Reynaldo
Kurasa aku baru saja menambah satu musuh dalam hidupku.
“Rey, lo keterlaluan!” Felice menarik kursi lalu duduk tepat di sampingku. Suasana kantor yang sepi karena sudah memasuki jam makan siang membuatnya leluasa meninggikan suara. “Gue nggak pernah tahu lo suka mengungkit kesalahan anak baru.”
Aku hanya diam mendengarkan keluhan Felice. Memang aku menyadari selama ini aku tidak terlalu peduli dengan kesalahan yang dibuat anak baru, toh mereka baru belajar beradaptasi dengan industri penerbitan. Toh mereka akan bekerja keras untuk memperbaiki kesalahan mereka demi bisa bertahan dalam industri ini.
Tapi berbeda dengan Almira. Sejak melihat berita tentang latar belakang keluarganya, aku menjadi curiga setiap kali ia melakukan kesalahan dalam pekerjaan. Mungkin ia berencana untuk keluar dari perusahaan setelah menghancurkan keberhasilan proyek buku kita. Mungkin ia tidak pernah serius untuk melakukan pekerjaan ini. Mungkin selama ini ia hanya bermain-main sebelum kembali ke perusahaan keluarganya.
Semua memang kemungkinan yang aku karang dalam pikiranku. Tapi melihat sepak terjang anak-anak di keluarga Gautama, aku bisa melihat kemungkinan itu akan benar-benar terjadi.
Meski aku mengakui perkataanku tadi sudah kelewatan dan menyinggung Almira.
“Lo. Harus. Minta. Maaf.” Felice berkata dengan suara rendah, menusukkan jari telunjuknya ke bahuku dengan cukup keras.
Aku menerimanya dengan pasrah, I guess I deserve this. “Oke.”
Felice mengatur deru napasnya. Sepertinya ia benar-benar marah karena sikapku pada anak bimbingnya itu. “Gue tahu lo sudah lihat berita tentang Almira. Gue tahu image dia di mata lo bisa berubah setelah itu. Tapi biar gue kasih lo tahu sebagai mantan reporter gosip, apa yang diberitakan bisa jadi berbeda dari faktanya. Jadi, asumsi lo bisa saja berbeda setelah lo benar-benar kenal Almira.”
Aku masih diam tidak bergeming saat ia beranjak dari kursinya. Sebelum ia berbalik pergi, ia menatapku sekali lagi. “Satu lagi, Rey. Sebagai orang yang bekerja dekat dengan Almira, gue bisa jamin asumsi lo tentang keseriusannya salah besar. Dia bahkan merelakan hari Minggunya kemarin untuk memeriksa plot hole di naskah Mbak Dewi. Apa yang gue paparkan tadi adalah hasil kerjanya.”
And she just hit the final blow. Felice menghentakkan kakinya kesal kembali ke mejanya. Meninggalkan aku yang hanya bisa duduk menatap kosong mejaku.
Perasaan bersalahku semakin besar karena asumsi asalku pada Almira. Apa wanita itu benar-benar serius ingin berkarir di pekerjaannya sekarang? Apa dia tidak akan tergiur untuk mengisi dengan mudah posisi kosong di perusahaan keluarganya?
I guess I will never know. Karena aku yakin 100 persen kalau Almira tidak akan pernah mau berbicara denganku lagi. Ia sudah menghindariku sejak rapat selesai.
“Well, that was intense.”
Suara Daniel mengagetkanku. “Lo sudah dari tadi di sini?”
Ia menggeleng, menarik kursi yang tadi diduduki Felice dan menghempaskan tubuhnya di sana. Aku merasa seperti tersangka yang diadili secara bergilir oleh dua investigator.
“Sepertinya gue cuma dengar kalimat terakhir Felice. Tapi ini pertama kalinya gue lihat wajah anak itu semenyeramkan itu. Lo habis berbuat apa sampai orang yang dijuluki malaikat di kantor ini bisa berubah jadi iblis?”
Aku menghela napas, menjatuhkan dahiku ke atas meja. “Gue habis negur kesalahan anak baru.”
“Lalu?”
“Gue terbawa emosi dan malah berakhir menyinggung anak baru itu.”
Terdengar jeda lama dari Daniel hingga aku mengangkat kepalaku dari meja untuk memastikan ia masih di sampingku. Ternyata dia masih ada di sana, menatapku serius.
“Gue pikir lo selalu bisa menahan emosi mengendalikan tindakan lo. Kecewa gue!”
“Gue juga manusia kali. Bisa saja kelepasan sesekali,” sanggahku.
Daniel tersenyum simpul. “Nah, itu lo tahu. Anak baru itu juga manusia, Rey. Sama seperti lo yang tidak bisa menahan emosi lo, dia juga bisa melakukan kesalahan. Tapi ya kalau sudah terlanjur berbuat salah, lo harus bisa menurunkan ego lo dan mengakui kesalahan lo.”
Aku menghela napas panjang. “Lo baru saja bilang poin yang kurang lebih sama dengan Ali.”
“Shit! Masa gue lo samain dengan playboy kelas kakap itu?”
“Lo perlu gue ingatkan barisan mantan lo?”
Ia terbahak, memukul bahuku beberapa kali. “Yang lalu biarlah berlalu.” Mungkin ia membicarakan masa lalu dengan mantannya. “Terus, sekarang lo mesti minta maaf ke siapa?”
Aku melepas kacamataku, jariku menjepit pangkal hidungku. Daniel mungkin tidak akan suka mendengar nama yang keluar dari mulutku. “Almira.”
Aku tidak mendengar reaksi muncul dari sahabatku dan membuatku menengok ke samping setelah memasang kembali kacamataku. Raut wajah Daniel yang terlihat di luar bayanganku. Matanya membelalak lalu mulutnya membuka. Bukan ekspresi seseorang yang marah karena orang yang ia suka terluka karena perbuatanku.
Baru setelah mengerjapkan matanya beberapa kali, ia membuka mulutnya. Kali ini dengan suara meninggi. “Lo gila? Memang dia salah apa?”
Ini reaksi yang aku bayangkan dari orang yang menyukai wanita itu. Semoga Daniel bisa mengerti alasan dari perspektifku. “Dia berkali-kali terlihat ragu dengan pekerjaan tim dia, gue jadi emosi. Jadi gue cuma mau memastikan keseriusannya dalam proyek kami. Sama sekali nggak ada maksud buat dia tersinggung.”
“Memastikan keseriusan…” Daniel mengulang lagi alasanku dengan suara rendah, sepertinya ia tidak menerima alasanku. Dengan nada suara yang sama ia melanjutkan, “Kenapa? Karena lo merasa Almira akan kabur dari tanggung jawabnya dan kembali ke perusahaan keluarganya?”
“Gue hanya nggak ingin kejadian saat Dwi bekerja di sini terulang lagi.”
Aku mengingat kembali kekacauan yang terjadi dalam tim proyek penerbitan empat tahun lalu. Semua karena Dwi merasa bosan dengan pekerjaan tim pemasaran dan seenaknya menghilang dari kantor sebulan sebelum perilisan buku. Akibatnya aku dipilih menjadi penggantinya dengan draf rencana promosi buku yang belum tersentuh sama sekali. Sejak saat itu aku selalu curiga dengan anggota tim yang tidak terlihat serius saat mengerjakan tugasnya. Aku tidak ingin kejadian yang disebabkan kakak angkatku itu terulang lagi.
Terutama tidak terulang dengan Almira. Aku takut akan membenci wanita itu jika ia melakukan hal yang sama.
Perkataan Daniel memecah keheningan di antara kami. “Dengan asumsi lo itu, berarti lo juga berpikir gue akan kabur meninggalkan tanggung jawab gue dan mengambil posisi GM di kantor Bapak gue.”
“Gue tahu lo nggak akan berbuat seperti itu.”
“Hah! Terus apa dasar lo mangasumsikan Almira akan melakukan hal yang sama dengan Dwi? Kenapa lo bisa langsung menyuarakan tuduhan lo ke hal yang belum pasti ia lakukan?” Daniel menatap mataku tajam, nada suaranya menyindir pemikiranku.
Namun aku tidak bisa menyanggah sindirannya, karena semua yang ia katakan benar. Aku sudah terlalu dibutakan latar belakang Almira sampai mengira ia akan melakukan hal tidak bertanggung jawab seperti Dwi.
Daniel mengatur napas, menahan emosinya keluar. “Sekarang gue mengerti kenapa Felice bisa semarah tadi ke lo, Rey. Berkali-kali gue bilang kalau tidak semua orang dengan privilege dari keluarganya akan melakukan hal yang sama dengan keluarga kita. Ada juga orang yang malah ingin terbebas dari segala kemudahan itu dan mengejar ambisinya sendiri. Merasakan perjuangan membangun hidup sesuai keinginannya sendiri.”
Aku masih terdiam meresapi perkataannya.
Daniel memperbaiki posisi duduknya sebelum melanjutkan. “Lo pasti tahu perjuangan gue dari staff sampai bisa menjadi manajer finance sekarang. Dari zaman kita menyewa kamar indekos berdua sampai kita bisa beli unit apartemen sendiri. Gue nggak pernah mau menerima tawaran posisi dari keluarga kita, lo juga seperti itu.”
“Lo benar juga. Gue terlalu cepat berasumsi.”
Ia tersenyum singkat lalu beranjak dari kursi di sampingku. “Lo sudah tahu kesalahan lo, sekarang lo tinggal minta maaf dengan Almira.”
“Dia pasti nggak pernah mau melihat gue lagi.”
Aku merasakan pukulan keras di belakang kepalaku. “Lo mengasumsikan sendiri lagi. Memang lo sudah mencoba berbicara dengan dia?”
“You’re right. Gue akan coba berbicara dengan Almira.” Tapi mungin setelah menunggu suasana hatinya membaik, lanjutku dalam hati.
“Lo bisa mencoba sekarang,” tukasnya sambil menunjuk pintu lift yang terbuka. Dari dalamnya keluar tiga teman Almira yang sepertinya ingin menyembunyikan wanita itu di belakang mereka. Aku refleks berdiri, mencoba membuatnya melihatku. Tapi, gagal. Tiga temannya sudah menatapku sinis, salah satunya bahkan menahan kepala Almira agar tidak menengok ke arahku.
“Touche! Sepertinya lo harus berusaha keras melewati tiga penjaganya dulu, Rey.”
Aku memutar mataku. Tanpa Daniel beritahu pun sudah terlihat jelas. Mataku terus mengikuti langkah Almira hingga ia duduk di mejanya tepat di seberang mejaku. Almira menoleh ke arahku sebelum kembali mengerjakan sesuatu di laptopnya. Tidak ada senyum di bibirnya, bahkan senyum licik setiap kali ia berhasil mengerjaiku. I’m so screwed.
Kaki yang sebelumnya ingin melangkah ke arah Almira terhenti saat aku menyadari noda luntur di ujung matanya. Juga matanya yang merah. Sepertinya ia setengah mati menahan ledakan emosinya karena tekanan dari orang di sekitarnya dan aku baru saja meruntuhkan pertahanannya dalam satu percakapan. I hate it.
Aku tersenyum masam, merutuki asumsi asalku pada Almira.
Pikiranku mulai bekerja keras. Aku harus segera meminta maaf. Mungkin memberikannya hadiah untuk berdamai juga. Soon.
Aku menatapnya lagi yang sudah tersenyum seperti biasa pada teman-temannya. Sepertinya tidak butuh waktu lama untuk Almira mengubah emosi negatif itu menjadi dorongan positif. Bahkan saat ini ia sudah tersenyum berbicara semangat dengan seseorang di layar laptopnya, tangannya sibuk menulis di atas notebook putih.
Sekarang matanya berbinar semangat, seperti api yang membara. Berbahaya.