Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Maze Of Madness
MENU
About Us  

Mereka kembali melewati salah satu lorong yang gelap, berbelok menuju balkon dalam ruang yang melingkar.

Lukisan klasik dengan warna-warna monokrom menghiasi kubah kecil di langit-langit. Senter Nora menyorot ke sepenjuru ruangan yang rupanya dipenuhi oleh rak-rak, dan buku-buku. Karpet usang yang entah aslinya berwarna apa terhampar di lantai bawah. Ada lagi furnitur yang tertutup kain putih, tergeletak bisu.

Kieran menarik Nora untuk melewati tangga kecil yang mengarahkan mereka ke lantai bawah. Mendadak ada lebih banyak rak dan buku di sekitar mereka.

“Ruang baca.” Kieran berucap samar.

Nora berdehem mengiyakan, mulai menyalakan senternya lagi. Ia melepas pegangan Kieran, untuk mendekati rak-rak dan meneliti judul bukunya satu persatu. Semuanya buku-buku lama, kebanyakan novel klasik, buku filsafat, buku bisnis, dan judul-judul acak seperti ‘Pecahan Kapal Bajak Laut’ atau ‘Keajaiban yang Bisa Kau Buat di Rumah’.

“Selalu ada yang bisa didapat di ruang baca.”

Kieran bergumam. “Jangan jauh-jauh, Nora.” 

Nora tak menjawab. Ia sibuk meneliti buku-buku, menemukan hampir seluruhnya tampak normal. Bahkan hingga ia selesai memutari pojok-pojok ruangan, Nora tak menemukan sesuatu yang tampak mencurigakan. Ia hanya menemukan satu buku bersampul biru cerah di rak paling pojok. Nama Rhodes tertulis samar di ujungnya, bersandingan dengan nama lain berawalan P yang sudah tak bisa terbaca.

Mata Nora memicing, mencoba mengeluarkan buku itu dari tempatnya. Namun lantai di bawahnya tiba-tiba terasa tidak stabil. Kayu itu kehilangan penyangganya dan membuat Nora terperosok ke dalamnya.

Lengan Nora tergores potongan kayu yang tajam. Ia bahkan terlambat berteriak.

Tubuhnya dibawa turun melalui seluncuran besi yang kasar dan berkarat, juga berkelok-kelok dan memiliki tikungan yang mengagetkan. Nora tak tahu akan berakhir dimana dirinya. Ia harus memeluk tubuhnya sendiri dan menyembunyikan kulitnya di balik jubah untuk menghindari luka tambahan. Teriakannya beradu dengan suara gesekan kain jubahnya dan lempengan besi. 

Begitu seluncuran itu berakhir, tubuh Nora bergulingan di tanah berpasir. Ia berhenti dalam posisi terlentang, menatap langit-langit yang remang. Dadanya naik turun tanpa terkendali. Langit-langit di atasnya seperti dibuat dari tumpukan papan-papan kayu yang disusun renggang dan dilapisi jaring-jaring berlapis. Di balik jaring-jaring itu adalah sebuah lubang yang gelap, tak tahu ada apa di dalamnya.

Lalu ia tiba-tiba mencium aroma laut. Teriakan Kieran juga disergap indra pendengarannya. Ini efek adrenalin atau Kieran memang mengikutinya ke bawah sini?

Pertanyaan itu terjawab dengan tubuh Kieran yang berguling-guling brutal melaju ke arahnya. Nora buru-buru bangkit, berlari ke pinggir ruangan, dan membiarkan Kieran mendarat lebih jauh dari tempatnya semula. Pria itu terbatuk-batuk, mungkin tak sengaja menjilat pasir. Nora memandangi bolak-balik seluncuran tadi dan Kieran yang masih sibuk menyelamatkan tenggorokannya.

"Kau berteriak seperti nenek-nenek." Nora berkomentar.

"Dan kau masih main seluncuran seperti anak balita."

Kieran bangkit berdiri, menepuk-nepuk hampir seluruh bagian tubuhnya yang tertutup pasir dan debu. Nora cukup mengibaskan jubah dan menepuk beberapa bagian pakaiannya.

"Kenapa baunya amis sekali?"

Nora menggeleng, menatap sekitar yang hanya ditutupi tembok batu yang gelap. Tapi mereka mendengar suara gemuruh di kejauhan, seperti ombak. Nora memutuskan menelusuri tembok-temboknya dengan tangan, mengikuti kemanapun tembok ini berbelok.

Suara yang meyakinkan dari ujung tikungan membuat Nora bergegas berlari keluar. Sepatu botnya menapak pada batu-batuan yang seolah menyembul dari pasir. Cahaya senternya bergoyang kesana-kemari, kadang memantul pada permukaan air yang menggenangi bebatuan. Ia melompati semuanya, membuat Kieran meneriakinya untuk berhati-hati. Dari sinilah ia menemukan aroma lautan dan suara ombak yang aneh. Mereka baru saja jatuh ke dalam gua pinggir pantai yang langsung berbatasan dengan laut lepas.

Angin kencang tiba-tiba menerpa Nora hingga rambutnya beterbangan. Ombak yang didengarnya bergulung-gulung di kejauhan. Pasir putih terhampar sunyi, tak ada orang lain selain ia dan Kieran di sini.

"Aku sempat lupa rumah Oberon Priam ada di Lotshire. Ini jelas-jelas dibangun di tebing batunya yang terkenal itu."

Nora menoleh pada Kieran, merasakan rambutnya beterbangan hingga menutupi wajah. Ia berlarian kembali ke dalam gua, ke tempat mereka pertama kali tiba.

"Kenapa Oberon membangun seluncuran itu untuk turun kemari?" Kieran bertanya heran, mengikuti Nora.

"Pasti ada hal lain di gua ini." Nora bergumam, suaranya bergema di tembok-tembok gua. "Mungkin sesuatu yang bisa kita manfaatkan untuk mencari tahu. Kau pernah kesini sebelumnya, Kieran?"

"Tidak."

Nora mengangguk-angguk.

Ia mengarahkan senternya ke berbagai sudut gua begitu sampai. Tak ada yang ia temukan di dalam sana kecuali tanah berpasir dan tembok batu karang yang licin. Juga tikungan lain ke tempat yang lebih gelap. Nora berjalan ke sana tanpa pikir panjang.

Ada ruangan rahasia, tentu saja. Nora menemukan obor, Kieran dengan peka menyalakannya. Lagi-lagi ia membawa penyulut api yang tak Nora duga akan Kieran bawa.

"Ini salah satu perlengkapan darurat yang kita perlu untuk bawa, oke?"

Nora mengangkat bahu, mematikan senter dan menelusuri isi ruangan. Ada dua rak yang dipenuhi oleh buku—lagi-lagi. Oberon suka sekali dengan buku sepertinya.  Meja kerja yang kosong di pojok, sofa yang sudah hilang bahan lunaknya, dan kerangka tulang manusia utuh.

Nora memekik, Kieran langsung memasang tubuh di depan gadis itu dan menyuruhnya mundur.

Kerangka itu duduk di sudut lain ruangan, salah satu kaki menekuk sementara kaki lainnya terentang lurus. Tangannya bertempat di bagian perut dan samping tubuh.

Nora menahan nafas saat ia mulai bicara.

"Siapa dia?"

"Aku sering diberitahu jika kau menemukan sebuah kerangka manusia utuh di sebuah bangunan terbengkalai, kau lebih baik tak menyentuhnya."

Nora tetap merangsek maju. Namun Kieran sigap memegang bahu dan pinggangnya.

"Hei, kau pikir aku bercanda?" Laki-laki itu berseru tak percaya.

Nora menimbang-nimbang. "Memang apa yang bisa kau dapatkan dari menyentuh mereka? Penyakit menular mematikan? Sedikit jejak sihir gelap? Atau apa?"

"Bisa jadi semuanya." Mata Kieran bergerak-gerak tak yakin. "Bisa jadi sebuah kilasan memori kisah hidupnya, hanya terbaca oleh mereka yang bisa membacanya."

"Apa Moralki bisa membacanya?"

"Tidak tahu. Tapi dia tak di sini."

"Kukira dia selalu mengawasi kita? Mengawasi dirimu?"

"Moralki itu entitas yang cukup—" bibir Kieran sedikit terbuka, ia mencoba mencari kata yang tepat. "Pemilih. Kadang. Atau ia hanya memiliki beberapa tempat dan kondisi pantangan yang tak bisa ia lalui atau hadapi."

"Kau sudah lima tahun bersamanya. Kupikir kalian sudah saling memahami satu sama lain."

"Aku dan Moralki tidak memiliki hubungan seperti itu, oke?"

Nora mengangguk-angguk. "Oke, baiklah. Sekarang kita harus apa?"

"Kembali ke atas?"

"Bagaimana caranya?" Nora mendongak, dengan mata menyipit sebal. Sejenak ia sedikit jengah ketika tahu Kieran jauh lebih tinggi darinya. "Moralki tidak membawa kita kemari tanpa alasan, oke? Dan menurutku, hal-hal aneh yang kita temukan di tempat ini, harus diperiksa."

Kieran mendengus pelan. Diam-diam berpikir dan tanpa sadar mengendurkan pegangannya. Nora tak membuang satu kesempatan pun. Ia segera berlari ke kerangka itu, menyentuhnya dengan firasat ia akan menemukan suatu kilasan memori meski ia tak yakin ia memiliki kemampuan untuk itu.

Tapi ia memilikinya. Jiwanya seperti diseret dan dipindahkan ke tempat lain setelah itu.


***


Nora berada di tempat yang sama.

Di dalam gua pinggir pantai yang disulap menjadi ruang kerja, di tempat yang ia temukan bersama Kieran. Tapi tak ada Kieran di sini. Tempat ini juga berubah jadi jauh lebih bersih, lebih muda, dan lebih baru. Rak-rak dan meja kerja masih ada di tempatnya. Dan kerangka manusia yang mereka temukan—

Nora memekik. Ia tersaruk mundur ke belakang, menutup mulut tidak percaya.

Pasalnya kerangka manusia itu berubah menjadi manusia utuh. Yang masih bernafas, masih membuka mata, masih terkekeh ketika melihat Nora. Nora mengobservasinya dengan cepat. Ia adalah seorang pria, dengan garis hidung yang tinggi dan cambang tipis yang menghias rahang. Rambutnya hitam panjang, namun kusut dan lepek. Bekas luka terentang dari dahi tengah ke telinga kanannya. Ia memakai kemeja hitam yang sebenarnya dimasukkan ke dalam celana katun berwarna hijau gelap. Harusnya, karena kemeja itu kini berantakan dan basah. Luka besar di dada hampir tak bisa Nora lihat karena warna kemejanya dan kondisi ruangan yang nyaris gelap gulita.

"Akhirnya ada yang menemukanku," ucapnya parau.

Nora menahan diri untuk tak memekik. Ia memperbaiki posisi jongkoknya yang aneh karena habis terperanjat, memandangi pria itu dari atas sampai bawah. "Kau bisa melihatku?"

"Aku memang ada untuk dilihat, Nona Kecil."

"Apa ini sihir?"

Pria itu terkekeh, tapi justru darah yang keluar dari mulutnya. Nora hampir tersedak saat ia mencoba bertanya lagi, "apa yang terjadi padamu?"

"Anak muda jaman sekarang memang... luar biasa." Ia justru berkomentar demikian. "Aku sekarat. Mati setidaknya lima belas menit lagi. Sebelum itu aku harus menyampaikan informasi ini pada siapapun yang menyentuh jasadku—atau setidaknya tulang-belulangku."

Nora menahan nafas. Ia mencoba membiasakan diri dengan duduk lebih rileks di lantai. "Baiklah, apa yang— ingin kami para anak-anak setelahmu tahu?"

"Bahwa Alhok tak bisa dikalahkan." Ia meludahkan darah ke tembok. "Bahwa baru satu jam lalu, aku mencoba mengalahkannya, dan sekarang aku sekarat."

Nora memucat mendengarnya. Nafasnya seakan habis di hembusan yang ia keluarkan beberapa saat lalu. Ia mengulum bibirnya. "Apa dia benar-benar tak bisa dikalahkan—"

"Ia tak bisa dikalahkan. Setidaknya olehku, oleh sembarang orang sepertiku. Putriku telah mewarisi sekian kekuatanku dan aku bahkan tak tahu apakah ajaran yang sudah kuberikan ia hargai atau tidak. Barangkali tidak. Barangkali ia melupakannya seperti ia melupakanku di manor gelap ini."

Entah kenapa Nora ingin menangis. Tangannya mulai gemetaran.

"Bisakah kau mengajariku juga? Apa yang diajarkan pada putrimu, bisakah kau mengajarinya padaku?"

Pria itu dengan susah payah mengangkat tangan, lalu mengibaskannya. "Aku mati lima belas menit lagi. Kau butuh tiga belas tahun latihan untuk menguasainya. Hal itu tidak mungkin."

"A-Aku pembelajar yang cepat. Aku bisa belajar sendiri setelahnya setelah kau memberi contoh—atau suatu prosedur, cara, tahap-tahap—apapun itu. Aku pasti bisa mencari sumber lain atau guru lain, atau mencoba mencari tahu dengan caraku sendiri. Itu juga—itu juga bisa kulakukan."

Pria itu mengibaskan tangannya lagi. "Tidak ada gunanya optimis."

"Lalu apa kau mau membuang-buang energi terakhirmu sebagai seorang Penyihir untuk mengirim pesan pesimisme seperti ini?!" Nora tanpa sadar menaikkan suaranya. Pria itu mulai menatapnya lebih intens. "Selalu ada cara untuk melakukan apapun. Tidak mungkin masalah ini berakhir begitu saja. Tidak mungkin kita kalah semudah ini."

Pria itu diam menatap Nora yang mengerjap, merasa bersalah. Ia duduk lagi dengan kaki bersila dan dua tangan menumpu kepala.

"Temanku dirasuki oleh Alhok. Dia dikurung, ada yang menjaganya. Tapi pasti ada orang yang mencarinya dan dia bisa mengacau kapan saja. Dia bisa mati." Nora menggeleng pelan. Matanya terpejam oleh rasa putus asa. "Aku tidak bisa kehilangan siapapun lagi."

"Kau tahu, Nak." Pria itu mencoba menekuk satu kakinya, lalu menghela nafas panjang seolah paru-parunya hanya berfungsi separuh. Mungkin saat ini, paru-parunya memang hanya berfungsi separuh. "Kau mengingatkanku akan seseorang."

Nora mendongak, mengusap air mata yang menetes tanpa sadar.

"Kuberitahu apa yang bisa kau lakukan untuk setidaknya membawa temanmu itu lepas dari Alhok. Seseorang pernah melakukannya dan dia hampir mati, tapi dia berhasil." Pria itu mengulurkan satu tangannya. "Pegang lagi lenganku ketika aku sudah selesai berbicara. Sesegera mungkin. Karena aku tidak akan menerima pertanyaan atau protesan apapun."

Nora buru-buru mengangguk, dan pria itu mencoba mengawali dengan deheman pelan.

"Ayo selesaikan ini. Lima belas menitku hampir habis."

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Wabi Sabi
95      74     2     
Fantasy
Seorang Asisten Dewi, shinigami, siluman rubah, dan kucing luar biasa—mereka terjebak dalam wabi sabi; batas dunia orang hidup dan mati. Sebuah batas yang mengajarkan jika keindahan tidak butuh kesempurnaan untuk tumbuh.
the invisible prince
1555      844     7     
Short Story
menjadi manusia memang hal yang paling didambakan bagi setiap makhluk . Itupun yang aku rasakan, sama seperti manusia serigala yang dapat berevolusi menjadi warewolf, vampir yang tiba-tiba bisa hidup dengan manusia, dan baru-baru ini masih hangat dibicarakan adalah manusia harimau .Lalu apa lagi ? adakah makhluk lain selain mereka ? Lantas aku ini disebut apa ?
The Alpha
2049      913     0     
Romance
Winda hanya anak baru kelas dua belas biasa yang tidak menarik perhatian. Satu-satunya alasan mengapa semua orang bisa mengenalinya karena Reza--teman masa kecil dan juga tetangganya yang ternyata jadi cowok populer di sekolah. Meski begitu, Winda tidak pernah ambil pusing dengan status Reza di sekolah. Tapi pada akhirnya masalah demi masalah menghampiri Winda. Ia tidak menyangka harus terjebak d...
Black Roses
32512      4652     3     
Fan Fiction
Jika kau berani untuk mencintai seseorang, maka kau juga harus siap untuk membencinya. Cinta yang terlalu berlebihan, akan berujung pada kebencian. Karena bagaimanapun, cinta dan benci memang hanya dipisahkan oleh selembar tabir tipis.
Zo'r : The Scientist
20356      3534     38     
Science Fiction
I will be inactive for some months due to the school's passing exams. [WILL BE REVISIONED] Zo'r The Series Book 2 Book 1 - Zo'r : The Teenagers Bumi selamat, tetapi separuhnya telah hancur berantakan. Zo'r yang kini hanya ber-6 kembali kehidupan lama mereka, tetapi sesuatu kembali terjadi. Terror-terror mulai berdatangan kepada mereka, mengganggu kehidupan mereka, sehingga Iustum harus ik...
The Skylarked Fate
6924      2075     0     
Fantasy
Gilbert tidak pernah menerima takdir yang diberikan Eros padanya. Bagaimanapun usaha Patricia, Gilbert tidak pernah bisa membalas perasaannya. Seperti itu terus pada reinkarnasi ketujuh. Namun, sebuah fakta meluluhlantakkan perasaan Gilbert. Pada akhirnya, ia diberi kesempatan baru untuk berusaha memperbaiki hubungannya dengan Patricia.
Under The Moonlight
2164      1081     2     
Romance
Ini kisah tentang Yul dan Hyori. Dua sahabat yang tak terpisahkan. Dua sahabat yang selalu berbagi mimpi dan tawa. Hingga keduanya tak sadar ‘ada perasaan lain’ yang tumbuh diantara mereka. Hingga keduanya lupa dengan ungkapan ‘there is no real friendship between girl and boy’ Akankah keduanya mampu melewati batas sahabat yang selama ini membelenggu keduanya? Bagaimana bisa aku m...
Pria Malam
1090      660     0     
Mystery
Semenjak aku memiliki sebuah café. Ada seorang Pria yang menarik perhatianku. Ia selalu pergi pada pukul 07.50 malam. Tepat sepuluh menit sebelum café tutup. Ia menghabiskan kopinya dalam tiga kali tegak. Melemparkan pertanyaan ringan padaku lalu pergi menghilang ditelan malam. Tapi sehari, dua hari, oh tidak nyaris seminggi pria yang selalu datang itu tidak terlihat. Tiba-tiba ia muncul dan be...
Si Neng: Cahaya Gema
175      151     0     
Romance
Neng ialah seorang perempuan sederhana dengan semua hal yang tidak bisa dibanggakan harus bertemu dengan sosok Gema, teman satu kelasnya yang memiliki kehidupan yang sempurna. Mereka bersama walau dengan segala arah yang berbeda, mampu kah Gema menerima Neng dengan segala kemalangannya ? dan mampu kah Neng membuka hatinya untuk dapat percaya bahwa ia pantas bagi sosok Gema ? ini bukan hanya sede...
Jikan no Masuku: Hogosha
3967      1395     2     
Mystery
Jikan no Masuku: Hogosha (The Mask of Time: The Guardian) Pada awalnya Yuua hanya berniat kalau dirinya datang ke sebuah sekolah asrama untuk menyembuhkan diri atas penawaran sepupunya, Shin. Dia tidak tahu alasan lain si sepupu walau dirinya sedikit curiga di awal. Meski begitu ia ingin menunjukkan pada Shin, bahwa dirinya bisa lebih berani untuk bersosialisasi dan bertemu banyak orang kede...