Almira
Awal mingguku dimulai dengan gebrakan meja.
“We’re going to where?” Aku menutup telinga mendengar pekikan pertanyaan Andin dari pojok meja. Bahkan Bu Eri yang sedang menyampaikan pengumuman company’s gathering di hari Jumat mendatang pun juga terlihat kaget dengan tingkah Andin.
“Seperti yang saya sampaikan kita akan berangkat di hari Jumat sore bersama ke Bali. Andin kamu bisa tenang dan duduk kembali di kursimu.” Andin tersenyum meringis lalu duduk kembali. Bu Eri melanjutkan detail perjalanan kami setelah memastikan situasi lebih tenang. “Kita akan berada di Bali selama dua hari dan akan kembali ke Jakarta di Minggu sore. Pastikan untuk mengkonfirmasi kehadiran kalian ke saya sebelum jam lima sore hari ini, ya.”
Tidak seperti Andin yang heboh menarik kursi di sampingku setelah Bu Eri selesai menyampaikan pengumumannya, aku menahan pekikan gembira di dalam hati. Tanganku sampai memerah karena menahan perasaan bersemangat saat mendengar lokasi dilaksanakannya acara rutin kantor.
Aku tidak sabar lagi untuk kembali menghirup udara Bali yang menurutku adalah kombinasi aroma asin dari laut dan wangi harum bunga dari dupa yang menyala di atas persembahan masyarakat penganut Hindu di Bali.
Apalagi lokasi hotel dekat dengan rumahku di area Sanur. Berarti aku bisa mengunjungi rumah kecilku, bertemu kedua orangtuaku lagi, dan merasakan aneka masakan Bali buatan Mama yang aku rindukan. Ditambah lagi tidak ada jadwal acara di Hari Sabtu pagi, jadi aku bisa sekalian mengunjungi pembukaan pameran lukisan Papa.
Tunggu, bukannya Reynaldo sempat menyinggung kalau ia akan pergi ke pameran Papa juga.
Aku refleks memandang ke seberang ruangan, tempat pria itu duduk dan rupanya sedang menatap ke arah yang sama juga sekarang. Aku mengira pria itu akan mengalihkan pandangannya lagi, tapi ia terus menatapku sambil memangku dagu dan tersenyum kecil. Perilaku Reynaldo tetap tidak berubah sejak menghabiskan waktu denganku di rumah sakit, tetap membuatku terheran-heran.
“Mi, lo dengerin gue ngomong nggak?” Suara Andin membuatku memutuskan adu tatapan dengan pria itu. Saat aku menoleh ke arah temanku itu, ia sudah tersenyum seperti Grinch di film The Grinch. “Caught on act!” Andin menarik kursinya mendekat. Lalu mengajak Luna dan Nisa untuk mengerumuni aku.
“Gue jadi ingat kita belum sempat membahas kejadian Jumat lalu.”
¡Ay, Mierda! Shit! Kukira mereka akan lupa karena berita mengejutkan tadi. Tiga orang temanku ini sudah mendekatkan wajahnya ke arahku. Haruskah aku bersyukur karena Kak Felice sedang rapat di luar kantor dengan penulis?
“Ayo mulai penjelasan lo sekarang, Ami.” Andin mengatupkan kedua telapak tangannya, seperti seorang detektif yang sedang menginterogasi tersangka utama kasus misteri.
Aku bergerak menjauh dari wajah Andin yang hanya berjarak dua jengkal dariku. “Seperti yang aku katakan saat itu juga. Aku dan Kak Reynaldo memutuskan untuk berteman, ia juga sudah meminta maaf karena sudah membuat aku tersinggung. And that’s it. Nggak ada penjelasan lain lagi.”
Kini giliran Luna yang mendekatkan wajahnya ke sisi kananku. “Tapi kenapa lo dan orang itu kelihatan akrab? Terlalu akrab malah. Rasanya kemarin kita mengganggu dua orang yang sedang dalam dunia mereka sendiri.”
“Nggak seperti itu, yang aku rasakan aku memperlakukan dia sama seperti memperlakukan kalian. Friendly interaction, right?”
“Right…” Nada bicara Luna seperti ia belum yakin sepenuhnya dengan penjelasanku. Tapi itulah yang aku rasakan, memangnya ada yang berbeda dari caraku berbicara dengan mereka dan Reynaldo?
“Gue rasa ada yang terjadi selama orang itu menjaga lo. Vibe kalian itu bukan seperti dua orang teman tapi vibe orang lagi pendekatan.”
Andin mengangguk setuju. “Nah itu maksud gue, Lun.” Lalu ia beralih lagi memandangku. “Barusan juga lo natap orang itu kan, Mi? Yang gue sadari waktu dia jenguk lo juga begitu, kalian nggak bisa melepas pandangan sebentar saja dari satu sama lain.”
Memangnya aku terus-terusan memandang Reynaldo saat itu? “Mungkin perasaan kalian aja?”
Andin menggeleng keras. Saking kerasnya sampai rambut lurusnya yang digerai itu berantakan. “Nggak mungkin. Karena kita bertiga, plus Kak Felice dan Kak Dan, memperhatikan kalian berdua waktu mama lo video call. Tiap kali lo bicara, orang itu memandang lo terus. Sama juga dengan lo tiap kali dia bicara.”
Itu kan karena pria itu terlalu dekat denganku! Belum sempat aku membela diri lagi. Nisa menghentikanku. “Gue rasa lo masih belum menyadari tension di antara Reynaldo dan lo.” Ia lalu beralih ke dua temanku yang lain. “Lebih baik kita jangan memaksakan penjelasan dari Ami sekarang. Lebih baik untuk Ami menyadari sendiri perasaannya dan bagaimana dia mau mengartikan hubungan di antara mereka berdua.”
Luna menghela napas panjang. “Iya benar juga lo, Nis.”
Andin menggenggam tanganku di dalam cakupan tangannya. “Ami, gue harap lo bisa segera menyadari perasaan lo dan semoga orang itu,” Andin menolehkan wajahnya ke arah meja Reynaldo sebelum melanjutkan lagi. “Yah, semoga dia cepat-cepat menyadari perasaannya juga. Terus kalau kalian sampai jadian beneran, lo harus janji buat cerita ke kita dulu!”
Aku bahkan tidak sempat mengutarakan jawaban atau penjelasan lebih lanjut tentang asumsi mereka terhadap hubungan pertemananku dan Reynaldo. Pembicaraan beralih tentang baju renang yang akan Andin bawa selama acara kantor di Bali. Mereka juga langsung asyik membicarakan menu makanan yang harus dicoba selama di sana.
Sementara aku harus menerima pertanyaan yang terus muncul berputar-putar dalam benakku karena perkataan mereka tadi. Bahkan terus berlanjut selama beberapa hari ke depan. Apalagi setiap rapat persiapan promosi buku Mbak Dewi, aku harus satu ruangan dengan Reynaldo.
Dan pria itu sama sekali tidak membantu karena ia terus tersenyum tanpa sebab ke arahku setiap ia selesai memaparkan presentasi detail book tour proyek buku Perempuan Berambut Api. Atau tiba-tiba menungguku berdiri dari kursi supaya dia bisa berjalan di sebelahku saat keluar ruang rapat.
Aku tidak bisa menghindari tatapan curiga dan heran dari anggota tim yang lain, terutama Kak Felice. Ia sedang mendapatkan tugas untuk memenangkan lelang naskah salah satu penulis ternama, sehingga ia sibuk mempersiapkan proposal kontrak serta bolak balik ke departemen keuangan kantor untuk menyesuaikan budget. Setelah rapat terakhir sebelum berangkat ke Bali, ia berjanji akan mampir ke kamar hotelku saat di Bali nanti untuk mengobrol–ia mengatakan itu sambil membuat tanda kutip dengan kedua tangannya. Aku hanya menghela napas pasrah. I can’t runaway from this, am I?
***
Selama penerbangan ke Bali, aku tidak hanya merasa riang dan semangat untuk kembali pulang. Tapi juga stress dan bingung. Karena teman-temanku yang ingin mengetahui kelanjutan hubunganku dengan Reynaldo, meski mereka tidak pernah berkata secara langsung, aku mengasumsikan dari pandangan mereka setiap melihatku keluar dari ruang rapat beriringan dengan pria itu. Juga dengan diriku sendiri yang tidak mengerti cara mengartikan perasaanku kepada pria itu.
“Ah, I don’t want to think!” keluhku sambil menghempaskan tubuh ke kasur.
Nisa yang berbagi kamar denganku hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkahku. Ia kemudian duduk di kasur dan merapihkan pouch berisi alat elektronik di atas meja nakas dekat kamar mandi. Sementara aku mengambil kasur dekat dengan jendela dengan view kolam renang. Sayangnya kamar dengan view pantai hanya diperuntukkan untuk ketua tim dan petinggi perusahaan yang ikut dalam gathering kali ini.
Tapi aku tetap harus mengacungkan jempol pada pilihan hotel di gathering kali ini. Aku tidak percaya akhirnya bisa menginap di Hyatt Regency alias hotel bintang lima yang berseberangan langsung dengan Pantai Sanur.
Aku sudah membayangkan jadwalku besok, mulai dari mencoba menu buffet sarapan di meja dekat pantai. Lalu berjalan di pinggir pantai sebentar sebelum kembali ke kamar dan bersiap untuk menghadiri pembukaan pameran Papa di jam sebelas. Saat kembali, aku bisa mampir terlebih dahulu di toko gelato Italia favoritku, lalu berjalan menyusuri deretan toko-toko sampai ke hotel. Setelah itu aku bisa mempersiapkan diri untuk Gala Dinner Gathering Gautama Books di jam delapan malam. Perfect!
“Ami, gue mandi duluan ya,” kata Nisa yang sudah berdiri di depan pintu kamar mandi sambil membawa perlengkapan mandinya. Berhubung aku masih malas untuk mandi, aku pun mengangguk mempersilahkannya mandi duluan.
Lantas aku mengambil ponsel untuk mencatat jadwal kegiatanku besok dan dikejutkan dengan notifikasi email yang masuk. Sebenarnya saat melihat nama pengirim email itu, aku merasa malas untuk membukanya. Tapi siapa tahu isinya benar-benar penting.
from: reynaldo.pramana@gautama.co
to: almira.pradnyani@gautama.co
subject: RSVP
I’m confirming your attendance with me to your Dad’s exhibition tomorrow. Let me know when you leave the hotel. I chartered a car, so let’s go together.
Waiting for your response as soon as possible.
Kind regards,
R.P
Ternyata aku malah membuka email yang memusingkan. Kalau aku berangkat dengan Reynaldo pasti anak-anak akan semakin curiga dengan hubungan kita. Tapi jarak dari Sanur ke Ubud juga cukup jauh dan akan memakan biaya yang banyak juga jika memesan taksi online. Di saat seperti ini, aku baru merasa menyesal karena tidak pernah mau belajar mengendari motor dan mobil.
Dengan dorongan untuk menghemat uang transportasi, aku pun membalas email Reynaldo.
Thanks for the email Kak Reynaldo.
Saya rencana berangkat jam 9 pagi. Let’s meet at the lobby.
Yours sincerely,
Almira
Belum sampai lima menit setelah aku mengirimkan balasan, ponselku bergetar lagi karena balasan dari Reynaldo.
Great, can’t wait for tomorrow.
Send me your phone number so I can call you instead of using email.
-R.P
Aku pun segera mengirimkan nomor teleponku lewat email. Jariku terhenti saat melihat email terkirim. Apakah ini modus pendekatan terbaru?
“Mi, lo mandi dulu gih!” suruh Nisa saat ia baru keluar dari kamar mandi. Aku mengangguk hendak bangun dari kasur lalu berhenti saat ponselku bergetar lagi. Kini dengan notifikasi di akun messengerku.
Pesan dari nomor tidak dikenal. Jangan bilang ini dari Reynaldo?
Hi, Almira. It’s Reynaldo. Terima kasih sudah menerima tawaran gue.
Aku berdecak heran dengan kecepatan respon pria ini. Sambil menegakkan badan di atas kasur, aku pun menyimpan nomornya lalu segera mengetik balasan untuk pesannya, nomor kakak sudah saya simpan. Terima kasih juga sudah menawarkan tumpangan, saya jadi terus merepotkan kakak.
Setelah terkirim, aku segera bangkit dari kasur dan masuk ke kamar mandi. Aku menyalakan shower dengan suhu air hangat untuk menenangkan hatiku yang tiba-tiba berdebar dengan hebat saat membayangkan perjalanan mobil dengan Reynaldo. Juga untuk menenangkan sarafku yang tiba-tiba kaku karena stress memikirkan pandangan ingin tahu orang kantor saat melihat aku berduaan dengan Reynaldo.
Lihat dari sisi positifnya saja, Ami. at least kamu bisa menghemat uang sampai dua ratus ribu yang bisa kamu gunakan untuk membeli gelato atau kue. Aku bergumam di depan kaca sambil mengeringkan rambut bergelombangku yang akan mengembang seperti singa jika tidak cepat-cepat ditata. Setelah selesai mengenakan piyama satin krem dan mengoleskan krim wajah, aku pun berjalan mengitari tempat tidur Nisa untuk menghidupkan alarm ponselku yang aku letakkan di atas nakas di antara kasurku dan Nisa.
Kulihat Nisa sedang sibuk dengan ponselnya. Baru-baru ini Andin memberitahu kalau Nisa sedang kecanduan game tebak kata di sebuah website. Sebenarnya aku tertarik untuk mencoba dan bermain bersama temanku ini, tapi mataku sudah semakin berat malam ini. “Nis, aku tidur duluan ya.”
Ia mengacungkan jempol dengan mata masih fokus memandang layar ponsel. Sepertinya seru, aku akan mencobanya besok. Mungkin aku bisa mengajak Reynaldo untuk bermain bersama saat di mobil besok.
Oke aku terlalu banyak memikirkan pria itu. Let’s just sleep, Ami. Aku merutuki pikiranku sendiri karena masih saja mencoba untuk bekerja saat tubuhku sudah kelelahan. Tapi tidak perlu waktu lama sampai aku benar-benar terlelap dan masuk ke dalam dunia mimpi.
***
Ini adalah tidur paling nyenyak yang aku dapatkan setelah pindah ke Jakarta.
Bali dan kekuatannya untuk menyembuhkan jiwa yang penat. Aku selalu penasaran saat mendengar komentar itu dan baru bisa merasakan efeknya sekarang. Hampir tiga bulan bekerja di Jakarta membuat pikiranku penuh sesak tidak hanya karena pekerjaanku, tapi juga karena kemacetan yang harus aku hadapi di jok belakang ojek online tiap pagi saat berangkat ke kantor dan saat pulang kantor. Ketika badanku bertemu dengan kasur, tidurku tidak bisa tenang karena masih harus memikirkan tugas yang harus aku selesaikan esok hari.
Hanya butuh satu malam di Bali untuk membuatku tertidur lelap sampai hampir tidak mendengar alarm jam enam pagi hari ini. Lalu segera saat membuka mata di sisi kanan kasur, aku bisa melihat hamparan rumput hijau dan bunga jepun berlatarkan biru langit yang menyegarkan mata. Dengan keadaan fisik dan mental yang lebih segar dari kemarin malam, aku pun segera bangun dan bersiap-siap.
Pilihan pakaianku untuk sarapan pagi ini adalah kaos putih yang aku kolaborasikan dengan maxi dress bertali dengan motif bunga krem. Lalu aku mengikat rambutku menjadi satu ponytail dengan scrunchie berwarna senada. Kulanjutkan dengan mengoleskan suncream dan krim wajah, aku tidak memakai make up terlebih dahulu karena toh akan terhapus saat sarapan dan bermain di pantai nanti.
Suara gesekan selimut membuatku menoleh keluar kamar mandi. Nisa sudah terduduk dengan mata masih tertutup di atas kasurnya. Mendengar pintu kamar mandi terbuka, ia mengerjapkan matanya ke arahku. “Ami, rajin amat lo.”
“Rise and shine, Nis! Kita harus menikmati pengalaman maksimal sarapan di hotel ini!”
Nisa menghela napas lalu menghempaskan badannya lagi ke kasur. “Gue nanti turun jam sebelas aja. Lo sama anak-anak bisa duluan.”
“Kamu yakin?”
Aku berjalan keluar dari kamar mandi dan segera mengambil bucket hat putih dari koper carry-on kecilku. Setelah mendapatkan jawaban berupa acungan jempol dari balik selimut putih tebal Nisa, aku pun segera mengenakan sandal slip on coklat di lorong depan kamar dan pergi keluar.
Luna dan Andin sudah menunggu di lantai satu sesuai dengan rencana makan pagi yang kita tentukan di grup chat kami semalam. “Lho, Nisa mana?”
“Tidur. Sepertinya dia begadang main game lagi semalam.” Jawabanku disambut gelengan kepala dari dua temanku.
Kami pun berjalan dari gedung kamar ketiga yang dimiliki hotel ini sampai ke bagian depan dimana restoran berada. Lumayan buat olahraga pagi, pikirku saat aku akhirnya sampai di pintu masuk restoran dengan napas terengah-engah.
Rasa lelahku tidak bertahan lama, karena setelah sampai di dalam restoran aku langsung disambut deretan buffet aneka makanan lokal dan internasional. Tanpa berpikir panjang, Andin langsung menarikku ke bagian makanan barat untuk memesan omelette pada koki yang bertugas. Sementara Luna mencarikan kami meja di bagian depan restoran yang berseberangan langsung dengan Pantai Sanur.
Bagiku, buffet adalah arena pertarungan.
Dalam satu babak, aku harus membawa variasi makanan sebanyak mungkin ke atas meja. Dengan lihai aku memasukkan dua bacon dan ham, omelette, mashed potato dan tomat yang dilumuri mozarella di atasnya dalam satu piring. Kemudian di bagian salad, aku menambahkan piring yang kubawa dengan selada segar dan bawang bombay serta jagung lalu kusiram dengan mayonaise. Setelah itu, aku mengisi mangkuk dengan sereal gandum ditambah dengan susu putih kesukaanku.
Saat aku kembali dengan tangan penuh piring berisi makanan menggunung, Luna berdecak kagum sambil menunjuk ke arah Andin di belakangku dengan tangan penuh makanan sepertiku. Aku mengacungkan jempol pada Andin sesampainya di meja.
Berbeda denganku dan Andin, Luna kembali dengan sepiring nasi goreng dan jus jeruk. Kami pun mulai makan sambil menikmati pemandangan pantai dengan hamparan pasir yang terlihat lembut di depan kami. Beberapa kali kami mengobrol tentang fasilitas hotel yang memuaskan, kemudian bergantian berjalan menuju deretan buffet dan kembali dengan piring menggunung lagi. Kali ini dengan makanan manis, karena peraturan di meja buffet adalah kombinasi asin manis di tiap babaknya.
Apa akibat terlalu semangat saat makan buffet? Perut yang mengembung.
Aku meregangkan badan beberapa kali untuk membantu pencernaan. Untungnya maxi dress yang kukenakan masih memiliki ruang untuk menyembunyikan perutku. Jadi aku tidak perlu mengganti pakaianku lagi untuk menghadiri pameran Papa.
Melihat jam menunjukkan pukul setengah sembilan, aku pun segera membasuh muka lalu mengoleskan bedak dan lipstik berwarna oranye. Aku juga mengubah tatanan rambutku dengan menjepit setengahnya ke belakang dengan jepit kotak berwarna coklat muda transparan.
Kesan kasual aku tambahkan dengan sepatu boots hak tinggi berwarna senada dengan gaunku, juga tidak lupa tas selempang coklat tua dengan rajutan bunga di bagian depannya. Butuh waktu lima belas menit sebelum aku benar-benar keluar dari kamar dan berjalan ke lobi hotel yang letaknya di depan restoran tempatku sarapan tadi.
Sesampainya di lobi, aku pun segera mencari sosok Reynaldo. Tanganku sudah mengeluarkan ponsel dari tas, bersiap untuk menghubungi pria itu. Sampai aku dikejutkan dengan tepukan pelan di bahuku.
“Hey, you ready?” Reynaldo sudah berdiri di belakangku. Penampilannya kasual dengan kaus coklat dan celana kain krem. Tapi jas krem yang ia kenakan membuat ada kesan formal dari pakaiannya. Ia tersenyum lebar sampai lesung pipi muncul di dekat hidung membuatnya semakin mirip dengan kucing berbulu coklat.
Aku mengangguk tersadar dari kekagumanku pada penampilannya yang menggemaskan. “Mobil kakak dimana?”
“Kita jalan sedikit nggak apa ya? Atau lo mau tunggu di depan lobi?”
Aku berpikir sejenak. “Saya ikut jalan deh, Kak. Tadi saya kebanyakan makan waktu sarapan jadi perlu olahraga singkat.”
Ia mengangguk lalu mengajakku mulai berjalan.
Seperti biasa ia berjalan beriringan denganku. Kami berjalan dalam diam, namun aku tidak merasa risih dengan keheningan di antara kami sekarang. Justru aku menikmati paparan sinar matahari yang hangat bercampur dengan aroma lembap dari pohon seiring aku berjalan. Aroma yang mengikutiku sampai di depan mobil Nissan putih sewaan Reynaldo.
Keheningan masih berlanjut sampai mobil melesat keluar hotel menuju Studio Sol di Ubud.
“Kak, saya boleh memutar playlist lagu dari handphone saya?”
“Boleh. Tau caranya kan?” Ia melirikku sebentar sebelum kembali fokus ke jalan. Ponsel Reynaldo ada dalam genggamanku dengan aplikasi navigasi yang sudah aktif. Maklum, aku tidak pernah bisa mengingat jalan di pulau kelahiranku ini.
“Bisa dong.” Tanganku kini sibuk menekan tombol di menu dashboard untuk menghubungkan koneksi bluetooth mobil dengan ponselku. Sembari menunggu bluetooth terkoneksi, aku teringat satu pengakuan serius yang perlu aku katakan.
“Kakak nggak capek nyetir ke Ubud lalu balik lagi ke Sanur?”
Muncul senyum kecil di ujung kiri bibirnya. “Ya kalau gue capek gantian dong sama lo.”
Aku meringis mendengar jawabannya. Dengan nada menyesal aku menjawab, “Tapi saya tidak bisa, Kak.”
Alis kanan Reynaldo naik, bingung mendengar jawabanku. “Nggak bisa gantian sama gue? Lo kelelahan gara-gara penerbangan malam kemarin?”
“Bukan.” Aku menegakkan punggungku, lalu menatapnya serius. “Saya…tidak bisa mengemudikan kendaraan.”
Ia mengerjapkan mata beberapa kali. Tawa geli muncul setelahnya, “Lo bercanda ya?”
Aku menatapnya serius. Baru setelah melihat keseriusan wajahku, ia terlihat terkejut.
“Maaf ya, Kak. Kakak jadi harus menyetir sendiri dengan rute yang panjang.”
Reynaldo berdeham, lalu tersenyum kecil. “Oh nggak apa. Kalau pun lo bisa nyetir, gue tetap akan anterin lo bolak balik. No worries, Almira.”
Aku tersenyum mendengar jawabannya. “Tapi sebagai gantinya, saya traktir kakak es krim deh nanti.”
“Oke, deal?”
“Deal!” Aku menautkan kelingkingku dengan jari kelingking Reynaldo.
Dengan perasaan lega, aku mulai memutar lagu dalam playlist laguku lalu menganggukan kepala mengikuti irama cepat khas lagu latin. Sementara Reynaldo sesekali memandang kehebohan yang aku buat selama satu jam perjalanan menuju studio Papa di Ubud. Beberapa kali aku mendapatinya tersenyum dengan tatapan takjub melihatku menggumamkan–dengan suara kecil–setiap kata yang dinyanyikan rapper asal Puerto Rico favoritku, Daddy Yankee. Menyadari tatapannya aku pun mengalihkan pandangan ke luar jendela.
Kami melakukan ini berulang kali sampai mobil memasuki pekarangan dengan ukiran khas Bali serta pepohonan rimbun. Di depan pintu sebuah gedung bertingkat dua di tengah pekarangan, aku sudah melihat Papa berdiri gagah dengan perpaduan jas, kemeja dan celana kain berwarna hitam. Reynaldo memarkirkan mobilnya di area khusus tamu dan menyilahkan aku turun terlebih dahulu.
Aku pun segera turun dan berlari ke pelukan Papa. Aroma anggur bercampur tembakau menyambutku dan di saat itu juga aku baru merasa pulang.
“¡Papá, Es muy bonita¡ Pameran kali ini cantik sekali!” pujiku hingga mendapatkan hadiah cubitan gemas di pipi dari Papa. Ia mungkin aku hanya berkata seperti itu untuk membuat hatinya senang, tapi aku benar-benar dibuat takjub dengan pameran lukisannya kali ini.
Dengan gaya lukisan realisme, pameran Papa mengambil tema Everyday, Everywhere yang ditujukan untuk memperlihatkan keseharian masyarakat lokal. Desain simplistik gedung dengan dinding putih membuat warna dalam lukisan Papa terlihat lebih mencolok. Kain korden transparan juga digantung membentuk bunga di pintu masuk menambah kecantikan pameran. Aku ingin memeluk Papa lagi untuk memberi tahu betapa bangganya aku melihat hasil kerjanya selama satu tahun terakhir.
“Almira sayang!” Teriakan Mama terdengar semakin mendekat sampai aku melihat kepalanya menyembul dari balik pintu masuk. Aku pun berjalan ke arahnya dan memeluk Mama dalam balutan gaun putih tanpa lengan yang menjuntai hingga kakinya tak terlihat. “Mana pasangan kencanmu hari ini?”
Aku merengut mendengar pertanyaannya. Sementara Papa berubah kaku.
“Selamat siang.” Suara berat pria yang ditunggu-tunggu Mama muncul dari belakang punggungku. “Sekali lagi, terima kasih telah mengundang saya kemari. Ini saya bawakan hadiah kecil untuk merayakan keberhasilan pameran Om kali ini.” Ia menyodorkan sebuah kotak panjang dengan hiasan pita merah mengelilingi kotak itu.
Pasti itu wine, tebakku setelah melihat bentuk kotaknya. Dari mana Reynaldo bisa tahu kalau Papa menyukai wine. Sekarang saja wajah kaku Papa sudah berubah sumringah melihat minuman kesukaannya itu.
“¡Ay, Dios! Casillero del Diablo!” suara Papa meninggi karena senang membaca nama wine dari brand Concha y Toro kesukaannya itu. Ia menepuk pundak Reynaldo dan beralih menggunakan Bahasa Indonesia dengan terbata. “Terima kasih, Reynaldo. Ini wine favorit saya.”
Reynaldo tersenyum lalu beralih menyalami Mama. Ia melakukan semuanya dengan tenang, tidak canggung sama sekali, seakan ia sudah bertahun-tahun mengenal keluargaku.
“Nice to see you again. Ayo masuk kalian berdua!” ajak Mama sambil menggaet lengan kanan Papa lalu berjalan ke dalam studio.
Aku mengedikkan dagu ke arah dalam studio, mempersilahkan Reynaldo untuk jalan terlebih dahulu. Namun ia malah membuatku terkejut dengan sentuhan kecil di tanganku. “Ayo masuk bersama.”
Aku melongo mengikuti tarikan tangan Reynaldo.
“Hey, I think you need to explain everything to me,” bisiknya langsung di dekat telinga kiriku.
Pria ini sengaja ya? Aku menjawabnya dengan ketus. “Menjelaskan apa kak?”
“Tentang pameran papa lo tentunya. Memangnya apa lagi yang perlu lo jelaskan?”
Oh, I don’t know. Mungkin bisa dimulai dari penjelasan kenapa dia menyentuhku seperti ini dan kenapa aku tidak menolaknya. Aku menatap dengan kesal tangan kanannya yang menyelimuti tanganku. Kesal karena hatiku mulai berdebar tidak karuan lagi dan semua karena pria di sampingku ini.
“Kenapa?” tanya pria di sampingku dengan wajah tidak bersalah. Ia malah terlihat menikmati perjalanan menyusuri lukisan Papa sambil tetap menggandeng tanganku.
Pria ini jadi semakin aneh di Bali.
Apakah ada energi mistis dari pulau asalku ini yang merubah kelakuannya menjadi semakin berani di depanku dan keluargaku?