Almira
Rasanya aku bisa mati karena kesalahpahaman yang terjadi.
Kak Felice memandangku seakan ia baru saja menonton adegan pengungkapan dramatis dari sinetron di televisi, kurang lebih mirip dengan reaksi Daniel yang mulutnya sudah menganga melihat adegan tadi. Apalagi tiga temanku, mereka memandangku penuh tanda tanya. Sepertinya Andin siap menerkamku dengan pertanyaan dan tidak akan melepaskanku sebelum aku menjawab.
Sementara Reynaldo hanya diam sampai mereka semua pamit pulang.
Bagian yang menyebalkan adalah dia seenaknya keluar duluan setelah berpamitan. Karena itu berarti empat burung elang di sampingku dapat dengan mudah menerkam mangsanya. Andin yang pertama mendekat lalu langsung menembak pertanyaan pertama. “Lo ada apaan sama Kak Reynaldo?”
Atau mungkin ini kesempatan bagus untuk meluruskan salah paham. “Nggak ada apa-apa. Kak Reynaldo hanya menawarkan karena merasa bersalah sudah membuatku sakit. Beneran deh, guys–”
Belum selesai aku menjelaskan keseluruhan situasi, terutama tentang kesepakatan berteman yang aku putuskan dengan Reynaldo tadi siang, pria itu malah masuk lagi dan merusak kesempatanku.
“Kalian jangan ganggu Almira lagi. Besok Senin saja. Berikan waktu untuk dia istirahat!” tukasnya, menengok dari balik pintu.
Lagi-lagi dia bersikap perhatian padaku dan membuat Andin melirikku curiga. While I do appreciate his caring side, he really makes everyone misunderstood!
Karena pria yang menjadi alasan kembalinya pusing kepalaku itu tidak kunjung pergi dari balik pintu, terpaksa Kak Felice dan tiga temanku mengikuti perintah Reynaldo untuk pulang. Tentu setelah memicingkan mata ke arahku seakan berkata, kita akan melanjutkan ini nanti. Jangan berani kabur dari topik ini!
And I’m screwed!
Aku bahkan tidak bisa tidur setelah mereka semua pulang. Berbagai alasan berputar dalam benakku, mencari alasan terkuat yang bisa membuat mereka percaya kalau tidak ada hubungan apa pun di antara Reynaldo dan aku selain pertemanan. Alasan Reynaldo bersalah sudah kugunakan atau alasan pertemanan yang baru tumbuh di antara kami. Tapi mereka tetap saja tidak percaya.
“But really, apa sih yang terjadi dengan sifat Reynaldo?” gumamku sambil berusaha memejamkan mata. Wajah tersenyumnya muncul dalam pikiranku sekarang. Aku berusaha mengalihkannya dengan bayangan domba yang sedang melompati gerbang kayu coklat di dalam imajinasiku.
Pikiranku teralihkan lagi. Aku baru sadar ternyata pikiranku mudah sekali terkecoh. Atau daya tarik Reynaldo sangat kuat sampai bisa mengalihkan fokusku dari domba-domba yang akan membuatku tidur ini?
Aku teringat lagi dengan lesung pipi menggemaskan Reynaldo. Lalu jantungku berdebar hebat. Tapi saat teringat sikap kaku dan gaya bicaranya yang kadang menyebalkan. Debarannya melambat. Aku membayangkan wajahku mungkin akan lebih merah dari biasanya karena detak jantungku lebih cepat. Jika begini terus, aku tidak mungkin bisa menjelaskan kesalahpahaman hubungan kami di depan teman-temanku hari Senin nanti.
Mungkin aku harus membicarakan ini dengan Reynaldo langsung besok. Siapa tahu dia punya ide brilian!
Dengan perasaan lega karena sudah dapat memutuskan solusi dari kesalahpahaman ini, aku akhirnya dapat berkelana di dunia mimpi. Menyusuri padang rumput dan melewati kerumunan domba yang berbentuk seperti tumpukan awan di daratan. Aku berpapasan dengan penggembala dengan tongkat kayu tinggi melengkung di bagian atas, persis seperti tongkat milik Bo Peep di Toys Story.
Lalu mimpiku mulai menjadi samar. Aku mengingat sekilas kaus putih bergaris hitam horizontal dan celana jins hitam serta sepatu boot kulit hitam. Ia membelai rambutku lembut sambil tertawa melihat angin membuat rambutku berantakan lagi. Tawanya membuat hidungnya mengerut dan matanya menyipit. Seperti kucing mengeong. Saat aku berusaha memicingkan mataku–di dalam mimpi tentunya–aku merasakan guncangan hebat yang menarikku kembali ke dunia nyata.
Aku sontak membuka mata kaget langsung memeriksa ke sekeliling dan mendapati seorang suster yang usianya sudah cukup tua–jika dilihat dari banyaknya rambut putih pada gulungan rambutnya–berdiri tepat di samping kasurku. Kurasa pengaruh perasaan kaget dari mimpi tadi yang membuat aku berteriak keras saat melihat suster dengan baju serba putih itu.
Pintu kamar mandi di depanku terbuka dan dari sana muncul Reynaldo yang sudah tergesa-gesa berlari ke arahku.
“Kenapa? Kamu kenapa, Almira? Sakit lagi?”
Bagaimana pria ini bisa sampai masuk ke sini?
Mataku mengerjap-ngerjap. Mulutku masih terbuka sehabis berteriak hebat tadi. Dan pikiranku belum sepenuhnya mengerti situasi yang terjadi sekarang.
“Mbaknya kaget gara-gara lihat saya, Mas.” Suster–yang ternyata benar-benar manusia–itu menjelaskan singkat dengan ekspresi jahil sembari melanjutkan proses melepaskan infus dari punggung tangan kiriku.
Aku menatapnya tak percaya. Napasku masih terengah-engah karena penampakan tiba-tiba suster ini dan dia masih bisa bercanda?
“Oh begitu. Saya kira ada apa-apa dengan dia,” jawab Reynaldo dengan tenang pada suster itu sebelum beralih ke arahku. “Sorry. Tadi Bu Dian datang untuk melepas infus di tangan lo, jadi gue persilahkan masuk. Karena lo masih enak tidur jadi gue nggak bisa bangunin.”
Tatapan kesalku kini beralih pada pria yang entah sejak kapan sudah berada di kamar ini. “Sudah berapa lama Kakak di sini?”
“Gue baru aja sampai. Tadi berangkat lebih awal dari rumah karena takut kena macet, tapi ternyata malah sampai kepagian.” Ia menjelaskan sambil membuka tutup plastik mangkuk berisi bubur di meja. “Mumpung lo sudah bangun, lo sarapan dulu ya? Buburnya baru aja datang jadi masih hangat.”
Aku yang mulai sadar sepenuhnya langsung mengalihkan fokusku pada baju yang dikenakan Reynaldo hari ini. Dari kaus bergaris, warna celana jins, dan sepatu boots yang pria itu kenakan benar-benar sama dengan penggembala domba dalam mimpiku. Tiba-tiba rasa kesal muncul karena aku teringat kalau aku tidak pernah bisa melihat wajah pria dalam mimpi itu karena Reynaldo membiarkan suster ini masuk dan membangunkanku.
Aku mendengus kesal lalu mengalihkan pandangan ke sisi yang berlawanan dengan pria itu.
Tapi malah bertatapan dengan suster bernama Dian itu. Dan dengan jahilnya, ia menyeletuk lagi. “Mas, Mbaknya ngambek lho. Mau disuapin sama Mas mungkin.”
Mataku melotot ke arah suster itu. Tapi bukannya peka, dia malah terus memanas-manasi suasana. Sepertinya ia menginginkan drama pertengkaran pasangan muda untuk tontonannya pagi ini.
“Lho, Mas? Kok malah jadi seperti kepiting rebus begitu?”
Refleks aku menoleh ke arah Reynaldo yang sudah menatap ke arah pintu kamar. Menyembunyikan wajahnya dariku. Aku berambisi untuk melihat ekspresi baru pria itu lantas memajukan badanku sampai aku bisa melihat sekilas warna merah di ujung telinganya.
Suster Dian kembali berceloteh. “Aduh lucunya, masih malu-malu ternyata. Saya jadi rindu waktu saya dan suami saya masih pengantin baru. Mas sama Mbak sudah berapa lama menikah?”
“Kami bukan suami istri.” Suara pekikanku tertutup beratnya suara bas Reynaldo. Aku sontak menoleh ke arah pria itu lagi dan akhirnya mendapati satu kebenaran dari perkataan suster Dian. Wajahnya memerah dan kulit putih Reynaldo semakin membuatnya terlihat jelas.
Aku melongo menghadapi kenyataan baru kalau Reynaldo yang kaku bisa terlihat semakin menggemaskan saat tersipu malu. Dia yang menyadari tatapan intens-ku langsung mengalihkan pandangan ke tempat lain lagi. Sementara Suster Dian segera melepaskan infus dari tanganku lalu keluar dari ruangan dengan salam canggung.
Kami rasanya terdiam cukup lama. Aku menatap Reynaldo dan dia masih menatap pintu.
Tiba-tiba muncul keinginanku untuk menjahilinya lagi.
“Aduh…” pekikku tiba-tiba sambil meremas perut.
Mendengar suaraku kesakitan, sontak Reynaldo mengalihkan pandangannya ke arahku dan berjalan mendekatiku. Wow, nice reflex! “Aduh, kak…”
“Lo kenapa? Perlu gue panggilin suster lagi?”
Aku merasa sedikit bersalah karena nada bicara pria ini terdengar panik. Tapi aku menikmati perbedaan sifat yang ia tunjukkan di depanku dengan sifat normalnya dengan orang lain.
“Saya…” jawabku sambil menundukkan kepala, menyembunyikan senyum jahil yang memaksa keluar saat melihat ekspresi polos Reynaldo.
“Ya? lo kenapa?” tanyanya lagi tidak sabar.
“Saya tiba-tiba…kepingin makan cheesecake, kak.” Mataku meliriknya lagi dan kini ekspresi wajahnya merengut kesal. Gelak tawa yang sejak tadi aku tahan langsung keluar bebas saat melihatnya. “Jadi, ayo kita cepat-cepat keluar dari rumah sakit ini, Kak. Lalu kita bisa berangkat ke hotel tempat Mama menginap.”
“Lo…” Pria itu hanya bisa menggelengkan kepala heran melihat tingkahku.
Masih tertawa geli, aku mengibaskan tanganku ke arah pintu. “Keluar dulu, Kak. Saya mau ganti baju.”
Tapi ia tidak bergeming. Reynaldo malah mendekat dan menunjuk ke arah nampan sarapan dari rumah sakit di atas meja di samping kasurku. “Sarapan bubur dulu.”
“Aduh, saya bosan sama bubur. Kita makan di hotel saja nanti,” jawabku memelas.
Ia menggeleng tegas. “Nope. Sarapan dulu baru gue mau keluar.”
Oh, dia menantang? “Oke. Kalau begitu Kak Reynaldo boleh terus berada di sini selama saya ganti baju,” gertakku sembari membuka satu kancing atas baju piyamaku.
Ia tetap diam. Kompetitif juga orang ini. Aku melanjutkan ke kancing kedua, tetap tidak mau kalah. “Kesempatan terakhir untuk keluar, Kak. Saya tidak bercanda.”
Melihat tanganku sudah sampai di kancing ketiga, akhirnya Reynaldo menghela napas dan keluar dari ruangan diikuti dengan tawa puasku. Hari ini pun dia tidak bisa menang melawanku. Aku melanjutkan membuka kancing baju dan segera mengganti baju piyama rumah sakit dengan pakaian yang kukenakan saat kerja kemarin. Derita tidak bisa meminta tolong pada seseorang untuk mengambilkan baju ganti untukku kemarin. Tidak mungkin juga aku meminta Reynaldo untuk membongkar isi lemariku yang penuh dengan rahasia wanita itu, kan?
Tepat setelah aku selesai merapikan rambut bergelombangku yang tampak kusut, terdengar ketukan dari pintu. Aku mempersilahkan orang di balik pintu–yang aku asumsikan sebagai Reynaldo–untuk membuka pintu.
Benar saja. Reynaldo masuk dengan membawa kotak plastik kosong di tangannya. “Lo sudah selesai?”
Aku tersenyum menghampirinya. “Sudah, Kak. Kakak bawa kotak buat apaan?”
“Oh…” Ia menaruh kotak itu di atas meja samping kasurku. “Ini tempat buat bubur. Biar lo bisa makan dalam perjalanan nanti. Lumayan perjalanan 1 jam dari sini ke Hotel Ria, tempat Mama lo menginap.”
Aku terdiam memperhatikannya.
Ia melirikku sesaat lalu kembali menuangkan bubur dan isinya ke dalam kotak. Dengan nada curiga ia bertanya, “Lo kenapa? Ada rencana jail lagi?”
“Memangnya isi otak saya cuma itu, Kak!” protesku. “Saya cuma heran kenapa Kakak terampil banget dalam hal mengurus orang sakit. Papa saya selalu memanggil Mama tiap detik hanya untuk memastikan apakah perawatan yang ia lakukan sudah benar. Lalu pada akhirnya Mama menyuruh Papa diam saja daripada membuatnya pusing dengan panggilan panik tiap detik.”
Reynaldo menatapku sesaat. “Gue sudah biasa mengurus diri sendiri saat sakit dari dulu.”
Nada bicaranya terdengar sedih. Apakah ia ditinggal sendirian sementara orangtuanya bekerja? Apa dia selalu mengurus semuanya sendirian sampai sekarang?
Ia menatapku seakan bisa mendengar pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam kepalaku. Seberapa mudah aku membuat ekspresiku terbaca? “Lo nggak usah mengkhawatirkan gue. Lebih baik lo cepat-cepat turun sekarang sebelum kita ketinggalan dessert buffet spesial makan siang di Hotel Ria.”
Mendengar kata dessert, aku langsung melompat riang dan menyambar totebag hitam di atas sofa. “Kakak nggak bilang dari tadi. Ayo, kak!” Aku sudah membuka pintu kamar dan menunggu Reynaldo memasukkan kotak berisi bubur ke dalam tas kertas yang sudah ia siapkan.
Saat berjalan beriringan menuju lift yang akan membawa kami dua lantai turun ke tempat parkir mobil, aku melirik pria di sampingku penuh rasa penasaran dan khawatir dalam waktu yang sama. Sepertinya ia memendam kesedihannya, berusaha untuk kuat di hadapan orang-orang.
Aku ingin mengupas setiap lapisan dalam diri pria ini. Seperti apa ekspresinya saat terlewat bahagia atau terlalu sedih sampai harus menangis? Bagaimana dirinya saat sedang berada di antara keluarganya, apakah ia juga mengekspresikan ketidaksenangannya lewat raut wajah?
Atau bagaimana ketika ia dilanda perasaan cinta, apakah ia akan melembut? Mungkin dia tipe pria yang akan membukakan pintu untuk pasangannya lalu membantu memasangkan sabung pengaman dengan hati-hati, seakan pasangannya itu adalah sebuah boneka porselen. Seperti yang dia lakukan sekarang. Apa itu berarti dia–
“Daripada lo memelototi gue terus, mending lo bantu gue buat masukin alamat Hotel Ria ke GPS mobil.”
Suaranya menyadarkanku. Reynaldo baru saja masuk ke belakang kursi kemudi setelah memastikan aku sudah duduk dengan nyaman di sampingnya. Ia kemudian menaruh kotak makan berisi bubur dan sendok plastik di atas pangkuanku sebelum menyalakan mobil.
Aku mengerjapkan mata sesaat sebelum berdeham canggung sembari mengetikkan lokasi Hotel Ria di GPS mobil. What am I thinking really?
Mobil Pajero hitam Reynaldo melesat keluar parkiran dengan suara dari navigasi mobil mengarahkan jalan. Dalam keheningan aku beberapa kali mengusap kedua telapak tanganku, berusaha mencari kesibukan agar tidak merasa terlalu canggung,
“Lo bisa putar musik kesukaan lo buat menemani makan. Tinggal connect ke bluetooth mobil saja,” ucapnya sambil menekan layar di dashboard mobilnya. “Atau lo bisa pakai handphone gue.” Ia menyodorkan ponselnya ke arahku.
Seberapa mudahnya ia percaya pada orang asing? Karena terlalu malas untuk berdebat atau pun menghubungkan ponselku ke mobil pria ini, aku akhirnya menaruh sendok di dalam kotak makan yang sudah berkurang setengahnya lalu mengambil ponsel Reynaldo.
“Saya bisa putar musik apa saja, Kak?” tanyaku lagi sembari menyusuri aplikasi musik dalam ponsel Reynaldo. Ia mengangguk kecil, matanya masih fokus pada kemudi.
Jika aku harus menebak tipe musik Reynaldo, aku akan menjawab kalau dia adalah tipe pria yang mendengarkan musik klasik setiap kali ia harus mengemudikan mobilnya membelah macetnya Jakarta.
Tapi yang aku lihat sekarang benar-benar berbeda dari tebakanku. Ia dengan rapi membuat playlist yang dengan nama seperti aktivitas sehari-harinya, mulai dari berangkat kerja, pulang kerja, saat berolahraga, atau saat ia harus terjebak dalam kemacetan. Aku tidak tahu kalau aku bisa mengetahui kegiatan rutin seseorang lewat playlist musiknya. Atau rahasia tersembunyi yang ia miliki.
Aku refleks memilih judul lagu familiar dalam playlist berangkat kerja Reynaldo. Ritme khas Latin mengalun penuh semangat dan ceria. Menghidupkan kembali api di dalam diriku. Tapi aku harus menahan gejolak untuk ikut berdansa mengikuti irama maracas dan perkusi.
“Saya tidak pernah menyangka Kakak suka lagu Disney.”
Ia melirikku sesaat lalu tersenyum tipis. “I know right. Gue terkadang merasa relate dengan karakter di film animasi Disney. Tanpa gue sadari gue sudah memasukkan semua lagu dari film yang baru gue tonton ke playlist gue.”
Dia merasa relate dengan film ini? “Encanto?”
“Gue baru dapat waktu buat nonton film itu beberapa bulan lalu. Lagu-lagunya bagus dan gue merasa salah satu karakter mirip banget dengan gue.”
“Oh ya! Kebetulan lagu yang saya putar juga lagi memperkenalkan setiap anggota keluarga Madrigal. Jadi, siapa karakter yang paling mirip dengan kakak? Kalau saya paling merasa relate dengan Isabela, you know with all the expectation and pressure to be perfect.”
Bersamaan dengan perkataanku itu, bagian lagu “The Family Madrigal” yang kuputar sudah mencapai bagian pengenalan saudara Mirabel. Bisa kubayangkan adegan dimana Isabela yang sedang berputar menumbuhkan bunga di tengah pusat kota.
“I kind of see her on you,” ucapnya setelah mengamatiku sekilas. Ia tidak memberikan aku penjelasan lebih detail dan terdiam beberapa saat.
“For me, it’s Bruno.”
“Bruno?” Aku berpikir keras berusaha mencari kesamaan antara karakter Bruno. Mungkin dari segi misterius mereka? Tapi aku sama sekali tidak pernah membayangkan Reynaldo kabur dari keluarganya karena tidak bisa memenuhi ekspektasi mereka. I mean isn’t that too melodramatic for him? “I guess you’re right. Bruno misterius, sama seperti Kakak.”
“Bukan di bagian itu yang gue maksud. Tapi memangnya gue misterius ya?”
Aku mengedikkan bahu.
“Yeah, well. Gue langsung tertarik dengan karakter Bruno ini sejak awal ia dibicarakan. Selain karena relate, tapi karena desainnya keren. And coincidentally, namanya sama dengan anjing gue.”
Aku menegakkan badan, tertarik mendengar lebih banyak tentang peliharaan pria dingin ini. “Nama anjing kakak Bruno?”
Matanya terlihat berbinar ketika aku menunjukkan ketertarikanku pada anjing peliharaannya itu. Sepertinya dia memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Bruno karena sampai kami memarkirkan mobil di Hotel Ria, dia belum berhenti menceritakan tentang bagaimana anjing ras Golden Retriever itu selalu mengerti tentang suasana hatinya dan berusaha membuatnya tersenyum. Lalu membanggakan kalau anjingnya itu hanya bertingkah manja dengannya.
Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi, membayangkan Reynaldo mengelus kepala anjing peliharaannya itu dengan penuh rasa kasih sayang. Aku tidak bisa mengalihkan bayangan raut wajah Reynaldo yang melembut di depan anjingnya itu.
Bahkan selama Papa dan Mama menyambut kami di restoran hotel lalu mengajak kami makan siang bersama. Aku tetap dalam dunia imajinasiku, tidak mendengarkan apa pun obrolan di meja makan. Samar aku mendengar pertanyaan Mama tentang pekerjaan di kantor dan masih bisa merasakan tatapan tajam Papa pada Reynaldo. Aku memutuskan diam mendengarkan Reynaldo menceritakan beberapa proyek penerbitan buku yang pernah ia lakukan dan juga kinerjaku dalam proyek pertamaku. Ia juga menambahkan kalau ia akan memastikan aku tidak melewatkan jam makan siang atau bekerja terlalu keras hingga sakit.
Kupikir aku sudah gila karena membayangkan pria kaku ini datang ke meja kerjaku dan menanyakan keadaanku setiap jam. Bisa-bisa kesalahpahaman di antara kami dan teman kantorku semakin dalam hingga tidak bisa disanggah lagi. Di satu sisi aku juga mempertanyakan apakah perilaku Reynaldo kepadaku hanya kesalahpahaman. Why do I want it not to be a misunderstanding?
Tanpa aku sadari, makanan di piring Reynaldo sudah termakan habis. Sementara aku masih memainkan garpu di atas remah-remah cheesecake di atas piringku. Ia menyilangkan garpu dan sendoknya di atas piring lalu menunggu semua orang di meja makan selesai menyantap makanan mereka.
Sepertinya Mama sudah tidak bisa tertolong lagi. Ia terlihat berbinar melihat setiap gerak gerik Reynaldo. Seakan ia sedang menilai apakah Reynaldo cocok menjadi pasangan anaknya atau tidak. Aku yang sudah lelah untuk memberikan penjelasan hanya diam dan membiarkan Mama terus berpikiran seperti itu.
Piring di atas meja makan tersapu habis. Di saat yang sama Reynaldo bangkit setelah pamit dengan kedua orang tuaku. “Kalau begitu saya pamit dulu, Tante. Saya kira Almira perlu istirahat dulu untuk pemulihan.” Ia melirik sebentar ke arahku, ujung bibirnya terangkat. Lalu ia beralih ke arah Papa yang masih memicingkan mata curiga. “Terima kasih juga sudah mengajak saya makan siang, Om. I will be honored to visit your exhibition next week.”
Aku mengalihkan tatapan mataku ke arah Papa di depanku yang masih menunjukkan ekspresi kaku. Alisku terangkat meminta penjelasan dari Papa. Apa maksudnya Reynaldo akan datang ke pameran Papa? Pameran lukisan Papa bukannya di adakan di Bali seperti biasa?
“Almira, gue balik dulu ya.” Aku berbalik ke samping saat mendengar suara Reynaldo dibarengi dengan sentuhan halus yang aku rasakan di bahuku.
Aku mengangguk kehabisan kata-kata. Since when did he became touchy?
Mama tersenyum jahil ke arahku sambil menaik-turunkan alisnya. Aku memutar mata lalu beralih mengantarkan Reynaldo ke depan lift. Bersandar di dinding dengan tangan terlipat, aku menunggu sampai wajah pria pembawa kekacauan dalam hatiku itu hilang dari balik pintu lift yang tertutup.
Setelah itu aku berputar kembali ke ruang makan dengan langkah gontai. Aku sudah memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya. Mama akan menahanku sampai aku menjawab pertanyaannya ini, “Jadi, mau sampai kapan kamu akan menyembunyikan pasanganmu, Ami?”
Papa menunggu jawabanku dengan tangan terlipat di atas meja. Raut wajahnya menunjukkan ketidakpuasan. Entah karena ia tidak puas dengan sifat Reynaldo atau karena ia masih belum terima anak perempuan satu-satunya memiliki pasangan. I’m too tired to answer.
Believe me or not. Aku sendiri pun tidak tahu lagi apa yang terjadi di antara kami. Harus aku namakan apa perasaan yang mendorongku untuk mengetahui lebih banyak sisi tersembunyi dari Reynaldo?