Read More >>"> Romance is the Hook (Tunnel Vision) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Romance is the Hook
MENU
About Us  

Almira

Aku merasakan kebahagiaan persis di depan mataku.

Jantungku masih belum bisa berhenti berdebar akibat ulah pria menyebalkan yang sekarang bisa aku sebut pacarku itu. Aku tidak akan pernah memaafkannya jika berani meninggalkan aku karena ia baru saja meningkatkan standar pria idamanku. I mean, pengakuan cinta saat berdansa Tango? Atau perang gelato di tengah malam? 

Ponselku berdering saat aku masih mengoleskan krim siang di wajahku. Aku menghabiskan waktu lebih lama memijat pipiku karena terlalu banyak tersenyum. Dan masih terus tersenyum saat melihat pesan yang masuk. 

Mi Rey: Morning Sunshine. Just got back from buffet, mau aku bungkusin makanan?

Sayang sekali aku tidak bisa menghabiskan waktu bersama saat sarapan. Tentu karena aku ingin merahasiakan hubungan ini dulu sampai aku bisa menjelaskan semuanya pada teman-temanku. Jadi aku harus puas dengan backstreet relationship. Yah, aku juga tidak pernah mencoba pacaran sembunyi-sembunyi sebelumnya, jadi bagus untuk menambah pengalaman.

Aku mengetikkan balasan dengan cepat, “Morning. Nggak usah lah, Rey. Aku mau bertarung di arena buffet sendiri nanti.”

Satu lagi yang kita–bahkan mendengar aku mengatakan kata ini dalam pikiran membuat aku tersenyum sekarang–sepakati kemarin adalah panggilan. Berhubung umur kita hanya berbeda satu tahun dan bahkan ulang tahun kita ada di bulan yang sama, aku memutuskan memanggilnya dengan nama panggilan yang sama dengan cara orang lain memanggilnya. Sama denganku.

Masih pagi dan aku sudah mendengar istilah aneh lagi darimu, Ami. although, I wish to see that with my own eyes. What a shame… 🙁

Aku sontak tertawa membaca balasannya. Sepertinya kalau ada teman Reynaldo yang melihat caranya membalas pesanku, mereka tidak akan pernah percaya kalau Reynaldo yang mereka dan aku kenal adalah orang yang sama.

Masih dengan tawa kecil aku membalas, Bear with it! Nanti aku dokumentasikan tiap babaknya. See ya later!

Kalau harus dijelaskan, perasaanku masih bercampur antara bahagia dan bingung. Bahagia karena perlakuan Reynaldo yang semakin baik terutama setiap kali aku berdua dengannya, juga karena ia selalu menerima tingkah anehku. Namun juga bingung untuk menyikapi perubahan hubungan kita dari saling kesal satu sama lain sampai menjadi seperti sekarang ini. 

Apakah sebenarnya kita memang saling tertarik satu sama lain tetapi tidak mau mengakuinya? Makanya kita selalu berusaha membuat satu sama lain kesal untuk membuktikan asumsi kita? Aku kemudian teringat perkataan Nisa bahwa aku akan menyadari perasaanku yang sebenarnya saat waktunya tiba. 

Speaking of which, aku memutuskan untuk memberitahu mereka tentang hubunganku dan Reynaldo setelah proyek buku Perempuan Berambut Api selesai. Aku pikir aku harus fokus pada proyekku ini terlebih dahulu. Juga, aku ingin memastikan kalau hubungan ini berjalan selama itu. Two weeks to go!

***

Sesuai rencana tim proyek buku kali ini, kita akan mengadakan book tour selama 3 minggu sebelum perilisan buku. Jadi pertama-tama, kita harus melakukan quality check untuk cetakan pertama buku, termasuk cover, setiap kata yang tertulis dalam jaket buku, maupun isi tiap halamannya. Itulah salah satu agenda rapat perdana–setelah liburan dua hari satu malam di Bali–hari ini.

Vira sebagai perwakilan dari tim produksi sudah membawa satu sampel buku yang sudah dicetak. Masing-masing anggota kemudian memastikan kesesuaian cover dan melihat sekilas isi buku untuk memastikan tidak ada kerusakan yang mencolok. 

“Kita sudah selesai mencetak 1000 buku pertama untuk keperluan book tour. Tim produksi juga sudah selesai QC dan sudah dipastikan tidak ada defect dari tiap bukunya.” Layar proyektor menampilkan angka hasil pemeriksaan kualitas dan rencana pembagian 1000 buku Perempuan Berambut Api ke setiap acara di rangkaian book tour serta kegiatan promosi lainnya.

Reynaldo mengangkat tangannya, bersiap untuk memaparkan sesuatu. Tanganku bersiap untuk mencatat poin yang akan ia sampaikan dalam notebook putihku.

“Gue akan ambil 50 buku dulu untuk diproses pengiriman ke penulis yang bersedia mengulas buku dan reviewer terpilih dari sosial media.” Ia kemudian beralih ke arah Mirah. “Tim pemasaran sudah melakukan checking ke setiap penulis dan kesesuaian akun reviewer yang kita pilih dengan buku Mbak Dewi, kan?”

Mirah mengangguk, mengkonfirmasi pertanyaan Reynaldo. Aku pun menambahkan tanda centang di sebelah daftar hal yang harus dilakukan sebelum perilisan buku Mbak Dewi di bulan Oktober. 

“Gue juga sudah menyediakan iklan promosi pre-order buku. Dari tim PR sudah siap host untuk live di setiap sosial media dan marketplace Gautama Books?” 

Giliran Reynaldo yang mengangguk mendengar pertanyaan Mirah. “Gue sudah dapat konfirmasi dari anggota tim gue, Evelyn dan Tiara. Mereka biasa jadi host di promosi buku sebelumnya jadi sudah mengerti alur terbaiknya. Nanti lo bisa share detail pre-order bukunya ke gue ya, seperti tambahan merchandise atau diskon yang bisa pembeli dapatkan.”

Mirna mengangguk lalu mencatat tugas dari Reynaldo di tabletnya. Pria itu lalu beralih ke arahku dan Kak Felice, “Guys, gue perlu konfirmasi dari Mbak Dewi untuk buku bertanda-tangan. Apa beliau bisa datang ke kantor untuk menandatangani setiap buku atau kita yang bawa bukunya ke rumah beliau, can you guys confirm that?

Aku dan Kak Felice mengangguk.

“Oke. Sekalian gue share TOR dari acara bincang buku di beberapa klub buku dan toko buku yang perlu Mbak Dewi hadiri 2 minggu kedepan ya. Bisa tolong disampaikan ke Mbak Dewi, supaya beliau bisa mempersiapkan apa saja yang perlu dibicarakan selama acara. Kalau ada pertanyaan dari beliau bisa kalian gabungkan jadi satu dan kirimkan ke gue.”

“Siap, Kak!” jawabku sambil tersenyum jahil ke arah pria yang sekarang terlihat terlalu keren saat menyampaikan rencana kerjanya. Ia mengedipkan mata cepat ke arahku, membuat aku harus menahan tawa geli yang hampir saja muncul ke permukaan.

“Sip, Rey. Ayo semangat guys!” Kak Felice mengangguk semangat dan diikuti juga oleh anggota tim lain di dalam ruangan. Termasuk aku yang juga menyimpan rasa khawatir setelah mendapati wajah kusut mentorku ini setelah melewati dua pelelangan naskah yang kompetitif.

Rapat ditutup setelah pemaparan tim sales dan distribusi mengenai daftar toko buku yang sudah menerima proposal untuk menjual buku Mbak Dewi selama masa kontrak dan progress perilisan buku di platform online milik Gautama Books serta beberapa platform perpustakaan online.

Semakin dekat dengan akhir proyek buku pertamaku, aku menjadi semakin berdebar gugup dengan hasil yang akan aku dapatkan. Namun melihat progress di rapat kali ini, aku seperti melihat secercah cahaya di depan jalan karirku. I can go through this. Semangat, Ami!

“Mi, nanti tolong beritahu Vira untuk menaruh satu boks buku yang akan dikirim dalam PR Package, ya,” ucap Kak Felice saat aku baru saja selesai merapikan meja rapat. Aku mengangguk sambil mendorong masuk kursi di sela meja rapat sebelum keluar bersama mentorku itu. 

“Kak, I think you need rest, no?

Ia tersenyum menggeleng. “Nggak apa. Gue sih sudah biasa dengan pace kerja seperti ini, Mi.”

Aku hanya bisa menghela napas pasrah dan mengingatkan Kak Felice untuk segera memberitahu aku atau anggota tim lain jika ia merasa kewalahan dalam pekerjaannya. Yah, meskipun tugas editor kali ini hanya memastikan informasi antara penulis dan tim proyek tersampaikan dengan baik. Aku bahkan sudah mulai memasukkan beberapa naskah pilihanku ke dalam folder yang akan dilihat Bu Eri.

Setelah mendapatkan jawaban berupa anggukan, Kak Felice segera melesat pergi ke pelelangan naskah lainnya. Sementara aku beralih ke meja tim produksi mencari Vira. 

“Hey, Vira.” Aku menyapa wanita seumuranku yang tampak sibuk membuka-buka beberapa buku untuk memeriksa kualitas cetaknya. Ia melirik dari balik kacamata bulatnya, lalu tersenyum. “Aku mau mengambil boks buku yang akan dikirim lewat PR Package.”

Masih dalam posisi duduk, Vira menunjuk ke arah tumpukan kardus di atas meja yang terletak di pojok ruangan. “Lo cari aja yang inisialnya PBA. Rasanya sudah gue taruh di tumpukan di bawah meja minggu lalu. Pastikan tulisannya pakai spidol warna merah ya, karena selain itu berarti ada buku defect di dalamnya.”

Setelah aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih, ia kembali berkutat memeriksa buku-buku di tangannya. Sepertinya ia sangat sibuk hari ini. Aku pun beralih dan memeriksa kardus dengan ciri-ciri yang disampaikan Vira tadi. 

Mataku tertuju pada kardus yang diletakkan paling depan di lantai. Tadi kata Vira kardus di bawah meja kan? Di atas lantai termasuk di bawah meja nggak sih? Aku menoleh ke arah Vira namun ia masih sibuk dengan pekerjaannya. Akhirnya aku pun mencoba memastikan dari inisial merah di permukaan kardus lalu mengangkat satu kardus yang aku lihat pertama kali.

Dengan langkah riang, aku berjalan cepat menuju meja tim PR. Mataku menemukan sosok yang kucari sedang serius mengerjakan sesuatu di laptopnya. Wajahnya terlihat kaku, tanpa ekspresi. Aku penasaran apakah ia sebenarnya memiliki kepribadian yang berbeda setiap kali aku melihat perbedaan jomplang antara sikapnya di kantor dan di luar kantor.

“Paket…” Aku mengetuk meja Reynaldo tiga kali dengan tangan kananku. Sementara boks buku yang kubawa aku sandarkan di ujung mejanya. 

Aku disambut dengan senyuman ala kucing menggemaskan kesukaanku. Untung saja tanganku sedang penuh dengan kardus berat ini jadi bisa menghindari keinginanku untuk mencubit pipinya gemas.

Ia mengedipkan mata lalu lanjut menyapaku dengan suara normalnya. “Hey, gorgeous.” 

Don’t! Ini di kantor, Rey!” protesku berbisik. Pria ini memang selalu saja mencari cara untuk membuatku kesal. Aku menengok kanan lalu kiri dan menghembuskan napas lega ketika melihat tidak ada yang terlihat mendengar perkataan Reynaldo tadi.

Sorry. Tapi aku nggak bisa menahan keinginan buat menjahili kamu,” ucapnya lagi sembari mengangkat boks di tanganku dan memindahkannya ke meja kosong di sampingnya. “Also, kenapa kamu tidak minta bantuanku untuk angkat boks ini? Berat banget lho, Ami.”

Aku tertawa memamerkan otot lenganku, “Tenang, Rey. Berkat asupan makanan seminggu kebelakang aku jadi semakin kuat.”

“Aku nggak boleh cubit pipi kamu sekarang, ya?”

Aku tersenyum jahil melihat wajah memelasnya. “Nope!”

Ia mendengus kesal. “Tease!” 

Aku menjinjitkan kaki dan membisikkan, “But you like it,” di telinga kiri Reynaldo. Membuatnya menggelengkan kepala pasrah. 

“Oh ya, boks itu isinya buku untuk PR Package ya, Rey.” Reynaldo beralih menatap boks itu lalu mengangguk. Aku pun segera meraih ponselku untuk mencentang tugas harianku. Setelah ini aku harus mengirimkan email tentang jadwal acara ke Mbak Dewi dan meminta konfirmasi untuk book signing.

Setelah menutup aplikasi memo di ponselku, aku menoleh ke arah wajah Reynaldo yang menungguku selesai melakukan tugasku dengan sabar. Sepertinya saraf di tubuhku tidak bisa menahan keinginan untuk menjahilinya setiap kali ia memperlihatkan sorot mata polos itu. “Ada lagi yang bisa saya bantu, Tuan?”

Ia mengangkat alisnya, terlihat heran dengan tingkah anehku lagi. Tapi yang paling aku sukai dari versi terbaru Reynaldo adalah kemauannya untuk mengikuti tingkahku itu. Karena setelah mendengar perkataan jahilku itu, ia menjawab dengan nada seperti bangsawan abad ke-18. “Saya akan merasa terhormat jika Nona mau menemani makan malam saya dalam lima jam kedepan.”

Aku tersenyum sembari mengangkat jam tanganku. “Certainly, my good sir. See you at 8 then!” 

Kebahagiaan memenuhi hatiku, membuatku tersenyum dan mendapati Andin melihatku dengan tatapan aneh. Pada titik ini, aku seharusnya tidak terlena pada kebahagiaan sesaat dan menurunkan fokusku. Dan aku sekali lagi harus mengetahui kenyataan ini dengan cara yang menyakitkan.

Semua berawal dari munculnya keinginanku untuk menyelesaikan semua tugas dengan cepat. Dengan percaya diri aku membaca sekilas setiap dokumen yang perlu kukirimkan kepada Mbak Dewi dan mengganti nama dokumen berdasarkan nama acara yang akan dihadiri 2 minggu kedepan. 

Jarum jam terasa terus mengejarku hingga aku akhirnya selesai mengirimkan semua dokumen tepat pada pukul enam pada Kak Felice. Aku mendapatkan persetujuan darinya kurang dari tiga puluh menit setelahnya.

Tugas aku tandai sebagai selesai setelah mengirimkan TOR kepada Mbak Dewi. Sekarang aku tinggal menunggu konfirmasi dan memastikan transportasi untuk acara pertama dua hari lagi tersedia dengan baik.

Semua berjalan baik. 

Setidaknya saat itu aku merasa begitu. Karena dua hari setelahnya, yaitu hari ini, aku dibuat bingung dengan ketidakhadiran Mbak Dewi di acara bincang buku Gautama Books sampai kurang dari tiga puluh menit sebelum acara.

Suara teriakan Bu Eri terdengar dari balik telepon. “Almira! Kamu tidak memeriksa isi TOR kegiatan hari ini sebelum kamu kirimkan ke Mbak Dewi?”

“Sudah, Bu.” Sepertinya aku juga sudah mendapatkan konfirmasi dari Kak Felice sebelum mengirim semua dokumen TOR itu. 

“Lalu kenapa Mbak Dewi mengira acaranya dimulai jam 3? Dia masih terjebak kemacetan di Bogor dan mungkin baru bisa sampai di sana jam 3 kurang. That’s 3 hours late!

Aku terdiam, mulai memikirkan solusi yang harus aku lakukan untuk menyelamatkan keberlangsungan acara hari ini. 

Bu Eri menghembuskan napas panjang. Aku bahkan bisa membayangkan wajah kesalnya saat ini. “Saya mau kamu mengundur waktu dengan mengisinya dengan kegiatan lain. Jangan sampai peserta yang datang malah kecewa karena harus menunggu tanpa melakukan apa-apa.”

Setelah mengucapkan pesan—atau mungkin ancaman—terakhirnya itu, ia menutup telepon. Saat itu aku tersadar.

Saat melihat titik cahaya dalam kegelapan, kita akan fokus berjalan ke titik tersebut. Tanpa menyadari adanya lubang besar di tengah perjalanan.

Aku segera menyampaikan kondisi terbaru pada anggota tim PR yang berada di lokasi acara, menunggu datangnya kabar baik dengan wajah cemas. Saat melihat bahu mereka memerosot setelah mendengar berita keberadaan bintang acara, aku mulai merutuki diriku.

Bahkan wajah Reynaldo berubah kaku saat mendengar penjelasanku, lalu ia langsung pergi keluar sambil menelpon seseorang. Apa aku sudah mengecewakan mereka semua? 

Aku hanya bisa berdiri di tengah ruang panitia. Pikiranku bertambah kosong saat melihat kerumunan peserta yang sudah menengok kanan dan kiri gelisah karena acara tidak kunjung dimulai.

Apa aku hanya bisa diam tidak berguna di belakang panggung?  Apa aku hanya bisa menyesali sikapku yang terlalu menyepelekan detail penting dari dokumen yang aku kirim? 

Tidak. Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus belajar bertanggung jawab dan memperbaiki kesalahan ini.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta Tiga Meter
460      293     0     
Romance
Fika sudah jengah! Dia lelah dengan berbagai sikap tidak adil CEO kantor yang terus membela adik kandungnya dibanding bekerja dengan benar. Di tengah kemelut pekerjaan, leadernya malah memutuskan resign. Kini dirinya menjadi leader baru yang bertugas membimbing cowok baru dengan kegantengan bak artis ibu kota. Ketika tuntutan menikah mulai dilayangkan, dan si anak baru menyambut setiap langkah...
Pria Malam
773      505     0     
Mystery
Semenjak aku memiliki sebuah café. Ada seorang Pria yang menarik perhatianku. Ia selalu pergi pada pukul 07.50 malam. Tepat sepuluh menit sebelum café tutup. Ia menghabiskan kopinya dalam tiga kali tegak. Melemparkan pertanyaan ringan padaku lalu pergi menghilang ditelan malam. Tapi sehari, dua hari, oh tidak nyaris seminggi pria yang selalu datang itu tidak terlihat. Tiba-tiba ia muncul dan be...
The Maze Of Madness
3776      1537     1     
Fantasy
Nora tak banyak tahu tentang sihir. Ia hidup dalam ketenangan dan perjalanan normal sebagai seorang gadis dari keluarga bangsawan di kota kecilnya, hingga pada suatu malam ibunya terbunuh oleh kekuatan sihir, begitupun ayahnya bertahun-tahun kemudian. Dan tetap saja, ia masih tidak tahu banyak tentang sihir. Terlalu banyak yang terjadi dalam hidupnya hingga pada saat semua kejadian itu merubah...
Langit Indah Sore Hari
98      84     0     
Inspirational
Masa lalu dan masa depan saling terhubung. Alka seorang remaja berusia 16 tahun, hubungannya dengan orang sekitar semakin merenggang. Suatu hari ia menemukan sebuah buku yang berisikan catatan harian dari seseorang yang pernah dekat dengannya. Karena penasaran Alka membacanya. Ia terkejut, tanpa sadar air mata perlahan mengalir melewati pipi. Seusai membaca buku itu sampai selesai, Alka ber...
Rembulan
766      426     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...
Drifting Away In Simple Conversation
291      201     0     
Romance
Rendra adalah seorang pria kaya yang memiliki segalanya, kecuali kebahagiaan. Dia merasa bosan dan kesepian dengan hidupnya yang monoton dan penuh tekanan. Aira adalah seorang wanita miskin yang berjuang untuk membayar hutang pinjaman online yang menjeratnya. Dia harus bekerja keras di berbagai pekerjaan sambil menanggung beban keluarganya. Mereka adalah dua orang asing yang tidak pernah berpi...
Edelweiss: The One That Stays
1385      589     1     
Mystery
Seperti mimpi buruk, Aura mendadak dihadapkan dengan kepala sekolah dan seorang detektif bodoh yang menginterogasinya sebagai saksi akan misteri kematian guru baru di sekolah mereka. Apa pasalnya? Gadis itu terekam berada di tempat kejadian perkara persis ketika guru itu tewas. Penyelidikan dimulai. Sesuai pernyataan Aura yang mengatakan adanya saksi baru, Reza Aldebra, mereka mencari keberada...
Dandelion
4381      1313     0     
Romance
Kuat, Cantik dan Penuh Makna. Tumbuh liar dan bebas. Meskipun sederhana, ia selalu setia di antara ilalang. Seorang pemuda yang kabur dari rumah dan memilih untuk belajar hidup mandiri. Taehyung bertemu dengan Haewon, seorang gadis galak yang menyimpan banyak masalah hidup.
Cinta dalam Impian
86      67     1     
Romance
Setelah ditinggal oleh kedua orang tuanya, seorang gadis dan abangnya merantau untuk menjauh dari memori masa lalu. Sang gadis yang mempunyai keinginan kuat untuk meraih impian. Voska belajar dengan rajin, tetapi dengan berjalannya waktu, gadis itu berpisah dengan san abang. Apa yag terjadi dengan mereka? Mampukah mereka menyelesaikan masalahnya atau berakhir menjauh?
Asmaraloka Jawadwipa (Sudah Terbit / Open PO)
7221      2133     1     
Romance
Antara anugerah dan kutukan yang menyelimuti Renjana sejak ia memimpikan lelaki bangsawan dari zaman dahulu yang katanya merupakan sang bapa di lain masa. Ia takkan melupakan pengalaman dan pengetahuan yang didapatnya dari Wilwatikta sebagai rakyat biasa yang menyandang nama panggilan Viva. Tak lupa pula ia akan indahnya asmara di Tanah Blambangan sebelum mendapat perihnya jatuh cinta pada seseor...