Reynaldo
Apa yang sedang aku lihat sekarang?
Aku baru saja menghubungi penulis dan content creator yang tertarik menghadiri acara dadakan untuk memperkenalkan singkat buku karya Mbak Dewi dengan iming-iming keuntungan untuk dapat mempromosikan buku atau akun sosial media mereka. Untungnya aku bisa mendapatkan dua content creator yang juga adalah penggemar karya Mbak Dewi dan bisa segera datang ke toko buku pusat Gautama Books.
Setelah itu aku mengarahkan anak PR lain untuk mencari merchandise yang bisa dibagikan di sela acara. “Ok. Kita bisa hold acara sampai 2 jam lebih lah. Untuk peserta yang tidak bisa menghadiri acara lebih lama, pastikan kalian menawarkan complementary gift atau bisa kalian bantu carikan slot kursi untuk acara bincang buku Mbak Dewi setelah ini.”
Mereka semua mengangguk, lalu langsung melaksanakan tugas mereka masing-masing. Aku pun beralih mencari sosok Almira kembali ke ruang panitia. Raut wajahnya yang terlihat tertekan, murung dan shock tadi membuatku mengkhawatirkannya.
“Hey, Rey. Lo liat Almira nggak?” Sosok Felice yang berlari dari ruang panitia membuatku terkejut. Begitu juga dengan pertanyaan yang ia lontarkan.
“Tadi dia ada di ruang panitia. Memangnya sekarang tidak ada?”
“Nggak ada. Gue baru aja masuk ke sana buat cari dia. Gue mau kasih kabar kalau mobil Mbak Dewi sudah melewati kemacetan, jadi bisa sampai sekitar satu jam lagi.”
Aku menghela napas lega. “Syukur, deh. Sekarang gimana kalau kita berpencar mencari Almira?”
Felice mengangguk.
“Oke, gue cari di area depan gedung. Fel, lo cek di area acara ya.”
Kepanikan mulai menjalar di dalam diriku ketika Almira tidak mengangkat teleponnya dan kini aku terhubung ke voicemail yang berarti ponselnya tidak hidup. Aku berlari menuruni tangga ke pintu masuk gedung. Pikiranku mulai membuat bayangan-bayangan menakutkan tentang Almira yang segera aku acuhkan namun pikiran itu terus kembali. “Ami, where the heck are you?”
Di depan gedung toko buku Gautama aku melihat mobil sedan hitam terparkir. Seorang wanita paruh baya dengan dandanan mewah terlihat berdiri memunggungi aku. Saat aku menuruni tangga hingga sampai di lantai dasar, akhirnya aku melihat sosok yang kucari sedang bersandar di pintu mobil sambil menunduk. Ia sepertinya tidak menyadari kehadiranku, begitu juga dengan wanita paruh baya di hadapan Almira yang masih asyik mengomel.
Perkataan yang kudengar samar dari posisiku adalah Pradnya Group dan ayo kita pergi sekarang. Diikuti dengan Almira yang membuka pintu mobil lalu masuk kedalamnya dengan wanita paruh baya itu. Aku mempercepat lariku ke arah mobil itu namun terlambat. Mobil sedan hitam itu sudah melesat pergi membawa Almira pergi bersamanya.
Apakah dia baru saja lari dari tanggung jawabnya? Aku menggeleng, menepis pemikiran itu. Seharusnya aku tahu kalau Almira paling benci jika harus meladeni kerabatnya dari keluarga itu, jadi mungkin dia terpaksa pergi?
Saat itu juga ponselku berdering menampilkan notifikasi pesan dari Almira. Aku langsung membaca isinya. “Sorry, I’ll explain later.”
Seketika aku juga mendapatkan notifikasi berita terbaru dari Daniel yang berisi berita rapat pemegang saham Pradnya Group hari ini.
Aku mengatur napas, mencoba untuk percaya pada Almira. Tapi…Almira, don’t tell me that you’re going there.
Almira
Aku tidak merasa baik.
Tidak hanya masalah pekerjaanku yang belum selesai, sekarang aku harus dipusingkan dengan masalah perusahaan keluarga yang memaksa untuk aku pikirkan. Kalau saja Tante Tari tidak datang untuk memaksa aku berdiskusi di kantornya tentang pekerjaanku di sana, aku mungkin sudah berada di dalam perjalanan ke Bogor dengan taksi online untuk menjemput Mbak Dewi.
Aku menghidupkan kembali paket data di ponselku yang sebelumnya aku matikan karena baterai ponselku hampir mati. Lantas aku mengirimkan beberapa pesan singkat untuk memastikan jalan acara. Satu ke Kak Felice untuk melaporkan keadaan, satu ke Mbak Dewi untuk memastikan lokasinya sekarang, dan satu ke Reynaldo yang melihatku masuk ke mobil Tante Tari dengan pandangan horor.
“Almira, Tante tahu kamu sedang ada masalah di pekerjaanmu, kan?”
Apakah wanita ini baru saja melihat isi pesanku? “Darimana Tante tahu?”
“Kamu tidak perlu tahu.” I bet she put a spy on me. Aku memandangnya curiga. “Tapi yang Tante dengar kamu beberapa kali mendapatkan masalah dengan anggota tim kamu. Itulah yang Tante peringatkan sejak awal kamu bekerja di perusahaan lain. Coba kalau kamu mau bekerja di kantor Tante, pasti kamu tidak akan pernah mendapat perlakuan seperti itu.”
Ya, karena karyawan di sana akan memperlakukanku terlalu baik dengan tujuan untuk terlihat baik di mata Tante. Aku menahan amarahku. Mari kita selesaikan semua ini sekarang. “Tante. Anda tidak perlu khawatir dengan pekerjaan saya dan apa yang terjadi di dalamnya. Saya bisa memutuskan sendiri dan akan selalu menyelesaikan tanggung jawab saya.”
Mata wanita itu membelalak, sekarang ia semakin terlihat seperti ular yang akan menerkam mangsanya. “Kalau kamu berpikiran seperti itu, kenapa kamu bersedia naik ke mobil ini? Apa bukan karena kamu sebenarnya menginginkan posisi di perusahaanku?”
Aku tertawa mendengarnya. “Bukan, saya hanya ingin mendengar apa yang Tante katakan. Ditambah lagi, sebenarnya kantor Tante letaknya dekat dengan tempat pertemuan saya dengan klien saya.”
Ia terlihat terpukul dengan perkataanku tadi. “Tante, saya sebenarnya sangat menghormati dan menghargai usaha Tante untuk mempekerjakan saya di perusahaan Tante. Tapi saya juga memiliki hidup dan mimpi saya sendiri, Mama juga sudah tidak berhubungan langsung dengan perusahaan keluarga. Jadi jika ada kegagalan dan kesalahan yang saya lakukan, itu tidak akan berdampak banyak pada perusahaan. Tante tidak perlu khawatir.”
Aku melihat aplikasi navigasi yang hidup di ponselku. Sedikit lagi hingga titik pertemuan yang aku janjikan dengan Mbak Dewi. Aku menepuk pundak supir dari belakang dan memintanya untuk menurunkan aku di depan restoran di daerah Lenteng Agung.
“Kamu akan menyesal tidak menerima tawaran dari Tante.”
Menyesal karena aku tidak mendapatkan kehormatan dan harga secara instan hanya karena embel nama belakangku? Never. Aku tersenyum pada Tante Tari. “Saya tidak akan menyesal, Tante. Saya menyukai tempat saya bekerja karena sesuai dengan apa yang saya suka. Jadi meski pun di dalam prosesnya saya harus menghadapi jatuh bangun, saya tetap akan menikmati perkembangannya.”
Mobil menepi di depan restoran cepat saji. Aku menyalami Tante Tari dan segera keluar dari mobil. “Terima kasih atas tumpangannya, Tante.” Sampai mobil sedan hitamnya melaju kembali, ia hanya terdiam mengatupkan bibirnya. I guess she’ll understand now.
Gunjingan di dalam keluarga akibat penolakanku ini akan aku urus nanti. Sekarang saatnya menyelesaikan masalah pekerjaanku.
Mobil Nissan putih datang mendekati tempatku berdiri. Aku segera masuk ke dalam mobil yang sesuai dengan ciri-ciri yang diberikan Mbak Dewi. Perasaan menenangkan dari wanita ini saat aku baru saja duduk di jok belakang bersamanya berbanding terbalik dengan perasaanku saat naik di mobil Tante Tari.
“Selamat siang, Mbak Dewi.”
Ia tersenyum mengangguk, lalu meminta supirnya melanjutkan perjalanan. Kurang dari tiga puluh menit lagi sampai kita tiba di toko buku Gautama. Aku menarik napas dalam sebelum menyampaikan tujuanku datang ke mobilnya.
“Sebelumnya saya minta maaf karena ketidaktelitian saya, Mbak.”
“Tidak apa, Mbak.” Suara lembutnya lantas menenangkan kepanikan yang berusaha aku tahan agar tidak muncul di wajahku. “Lalu, apa yang ingin Mbak sampaikan lagi?”
“Saya ingin menyampaikan TOR acara yang akan Mbak hadiri nanti, serta alternatif untuk menjaga kepuasan peserta acara. Bagaimana kalau kita memakai waktu setengah jam ini untuk membicarakan hal ini, Mbak?”
Ia tersenyum. “Tentu, saya dengan senang hati akan mendengarkan saran dari Mbak Almira.”
Bagaimana bisa wanita ini tetap sabar, padahal aku sudah membuatnya harus terjebak dalam kemacetan dan menghadiri acara dengan terburu-buru? Aku pun mulai menjelaskan kondisi terkini acara. Sebelum aku memutuskan menemui Mbak Dewi aku sudah berkoordinasi dengan MC acara, Evelyn dari tim PR, untuk mencairkan suasana dengan sesi bincang dengan peserta mengenai karya Mbak Dewi di platform menulis sebelumnya atau ekspektasi mereka untuk perilisan buku pertama Mbak Dewi.
Dari pesan Kak Felice yang terbaru, aku mengetahui kalau Reynaldo sudah mengerahkan dua orang content creator untuk mengisi acara terlebih dahulu dan akan diadakan pembagian merchandise untuk peserta yang sudah menunggu.
“Saya sangat menghargai usaha Mbak untuk memperbaiki kesalahan. Saya juga merasa tenang karena Mbak sudah mau menemani dan memberikan briefing tentang acara sebelum saya sampai di lokasi. Kalau Mbak tidak melakukan ini, mungkin saya akan kebingungan untuk mengingat jalan acara saat sampai.”
Ia terlihat lega dengan penjelasanku tentang kondisi acara. Aku tersenyum meringis. “Maaf saya hanya bisa melakukan hal ini, Mbak.”
“You can’t be good at everything, tapi saat ini kamu menyadari hal yang bisa kamu lakukan untuk menenangkan saya. Itu lebih baik daripada tidak melakukan apapun.”
Bersamaan dengan perkataan Mbak Dewi yang membuatku dapat mengurangi rasa bersalahku kepadanya, mobil akhirnya menepi dan berhenti di depan gedung toko buku Gautama. Finally!
Aku langsung membuka pintu mobil dan mempersilahkan Mbak Dewi untuk keluar dari mobil. Tanganku sibuk mengetik di atas layar ponsel dan membagikan berita kedatangan Mbak Dewi ke teman-teman panitia.
Saat aku menyusuri anak tangga ke lantai dua gedung, aku teringat lagi dengan perkataan Nora Roberts yang sesuai dengan perasaanku saat ini. Bahwa aku bisa saja membuat kesalahan yang mengakibatkan munculnya halaman buruk dalam hidupku, tapi aku memiliki kemampuan untuk memperbaikinya. You can rewrite a bad page, Almira.