisa melakukan apapun karena menggerakkan sedikit saja bagian tubuhnya bisa membuatnya patah dan hilang. Nora membeku, tapi juga terbakar habis.
Angin dingin yang berhembus tiba-tiba menerbangkan beberapa helai rambutnya dan tembok-tembok yang menghimpitnya. Nora tiba-tiba bisa merasakan kelopaknya terbuka tanpa terlepas dari mata. Nora akhirnya bisa menepuk lengan Kieran dan membuat laki-laki itu terlihat begitu khawatir.
"Apa yang terjadi?" tanyanya pelan. "Kau diam lama sekali. Aku bahkan sudah berniat untuk memanggil Moralki dan segera pergi dari sini. Namun ia tak datang dan—" Kieran menggeleng pelan. Nafasnya memburu, peluh membasahi dahi dan pelipisnya. Matanya bergetar seolah visi paling keji dan mengerikan telah ia saksikan. "—dan aku juga tak bisa melakukan apapun."
Nora merasa ia sudah lama sekali tak bicara. Bibirnya bergetar dan ia tergagap saat mencoba membuka mulut. "Apa itu tadi?"
"Apa yang ia lakukan padamu?"
"Aku seperti—" Nora terdiam, menatap kuku-kukunya yang sobek dan guratan-guratan di lantai kayu yang ia gunakan sebagai tumpuan. "—dihimpit. Ditekan oleh sesuatu. Dituntut banyak sekali."
Kieran mencengkram erat bahu Nora, hampir menyatukan dahinya dengan milik gadis itu. "Mereka mengatakan banyak hal padaku."
"Siapa?"
"Aku tidak tahu." Kieran menenggak ludah dengan susah payah. "Mereka mengatakan sesuatu tentang rubanah—informasi dan pengalaman yang tak pernah ada sebelumnya. Kurasa kita harus kembali ke kabin."
"Tidak." Nora sontak berseru. "Tidak. Kita tidak bisa kembali."
"Nora, kau— kau seperti nyaris mati."
"Kita sudah sejauh ini."
"Tak ada yang berguna di sini. Malahan, kau akan menemui banyak bahaya yang bisa membunuhmu." Kieran menatapnya. Bibirnya menampakkan celah yang cukup untuk menyampaikan satu-dua kata, tapi Kieran tampak kebingungan melakukannya. "Kau— aku tidak tahu kenapa mereka yang ada di sini berkomunikasi sebanyak ini dari sebelumnya."
Nora memilih berhenti sejenak. Ia tak berpikir, tak menjawab Kieran, tak mencoba menenangkan nafasnya. Ia tak melakukan apapun, kecuali mengistirahatkan kepalanya di bahu Kieran.
"Apa yang mereka katakan padamu?" tanya Nora dengan suara lembut.
"Bahwa ada sesuatu di rubanah. Bahwa kau juga—mereka menyebutkan nama Thalia Rhodes dan menunjuk-nunjuk dirimu kelewat sering. Aku tidak tahu apa maksudnya."
Nora menghembuskan nafasnya dengan susah payah. "Ada apa lagi dengan ibuku?"
Kieran menggeleng—Nora bisa merasakannya.
"Ayo, Kieran." Nora memaksakan diri bangkit. Ia juga menarik Kieran meski kakinya terasa sekuyu puding susu. "Aku akan ke rubanah. Terserah dirimu mau ikut atau tidak."
Kieran mendengus. Ia kembali menyalakan senter dan menggenggam tangan Nora lebih erat daripada sebelumnya. "Aku ikut, tentu saja. Kau bisa mati tanpaku."
Nora hendak menarik tangannya dari Kieran, tapi Kieran mempertahankannya dan menjadi yang pertama untuk maju.