Loading...
Logo TinLit
Read Story - Romance is the Hook
MENU
About Us  

Reynaldo

Permainan tarik ulur untuk berbicara dengan Almira semakin melelahkan.

Aku tidak tahu kenapa mulutku ragu untuk terbuka setiap kali berpapasan dengan wanita itu. Apakah karena rasa bersalahku padanya? Secepatnya aku harus meminta waktu Almira untuk berbicara. Supaya koordinasi rangkaian book tour Perempuan Berambut Api bisa berjalan dalam damai. 

Hari ini. Aku pasti akan memintanya untuk meluangkan waktu berbicara denganku hari ini. 

Aku masuk ke dalam lift, pikiranku sudah mantap untuk memohon sampai Almira mau berbicara paling tidak lima menit denganku. Apa yang akan terjadi dengan harga diriku, aku tidak peduli. 

“Jadi lo sudah baikan sama Almira?” 

Daniel sudah masuk ke dalam lift bersamaku. Jarinya menekan lantai 28 lalu ikut bersandar di dinding lift. “Hmm, Rey? Sudah atau belum?”

Jika aku menjawab belum, orang ini pasti akan mencecarku habis-habisan. Tapi kalau aku berbohong, ia juga bisa mengetahuinya dan ia akan terus mengungkitnya sampai puas. Aku menghela napas pasrah, sepertinya lebih baik dicecar sampai lift terbuka di lantaiku. “Belum.”

“Yang benar saja, Rey!” serunya berkacak pinggang. “Seinget gue, Reynaldo bukan orang yang menunda-nunda kewajibannya. Jangan-jangan lo orang lain yang menyamar jadi temen gue? Siapa lo?”

Aku menepis tangannya yang sudah mengguncang bahuku. “Bicara lo ngelantur. Gue cuma belum dapat waktu yang tepat buat bicara dengan dia. Lo kan tau tim editor selalu sibuk sebelum rapat besar hari ini.”

“Oh bilang dong,” jawabnya santai mengangkat kedua tangannya. 

Aku mendelik. Padahal dia yang tidak memberikan aku waktu untuk berbicara.

“Jangan marah dong, Rey.” Ia tertawa menyenggol siku kananku. “Gue cuma bercanda. Eh, tapi gue nggak bercanda soal minta maaf dengan Almira, ya. Lo harus segera minta maaf supaya hubungan kalian membaik, yah setidaknya supaya kalian tidak canggung saat kegiatan promosi buku sebentar lagi.”

Aku mengangguk. Tentu saja. Jika hubunganku dengan Almira tidak membaik mungkin akan lebih canggung untuk Daniel mendekati Almira. Aku masih belum bisa menentukan bagaimana harus menyikapi perasaan Daniel pada wanita itu. Tapi yang terpenting sekarang adalah keidealan suasana tim untuk beberapa bulan kegiatan promosi buku.

Lift terbuka. Aku buru-buru keluar, menjauh dari pikiran aneh setiap kali Daniel membahas Almira. Terdengar samar suara Daniel meneriakkan kalau dia akan memastikan aku sudah melakukan janjiku saat makan siang. 

Aku hanya melambaikan tangan padanya. Tanda mengerti dan segera tutup mulut sebelum ia melakukan hal memalukan lainnya.

“Oi! Pagi, Rey!” Aku melambatkan langkahku saat melihat Felice dengan pakaian berwarna serba pastel seperti biasanya. Ia baru saja keluar dari pantry sehingga aku melambatkan langkahku.

Seketika ia langsung berjalan di sisi kananku. “Rough day, today.” 

Ia mengangkat mug di tangan kanannya. Asap mengepul dari minuman panas di dalamnya.  “Lo sudah menerima email dari gue, kan?”

Aku mengangguk, namun pikiranku terpaku dengan aroma yang tercium dari kepulan asap minuman Felice. Dari aromanya yang seperti kacang dan sedikit tercium pahit, aku tebak ia baru saja menyeduh kopi robusta. Melihat pilihan minumannya itu, aku bisa asumsikan kalau dia baru saja bekerja semalaman kemarin. Itu berarti Almira juga begadang dan kemungkinan suasana hatinya sedang buruk karena kelelahan. 

Haruskah aku meminta waktunya hari ini? Aku bergidik membayangkan dendam Almira yang bertambah parah karena aku sudah mengganggu waktunya untuk istirahat setelah rapat nanti.

Mungkin memang salahku menunda untuk berbicara dengan Almira. Maka dari itu aku memilih untuk memberikan hadiah perdamaian terlebih dahulu agar bisa membuat suasana hatinya membaik. Namun Biar pun aku sudah membelikan cinnamon rolls rutin setiap rapat, aku tetap tidak berhasil membuatnya tersenyum. Ia tetap saja memperlihatkan raut wajah kaku di hadapanku. Selama rapat berlangsung, ia terlihat tidak seriang biasanya. Alisnya mengerut seakan ia takut berbuat kesalahan lagi. 

Aku bahkan sudah mencoba memberikan penjelasan kepada karyawan yang aku lihat memandangnya sinis. Memberikan pengertian seperti yang Daniel katakan kepadaku, kalau Almira bukanlah orang yang akan menggunakan posisinya untuk mempermudah jalan karirnya. Dan terbukti berhasil karena karyawan di lantai ini sudah kembali memperlakukannya seperti biasa.

“Hei, Rey?” Felice melambaikan tangan di depan wajahku, membuat pikiranku kembali ke kenyataan. “Lo lagi mikir apaan sih sampai nggak denger omongan gue?”

Sorry. Lo tadi ngomong apa?”

Ia menghela napas panjang. “Gue tanya, apa semua baik-baik saja antara lo dan Almira?”

Ini lagi. Seperti sudah template semua orang saat bertemu denganku sejak insiden rapat lalu. Aku berdeham, mengulang lagi perkataanku dengan Daniel tadi. Bahwa aku belum menemukan waktu yang tepat karena tim editor sedang sibuk dan akan segera meminta waktu untuk berbicara setelah rapat nanti.

“Bagus deh kalau begitu. Jangan menunda terlalu lama, duri yang lo tanam di hati Almira keburu tertanam jauh dan bisa-bisa tidak bisa tercabut lagi. Lo mengerti maksud gue kan?” ucapnya sambil menunjuk arloji di pergelangan tangannya. 

It means I don’t have much time left.

***

Percobaan pertama hari ini. Aku memandang punggung Almira yang membungkuk ke arah layar laptopnya. Ia tidak bergeming, seakan ada tembok di sekitarnya yang menghalangi orang lain berbicara dengannya. Sepertinya jika aku mengambil keputusan berbicara dengannya sekarang wanita itu akan lebih kesal denganku. Aku tidak ingin mengambil risiko untuk membuat api amarahnya membesar sampai menjadi semerah pakaiannya hari ini.

Akhirnya, aku mengurungkan niatku untuk mendekat. Mungkin peruntunganku akan lebih baik saat dia sudah terlepas dari tekanan pekerjaan. Berarti waktu terbaik adalah mendekatinya setelah rapat pagi ini. Aku mengangguk setuju dengan pikiranku, tanganku membuka laptop dan mulai menyortir beberapa email konfirmasi dari media pers untuk menerbitkan press release buku 3 bulan kedepan di platform berita mereka.

Tidak terasa dua jam berlalu saat aku menyelesaikan draf kontak penulis dengan genre women’s fiction dan misteri, media pers, dan klub buku untuk kegiatan promosi media buku Perempuan Berambut Ap” hingga tiga bulan setelah buku rilis. Pemberitahuan kalender di email menunjukkan rapat besar editorial akan dimulai sepuluh menit lagi. Lantas aku menutup laptop dan segera beranjak menuju Ruang Melville dengan tablet dalam genggamanku untuk catatan pemaparan progress.

“Pagi, Rey.” Ali sudah duduk di sisi kanan meja oval, di sebelahnya sudah ada Mirah dari pemasaran dan Brian dari sales. Refleks aku duduk di sisi yang sama agar dapat mempermudah diskusi promosi buku nantinya.

“Pagi semuanya.” 

Ruang masih lengang sampai tim editorial datang bergerombol, termasuk ketua tim mereka diikuti manajer tim sales dan pemasaran. Rapat hari ini memang ditujukan untuk menetapkan semua elemen dalam buku serta pemaparan rencana promosi sebelum perilisan buku. Mbak Dewi yang masih berada di luar Jakarta pun sudah siap mengikuti lewat platform meeting online. 

Setiap anggota tim sudah duduk mengitari meja oval ruang rapat, proyektor sudah siap menyala, dan sosok Almira dengan tangan sedikit bergetar sudah berdiri mengedarkan senyum ke seluruh ruangan. Felice duduk di belakang layar laptop menjadi fasilitator dan mungkin dapat menjadi presenter ketika Almira tiba-tiba tidak bisa melanjutkan karena gugup. 

“S-selamat pagi, semuanya.” Suaranya bergetar, namun aku dapat melihat urat tersembul di lehernya. Sepertinya ia mencoba menghentikan kegugupan yang membuat badannya bergetar. Felice di sampingnya tidak melepas pandangan ke arah Almira, terus memberikan dukungan mental untuknya.

Aku pun menyilangkan jari telunjuk dan tengahku. Berdoa untuk kelancaran pemaparan Almira. Karena hanya itu harapanku untuk membuat suasana hati wanita itu membaik setelah rapat.

Ia sepertinya sudah bisa beradaptasi dengan suasana rapat dan mendapatkan kepercayaan dirinya kembali. Karena setelah bagian awal yang canggung itu, Almira berhasil memaparkan konsep cerita serta plot keseluruhan dengan lancar.

“Jadi secara umum konsep cerita tidak berubah. Kami hanya memperdalam karakterisasi tokoh istri dari tuan tanah agar lebih hidup dan menambahkan petunjuk implisit dalam plot misteri sehingga unsur mendebarkan dari pengungkapan konflik dapat lebih dirasakan pembaca.” 

Ibu Eri mengangguk beberapa kali saat mendengarkan penjelasan setiap bagian cerita yang diubah. “Saya sudah membaca draf revisi paling baru dan saya kira perubahan sudah menonjolkan sisi misteri mendebarkan tanpa menghilangkan proses terbentuknya ikatan saling mendukung antara tokoh istri.”

Pandangan Ibu Eri beralih ke layar laptop yang memperlihatkan wajah Mbak Dewi. “Input saya sebelumnya sudah diaplikasikan juga ya, Mbak. Saya sudah melihat sisi buruk untuk karakter Agni dan membuatnya lebih terasa realistis. Lalu saya juga merasakan pengembangan karakternya seiring cerita berjalan. Menurut saya, input dari saya sudah Mbak realisasikan dengan baik dan hasilnya membuat cerita lebih hidup. Great job!

Samar aku mendengar suara Mbak Dewi dari laptop, beberapa kali suaranya yang mengucapkan terima kasih pada Ibu Eri terputus-putus. Mungkin akibat sinyal lemah di daerah Solo tempatnya berada sekarang.

Aku beralih melihat Almira yang sudah menyandarkan tangannya di atas meja, masih berdiri di depan ruang rapat. Aku bisa merasakan kelegaan dari wajahnya saat mendengar ketua timnya mengatakan, “Felice, Almira…You two did a great job, too.

Mataku masih belum beralih dari Almira saat topik rapat dilanjutkan dengan diskusi memilih cover buku berdasarkan tiga mock up yang sudah dibuat Ali. Terdengar reaksi kuat untuk desain cover kedua yang kalau aku tidak salah ingat menampilkan setengah bayangan wajah wanita di ujung kiri cover. Kemudian rambut berwarna merah keemasan bergelombang wanita itu memenuhi sisanya. Judul buku tertera di bagian atas tengah cover dengan font tipis berwarna putih keemasan. 

Sejak Ali memaparkan desainnya, aku pun sudah mengira desain kedua yang akan terpilih. Perpaduan warna merah tua, hitam dan emas membuat kesan berani dan elegan tetapi memiliki sisi misterius, persis seperti karakter Agni, si tokoh utama. Lalu pada cover belakang ditampilkan latar desa tempat si tuan tanah dan enam istrinya tinggal dengan desain dominan hitam bercampur merah sehingga terkesan mencekam. Such a perfect projection of women and thrilling mystery! 

Memang untuk urusan desain, Ali bisa dengan mudah menonjolkan unsur penting cerita, seperti saat ia merayu karyawan wanita di seluruh lantai gedung ini. 

“Oke… Selanjutnya, kita akan membahas rencana book tour dan media coverage untuk buku ini.” Perkataan Felice yang seharusnya merupakan tanda giliranku dimulai terlambat aku gubris. Semua karena keanehan yang aku rasakan dari Almira. Ia berkali-kali mengerjapkan matanya dan menepuk pipinya pelan, seakan mencoba mengembalikan kesadarannya. 

“Rey, it’s your turn.” Felice memanggilku sekali lagi membuatku terpaksa mengalihkan fokusku kembali pada rapat yang sedang berlangsung. 

Aku mengatur napas sebelum mulai memaparkan garis besar kegiatan book tour dan media yang akan meliput perilisan buku Mbak Dewi. Tidak lupa aku menyampaikan beberapa detail seperti daftar media pers dan klub buku yang sudah menyetujui untuk membuat artikel serta post khusus terkait dengan buku Perempuan Berambut Api. Aku juga menjelaskan strategi untuk meningkatkan pembelian di awal rilis dengan berkolaborasi bersama beberapa klub buku untuk mengadakan tantangan membaca buku ini selama satu bulan.

Daftar toko buku untuk kegiatan press conference, book signing dan book talk juga sudah ditetapkan dan kujelaskan secara rinci. Pemaparan aku tutup dengan mengumumkan tanggal rilis post sayembara mencari reviewer untuk buku pertama Mbak Dewi, yang tentunya akan menyesuaikan tim produksi. 

“Oke, untuk selanjutnya kamu bisa berkoordinasi dengan tim pemasaran dan sales untuk penyesuaian pesan promosi buku. Next, dari tim pemasaran.”

Vira mendapatkan giliran terakhir untuk memaparkan target selesai percetakan. Tim sebelumnya juga tidak ada masalah, sehingga Felice bisa melanjutkan untuk menutup rapat. 

Para ketua tim beranjak dari tempat duduk lebih dulu, bersalaman lalu berjalan keluar ruangan satu persatu. Kepergian mereka diikuti dengan anggota tim proyek buku ini dimulai dari Vira dan disusul Brian, Mirah dan Ali yang mengaku buru-buru dikejar deadline proyek buku lain.

Tersisa aku, Felice dan Almira di ruangan. 

Felice berdiri duluan membawa laptop yang digunakan untuk presentasi. Ia sempat melempar pandangan ke arahku sebelum menyuruh Almira segera keluar ruangan. Sepertinya Felice memberikan aku kesempatan untuk berbicara berdua dengan Almira.

Aku baru mulai beranjak saat melihat Almira berdiri perlahan dari kursinya. Perasaanku mulai tidak enak ketika melihat langkah wanita di depanku ini tersandung kakinya sendiri. Ia terhuyung ke depan, namun tangannya refleks menyokong tubuhnya. 

Khawatir dengan keadaannya, aku mempercepat langkahku hingga berdiri tepat di belakang Almira. Keringat terlihat membasahi pelipisnya, napasnya pendek seperti kekurangan oksigen. 

“Hei, lo nggak apa-apa?”

Ia masih sempat menggeleng dan meneruskan langkahnya. Bahkan di saat seperti ini dia masih keras kepala tidak ingin menerima bantuan dariku. Apa dia sebenci itu denganku?

Pada langkah kelima–entah mengapa aku menghitungnya–ia berhenti lagi. Kini tangannya bergerak meremas perutnya. Melihatnya merintih kesakitan, aku mulai ikut panik. Reaksi dari mulutku lebih cepat dari pikiranku. “Almira, lo sakit? Gue bisa bantu apa?”

Tapi yang terdengar hanya tarikan napasnya, beberapa kali, sebelum tubuhnya terjerembap ke lantai. Refleks aku ikut berlutut di sampingnya. 

Tanganku menggoncang pundaknya. Namun tidak ada respon. Matanya sudah tertutup dan tubuhnya terkulai lemas.

“Almira!” Tetap tidak ada respons. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengerahkan seluruh tenagaku untuk mengangkat tubuhnya. 

Aku tidak mengingat apa yang aku katakan–atau teriakkan–pada orang-orang saat keluar dari ruang rapat sambil menggendong Almira dalam pelukanku. Bahkan aku tidak mengingat sepenuhnya perjalanan menuju Rumah Sakit Gautama karena terlalu panik melihat wajah tersiksa wanita yang sedang terkulai lemas di atas pangkuanku. 

Suara Ali yang mencoba membuatku tenang tidak terdengar. Tertutup suaraku sendiri yang meracau setiap mobil Ali terhenti karena macet.

Semua karena aku. Karena perkataanku dia jadi mendorong dirinya terlalu keras. 

“Almira, hang in there!” Lalu beberapa saat setelahnya, aku berbisik lagi di dekat wajahnya. “Sebentar lagi kita sampai.”

Kini aku menyesal tidak segera meminta maaf pada Almira dan menjelaskan maksudku sebenarnya. Mungkin dia tidak akan memikul beban seberat ini untuk memberikan hasil maksimal. Mungkin dia akan memaafkanku dan hubungan kami bisa membaik. 

Mungkin aku takut dengan apa yang Almira katakan dan lakukan. Kapan terakhir kali aku merasa seperti ini? 

Aku mulai merasakan kembali rasa takut yang seharusnya sudah aku sembunyikan dengan baik selama ini.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kanvas Putih
159      139     0     
Humor
Namaku adalah Hasywa Engkak, yang berarti pengisi kehampaan dan burung hitam kecil. Nama yang memang sangat cocok untuk kehidupanku, hampa dan kecil. Kehidupanku sangat hampa, kosong seperti tidak ada isinya. Meskipun masa depanku terlihat sangat tertata, aku tidak merasakannya. Aku tidak bahagia. Wajahku tersenyum, tetapi hatiku tidak. Aku hidup dalam kebohongan. Berbohong untuk bertahan...
Highschool Romance
2743      1171     8     
Romance
“Bagaikan ISO kamera, hari-hariku yang terasa biasa sekarang mulai dipenuhi cahaya sejak aku menaruh hati padamu.”
PATANGGA
888      606     1     
Fantasy
Suatu malam ada kejadian aneh yang menimpa Yumi. Sebuah sapu terbang yang tiba-tiba masuk ke kamarnya melalui jendela. Muncul pula Eiden, lelaki tampan dengan jubah hitam panjang, pemilik sapu terbang itu. Patangga, nama sapu terbang milik Eiden. Satu fakta mengejutkan, Patangga akan hidup bersama orang yang didatanginya sesuai dengan kebijakan dari Kementerian Sihir di dunia Eiden. Yumi ingin...
Violet, Gadis yang Ingin Mati
6381      1851     1     
Romance
Violet cuma remaja biasa yang ingin menikmati hidupnya dengan normal. Namun, dunianya mulai runtuh saat orang tuanya bercerai dan orang-orang di sekolah mulai menindasnya. Violet merasa sendirian dan kesepian. Rasanya, dia ingin mati saja.
ASA
5362      1696     0     
Romance
Ketika Rachel membuka mata, betapa terkejutnya ia mendapati kenyataan di hadapannya berubah drastis. Kerinduannya hanya satu, yaitu bertemu dengan orang-orang yang ia sayangi. Namun, Rachel hanya diberi kesempatan selama 40 hari untuk memilih. Rachel harus bisa memilih antara Cinta atau Kebencian. Ini keputusan sulit yang harus dipilihnya. Mampukah Rachel memilih salah satunya sebelum waktunya ha...
Of Girls and Glory
4215      1681     1     
Inspirational
Pada tahun keempatnya di Aqiela Ru'ya, untuk pertama kalinya, Annika harus berbeda kamar dengan Kiara, sahabatnya. Awalnya Annika masih percaya bahwa persahabatan mereka akan tetap utuh seperti biasanya. Namun, Kiara sungguh berubah! Mulai dari lebih banyak bermain dengan klub eksklusif sekolah hingga janji-janji yang tidak ditepati. Annika diam-diam menyusun sebuah rencana untuk mempertahank...
Jelek? Siapa takut!
3600      1524     0     
Fantasy
"Gue sumpahin lo jatuh cinta sama cewek jelek, buruk rupa, sekaligus bodoh!" Sok polos, tukang bully, dan naif. Kalau ditanya emang ada cewek kayak gitu? Jawabannya ada! Aine namanya. Di anugerahi wajah yang terpahat hampir sempurna membuat tingkat kepercayaan diri gadis itu melampaui batas kesombongannya. Walau dikenal jomblo abadi di dunia nyata, tapi diam-diam Aine mempunyai seorang pac...
Pria Malam
1117      678     0     
Mystery
Semenjak aku memiliki sebuah café. Ada seorang Pria yang menarik perhatianku. Ia selalu pergi pada pukul 07.50 malam. Tepat sepuluh menit sebelum café tutup. Ia menghabiskan kopinya dalam tiga kali tegak. Melemparkan pertanyaan ringan padaku lalu pergi menghilang ditelan malam. Tapi sehari, dua hari, oh tidak nyaris seminggi pria yang selalu datang itu tidak terlihat. Tiba-tiba ia muncul dan be...
Premium
MARIA
8170      2363     1     
Inspirational
Maria Oktaviana, seorang fangirl akut di dunia per K-Popan. Dia adalah tipe orang yang tidak suka terlalu banyak bicara, jadi dia hanya menghabiskan waktunya sebagian besar di kamar untuk menonton para idolanya. Karena termotivasi dia ingin bercita-cita menjadi seorang idola di Korea Selatan. Hingga suatu ketika, dia bertemu dengan seorang laki-laki bernama Lee Seo Jun atau bisa dipanggil Jun...
Lebih Dalam
186      161     2     
Mystery
Di sebuah kota kecil yang terpencil, terdapat sebuah desa yang tersembunyi di balik hutan belantara yang misterius. Desa itu memiliki reputasi buruk karena cerita-cerita tentang hilangnya penduduknya secara misterius. Tidak ada yang berani mendekati desa tersebut karena anggapan bahwa desa itu terkutuk.