Reynaldo
Bayangan wanita itu terus mengejarku hingga mimpi.
Saat aku mencoba meraihnya yang aku rasakan adalah tekstur lembut dan panas. Baru setelah wajahku terasa basah, aku baru membuka mata dan mendapati tanganku menggenggam bulu di punggung Bruno. Sementara anjingku ini dengan riang menjilati wajahku.
Aku menghela napas. Ada yang aneh dengan diriku sejak aku menghabiskan waktu beruda bersama Almira kemarin. Tanganku refleks menarik badang Bruno ke dalam dekapanku. Aku memendamkan wajah ke leher Bruno, merasakan kelembutan dan aroma matahari dari bulunya. Pasti dia sudah berjemur di depan jendela sambil menunggu alarm ponselku berbunyi. “Morning, buddy.”
Bruno menjawab dengan dua kali gonggongan dan kembali menghambur ke pelukanku.
Kalau aku bisa segera membayar sisa biaya kuliahku pada Bapak tahun ini, aku akan mendapatkan waktu untuk memeluk Bruno sambil berjemur di sofa dekat jendela ruang tamuku. Bermalas-malasan memikirkan hal menyenangkan apa yang bisa aku lakukan. Daripada harus mendapatkan lirikan tajam di pertemuan makan siang keluarga Gautama yang harus aku hadiri lagi dalam lima jam.
“Gue nggak pernah mengerti kenapa lo selalu merasa harus hadir di acara keluarga kalau tahu bakal diganggu.”
Perkataaan Daniel beberapa minggu lalu teringat. Tapi aku memegang teguh permintaan terakhir Ayah.
“Ayah sudah dibantu banyak dari Pak Putra. Pekerjaan dengan gaji cukup tinggi dari supir lainnya, bahkan ia menawarkan untuk menyekolahkanmu sampai kuliah. Ibumu di surga pasti bahagia melihat anak kami satu-satunya bisa lebih berhasil dari kami. Jadi, Rey, Ayah ingin kamu selalu menghormati Pak Putra seperti kamu menghormati Ayah. Karena ia berjanji untuk merawatmu saat tiba waktu Ayah bergabung dengan Ibumu di surga.“
Seakan merasakan waktu beliau yang semakin menipis, Ayah menyatakan permintaannya itu sebelum akhirnya terlibat dalam insiden kecelakaan dua hari setelahnya. Ayah meninggalkan aku dan pergi ke surga bersama Ibu. Sementara aku mendapatkan orang tua baru, Bapak.
Meski kehidupanku menjadi lebih mudah selama menjadi anak angkat Bapak, aku tidak bisa menghindari pandangan benci dari orang-orang di dalam rumah keluarga besar. Ditambah lagi Bapak yang lebih sibuk mengurus bisnisnya dan meninggalkan tanggung jawab merawatku kepada pembantu di rumah. Jadilah kehidupanku berubah menjadi penuh celaan dan siksaan dari semua anggota keluarga Gautama yang berpapasan denganku.
Ada juga yang mendekati aku lalu berusaha mendapatkan kelemahanku untuk dibeberkan saat pertemuan keluarga. Bapak hanya diam, tidak peduli. Saat melihat keluarganya, aku baru menyadari kalau salah satu alasan aku dibawa masuk ke dalam keluarga ini adalah untuk menutupi kesalahan anaknya.
Kebaikan yang memiliki maksud tersembunyi. Biaya perawatanku selama ini harus dibayar dengan kepatuhanku untuk mengurus sisa kesalahan anaknya. Insiden 4 tahun lalu salah satunya. Belum lagi jumlah paper tugas Dwi yang harus aku buat untuknya saat kuliah. Seakan masuk ke dalam perangkap mereka, aku menghabiskan hampir sepuluh tahun melayani anak-anak mereka. Mengurus segala kesalahan yang mereka lakukan dan tetap diasingkan dalam keluarga.
Sepertinya hanya Daniel orang yang benar-benar memperlakukanku sebagai seseorang yang setara di dalam keluarga itu.
Komitmenku untuk menjaga janji terakhir dengan Ayah bisa aku tuntaskan saat aku bisa membayar semua biaya perawatanku kepada Bapak. Sejak saat itu juga muncul tekadku untuk membayar biaya perawatan selama hampir satu dekade dalam rumah utama Gautama. Bapak yang mendengar keputusanku hanya mengangguk lalu kembali bekerja. Seakan keputusanku membayar biaya perawatan itu adalah kewajiban yang memang harus aku bayar.
“Jadi itulah mengapa aku lebih suka bermain denganmu daripada manusia, bud!”
Aku mengusap kepala Bruno yang dengan tenang mendengarkan keluh kesahku. Tanganku sibuk mengancingkan kemeja putih lalu menyisir rambut yang menutupi dahiku sampai alis. Saat aku menatap Bruno lagi, ia sudah berjalan mendekat lalu masuk ke sela kakiku dan mengeluskan kepalanya ke pahaku.
Bayangan Almira muncul lagi meski pun aku sudah berusaha keras memikirkan hal lain–bahkan sampai memikirkan perlakuan kejam keluarga angkatku dulu. Sejak pulang dari Hotel Ria kemarin, aku terus membayangkannya di mana pun aku pergi.
Saat memandang kursi kosong di samping kursi kemudi. Saat mendengarkan lagu yang ia putar di dalam mobil. Bahkan aroma lembut bercampur vanilla dari parfum atau sabun yang ia pakai memenuhi mobilku. Saat aku memutuskan untuk bersikap lebih baik demi mendapatkan pengampunan dari Almira, aku tidak memperhitungkan efek samping yang akan aku rasakan dalam waktu lama.
Bruno menyadarkan aku kembali dengan mendorong bagian belakang kakiku. Ia terlihat bersemangat menungguku selesai bersiap-siap agar aku bisa memberikannya makan pagi secepatnya. How cute.
Aku membayangkan wanita itu lagi yang ekspresinya berubah riang setiap kali aku membahas makanan. Persis seperti Bruno. Ia juga memandangku dengan mata bulatnya, warna amber di bola matanya seakan memberikan aku kehangatan untuk mengatakan semua yang terpendam di dalam hatiku. Ia mendengarkanku dalam diam, mempersilahkanku untuk mengatakan semua yang ingin aku katakan. Tapi jika aku tidak mengatakannya, ia tidak memaksaku untuk mengatakannya.
Apakah selalu semudah ini untuk membicarakan tentang kehidupan pribadiku?
Aku ingin lebih dekat dengan Almira. Mungkin akan menyenangkan jika bisa menceritakan semua hal yang aku pendam kepada Almira kapan saja?
Aku bahkan sampai menerima undangan dari ayahnya untuk menghadiri pameran lukisan satu minggu lagi. Menurut Ibu Almira, ia akan selalu menghadiri pameran ayahnya. Entah mengapa sepertinya ibunya itu sangat bersemangat saat menyuruhku untuk pergi bersama Almira ke tempat pameran di satu hotel di daerah Ubud. Sementara ayahnya melihatku dengan sorot mata penuh curiga, seakan aku berniat menculik anak perempuannya.
Jujur saja aku sempat terkejut melihat kemiripan Almira dengan ayahnya, terutama warna matanya itu. Lalu saat aku mengetahui ayahnya berasal dari Argentina, aku langsung teringat bahasa asing yang Almira sering utarakan saat ia mencoba berbicara dengan cepat atau saat ia malu.
Ayahnya menjelaskan dengan bahasa Indonesia yang kaku, kalau ia adalah alasan mengapa Almira mulai belajar Bahasa Spanyol secara autodidak. “Sebenarnya Ami tidak perlu belajar bahasa ibu saya. Toh saya lebih banyak menghabiskan waktu di Bali. Tapi ada waktu dimana saya merasa terasingkan. Ami kemudian bersikeras ingin membantu saya dengan belajar Bahasa Spanyol supaya saya dapat berbicara dengan bahasa saya setiap kali saya rindu dengan kampung halaman. Es un angel. She’s an Angel.”
Sepertinya ayah Almira sangat menyayangi putri satu-satunya ini. Juga ibunya yang meski pun menghabiskan waktu makan siang kami dengan mengomel panjang lebar tentang jadwal makan putrinya tapi terus mengisi kembali piring kosong Almira dengan daging asap dan telur.
Melihat kehangatan yang orangtua Almira berikan tidak hanya kepada anak mereka, tetapi kepadaku yang merupakan orang asing membuatku iri. Tidak pernah aku membayangkan akan merasakan jamuan makan siang tanpa harus menusuk orang lain di meja makan dengan sindiran.
Dekat dengan Almira dan orang-orang di sekitarnya membuatku merasakan kehangatan. Mungkin karena alasan itulah aku selalu merasa ingin berada di sekitarnya. Juga alasan munculnya keinginanku untuk mendekati Almira.
Masalahnya sekarang adalah Daniel. Bagaimana caraku untuk memberitahu sahabatku satu-satunya itu kalau aku ingin mendekati wanita yang sama dengannya?
Mungkin aku harus menanyakan apakah wanita yang ia dekati benar-benar Almira terlebih dahulu. Dan aku berniat menanyakan hal itu saat bertemu dengannya di rumah utama Gautama sebentar lagi.
Aku menyiapkan makan pagi untuk Bruno, daging sapi tanpa lemak kesukaannya. Lantas aku mengisi pemberi makan otomatis anjingku ini dengan dog food dan mengatur waktu makanan keluar di jam sebelas dan dua siang lewat aplikasi di ponselku.
Setelah memastikan semuanya aman, aku segera turun dan berangkat ke neraka.
“Hanya sampai Daniel datang, lalu pergi,” janjiku pada diriku sendiri. Aku tahu aku tidak akan melakukannya, karena aku pasti akan menunggu sampai Bapak selesai memberikan ceramahnya pada semua anak dan keponakannya.
Sialnya Daniel tidak menampakkan batang hidungnya sampai ritual rutin Bapak selesai dilakukan. Jadi aku kembali berdiri dalam diam di ujung ruangan sembari menunggu anggota keluarga lain berangkat untuk bermain golf mingguan. Menyembunyikan eksistensiku daripada harus meladeni salah satu dari mereka.
Tepat di saat mobil yang membawa semua anggota keluarga pergi dari pekarangan depan, ponselku berbunyi. Notifikasi menampilkan nama dari orang yang aku cari-cari sejak tadi.
Daniel: Gue lagi cari kado buat Mami, and look who I found?
Aku membuka foto yang dikirimkan Daniel. Merutuki kesialanku hari ini karena di dalam foto itu sudah terlihat Almira dengan rambut bergelombang yang ia jepit di tengah dengan jepit kupu-kupu kuning. Gaun sundress selutut yang ia kenakan juga berwarna kuning lemon dilengkapi cardigan krem yang membuat kulitnya semakin cerah. Dia seperti peri musim semi.
Aku segera menggumamkan balasan yang kuketik, “Lo lagi dimana?”
Tidak sampai sepuluh detik, jawaban dari Daniel sampai.
Daniel: PI lah. Dimana lagi gue biasa cari kado buat Mami tercinta.
Aku buru-buru mengambil kunci mobil dan melesat keluar. Keinginanku untuk merusak “kencan” tanpa sengaja mereka melesat tinggi. Baru saja aku ingin mengetik balasan untuk menanyakan posisi mereka secara detail, pesan baru muncul lagi dari Daniel.
Daniel: I know you’ll come here. Gue nggak bakal kasih lo tahu dimana kita sekarang. Tapi gue bakal kasih lo satu jam buat ke tempat kita sekarang. Gue bakal tahan Almira biar dia nggak kemana-mana. Have fun guessing, Rey *wink*
Hampir saja aku melempar ponselku ke dashboard mobil saat melihat balasan Daniel. Untungnya aku bisa mengatur napas dan berpikir dengan tenang. Pikiranku melakukan tanya jawab seorang diri sambil mengingat petunjuk yang Daniel berikan saat ia menggerutu karena selera baru mamanya itu.
Merk barang apa yang biasanya disukai Mama Daniel? Saint Laurent atau Burberry.
Apa event yang akan mereka hadiri sebentar lagi? Demo masak dan arisan bulanan klub masak.
Berarti Mama Daniel kemungkinan akan menginginkan brand yang mengeluarkan produk seasonal terbaru untuk ia pamerkan saat demo masak akhir minggu nanti. Aku mencari sekilas di website Mall dan menemukan line pakaian musim gugur terbaru dari Burberry. Jackpot!
Aku mengirimkan balasanku selanjutnya. Just watch, I’ll found you guys!
Mobilku langsung melaju cepat di jalanan perumahan yang sepi. Pikiranku bahkan belum selesai menemukan kelogisan dari rencana impulsif untuk bertemu Almira. Meski pun aku bisa bertemu dengan wanita itu besok pagi.
Tapi tidak ada salahnya menambah waktu bersama, kan? Setiap kali berurusan dengan Almira, sepertinya badanku yang lebih dulu bergerak dibanding dengan pikiranku. Jika Daniel berkata aku akan mengunjunginya di Mall tanpa direncanakan beberapa bulan lalu, aku mungkin akan mengatakan kalau ia tidak sedang dalam pikiran normalnya. Tidak ada yang aku lebih sukai daripada stabilitas, tentunya dalam hal jadwal rutinku setiap hari.
Maka saat aku menginjakkan kaki di pintu masuk Plaza Indonesia, aku mulai menyadari kalau aku baru saja melanggar prinsip hidupku. Tapi entah mengapa jika sudah berhubungan dengan wanita itu, dorongan untuk bertindak jauh lebih impulsif dari biasanya.
Tujuan pertamaku setelah masuk adalah lantai satu tempat brand itu berada.
Aku berjalan memutari lantai pertama Mall ini dan berhenti tepat di depan tulisan Burberry berwarna putih krem dengan latar papan hitam. Dari jendela toko aku mencari sosok Almira atau Daniel. Aku mengedarkan pandang dari ujung kanan hingga kiri toko, mencari tanda kehadiran wanita dengan pakaian berkonsep lemonade itu atau sosok menyebalkan sahabatku.
Tepat saat pegawai toko menghampiriku–mungkin karena curiga dengan tingkah anehku di depan toko–aku melihat sekilas rambut bergelombang Almira lengkap dengan jepit kupu-kupu kuning di tengah tebalnya rambut wanita itu.
Aku pun segera melangkah masuk melewati pegawai wanita tadi. Tanpa sadar mulutku sudah memanggil namanya dengan cukup keras. “Almira?”
Ia memutar badannya hingga aku bisa bertatapan langsung dengan dua batu amber di matanya yang terlihat jelas karena ia membelalak kaget. “Kak Reynaldo?”
Aku tersenyum geli melihat ekspresi kagetnya itu.
Belum sampai mengingat setiap detail ekspresi Almira, aku merasakan tepukan keras di punggungku. Ah, I think I know who it is! Aku menoleh kasar kearah sahabatku itu. Bisa-bisanya dia merusak momen berhargaku.
“Rey! That was fast.”
Almira terlihat memicingkan matanya curiga ke arah kami berdua. “Kak Dan yang suruh Kak Reynaldo kesini?”
Aku melirik Daniel yang mengedikkan bahunya.
“Gue manggil Rey kesini buat minta opini dia tentang hadiah Mami gue, Al.”
Al? Panggilan apa lagi itu? “And here I am. Ternyata ada lo juga di sini, Almira.”
Mulutnya membentuk huruf ‘o’ besar mendengar alasan Daniel. Untung sahabatku ini masih punya hati untuk tidak membuatku malu di depan Almira.
“Jadi saran aku tadi tidak cocok ya?” Kini wajahnya terlihat sedih. Aku menoleh ke arah Daniel lagi berusaha mendapatkan penjelasan keseluruhan situasi ini.
Daniel tertawa geli lalu mengacak rambut depan Almira. “Cocok, Mami pasti suka dengan scarf pink yang lo pilih. Tapi gue perlu hadiah tambahan, makanya gue panggil Rey kesini.”
Mataku dibuat membelalak kaget. Kurasakan panas menjalar di dalam tubuhku. Saat aku berusaha menahan agar amarahku tidak keluar, yang terjadi adalah nada suaraku terdengar lebih ketus dari biasanya. “Lo masih butuh saran gue nggak, Dan?”
Hal yang terjadi setelahnya membuatku mengernyitkan dahi bingung. Daniel tertawa terbahak sembari menepuk bahuku keras. Kebiasaan Daniel menyakiti orang di sebelahnya setiap kali ia tertawa memang menyebalkan. Aku menepis tangannya. “Malah ketawa. Jadi nggak nih?”
Ia mengangguk sebelum beralih ke arah Almira. “Almira, gue pinjam Reynaldo dulu ya. Lo tunggu di sini, habis ini kita makan malam bersama.”
Almira memutar bola matanya lalu mendengus pergi ke rak tas. Belum sempat aku pergi menjauh, leherku sudah ditahan dengan lengan besar Daniel. Saat ini saja aku iri dengan kebiasaan rutinnya berolahraga untuk membentuk otot, sepertinya berguna untuk keluar dari situasi seperti ini.
“Lo tertarik sama dia kan?”
Aku menatapnya horor. Kenapa dia bisa berbicara tentang hal seperti itu di ruang publik dan di dekat wanita yang sedang dibicarakan juga. “Pilihan lo antara mengaku jujur–karena gue akan tahu kalau lo berbohong, mata lo terbaca banget–atau tetap memilih berbohong dan perasaan lo bisa diketahui lebih banyak orang lagi.”
Aku menghela napas pasrah. “Oke, oke… Gue masih belum tahu, Dan. Di satu sisi gue tertarik dan di sisi lain gue merasa takut buat mendekati dia.”
Aku menatap Daniel dari ujung mataku, takut melihat reaksinya. Aneh rasanya mengakui perasaanmu langsung di depan sahabatmu yang juga menyukai wanita yang sama.
Tapi yang aku lihat hanyalah sorot mata bersemangat dari sahabatku ini. “I knew it! Sudah gue duga memang tipe lo harus yang galak seperti Almira biar lo bisa jinak, Rey.”
“Maksud lo?”
“Maksud gue, lo sama Almira cocok. You should try to pursue her.” Ekspresi wajahnya masih tetap cerah seperti biasa, tidak ada getaran di ujung bibirnya saat tersenyum jadi aku bisa mengetahui kalau ia baru saja mengatakan kebenaran.
Jadi, siapa perempuan incaran Daniel? Dilanda rasa penasaran yang hebat aku pun berbalik merangkul Daniel dan membisikkan pertanyaanku itu.
“Jadi lo masih belum sadar? Gue pikir lo pasti sudah tahu dari tipe perempuan gue.”
Aku mendengus kesal. “Ya seinget gue standar lo itu cewek yang cantik dan manis. Karena lo nggak mau elaborasi jadi gue berasumsi sendiri berdasarkan penilaian gue.”
“Sudah gue bilang jangan berasumsi sendiri, Ah!” protes Daniel memukul bagian belakang kepalaku. Aku meringis mengelus kepalaku. Aku seratus persen yakin love language Daniel adalah physical attack. Padahal dia yang tidak memberikan aku penjelasan lebih detail, makanya aku berasumsi sendiri.
Daniel menarik lenganku, mengentikan langkahku di lorongan. “Tunggu.”
“Kenapa lagi?”
“Lo…” Ia melihatku dengan mata melebar. Tapi sedetik kemudian ujung bibirnya terangkat menjadi senyum mengejek yang membuatku kesal. “Tipe gue memang cewek yang cantik dan manis. Terus penilaian lo mengarahkan lo ke Almira? Berarti di mata lo dia cantik dan manis dong?
Aku mengatupkan bibirku. Benar juga ya? Kenapa saat itu aku langsung membayangkan wanita itu ketika memikirkan tipe wanita Daniel?
Tapi bukannya Almira memang punya senyum yang manis. Kalau dilihat-lihat, wajahnya juga termasuk cantik menurutku. Jadi kalau bukan Almira yang Daniel sukai, siapa–
Daniel terbahak membuatku tersadar dari lamunanku. “ Aha, that explains a lot! Jangan-jangan selama ini lo pikir gue suka sama Almira? Pantas gue merasa aneh waktu kita jenguk Almira di rumah sakit, tiap kali gue deket kasur anak itu lo langsung cemberut. Terus sekarang juga, lo pasti nggak mau gue jalan berdua dengan Al-al kan? Kebaca banget ekspresi lo, Rey.”
Dahiku mengernyit mendengar panggilan yang terdengar akrab itu. “Al-al?”
“Oh gue buat nama panggilan baru buat calon ipar gue. Jangan bilang lo cemburu?”
Aku menepis genggaman tangan Daniel dari lenganku. “Lo jangan berasumsi sendiri!”
“Ah membalikkan situasi, i see.” Daniel tertawa lalu berjalan di sampingku. Aku mengalihkan fokus ke tas keluaran terbaru dengan motif kotak-kotak khas Burberry. Mungkin aku harus cepat-cepat memilihkan hadiah untuk Tante Arini supaya anak ini cepat pergi dari sebelahku. Aku bisa melihat Daniel masih menatapku dengan mata berbinar. “You know, I’m happy for you, Rey.”
Gerakan tanganku menyusuri rak tas terhenti. “Untuk apa?”
“Lo akhirnya bisa jatuh cinta. Selama ini gue sampai curiga lo bakal menjalani hidup pertapa sampai tua. Glad you found her, huh?”
Ia menyenggol bahuku. Sementara aku masih terdiam merenungi perkataanya.
Aku masih belum mengerti. Apakah perasaanku sekarang pada Almira adalah perasaan cinta? “Gue cuma tertarik karena penasaran dengan variasi ekspresi yang bisa dia buat.”
“That’s a start. Lo tertarik dulu terus lama-lama hidup lo jadi hampa tanpa kehadiran dia. Then you build commitment with her. Lalu kalian memutuskan untuk menikah dan hidup bahagia selamanya. And that’s how your love story goes.”
Apa perasaan cinta memang semudah itu? Aku menatap wanita yang sedang mengobrol asyik dengan pegawai toko itu. Ia tersenyum cerah dan tanpa sadar aku juga ikut tersenyum melihatnya. Aku memang ingin terus berada di dekat Almira. Tapi apakah perasaan ini sudah cukup kuat untuk bisa dikatakan cinta?
Pertanyaan itu terus berputar dalam benakku.
Bahkan saat kami bertiga makan malam bersama. Almira dengan wajah bahagianya di depan pizza berukuran besar. Ia menutup matanya dan bersenandung riang saat rasa makanan yang ia santap sesuai dengan seleranya, lalu mengernyit ketika menggigit olive dalam pasta yang ia pesan karena ternyata ia tidak menyukai rasanya. Aku ingin mengetahui lebih banyak ekspresi di wajahnya.
Aku tersenyum menyerah saat melihat ia menaruh hidangan yang menurutnya lezat dan memaksaku untuk mencobanya juga. Sepertinya aku benar-benar sudah ada di dalam genggaman wanita ini. Aku memang sudah jatuh cinta pada wanita ini.
Tapi aku harap dia bisa menunggu sampai aku menyelesaikan hutang terakhirku pada Bapak. Setelah itu, aku akan mengejar wanita ajaib ini kemana pun ia pergi. Aku menatap Almira lagi, memendam pertanyaan di ujung lidahku, can you wait for me a little more, Almira?