Reynaldo
Aku sudah memutuskan untuk tidak menunggu lebih lama lagi.
Saat mengantarkan Almira siang tadi, aku masih bisa menahan perasaanku. Bahkan ketika aku mendengar nyanyian kecilnya di mobil dan ketika aku mengetahui lagi fakta menarik tentang wanita itu. Atau saat aku memberanikan diri menggenggam tangannya di studio ayahnya, sebuah keputusan impulsif untuk menyadarkan aku kalau semua itu bukan mimpi. Aku benar-benar berada di samping wanita yang tampak manis dengan penampilan kasualnya.
Aku sudah merasa puas dengan waktu yang kami habiskan bersama.
Harusnya aku sudah puas dengan hubungan kami miliki. Namun, ketika Almira muncul dengan gaun hitam selutut di restoran pinggir pantai malam itu, aku seperti melupakan semua keputusan untuk menyelesaikan urusan keluargaku sebelum serius mendekatinya.
Rambut hitam bergelombang miliknya yang ia biarkan tergerai berhembus terkena angin malam Pantai Sanur. Ketika matanya menemukan mataku di tengah kerumunan orang-orang, ia melambaikan tangannya. Bibirnya terangkat di dua ujungnya, memperlihatkan senyum menawan dibalut dengan warna merah menyala dari lipstik yang ia kenakan. Saat itu juga aku tersadar. Aku telah jatuh terlalu dalam dan perasaanku ini harus segera aku ungkapan kepadanya.
“Malam, Kak. Did you have a good rest?”
Aku merasa sirkuit dalam otakku hampir berhenti beroperasi saat wanita itu sudah berada di hadapanku. Sebelum aku tersadar dari pesona Almira, mulutku sudah menjawab terlebih dahulu. Sudah kubilang wanita ini mendorong sisi impulsif yang aku miliki. Karena kata yang muncul adalah, “Lo cantik.”
Ia diam tertegun. Mulutnya membuka lalu menutup seakan sedang mencari kata yang tepat untuk situasi aneh di antara kami. Aku merasa waktu berjalan lama saat keheningan menyelimuti kami. Almira menemukan kesadarannya terlebih dahulu. “Terima kasih, Kak. Kakak juga keren malam ini.” Ia mengacungkan jempol ke depan wajahku, sementara ia menundukkan kepala menyembunyikan semu merah di kedua pipinya.
Aku meraih gagang kacamataku dan memperbaiki posisinya. “Oh ya, teman-teman lo dimana?” Aku menengok ke arah belakang, berusaha mencari tiga temannya yang selalu menempel di sekitar Almira.
“Mereka ketiduran, Kak.” Almira mendengus kesal lalu berjalan mendekat sampai ia bersandar di pilar restoran sama sepertiku. “Padahal saya sudah set alarm volume paling besar dan mereka tetap tidur. Kata orang kantor yang lain sih, mereka habis menggila sepedaan keliling Pantai Sanur tadi siang. Jadinya mereka kelelahan mungkin ya.”
“Terus lo memutuskan untuk pergi kebawah sendiri?” Aku tidak bisa memutuskan harus senang atau kesal dengan keputusan Almira. Di satu sisi, aku senang karena bisa menghabiskan waktu berdua dengan Almira tanpa gangguan teman-temannya. Namun di sisi lain, aku kesal karena ia dengan cuek berjalan di lorong sepi hotel dengan dandanan menawan seperti ini. Berapa banyak pria yang sudah melihat pesona Almira sepanjang jalan tadi?
“Obviously.” Ia menjawab sambil memandang ekspresiku heran. “I should say the same for you, though.”
“Daniel maksud lo?”
Ia mengangguk.
“Kalau Daniel sih di sana.” Aku menunjuk ke arah kumpulan anak-anak Keluarga Gautama yang meski tidak bekerja di lini bisnis penerbitan tetapi pasti akan datang di setiap pesta perusahaan.
Almira mengikuti arah tanganku. “Saya sepertinya tidak pernah melihat mereka di kantor. Apa mereka bekerja di lantai manajemen sama seperti Kak Dan?”
Aku menjawab dengan malas. “Bukan, mereka semua itu dari Keluarga Gautama.”
Mata Almira tetap menatap ke arah kumpulan orang-orang yang selalu mengucilkanku–kecuali Daniel tentunya. “Lalu apa hubungan mereka dengan gala dinner Gautama Books?”
Aku mengedikkan bahu, tidak ingin membahas lebih jauh.
Almira mengalihkan pandangannya ke arahku. Ia menatapku seakan ia mengerti apa yang aku rasakan bahkan sebelum aku mengatakannya. Lalu ia tersenyum dan mulai bercerita tentang kedai gelato Italia favoritnya. Pikiranku yang tadinya dipenuhi ingatan pahit di masa lalu berangsur memudar, digantikan dengan cerita aneh dari hidup wanita ini. Aku tertawa mendengar cerita tragedi gelato tiga tingkat yang menurut Almira membuatnya trauma memesan gelato dalam cone lagi. I love her for that.
“Sejak saat itu saya selalu memesan gelato dalam cup. Tapi rasanya sayang kalau tidak bisa makan waffle cone juga, jadi saya biasanya memesan keduanya secara terpisah. Ide yang bagus kan?”
Aku menatapnya lekat. Ia terlihat semakin bersinar saat membicarakan hal yang ia sukai. “Gue jadi penasaran ingin mencoba makan gelato cone tiga tingkat itu. Siapa tau ternyata gue punya keseimbangan yang lebih baik dari lo?”
Ia merengut kesal. Aku menahan tanganku untuk tidak mencubit pipinya gemas.
“Kalau begitu bagaimana kalau kita buktikan langsung?”
Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan. “Memangnya disini ada es krim cone?”
Almira tertawa kecil. “Bukan di sini. Tapi di toko gelato favorit saya. Kebetulan tempatnya di dekat hotel ini. Jadi kita bisa kesana besok pagi untuk membuktikan keseimbangan kakak itu.”
Musik semakin keras berbanding terbalik dengan suara Almira yang mengecil. Aku melihat keadaan di sekitar kami, orang-orang sibuk berdansa mengikuti alunan lagu. Sambutan dari petinggi Gautama Group memang sudah selesai dari beberapa menit lalu dan agenda dilanjutkan dengan makan bersama serta acara bebas.
Aku kembali memandang Almira. “Okay, then let’s go now.”
“Ya?” Almira memandangku seakan aku baru saja berkata sesuatu yang tidak logis. Tapi bersama wanita ini, sepertinya aku tidak akan pernah bisa berpikir rasional.
“Kata lo tadi tempat gelato-nya dekat sini? Kita jalan sekarang saja. Tempatnya masih buka, kan?” Aku mengangkat tangan kiriku, melihat jam menunjukkan pukul sembilan malam.
“T-tapi kan, kita masih ada acara gala dinner ini.”
Aku menarik napas, bersiap menjelaskan. “We can leave. Biasanya juga acara gala dinner tiap gathering hanya berisi sambutan dari petinggi dan dilanjutkan acara bebas. Sebentar lagi gue tebak musik DJ muncul dan orang-orang mulai berpesta. Jadi daripada kita diam nggak jelas bersandar di pilar restoran, lebih baik kita jalan malam lalu beli gelato favorit lo.”
Saat Almira terlihat ragu, aku menambahkan satu lagi dorongan untuk membuatnya setuju. “Gue yang traktir. Gimana?”
Ia tersenyum lebar hingga pipinya terangkat. “Oke, boleh! Kalau sudah sampai di sana, jangan berani-berani menarik tantangan kakak tadi, ya!”
“Don’t worry. I’m a competitive person.”
“Yeah. That I can see.” Almira mengedip jahil ke arahku.
Aku pun meraih pergelangan tangannya dan berjalan cepat keluar dari hotel. Ia masih terlihat terkejut karena kontak tiba-tiba dengan tanganku, tapi ia tidak menolaknya. Jadi saat kami berjalan beriringan di pinggir jalan yang semakin ramai dengan cahaya toko dan kendaraan melaju, aku memberanikan diri untuk menurunkan genggaman tanganku ke sela jari tangan Almira.
Tidak aku sangka ia membalas genggaman tanganku. Dalam diam, kami berjalan semakin dekat dengan kedai di seberang jalan yang menampilkan berbagai rasa gelato.
Setelah menyebrang jalan, ia melepaskan genggamannya dari tanganku. Ia lalu berlari ke arah kounter kasir sementara aku mengikuti di belakangnya. “Kak, ayo cepetan sini. Kita harus pesan dan bayar dulu sebelum memilih rasa gelato yang kita mau.”
Tidak sampai sepuluh menit, aku sudah mendapatkan satu cone gelato tiga tingkat dengan paduan rasa dominan coklat dan kopi. Sementara Almira memilih rasa yang menurutnya unik, dari bubble gum sampai ke coklat mint dan lemon shorbet. Bukan paduan rasa yang cocok menurutku, tapi mungkin seleranya berbeda.
Almira mengajakku menyebrang kembali dan duduk di atas tembok pendek.
“Harus gue akui ternyata tingkatan gelato ini nggak main-main.” Aku memandang tiga tingkat gelato di hadapanku yang sekarang mengingatkanku pada gambaran es krim bertingkat di film animasi. “So they do serve it like the animation did?”
“Kakak mengerti kenapa aku bisa menumpahkan gelato itu sekarang kan!” Almira terlihat menggebu-gebu menontonku yang sedang memikirkan cara memakan gelato cone di tanganku.
Aku mencoba mengambil gigitan besar gelato rasa tiramisu di tingkatan paling atas. Gelato yang cepat meleleh membuat susunan dibawahnya goyah dan hampir saja menggelinding jatuh. Refleks aku mengamankannya dengan menaruh telapak tangan di belakang dua tingkat gelato yang tersisa.
Almira tertawa terbahak melihat aksiku menyantap gelato sambil tetap fokus menjaga refleks tanganku agar bisa menangkap gelato yang jatuh. Muncul dorongan untuk menjahilinya saat itu. Tanpa sadar aku mencolek gelato coklat ke ujung hidung Almira yang kemudian membuatnya protes sambil memukul lenganku. Sementara aku tertawa melihat reaksinya.
Kapan terakhir kali aku bisa tertawa sebebas ini?
Angin malam semakin dingin. Tangan yang lengket karena tetesan gelato. Kebahagiaan dari melihat senyum cerah wanita di sampingku. Satu lagi momen bersama Almira.
“By the way, Kak Reynaldo.” Almira mulai berbicara lagi setelah perang gelato selesai dan ia selesai mengelap tangannya dengan tisu basah. “Apa kakak punya mimpi?”
Aku terdiam, mengambil tisu basah dari tangannya. Haruskah aku menceritakan tentang mimpi yang sudah lama aku pendam dalam diriku?
“Kalau mimpi saya adalah menjadi editor yang membantu semua penulis untuk menyampaikan pesan dari buku mereka ke pembaca. Setelah itu saya akan membuat toko buku merangkap klinik editor di pojok kota Denpasar, menikmati masa tua di tengah tumpukan buku-buku. Dan kalau bisa dengan mesin kopi supaya asupan kafein saya terpenuhi!”
Matanya berbinar-binar membuatku iri. Aku juga ingin membicarakan mimpiku seperti Almira sekarang.
Tanganku yang juga sedang membersihkan sisa lengket gelato di pipiku berhenti bergerak. Tiba-tiba aku mendapatkan dorongan untuk menceritakan semuanya, karena aku tahu ia akan menghargai ceritaku. “Mimpi gue…”
Ia menatapku lekat-lekat. Dengan sabar menungguku menyelesaikan perkataanku.
Aku menarik napas dalam sebelum menceritakan tentang sejarah keluargaku, bagaimana aku bisa diangkat oleh keluarga Gautama, dan rencanaku untuk membayar biaya perawatanku pada mereka sebelum akhirnya bebas mengejar mimpiku untuk membuat agensi PR. Aku juga menyelipkan cerita tentang janji Daniel untuk meninggalkan perusahaan dan bekerja di agensiku nanti.
Saat aku menyelesaikan ceritaku, Almira masih terdiam. Mungkin ia ingin mencerna semua fakta mengejutkan yang baru saja aku paparkan kepadanya. Aku melihatnya penuh harap, apakah ia akan merubah penilaiannya terhadapku?
“Jadi, sudah sampai mana mimpi kakak untuk membuat agensi terealisasi?”
Aku tersenyum saat mengetahui yang ia tanyakan pertama kali bukan lah tentang statusku sebagai anak angkat di keluarga ternama, melainkan tentang mimpiku. “Lo nggak bertanya tentang status gue sebagai anak angkat dulu? Kebanyakan orang pasti bertanya tentang hal itu terlebih dahulu.” ditambah dengan pandangan mengejek mereka, namun aku tidak jadi menambahkannya.
Ia mengedikkan bahu. “Saya tidak terlalu peduli apa status seseorang. Mau kakak keturunan murni konglomerat pun, kakak masih berhak untuk punya mimpi sendiri.”
That’s what I like about her. “Gue hanya berusaha untuk lepas dari mereka dulu. Gue nggak mau hasil kerja gue nanti disangkut-pautkan dengan mereka.”
“I know that feeling.” Ia memandang jauh ke atas. Bulan purnama bersinar di tengah gelapnya langit malam ini. Aku memandang wajahnya dari samping. Ia terlihat semakin cantik di bawah pancaran sinar bulan.
“Kalau saya jadi kakak, saya akan mempersiapkan mimpi saya dari sekarang diam-diam. Lalu, boom! Saat mereka akhirnya melepas saya, saya akan tunjukkan di depan wajah mereka kalau saya tetap bisa hidup dengan baik tanpa bantuan siapa pun.” Ia mengangkat kedua tangannya, membuat gerakan seperti bom meledak. Kedua matanya berbinar semangat.
“Is it okay to do that?”
“Well, it’s your life, Kak. Saya tidak bisa mengatur apakah kakak bisa melakukan apa pun atau tidak. Hal yang sama juga berlaku dengan orang-orang di sekitar kakak. If you want to travel the world, then go. If you want to stay and work, then do it.”
Aku tertawa geli melihat ekspresi wajahnya yang berubah emosi dan nada bicaranya meledak-ledak. Rasanya api semangat Almira mematik keinginanku untuk mewujudkan semua mimpiku. “Gue selalu merasa kalau hidup lo berapi-api.”
Ia tersenyum lebar. Dari sorot matanya, ia seakan merasa senang dengan pernyataanku tadi. “Have I ever told you that you’re so observant, Kak?”
“Memang kenapa?”
Almira menyondongkan wajahnya semakin dekat dengan wajahku. Ia menengok kanan lalu kiri, seakan perkataannya setelah ini adalah rahasia besar. “Keluarga saya memang identik dengan api.”
Aku memandangnya bingung. Apa hubungannya Keluarga Pradnya dengan api? Karena mereka perusahaan makanan jadi dihubungkan dengan api untuk memasak?
Ujung bibir Almira terangkat. “Saya tahu apa yang kakak pikirkan. Keluarga yang saya maksud itu Keluarga Papa, Garcia. Kakek saya pernah berkata kalau saya adalah gunung berapi yang suka memendam api lahar di dalam diri saya sampai waktu yang tepat tiba. Don’t tell anyone, it’s my family’s secret!”
Mataku melebar, bukan hanya karena perkataan Almira tapi juga akibat wajah wanita ini yang sangat dengat sampai aku bisa merasakan hembusan napasnya.
Seakan menyadari kedekatan kami, Almira menegakkan punggungnya lagi. Aku akhirnya menemukan kata-kataku lagi setelahnya. “Gue belum pernah mendengar cerita lo tentang mereka. Do they still live in Argentine?”
Meski tersenyum wajah Almira terlihat memendam rindu yang mendalam. “Ya. Saya jarang mendapat kesempatan untuk pergi mengunjungi Kakek dan Nenek di Argentina. Terakhir kali sepertinya sepuluh tahun lalu sejak saya bertemu langsung dengan mereka. Setelah itu saya lebih sering menghubungi mereka lewat chat atau video call.”
“Tell me more. Gue penasaran dengan kehidupan lo selama di sana.”
Senyum kecil muncul di bibirnya. “Hm… Buenos Aires, kota tempat kakek dan nenek saya tinggal, adalah ibu kota Argentina. Jadi ya vibe perkotaan besar, lah. Banyak orang baik lokal dan turis, musik setiap saat, dan Tango di tengah jalan. Good food, meat everyday. Berat badan saya selalu naik setiap selesai makan. Tapi yang paling saya suka adalah tempat bersejarah di dalam kota, seperti ada tempat yang tertinggal di masa lalu di tengah hal-hal modern yang muncul di sekitarnya. Kakak pernah dengan La Recoleta?”
Aku menggeleng. Sementara Almira mendekatkan duduknya lagi ke arahku. “La Recoleta itu tempat favorit saya di Buenos Aires. Meski pun sebenarnya tempat ini ditujukan untuk area pemakaman, tapi desain setiap makam benar-benar indah sampai diberi julukan pemakaman terindah di dunia. Saat saya menginjakkan kaki saya untuk pertama kali di tempat itu, saya langsung merasa merinding karena aura tempatnya yang horor. Tapi anehnya saya malah betah berjalan mengitari tiap kompleks makam. Saya juga bisa ikut bernostalgia saat menyusuri setiap komplek makam dan membaca nama-nama di tembok makam.”
“Suasananya mungkin mirip dengan Museum Taman Prasasti, ya?” Aku teringat wisata makam Belanda di Jalan Tanah Abang yang pernah aku ikuti atas paksaan Daniel.
“Nah, betul! Saya belum pernah melihat langsung, sih. Tapi saya pernah lihat vlog yang menunjukkan tempat itu. Suasananya benar mirip dengan patung-patung besar dan gedung kecil berbagai desain untuk masing-masing makam. Sepertinya saya harus mengunjungi tempat itu nanti.”
“Gue bisa antar lo kesana.” Ia menoleh, menatapku bingung. “Gue pernah kesana dan masih ingat perkataan pemandu wisata waktu itu. Gue bisa jadi pemandu pengganti buat lo nanti.”
“Saya sih suka jalan-jalan sendiri, apalagi di tempat bersejarah. Rasanya lebih asyik untuk menebak cerita masa lalu dengan imajinasi saya sendiri.” Almira melirikku lalu tersenyum. “Tapi kalau misalkan kakak menawarkan wisata kuliner juga, akan saya pertimbangkan lagi.”
Melihat senyumnya, aku ikut tersenyum. Kemudian dengan canggung memperbaiki posisi kacamata untuk menahan tanganku yang lagi-lagi hampir mengusap kepala Almira.
Kendaraan masih sibuk lalu lalang dan keramaian musik serta canda gurau orang-orang di sekitar kami tidak bisa membuatku mengalihkan pandangan dari Almira. Ia mengambil beberapa sendok besar gelato dari cup dan merinding kedinginan di tiap suapnya.
“Kita balik sekarang?” tanyaku sembari membuka jas yang aku kenakan lalu menyodorkannya pada Almira.
“Boleh. Tapi jasnya tidak perlu, Kak. Saya tidak terlalu kedinginan.”
“Sudah gue bilang lo nggak bisa akting, Almira. Gue sudah lihat lengan lo bergetar kedinginan tadi.” Aku memasangkan jas hitam yang kukenakan di bahu Almira. Wanita itu meringis melihat aktingnya ketahuan dan akhirnya mau menggunakan jasku.
“Ayo!” Aku menyodorkan tangan kananku. Ia terlihat menatapnya sejenak sebelum menaruh tangan kirinya di atas telapak tanganku, mengizinkan aku untuk menggandengnya lagi.
Kami pun mulai berjalan kembali ke hotel yang berjarak 15 menit dari kedai gelato tadi. Terlalu cepat, aku masih belum mau melepas wanita ini.
Seakan bisa membaca pikiranku, ia menatapku lalu bertanya. “Kak, mau mampir di pantai dulu nggak?”
Mendengar penawaran yang mungkin tidak akan pernah datang lagi, aku pun mengangguk semangat. Jadi setelah berbelok ke pintu masuk Hotel Hyatt, kami berjalan menyusuri restoran dan terus berjalan ke depan melewati hingar bingar musik DJ dari pesta gathering yang masih berlangsung.
Sampai di depan jalan setapak yang memisahkan lantai batu hotel dengan pasir pantai, Almira segera membuka sepatu hak tinggi hitamnya dan menyebrangi jalan dengan bertelanjang kaki. Aku mengikutinya. Pasir coklat lembut masuk ke sela jari kakiku dan aroma asin air laut segera tercium saat kami menginjakkan kaki di pinggir pantai.
“Cantik kan, kak? The view, I mean.”
“Ya…” Aku mengalihkan pandangan dari hamparan laut ke arah wanita di sampingku. Laut di malam hari memang terlihat menakjubkan dengan riak air yang memberikan efek berkilap seperti bintang serta bulan yang terpantul di permukaan air. Tapi kupikir wanita ini lebih menarik untuk dilihat. Rambutnya yang melambai seperti ombak saat terkena angin, matanya yang tertutup merasakan hembusan angin dan senyum lebarnya saat angin melewati wajahnya. “Cantik.”
Ia menoleh ke arahku. Masih tersenyum, mungkin karena mengira aku setuju dengan pendapatnya tentang kecantikan laut di malam hari. Aku mengalihkan pandangan ke arah telapak kakiku yang sudah terpendam di dalam pasir pantai. Jantungku tidak berhenti berdebar sejak tadi dan semakin parah tiap kali melihat senyum wanita ini.
“Terima kasih sudah mengajak saya jalan-jalan hari ini, Kak.”
Aku menatapnya lagi. “Sure. Gue yang seharusnya berterima kasih karena lo sudah mau memperkenalkan kampung halaman lo. I enjoy the gelato.”
Ia melirikku kesal karena aku membahas pertandingan gelato tiga tingkat yang aku berhasil menangkan tadi. “Oh well…Kakak memang punya keseimbangan yang baik. Saya saja yang terlalu ceroboh.”
“Bagus deh kalau kamu sadar,” ejekku dan berakhir dengan pukulan kecil di lenganku. Sambil masih tertawa aku memberanikan diri untuk bertanya, “Jadi gue nggak dapat hadiah nih karena sudah menang?”
Ia mendengus kesal. “Memangnya saya pernah janji apa dengan kakak?”
“Seharusnya memang kemenangan harus dirayakan dengan hadiah, kan?”
Almira memutar matanya kesal. “Alright, kakak mau apa?”
“Gue mau simpan janji hadiah buat lo aja. Siapa tahu berguna di masa depan.”
“Dasar. Saya pikir kakak sudah punya hadiah yang kakak inginkan.” Ia merengut hingga pipinya mengembung menggemaskan. Tanpa sadar tanganku sudah bergerak mendekat ke wajah Almira, menyisipkan rambut bergelombangnya yang berantakan terkena angin laut ke belakang telinga.
Mata Almira membesar menatapku. Aku merasakan dorongan untuk mengatakan perasaanku sekarang juga. Seperti biasa aku berubah menjadi impulsif di dekatnya. “Lo tadi bilang kalau di Buenos Aires orang-orangnya suka mengajak berdansa Tango di tengah jalan?”
Ia mengangguk, masih terlihat terkejut karena tingkahku tadi. “Then, would you dance Tango with me?”
Tawanya pecah di tengah sepinya pantai. “That’s very sudden. Memang kakak bisa dansa Tango?”
“Well, lo bisa mengajari gue kan. Gue bisa belajar dengan cepat.” Aku mengulurkan tangan ke depan Almira. Ia terlihat menimbang keputusan sebelum akhirnya sorot matanya berubah kompetitif dan mengeluarkan ponsel dari kantung gaunnya untuk menyalakan lagu dengan nuansa klasik.
Suara biola mengalun dan Almira meletakkan tangan kanannya di atas tanganku. “This is Por Una Cabeza, lagu yang biasa digunakan untuk dansa Tango. Kakak tinggal menaruh tangan kakak di belakang punggung saya dan ikuti irama lagunya. You still up for the challenge?”
Aku mengikuti arahan Almira. Tangan kiriku menggenggam tangannya, sementara tangan kananku di belakang punggungnya. Jarak di antara kami mengecil hingga dua jengkal. Almira melangkahkan kaki maju yang otomatis membuatku melangkah mundur. Lalu berhenti.
Tangan Almira merengkuh tengkukku sebelum bergerak turun dengan kaki mendorong pasir pantai ke belakang. Beberapa saat sepertinya jantungku berhenti berdetak. Lalu kembali lagi saat Almira berdiri seperti posisi awalnya lagi. Sisi kompetitifku mendorong inisiatif untuk memimpin langkah ke depan dan memutar tubuhnya. Lalu menangkapnya kembali dan mengulang pola gerakan yang sama.
“Kak?” Almira menatapku heran di tengah dansa. “You’re very weird today.”
Aku menarik tubuh Almira mendekat dengan tangan kananku di punggungnya. “Weird how?”
Ia mengedikkan bahu. “Saya merasa kakak selalu kesal melihat saya. Lalu baru-baru ini, kakak jadi semakin sering tersenyum dan selalu bersikeras menemani saya. Sekarang kita malah berdansa Tango di pinggir pantai. Aneh kan?”
Aku tertawa mendengar penjelasannya. Jadi selama ini dia menganggap usaha pendekatanku aneh? “Gue nggak menyangka kalau lo nggak peka.”
Ia mengernyit. “Nggak peka?”
“Gue tertarik dengan tingkah aneh lo.”
“Jadi menurut kakak saya aneh?”
Aku memutar tubuhnya lagi. Lalu menariknya semakin dekat saat ia selesai berputar. “Aneh.” Tapi aku suka.
Ia memutar matanya sembari bergerak maju mengikuti irama biola yang meninggi. “Papa pasti akan protes kalau mendengar kakak sekarang.”
Aku memandangnya lekat. “Om Antuan pasti maklum karena beliau pasti sering melihat tingkah aneh anaknya yang satu ini.”
Alisnya terangkat mendengar panggilanku untuk ayahnya. Ia tersenyum, “Sejak kapan Papa mengizinkan kakak memanggilnya seperti itu?”
“Sejak gue menyuap Om Antuan dengan wine merah kesukaannya.”
Ia tertawa terbahak, kepalanya bersandar di bahuku. “I must admit, you are right with that.”
Aku mengatur napas teratur, mencoba agar Almira tidak mendengar degupan jantungku yang semakin menggila.
Adegan selanjutnya berjalan seperti film slow-motion, Almira mendongak ke atas, bulu matanya semakin terlihat lentik jika dilihat dari posisiku sekarang. Dan matanya, mata berwarna amber itu semakin berkilau di tengah gelap malam. Mungkin aku sedang berhalusinasi, tapi aku melihat lingkar cahaya keemasan dari belakang kepala Almira. Aku seperti terhipnotis dengan pesonanya, hingga tanpa sadar mengatakan perasaanku. “I like you, a lot.”
Ia mengerjapkan matanya. “Ya?”
Sekarang atau tidak sama sekali. Aku mempererat genggaman tanganku dan menariknya semakin dekat. Satu jengkal lebih dekat. “Aku suka kamu, Almira. Aku suka wajahmu yang memerah karena kesal, senyum cerahmu yang membuat pipimu tersembul, bahkan sampai tingkah jahilmu yang terlihat aneh tapi menggemaskan di mataku. Aku suka api semangatmu saat menceritakan mimpimu. I came to realize that I adore everything you do.”
“W-what?” Ia menghentikan gerakan kakinya. Aku melakukan hal yang sama. Kami berdiri di tengah alunan musik tango dan ombak yang berdesir hingga menyapu kedua kaki kami.
Aku memandangnya lekat-lekat. Mata berwarna amber itu balas menatapku dengan kilaunya. “Kak Reynaldo?”
“Ya?” Aku bergerak mendekat, mencari lebih banyak kontak dari setiap lekukan wajah Almira dengan tanganku. “Kamu benar-benar cantik, Almira.”
Ia menahan tanganku, membuat aku kembali fokus mendengarnya. “T-tapi, kakak bahkan belum lama mengenal saya. Mungkin kakak tertarik dengan saya sekarang, tapi bagaimana kalau saya ternyata tidak memenuhi ekspektasi kakak. Bagaimana kalau saya ternyata terlalu ambisius, kalau saya membuat kakak tertekan dengan kehidupan saya, saya–”
Bibirku menyentuh bibir Almira, membuatnya kepanikannya berhenti. Berganti dengan perasaan kaget yang membuat matanya membelalak tidak berkedip.
“Aku tidak akan meninggalkanmu hanya karena alasan seperti itu. Tapi di dalam hubungan, kita mungkin akan bertengkar atau berbeda pendapat. Saat itu terjadi, kita bisa berhenti sejenak dan membicarakan semuanya dengan tenang. You’ll meet me halfway, and so will I.”
Almira masih terlihat bingung, tapi aku melihat ujung bibirnya terangkat kecil. “Tapi… Saya masih belum mengerti kenapa kakak bisa menyukai saya? Bukannya saya selalu membuat kakak kesal selama ini?”
“It’s okay…” Aku menarik lembut wajahnya dan mengecup pipi lalu keningnya. “I can show you my love from now on. Will you put your trust on me?”
Senyum merekah di bibir Almira. Lalu ia mengangguk dan menghambur dalam pelukanku.
Rasanya seperti berada di atas awan. Aku tidak ingat terakhir kali aku merasakan perasaan bahagia sebesar ini.