Almira
Keinginan untuk kabur meningkat setelah beberapa teman kantor menjengukku.
Satu orang pergi lalu datang yang lainnya berbondong-bondong.
Kurasa belum sampai satu jam setelah Reynaldo kembali ke kantor, pintu kamarku kembali terbuka menampilkan Kak Felice yang baru menyelesaikan notulensi rapat tadi pagi menggantikanku.
Belum selesai sampai di sana. Kak Felice segera mengumumkan kedatangan tiga temanku yang menurut kabar terakhir lewat chat Andin sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit menggunakan mobil Luna. Sebenarnya aku tidak mengeluhkan kedatangan mereka, aku berterima kasih dengan perhatian yang mereka berikan padaku. Tapi aku benar-benar ingin beristirahat dengan tenang sekarang dan Kak Felice masih belum berhenti mengomel sejak dia masuk ke kamarku.
Aku hanya bisa menyandarkan kepala pasrah di headboard kasur mendengarnya menceramahiku tentang pentingnya makan teratur.
“Jadi Mi, gue harap lo bisa belajar dari keadaan sekarang. Gue nggak butuh hasil yang sempurna kalau anggota tim gue harus tersiksa dalam prosesnya. Just take it slow, ada gue dan anak-anak tim yang akan bantu lo. Mengerti?”
Aku mengangguk, lalu kembali mendengarkan omelan selanjutnya. Kepalaku kembali pusing membayangkan keramaian yang akan dibawa Andin saat datang nanti. Aku merindukan waktu yang cukup tenang bersama Reynaldo tadi siang. Meski pun pria itu bersikeras untuk terus menjagaku dan sesekali mengomel ketika aku berhenti menyendokkan bubur ke dalam mulutku, Reynaldo kebanyakan diam mengamatiku sembari membaca buku.
Senyum mengembang di wajahku saat mengingat usaha Reynaldo untuk menghiburku dengan menceritakan ulang cerita detektif misteri dari buku yang ia baca. Lebih baik aku mengistirahatkan mata dan mendengarkan ceritanya daripada harus membuat mataku lebih lelah dengan menonton televisi, usulnya yang kemudian dengan senang hati aku terima.
Meski sebenarnya aku sudah pernah membaca hampir semua seri detektif karangan beberapa penulis ternama, tak terkecuali seri detektif polisi dari Jepang karya Keigo Higashino. Namun suara berat dan nada canggung pria itu saat menceritakan bagian yang ia suka membuatku mengurungkan niat untuk menghentikannya. Yah, daripada aku harus mendengarkan omelannya tentang kebodohanku, lebih baik aku memejamkan mata sambil mendengar dongeng canggung Reynaldo.
Sayangnya ia harus kembali ke kantor dan meninggalkanku yang harus menahan omelan Kak Felice dan mungkin dari teman-temanku juga. Yah, meski aku yang menyuruhnya pergi daripada membuang waktu menjagaku.
“Mi, lo denger gue kan?”
Aku kembali memandang Kak Felice yang sekarang sudah sibuk mengupas buah apel dari parsel yang ia bawa. “Denger, kak. Tidak perlu khawatir, saya selalu belajar lebih cepat dari pengalaman.”
Ia menghembuskan napas kesal. “Ya, tapi nggak sampai pingsan di kantor juga dong. Bikin heboh sekantor tau nggak? Gue sampai mengira Reynaldo kerasukan setan gara-gara dia teriak keras banget.”
Separah itu kah? Aku tidak bisa membayangkan wajah kaku pria itu berubah panik hanya karena aku pingsan.
Belum sempat aku menanyakan lebih lanjut detail peristiwa pagi tadi, pintu kamarku terbuka dengan suara yang keras. Sosok Andin muncul dari balik pintu lalu langsung berlari memelukku di atas kasur. Luna dan Nisa mengikuti di belakangnya, berjalan lebih tenang namun raut wajah mereka juga memancarkan kekhawatiran.
“Lo bikin gue takut, Mi! Bayangin gimana perasaan gue saat harus melanjutkan rapat dengan penulis dan harus mendengar teriakan Kak Reynaldo terus menerus nyebut nama lo. Rasanya gue ingin keluar ruangan, tapi diskusi masih berlangsung. Tega lo, Mi!”
Lagi-lagi Reynaldo. Aku jadi semakin penasaran dengan detail kejadian pagi tadi.
“Ami, kita bawain lo yoghurt nih,” tukas Luna sambil menarik badan Andin agar tidak menimpa badanku dalam pelukannya. “Gue pikir lo pasti bosen sama makanan rumah sakit, terus si Nisa sempat lihat di internet kalau lo masih bisa makan yoghurt meski pun asam lambung naik. Jadi mampir ke supermarket dulu deh.”
“Thanks ya, guys! Kebetulan aku habis makan bubur, jadi pingin yang manis-manis. Kita makan bareng sama buah dari Kak Felice, yuk!” tawarku ke empat orang yang sudah memberikan waktunya untuk menjengukku, meski pun mereka datang membawa omelan tanpa henti juga.
Kak Felice langsung menyuruh mereka duduk di sofa dan menarik meja kecil kedepannya. Ia lalu menata buah yang baru ia potong, satu piring untuk tiga temanku dan satu lagi ia letakkan di atas kasurku. Setelahnya ia duduk bersandar di ujung kasurku dan mempersilahkan kami untuk mulai makan.
Obrolan berlanjut sambil menyantap potongan buah apel dicampur dengan yoghurt. Untungnya mereka tidak membahas tentang kondisiku lagi. Mereka asyik membicarakan festival buku beberapa minggu lagi dan akan dihadiri oleh beberapa perwakilan tim editor untuk hunting penulis potensial. Sayangnya karyawan baru belum bisa ikut acara itu karena hanya diperuntukkan untuk editor dengan jam terbang lebih tinggi.
“Kalian akan mendapatkan kesempatan yang sama juga kok. Tetap konsisten dalam pekerjaan kalian dulu, terus rajin-rajin menambah skill yang berhubungan dengan editorial. Kantor kita menyediakan workshop dan pelatihan bulanan gitu biasanya, nanti gue info biar kalian bisa ikut ya,” jelas Kak Felice mematik semangatku lagi untuk bekerja lebih giat.
“Mantap, kak!” seru Andin sambil menepuk tangannya dari ujung sofa.
Luna sepertinya tertarik dengan detail pelatihan yang dibicarakan Kak Felice sampai ia bertanya intens tentang apa saja yang akan didapatkan dan pelatihan apa saja yang direkomendasikan oleh mentorku itu. Sementara Nisa membersihkan piring dan kemasan kosong yoghurt dalam diam.
Aku masih heran dan juga kagum setiap kali melihat dinamik pertemanan kami. Meski kami semua sangat berbeda dan terlihat tidak cocok bersama, aku merasa kami berempat selalu berusaha menerima perbedaan dan mengisi kekurangan satu sama lain. Lalu yang paling penting, aku bisa menjadi diriku sendiri dengan mereka.
Kebebasan menjadi diriku sendiri. Tanpa harus tersenyum palsu atau membanjiri mereka dengan pujian dan hadiah untuk menjadi bagian dari lingkaran pertemanan mereka. Aku hanya perlu menjadi Almira saja. Tanpa embel-embel lain.
“Mi, lo kenapa melamun begitu?” Aku merasakan tepukan Andin di bahuku. Pandangannya terlihat khawatir. Jangan-jangan dia mengira aku kerasukan lagi.
“Eh, nggak. Aku cuma keinget belum menghubungi orangtua gue.”
“Lho, belum? Tadi sepertinya Reynaldo sempat bilang mau mengirim pesan untuk orangtua lo. Jadi anak HR ngasih dia nomor kontak emergency lo.”
Mataku mengerjap-ngerjap. Kontak emergency yang aku masukkan saat menandatangani kontrak kerja berarti… ¡Ay, Dios! Mama!
Buru-buru aku meraba laci di meja sebelah kasurku, mencari ponsel yang belum aku temukan.
“Lo cari apa, Mi?” Pandangan Andin mengikuti gerakan tanganku.
“Handphone. Tas aku dimana ya?”
Andin lantas ikut panik menyusuri tiap sudut kamarku. Kenapa aku bisa lupa dengan tas kerjaku yang masih berada di kantor. Pantas saja daritadi aku tidak mendengar getaran dari ponselku.
Luna, Nisa, dan Kak Felice ikut mencari di dalam lemari dan laci. Tapi nihil.
Sepertinya memang masih tertinggal di kantor. Yang benar saja, apa aku harus hidup tanpa ponsel selama akhir minggu sebelum bisa mengambil tasku di hari Senin nanti?
Keributan yang kami berlima buat terhenti saat ketukan pintu terdengar dengan cukup keras.
Kak Felice buru-buru membuka pintu dan raut wajahnya terlihat lega saat mengetahui siapa yang datang.
“Your savior is here!” pekik suara pria dari balik pintu.
“Lo nggak usah teriak-teriak di rumah sakit!” protes Kak Felice sembari membuka pintu kamarku lebih lebar.
Daniel, masih dengan kemeja garis-garis dan celana kain putihnya, masuk ke dalam ruangan dengan cengiran jahil. “Kamar kalian paling ribut di lorong ini dan lo masih bisa protes masalah suara gue?”
Ia melambai ke arahku dengan senyuman plus lesung pipi menawan andalannya.
Melihat kehadiran pria itu, Andin langsung bersembunyi di belakang Luna dan Nisa. Aku pun tertawa geli melihat tingkah temanku yang satu ini sambil balas melambaikan tangan ke arah Daniel.
Suara tawaku terhenti saat melihat sosok yang mengikuti Daniel di belakang. Masih dengan kemeja biru flanel dan celana jins yang ia kenakan tadi siang, ditambah dengan senyum tipis saat menatapku.
“Kak Reynaldo datang lagi?” Mulutku tidak bisa ditahan lagi untuk menanyakan pertanyaan itu.
Reynaldo hanya mengangguk lalu berjalan mendekat ke arah kursi kecil di samping kasurku. Sepertinya ia sudah mengklaim kursi itu sebagai tempatnya. Aku masih memandang Reynaldo sampai mendengar dehaman dan suara batuk buatan dari orang-orang di depanku.
Lantas aku mengalihkan pandangan ke depan dan melihat lima orang di depanku sudah memicingkan mata dengan satu ujung bibir terangkat. Andin bahkan diam-diam menekuk kedua telapak tangannya lalu menyatukan keduanya membentuk hati sambil mengedip jahil ke arahku.
Kalau aku bisa melihat cermin sekarang pasti wajahku sudah terlihat semerah tomat.
“Almira, lo sudah baikan?” Aku melirik ke arah pelaku yang masih berani menanyakan keadaanku padahal sudah membuat suasana ruangan menjadi canggung.
“Gue yang nggak baik-baik aja, Rey!” Daniel memecah keheningan canggung dan melangkah mendekat untuk merangkul bahu Reynaldo.
“Kenapa? Sakit juga lo?” sahut Reynaldo ketus. Terdengar berbeda dari nada bicaranya tadi kepadaku.
“Lo memang nggak bisa diajak bercanda, Rey.” Daniel menghela napas lalu berbalik menatapku dengan senyum cerah. “Hai, Almira! Gue sampai lupa menyapa lo.”
“Oh, iya. Hai, Kak Dan!” sapaku balik dengan canggung, lalu beralih menatap Reynaldo. Entah mengapa wajahnya terlihat kaku dalam dekapan Daniel. “Dan saya sudah baikan, kak. Kata dokter sudah bisa pulang setelah pemeriksaan kondisi besok pagi.”
“Gue jemput lo, ya?” Serangan kejutan kedua kalinya dari pelaku yang sama. Aku membelalakkan mata menatapnya. Sepertinya ia menyadari pertanyaannya yang bisa disalah-artikan itu. “Oh, maksud gue. Berhubung gue masih merasa bersalah ke lo, jadi gue mau menawarkan jemputan supaya lo nggak ribet cari taksi atau jemputan lain.”
“Oh… Kalau Kak Reynaldo berkenan, boleh saja. Lumayan bisa menghemat pengeluaran bulanan saya,” jawabku mencoba bertingkah normal. Padahal jantungku masih berdebar hebat karena ulah pria ini.
“Oke, gue jemput.” Reynaldo tersenyum puas mendengar jawabanku.
“Kalian akrab ya?”
Kini giliran Kak Felice yang menatapku seperti burung elang mengintai mangsanya. Hampir saja aku melupakan kepekaan mentorku yang satu ini.
“Memangnya salah kalau gue akrab dengan Almira?” Reynaldo mendahuluiku untuk memberikan jawaban pada Kak Felice. Aku lega dia mau menjawab, tapi bukan berarti dia harus menjawab dengan nada ketus seperti itu.
“Nggak salah sih…” Kak Felice menghentikan perkataannya, lalu bergantian menatapku lalu Reynaldo. Aku tersenyum kaku tidak bisa berkata-kata.
“All is well, Fel. Reynaldo tadi bilang dia sudah bicara dengan Almira dan sekarang mereka sudah berteman. Ya kan?” Aku melihat Daniel menyikut lengan Reynaldo, membuatnya otomatis menganggukkan kepala dengan keras.
“Alright?” Kak Felice mengangkat alisnya, masih ragu dengan pernyataan Daniel.
“Eh, Kak Dan, Kak Reynaldo. Kalian mau yoghurt? Ada di kulkas. Tadi dibawakan sama teman-teman saya ini,” tawarku sekalian mengalihkan pembicaraan.
“Makasi, Almira. Tapi gue sama orang satu ini cuma mau mampir sebentar sebelum makan malam di luar.” Daniel menjawab dengan nada jahil sembari mengacak rambut Reynaldo. Kelihatannya ia baru teringat sesuatu dan langsung meraih tas kertas besar yang ia bawa masuk ke dalam ruangan tadi.
“Hampir lupa tujuan utama kita kesini. Nih, tas lo!” Daniel mengeluarkan totebag hitam dari dalam tas kertas besar itu.
Aku memekik senang saat melihat tas kantorku di tangan Daniel. “Wah, makasi kak!”
Daniel tersenyum sambil menyodorkan tas itu kearahku. “Oh ya, ini kita juga bawain lo camilan. Karena kata Rey lo belum boleh makan yang terlalu berat, jadi tadi dia beli beberapa bungkus biskuit plain dan pisang buat lo.”
“Thanks, kak. Jadi merepotkan.” Aku hendak meraih tali tas kertas berisi makanan itu namun tangan Nisa sudah mendahuluiku.
“Biar gue aja. Lo istirahat,” jelasnya singkat lalu mengangkat tas kertas itu. “Biar saya taruh di dalam kulkas ya, Kak.”
“Oh iya. Gue bantuin juga.” Daniel segera beralih mengikuti Nisa dan segera membukakan pintu kulkas kecil di sebelah sofa. Kak Felice mengawasi mereka dari tempatnya berdiri di dekat pintu. Begitu juga dengan Luna dan Andin di sebelah Nisa.
Sambil menunggu mereka selesai menata makanan di dalam kulkas, aku pun membuka totebag hitam di pangkuanku. Setelah meraba sampai dasar tas, aku menarik ponsel yang sejak tadi aku cari-cari. Napasku tercekat saat melihat panggilan telepon tidak terjawab di layar ponselku. Kalau tadi aku merasa hampir mati karena asam lambung naik, sekarang aku mungkin akan mati karena omelan Mama.
Belum sempat aku melihat seluruh notifikasi yang masuk, ponselku bergetar lagi menunjukkan panggilan dari Mama. Didorong perasaan kaget dan panik, ibu jariku kembali melakukan kesalahan yang sama seperti minggu lalu. Menekan tombol berwarna hijau di layar ponsel.
Wajah Mama langsung memenuhi layar. ¡Ay, Dios Mio! This was a video call?!
Kesadaranku muncul terlambat. Belum sempat aku meminta Mama untuk tidak meninggikan suara karena aku sedang tidak sendiri, ia sudah berteriak terlebih dahulu. “Ami! Kamu dari mana saja!”
Semua orang di dalam ruangan langsung menatapku dengan wajah terkejut. Aku hanya bisa menutup mata sambil menghela napas. “Ma, Ami baik-baik saja. Coba tenang dulu–”
“Tenang? Kamu suruh Mama tenang? Mama tiba-tiba saja dapat telepon kalau kamu pingsan dan dirawat di rumah sakit. Papa sampai meninggalkan lukisannya dan pulang ke rumah untuk mencari tiket pesawat yang sampai sekarang tidak bisa kami dapatkan. ¡Ay, Dios! Memangnya sekarang lagi liburan? Kenapa susah sekali mencari tiket pesawat dari Jakarta ke Bali? Belum lagi kamu yang tidak mengangkat telepon membuat kami makin panik. Coba sekarang jelaskan bagaimana Mama bisa tenang dalam situasi seperti ini!”
Mama memang selalu cerewet setiap kali panik dan aku sudah terbiasa dengan sifatnya itu. Tapi masalahnya, teman-temanku ini baru pertama kali merasakan omelan panik mamaku sampai mereka tidak bisa berkata-kata.
Baru saja aku membuka mulut untuk menenangkan Mama, layar video call memperlihatkan kepala Reynaldo menyembul di sampingku. Aku lantas menatapnya kaget, sama dengan Mama yang langsung menghentikan omelannya.
“Maaf jadi membuat Tante panik. Saya Reynaldo yang menghubungi Tante tadi siang. Ponsel Almira ada di dalam tasnya yang masih tertinggal di kantor, jadi dia tidak bisa menerima panggilan telepon dari Tante.”
Seketika nada panik Mama berubah menjadi ramah. “Oh, begitu. Jadi Nak Reynaldo ini yang menghubungi Tante, ya. Tante kira telepon kamu tadi siang itu penipuan. Sekarang kan banyak tuh modus penipuan seperti itu…”
“Ma!” sergahku, menahan Mama melontarkan ucapan aneh lagi di depan teman kantorku.
Tepat di saat yang sama, kamarku dipenuhi suara tawa terbahak. Mama terlihat kebingungan mendengarnya. Aku menatap bingung dari balik ponsel. Kak Felice dan tiga temanku terlihat masih tidak bisa menghentikan tawa mereka. Daniel bahkan sampai bersandar di tembok, saking kerasnya ia tertawa.
“Gue…” Daniel berkata di sela tawanya. “Gue ngebayangin nada suara Reynaldo yang berat gitu. Pantas saja mama lo ngira dia penipu.”
Gelak tawa kembali riuh setelah Daniel mengungkapkan alasannya tertawa. Reynaldo langsung menaruh telunjuk di depan bibirnya, mengisyaratkan mereka untuk diam.
Aku menghela napas lalu kembali melihat layar ponsel yang menampilkan wajah tersipu Mama. Bahkan Papa ikut terlihat di sebelah Mama dengan wajah penasaran ingin mengetahui keributan apa yang terjadi di sekitar anaknya.
Tapi saat mata Papa bertemu denganku, ia langsung berubah panik dan menanyakan keadaanku.“Ami! ¿Estás bien, Amor?”
Aku mengangguk. “Ami baik-baik saja, Pa. Cuma perlu rawat inap satu hari aja. No need to come here, Pa, Ma.”
“No, no, no. Kita berangkat besok ke Jakarta,” sahut Papa dengan terbata sambil melambaikan layar ponsel yang sudah memperlihatkan tiket pesawat untuk besok pagi. Suasana hatiku langsung membaik melihat tiket di tangan Papa, akhirnya aku bisa melepas rindu pada kedua orangtuaku.
“Ami, kamu tidak bilang ada teman-temanmu di sana!” protes Mama saat ia sudah bisa mengendalikan rasa malunya. “Tapi bagus lah ada yang menemani kamu untuk hari ini. Tadi Mama sudah coba hubungi Tante Tari tapi masih belum ada jawaban.”
Senyumku seketika luntur saat mendengar nama tanteku itu disebut. Amarah menjalar naik namun segera aku tahan karena masih ada teman-temanku. Akhirnya aku merutuk dalam hati mendengar Mama yang dengan polosnya menghubungi orang yang kelihatan sekali tidak akan pernah peduli dengan keadaanku kecuali jika itu menguntungkan untuknya.
“Anyway…” Mama sepertinya menyadari perubahan ekspresiku dan langsung mengalihkan topik pembicaraan. “Besok kita bertemu di rumah sakit atau di kamar kost-mu? Atau sebaiknya Mama sewa hotel sehari supaya bisa merawat kamu langsung? Kamarmu kecil banget, nggak cukup menampung Mama dan Papa.”
Mendengar pertanyaan itu, aku langsung melirik ke arah pria yang baru saja menawarkan tumpangan gratis untukku. Reynaldo terlihat berpikir sejenak sebelum menggeser tubuhnya mendekat ke arahku. Menyadari wajahnya semakin mendekat, aku perlahan bergerak menjauh namun membiarkan tanganku berada di hadapannya agar wajahnya terlihat di layar ponselku.
“Kalau saya boleh usul, gimana kalau di hotel saja, Tante? Kelihatannya Almira butuh perawatan lebih lanjut, terutama pola makannya. Besok saya akan mengantarkan Almira dari rumah sakit ke hotel.”
“Aduh, Tante jadi merepotkan.”
“Tidak, Tante. Saya memang berencana untuk mengantar Almira sampai rumahnya besok.”
Aku menatapnya tidak percaya. Pria ini perlu pelatihan cara berbicara agar tidak disalahartikan lawan bicaranya. Menyadari tatapanku, ia menoleh ke arahku dengan tatapan bingung.
“Oh kalau memang begitu, Tante titip Almira besok ya, Reynaldo. Nanti alamat hotelnya akan Tante kirimkan ke Almira supaya bisa dia sampaikan ke kamu. Terima kasih banyak ya, Nak.” Suara jawaban Mama membuatku mengalihkan pandangan ke layar ponsel lagi.
Aku harus memberikan penjelasan supaya Mama tidak menyalah-artikan ucapan Reynaldo tadi.
Terlambat! Mama sudah mengedip jahil ke arahku dan tersenyum menggumamkan kata ‘Novio’ ke arah Papa yang langsung menatapku kaget sekarang. Otomatis aku berteriak untuk menghentikan asumsi Mama yang sepertinya sudah membuat Papa membeku saking kagetnya. “No! Papa–”
“Oh Almira!” Mama memotong perkataanku. Belum sempat aku melanjutkan lagi, ia sudah menutup pembicaraan. “Kalau begitu Mama tutup dulu ya teleponnya. Sampai bertemu besok!”
Kepalaku pening membayangkan kesalahpahaman Mama yang akan terus ia ungkit besok. Di tengah serangan stress yang menyerangku, mataku memicing menatap pria yang malah terlihat tidak merasa bersalah di sampingku.
Aku merasakan suasana semakin hening dan teringat kelima tamuku yang lain. Saat aku menoleh ke arah mereka, aku disambut dengan pandangan horor mereka ke arah Reynaldo dan aku. Aku langsung teringat satu penggal lagu Taylor Swift dan menggumamkannya dalam hati.
Horrified looks from everyone in the room…
Sementara pria yang menjadi sasaran pandangan horor itu hanya bisa diam menggaruk kepalanya lalu kembali duduk. Rasanya aku ingin berteriak mengatakan suara hatiku sekarang. Kalian semua sudah salah paham!