Almira
Gloomy Monday. Dua kata yang menghiasi awal mingguku ini.
“¡Ay Mi Madre! Wanita licik itu bahkan menyebarkan artikel tentang aku tanpa persetujuanku sekarang!”
Aku sudah menduga akan ada artikel tentang volunteer di panti asuhan dua hari lalu, namun aku tidak menyangka headline berita akan difokuskan padaku. Selama 25 tahun umurku, Mama sudah meminta agar keluarganya tidak terekspos media. Ninik Ayu memang setuju melihat posisi Mama yang tidak lagi berada dalam jajaran perusahaan. Namun, kakak tertua Mama harus saja ikut campur dan menghancurkan semuanya.
“Mama sudah lihat apa yang kakak Mama perbuat?”
Suara Mama di seberang telepon terdengar lembut. Salah satu caranya untuk meredamkan emosiku. “Mama sendiri tidak tahu Mbok Tari akan merilis artikel seperti itu. Nanti Mama akan cari cara untuk menghapus artikelnya, ya.”
“Apa gunanya kalau setiap orang di kantor Ami sudah tahu beritanya?”
Terdengar helaan napas dari Mama. Aku tahu bukan Mama yang salah, tapi Mama mengenal pelakunya dan aku berharap ia akan menyelamatkan reputasi anaknya dari cengkraman Tante Tari.
“Mama tidak tahu seberapa tertekan Ami karena berita itu. Orang-orang di sekitar Ami akan mulai menaruh ekspektasi berlebihan…” Aku berusaha menahan kalimat selanjutnya untuk keluar, seperti anggota keluarga Mama yang mengagungkan embel-embel Pradnya di belakang namanya.
“Mama minta maaf, sayang. Mama janji akan membicarakan ini dengan Nik Ayu.”
Tanganku yang masih menggenggam ponsel bergetar menahan keinginan besarku untuk melempar benda di tanganku itu karena frustasi. Mataku mulai terasa panas, menunggu aku lengah dan air mata dapat keluar tanpa henti.
“Ami, Sayang. Kamu tenang, ya. Jangan terlalu banyak pikiran.” Suara Mama masih terdengar sabar dari seberang telepon. “Sudah waktunya kerja, kan? Siap-siap dulu, gih.”
Menahan emosiku untuk keluar, aku mulai berbicara lebih tenang. “Oke…Oke, Ma. Telepon Ami nanti malam ya, Ma?”
“Iya. Baik-baik ya, Sayang. Love you!” Aku bisa merasakan senyum kecil dari bibir tipis Mama saat menutup pembicaraan singkat kami.
Percakapan yang meninggalkan rasa pahit di lidahku. Ketenangan yang Mama coba berikan lewat panggilan telepon tadi lenyap begitu saja. Meninggalkan suasana hati yang hancur berantakan, namun aku tetap harus berangkat kerja.
Bahkan setelah mendapatkan asupan cinnamon rolls dan latte panas di cafe dekat gedung kantor, aku tidak bisa mengembalikan suasana hatiku. Langkahku semakin berat saat aku keluar lift dan berjalan menuju meja kerjaku. Aku merasakan semua mata karyawan mengikuti setiap gerakanku. Aku menyembunyikan ujung daguku dalam turtle neck hitam yang kukenakan, memandang ke ujung sepatu karena aku tidak berani mengangkat kepala.
Aku membuka laptop dan menggerakkan kursor naik turun, berusaha terlihat sibuk. Tumpukan proposal naskah baru di kotak masuk website Gautama memanggilku untuk membaca mereka. Pandanganku menghindari tugas yang memanggil dan hanya menatap kosong ke layar.
“Hey, famous girl!” Gerakan tanganku terhenti saat menepuk bahuku. “Kenapa aura lo gelap banget, Mi? Are you okay?”
Andin langsung duduk di sampingku, tangannya masih bersandar di bahuku.
Kepolosan Andin membuat pandangannya padaku tidak berubah. Ia masih memperlakukanku seperti biasa. Aku mencoba tersenyum. “Aku tidak terlalu nyaman dengan semua spotlight ini.”
“Why? I think you look okay on the article, no?” tanya Andin lagi dengan polos.
“You think so?” Aku tertawa kecil. Namun bibirku terasa berat untuk mengatakan alasanku sebenarnya. Meski Andin memandangiku penuh harap.
“Din… Don’t pressure Ami.” Suara tegas Nisa membuatku menghela napas lega. Andin merengut memandang Nisa yang sudah duduk di kursinya di seberangku.
“Ami, lo tidak harus menceritakan semuanya.” Luna yang berjalan di belakang Nisa menepuk bahuku pelan sebelum melanjutkan jalannya ke kursi tepat di hadapanku. “Tapi gue mau lo selalu tahu kalau kita akan selalu ada buat dengar cerita lo.”
“Hey! No fair! Gue juga mau bilang itu tadi…” Andin merengek diikuti tawa kecil mereka berdua.
Aku masih terdiam setelah mendengar perkataan Luna tadi. Mereka tidak peduli dengan berita yang tentang latar belakangku dan aku tidak berkewajiban untuk menjelaskan apa pun untuk membuat mereka bertahan menjadi temanku. I’m so lucky to find this precious bond with them.
“Aku baru kenal kalian, tapi…” Mereka bertiga mengalihkan pandangannya ke arahku. Senyum perlahan muncul di wajahku. “I am really lucky to have you three.”
Mereka tersenyum. Andin lalu memelukku erat dan menyemangatiku sebelum berjalan ke ujung meja. Aku merasa masih bisa memperjuangkan posisiku di perusahaan yang selalu aku idamkan, di kantor tempat dimana ada orang yang bisa kupanggil teman dan tidak melihatku berdasarkan status.
Lihat saja, aku akan membuktikan kalau aku bisa hidup tanpa bantuan Tante Tari.
Easier said than done. Perasaan tertekan itu muncul kembali saat rapat rencana pemasaran dan promosi buku. Aku beberapa kali salah memasukkan poin penting yang dipaparkan hingga Mirah harus mengulang beberapa kali penyampaian paket promosi dan budget dari tim pemasaran.
Tidak sampai di sana, pikiranku tiba-tiba kosong saat ditanya mengenai perubahan naskah apa saja yang harus tim proyek ketahui. Untungnya Kak Felice berinisiatif untuk mengambil alih dan menjelaskan penambahan pendalaman tokoh enam istri dan memperbaiki alur pengungkapan misteri.
“Jadi editing tinggal menunggu draf revisi Mbak Dewi, guys.”
Kak Felice melirik ke arahku, mengisyaratkan agar aku mengambil alih. Dengan keinginan untuk memperbaiki kesalahanku tadi, aku langsung melanjutkan editorial progress naskah. “Eh…Saya lanjutkan, untuk proses selanjutnya setelah ini…” Aku berusaha melihat ulang catatan di notebook putihku, tapi aku tetap tidak menemukan catatan rapat dengan Kak Felice dan Fandi Jumat lalu. “Sebentar, seingat saya… Naskah akan dilanjutkan ke tim copy editor untuk proofread, setelah itu akan kami evaluasi ulang konsep cerita dan plotting cerita lagi.”
Aku mengakhiri kalimatku dengan ragu sebelum melirik ke arah Kak Felice di sampingku. “Sejauh ini progress sampai sana, benar kan kak?”
Kak Felice tersenyum simpul lalu mengangguk.
Aku baru saja merasa lega karena bisa mengingat hal yang harus aku paparkan. Sebelum jantungku hampir berhenti berdetak saat pernyataan dingin itu keluar dari mulut Reynaldo. “Lo terlihat ragu. Sebenarnya lo serius nggak sih menjalankan proyek ini?”
Suasana rapat yang sebelumnya canggung karena kesalahan beruntunku, sekarang berubah menjadi lebih canggung lagi.
“Rey!” tegur Kak Felice, matanya terlihat mengisyaratkan Reynaldo untuk tidak melanjutkan komentarnya.
“Almira. Gue tanya lo bukan Felice.” Aku tersentak saat suaranya semakin besar. Perlahan aku mengangkat kepalaku hingga mataku bertatapan dengannya. Matanya memicing ke arahku, ia terlihat lebih menyeramkan dari biasanya.
“Rey, sudahlah. Kesalahan kecil wajar untuk Almira yang notabene-nya pegawai baru. Kenapa lo jadi terlalu serius begini menanggapinya, sih?”
Ia memangku dagu dengan tangan kanannya, wajahnya masih terlihat kesal. “Gue hanya memastikan semua orang dalam tim ini serius mengerjakan proyek ini.” Ia melihatku dari ujung matanya, lalu melanjutkan dengan menekankan pernyataannya. “Serius bekerja di tempat ini.”
Aku terdiam menatap lurus matanya. Sebelumnya aku menganggap pernyataan menyebalkan Reynaldo sebagai ledekan ringan, bahkan aku sempat mengira ia ingin berteman denganku. Tapi saat dia meremehkan mimpiku, dia juga menorehkan luka menyakitkan dengan jarum tajam di hatiku.
“Rey, lo…” Aku menahan tangan Kak Felice sebelum ia selesai berbicara.
“Mohon maaf karena saya mencampurkan urusan pribadi dengan kantor sehingga membuat kesalahan saat rapat. Saya akan mengevaluasi diri saya sehingga di rapat selanjutnya tidak akan ada kesalahan lagi.” Aku memberi jeda perkataanku lalu beralih menatap Reynaldo. “Saya berambisi untuk membantu penulis menyampaikan pesan lewat buku mereka. Itu berarti saya sangat serius dalam mengerjakan proyek penerbitan naskah Mbak Dewi.”
Reynaldo mendengus lalu mengalihkan tatapannya ke arah lain.
“That’s okay, Ami!” celetuk Bang Ali dari ujung ruangan diikuti anggukan anggota tim lain di sebelahnya. “Manusia tempatnya salah, it’s totally normal. Lo juga sudah bisa mengakui kesalahan lo dan sudah berkomitmen untuk memperbaiki diri. Gue sama sekali nggak masalah.”
“Ali benar. Setelah ini kita belajar dari evaluasi rapat kali ini ya.”
Aku menengok ke arah mentorku lalu mengangguk.
“Oke.” Kak Felice mencakupkan kedua tangannya. “Gue rasa semua tim sudah selesai memaparkan bagian masing-masing. Sementara ini kita akan menunggu hasil akhir revisi naskah maksimal hari Kamis, di jam sepuluh pagi. Rapat selanjutnya di hari Jumat dan kita akan evaluasi mock up desain dari Ali, lalu bagian pemasaran dan promosi buku bisa share tentang gambaran kegiatan kalian. Mirah, karena pemasaran sudah menentukan budget, kamu bisa memaparkan rencana promosi dan alokasinya lebih detail lagi di rapat selanjutnya.”
Setelah semua anggota tim memahami arahan selanjutnya, rapat pun ditutup. Satu persatu keluar dari ruang rapat. Termasuk aku yang segera beranjak dari kursiku dan pergi keluar ruangan mengikuti Kak Felice.
“Ami. Perkataan Rey jangan diambil hati, ya. Mungkin suasana hatinya sedang tidak baik jadi lebih sensitif dari biasanya.”
I figured. “Saya mengerti, Kak.”
Tapi aku menyadari kejadian tadi juga tetap kesalahanku.
Saat aku merenungi kembali kejadian di hari ini, aku berpikir perkataan Reynaldo menjadi pematik ambisiku untuk memperjuangkan posisiku dan membuktikan pada semua orang bahwa aku bisa hidup dengan usahaku sendiri.
Tiba-tiba aku mendapatkan dorongan lebih kuat untuk membuktikan diriku.
Bahkan ketika Mama meneleponku lagi sebelum tidur mengabarkan kalau ia tidak bisa meyakinkan baik Tante Tari maupun Nik Ayu. Aku merasa baik-baik saja.
Karena aku sendiri yang akan membuktikan kemampuanku dan menunjukkan keseriusanku sampai mereka puas. Baik tekanan dari Tante Tari, pandangan sinis karyawan yang tidak menyukai latar belakangku, maupun Reynaldo yang mencoba bermain-main dengan amarahku lagi. Tidak ada seorang pun yang bisa menghentikanku.