Almira
Aku sudah mencapai batasku dan cara tubuhku memperingatiku sangat menyakitkan.
Dahiku mengernyit saat menatap langsung cahaya terang dari lampu di tengah ruangan. Aku hendak menggunakan telapak tanganku untuk menghindari silaunya cahaya, namun dibuat terkejut dengan rasa sakit yang menerjang saat aku menarik tangan kiriku.
Infus?
Aku berusaha mengangkat leherku perlahan, mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Dinding putih mengelilingiku dan satu sofa berwarna hitam di sisi kananku. Bau antiseptik menyelimuti ruangan. Ini di rumah sakit?
Tidak ada orang satu pun di sekitarku sekarang. Satu kursi kecil di sebelah kasur tempatku tidur sekarang, dilihat dari bekas botol air minum di atas rak meja, aku yakin ada orang lain di dalam kamar ini tadinya.
“Ini di mana?”
“Di rumah sakit. Can’t you tell?” Suara pintu terbuka diikuti dengan suara berat yang familiar itu sontak membuatku terperanjat. Apa orang ini tidak pernah belajar etika mengetuk sebelum masuk ke kamar orang lain?
Aku memutar bola mata. “That I know! Yang saya maksud adalah di rumah sakit mana saya sedang berada sekarang.”
Suaraku terdengar serak. Dengan sigap Reynaldo mengambil botol air minum baru dari tas kain putih dalam genggamannya. Ia membuka tutup botol dan memapah punggungku agar aku bisa minum air dengan tegak. Meski pun aku tidak ingin menerima bantuan dari orang lain, apalagi dari Reynaldo, aku hanya bisa pasrah meneguk air di dalam botol karena aku terlalu haus untuk menjaga harga diriku di depannya.
“Minumnya pelan-pelan.” Ia berkata lagi. Aku hampir tersedak saat melihat matanya memandangi bibirku tak bergeming. Namun dibawa kembali ke kenyataan setelah berpikir kalau ia hanya ingin memastikan aku meminum air dengan pelan.
“Lo sudah baikan?” Ia masih menatapku lekat-lekat. Aku mengamati lengan kemeja biru flanel yang ia kenakan sudah terlipat sampai ke sikunya dan keadaan bajunya yang berbanding terbalik dengan apa yang aku lihat pagi tadi. Berantakan, satu kata yang tidak pernah kusangka akan melekat dalam diri Reynaldo. Jangan-jangan dia sibuk mengurusi aku sampai tidak menyadari penampilannya sekarang.
“Almira?” Ia mengulang panggilannya lagi, menyadarkanku dari pikiranku.
“Iya, sudah. Saya ada di mana ya?”
“Rumah Sakit Gautama.” Ia mengucapkan nama itu dengan santai seakan mendapatkan kamar di rumah sakit ini semudah minum air. Sementara aku hampir saja menumpahkan air yang tersedak di tenggoranku saat mendengar nama rumah sakit tempatku berada.
“They have a hospital, too?”
Aku sudah sering mendengar besarnya skala bisnis Gautama Group. Bahkan keluarga Pradnya berharap suatu saat dapat berkolaborasi dengan lini makanan mereka. Tapi sekarang sampai punya rumah sakit sendiri? Berambisi sekali orang-orang ini.
“Kenapa tidak? Selama mengantarkan keuntungan untuk mereka.” Reynaldo menjawab dengan ketus, sementara tangannya mengambil tisu dan menyodorkannya untukku.
Aku memandangnya lekat. Dari nada bicaranya, sepertinya dia tidak menyukai Gautama Group. Atau dia tidak suka keluarga konglomerat dengan tentakel bisnis di semua lini.
Satu lagi kesamaan antara aku dan pria ini, selain obsesi kami dengan camilan manis.
“Kenapa lo diam saja?” Ia bertanya memecah lamunanku.
Entah kapan ia sudah duduk dengan manis di kursi kecil yang ada di samping kasurku. Tangannya terlipat di depan badannya.
Aku mendengus pelan. Kenapa aku malah berbincang akrab dengannya tadi? Padahal aku masih belum memutuskan untuk berdamai sepenuhnya dengan orang ini.
“Lalu, anda ingin saya berbuat apa? Berbicara sampai mulut saya berbusa?”
Terlihat ia membuka menutup mulutnya. Sepertinya ia ingin mengatakan sesuatu. “Silahkan katakan saja yang ingin anda katakan. Anda tidak perlu takut menyinggung perasaan saya lagi.”
Pandangan Reynaldo jatuh di kedua mataku. Bola matanya bergetar, seakan aku baru saja mengatakan sesuatu yang mengguncang batinnya. Bukannya perkataanku tadi benar, dia memang menyinggungku tapi bukan sesuatu yang membuatku merana hingga sekarang.
Aku mengamatinya menundukkan kepala lalu mengangkatnya lagi saat ia terlihat sudah tenang.
“Justru itu yang gue ingin bicarakan.” Ia mengawali kalimatnya. Aku ingin memotong kalimat berisi permintaan maaf yang akan ia utarakan setelah ini, tapi raut wajahnya yang benar-benar terlihat menyesal membuatku terdiam dan membiarkannya melanjutkan.
“Gue mau minta maaf atas sikap gue beberapa minggu lalu. Gue akui saat itu gue benar-benar terbawa emosi dan malah berakhir menyinggung lo. Kalau boleh memberi alasan, gue terlalu cepat berasumsi kalau lo akan kabur dari tanggung jawab pekerjaan seperti kejadian beberapa tahun lalu. Tapi dua minggu kebelakang, lo benar-benar membuktikan asumsi gue salah.”
Aku memiringkan kepala. Pernah terjadi kejadian seperti apa lebih tepatnya?
Ia terdiam lagi, memberikan aku waktu untuk mencerna perkataannya. Sepertinya ia bisa membaca ekspresi bingung di wajahku karena ia mulai menceritakan kejadian itu selanjutnya.
Tentang seseorang bernama Dwi dari Keluarga Gautama yang kabur dari pekerjaannya setelah mendapat posisi lebih tinggi di perusahaan pusat. Tentang anggota tim yang menjadi kewalahan menyelesaikan pekerjaan orang itu, terutama Reynaldo yang saat itu harus membuat ulang rencana pemasaran buku. Lalu tentang dia yang tidak bisa mempercayai orang dengan berasal dari keluarga pebisnis, karena menurutnya memiliki kemungkinan untuk pergi kapan saja dari pekerjaannya saat ini.
“Okay…” Aku memberikannya waktu untuk elaborasi lebih lanjut. Sebenarnya alasan Reynaldo tadi membuatku tersinggung karena dia menyamakan penilaian negatifnya itu ke semua orang.
“Tapi gue akhirnya sadar kalau tidak semua orang seperti itu. Ada juga orang dari keluarga berada yang serius mengejar mimpinya di luar perusahaan keluarganya. Seperti lo, Almira.”
Aku tersenyum kecil, puas mendengar jawabannya.
“Sekali lagi gue minta maaf membuat lo terkena imbas dari ingatan buruk dari insiden di masa lalu gue.”
Sekarang aku bisa mengerti kenapa Reynaldo terdengar ketus saat membicarakan Gautama Group. Kalau aku ada di posisi Reynaldo saat itu, mungkin aku sudah mengirimkan surat kaleng berisi ancaman secara rutin kepada si Dwi itu!
Tanpa sadar aku mengutarakan isi pikiranku dengan suara cukup keras. Aku segera menutup mulutku dengan kedua tanganku, menatap Reynaldo dengan mata terbelalak. Stupid, Ami!
Namun tidak sesuai bayanganku, pria di sampingku malah tertawa terbahak. Aku memandang heran salah satu keajaiban dunia di hadapanku ini. Suara tawanya yang tidak sesuai dengan penampilan dingin dan kakunya itu. Bahkan aku melihat hidungnya mengkerut, menampilkan lesung pipi di dekat hidungnya. Aku teringat kucing di rumahku yang membuat ekspresi seperti Reynaldo saat aku menggelitikinya.
“I can totally imagine you doing that. Gue merasa lo tipe yang akan membalas balik perbuatan setiap orang sesuai dengan cara mereka memperlakukan lo.”
“Kenapa anda sampai membuat kesimpulan seperti itu? Seenaknya saja!” protesku menutupi teriakan dalam hati, seberapa jeli sih orang ini melihat maksud dari setiap tingkahku?
“Yaa… Bisa dibilang gue sudah pernah mengalami pembalasan dendam dari lo. Kalau boleh gue kritisi, ekspresi lo benar-benar gampang terbaca. Jadi, lebih baik kedepannya lo nggak punya niat untuk mencari peluang karir di bidang teater atau akting.”
Aku bisa merasakan wajahku memerah karena malu. Sontak aku menutup wajahku dengan kedua tangan.
Jadi selama ini dia tahu dan membiarkan aku kegirangan karena mengira berhasil mengelabuinya dengan aktingku. Oh, Abuela, sepertinya cucumu ini tidak memiliki bakat yang sama sepertimu. Batalkan saja keinginanku untuk bergabung dengan teater kenalanmu saat liburan akhir tahun nanti.
“Just… forget that I ever did that. Por favor. Please. Bisa dihapus saja nggak sih dari ingatan Kakak?”
“Bisa. Tapi lo mau maafin gue, kan?”
Aku mengintip dari balik jari-jari yang menutupi wajahku. Reynaldo terlihat tersenyum gugup menunggu jawabanku.
Sebenarnya aku masih kesal karena dia seenaknya berasumsi aku akan kabur dari pekerjaanku hanya karena latar belakang keluargaku. Tapi ia memiliki alasan yang logis untuk mencurigaiku. Ditambah lagi ia sudah menyadari kesalahannya.
“Hm…” Aku pura-pura berpikir dengan keras. Aku ingin menikmati kecanggungan ekspresi Reynaldo sedikit lebih lama
Tawa kecil terdengar darinya. “Sudah gue bilang lo nggak bisa akting dengan baik.”
“Memangnya kelihatan banget ya, Kak?”
“Mata lo nggak bisa berbohong. Gue bahkan bisa membayangkan lo tertawa jail melihat betapa gugupnya gue sekarang, kan?”
Giliranku tertawa mendengar alasannya. “Oke, oke. Saya maafin, Kak. Sebenarnya saya mau marah lebih lama, tapi kakak sudah menyuap saya dengan asupan cinnamon rolls mingguan. Terima kasih sudah meminta maaf juga… Oh, dan sudah menjelaskan alasan kakak. I appreciate that.”
Kini senyum Reynaldo semakin lebar hingga lesung pipinya yang menggemaskan itu muncul lagi. Ia menyodorkan tangan kanannya ke hadapanku. “So, friends?”
Dorongan untuk mengagumi lesung pipi pria ini tiba-tiba buyar. “Yes, sure … Friends.” Aku mengangguk lalu meraih tangannya. Ternyata tangan Reynaldo hangat juga, berbeda dengan raut wajah nornalnya yang sedingin es. Tanganku merasakan tekstur kasar di tangan pria ini, juga tanganku yang terlihat seperti tertutup selimut besar dalam genggamannya.
Ia segera menarik tangannya, menghentikan lamunanku.
“Baik. Karena lo dan gue sudah berteman, gue boleh bertanya?”
Aku mengangguk bingung.
“Sebenarnya apa yang lo pikirkan sampai memaksa diri lo sendiri bekerja tanpa asupan makanan yang benar? Felice sampai panik saat dengar perut lo kosong sejak kemarin malam. Hampir dua jam gue duduk di sini, panik, dan tetap tidak ada reaksi dari lo. Dokter sampai bilang lo harus rawat inap karena kondisi tubuh lo belum stabil dan asam lambung lo masih bisa kambuh lagi. Yang benar saja, Almira!”
Aku menutup telinga kiriku dengan telunjuk, meredam suaranya yang meninggi. Dia ini mau bertanya atau memarahi aku, sih?
“Saya terlalu berambisi untuk menyelesaikan lebih banyak pekerjaan sepertinya.”
“Tapi lo masih bisa makan sambil bekerja kan? Felice bilang teman-teman lo selalu mengajak lo makan, lalu si Felice juga selalu membawa asupan energy bar buat lo. Jangan bilang lo cuma makan camilan itu saja seharian?”
Aku meringis mendengar tebakannya yang tepat lagi.
Melihat aku yang tidak bisa mengelak, Reynaldo menghela napas panjang. “For God’s sake, Almira. Lo benar-benar ya!”
“Sorry, Kak.” Senyum kecil muncul di bibirku, merasa tidak enak karena sudah membuat pria yang hampir menarik lepas rambutnya karena frustasi melihat tingkahku.
“No, I am sorry. Gara-gara perkataan gue, lo jadi terlalu tertekan.”
Aku tertawa kecil. “Haha, Kak Reynaldo cuma berkontribusi sedikit, kok.”
Ia menaikkan alis, ragu dengan ucapanku.
“Pada akhirnya saya yang memutuskan untuk mengubah semua tekanan itu menjadi racun bagi diri saya. Kalau saya mau, sebenarnya saya bisa saja makan sambil bekerja. Hanya saja, saya ingin memanfaatkan semua waktu yang tersedia untuk bekerja.”
Lagi-lagi Reynaldo menyisir rambutnya ke atas dengan jemarinya. Sepertinya ia masih memiliki banyak keluhan kepadaku tetapi ia memilih untuk menahannya. “Jangan mendorong diri lo sendiri sampai lewat batasnya, Almira. Dalam mencapai tujuan lo, at least di tim kita, lo punya teman-teman dan anggota tim yang bisa meringankan sedikit beban lo.”
Jadi orang ini bisa mengatakan sesuatu yang berguna juga. Aku memiringkan kepala, berniat menjahili Reynaldo lagi. “Termasuk kakak juga?”
Ia tersenyum lagi. Kali ini aku bisa merasakan ketulusan dari semburat senyum di wajahnya.
“Tentu. Kapan pun lo mau, gue akan selalu bantu lo dengan senang hati.”
Aku tertegun melihat sisi Reynaldo yang baru aku kenal. Apakah di dua jam terakhir aku pingsan ada yang menukar pria kaku dengan sorot mata dingin yang kukenal dengan sosok Reynaldo di hadapanku sekarang?