Read More >>"> Fallin; At The Same Time (RASA TERPENDAM YANG SAMA) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Fallin; At The Same Time
MENU
About Us  

Masih pagi, tetapi suasana kelas 11 IPA 2 sudah sangat ricuh. Suara musik yang dimainkan dari komputer kelas bercampuran dengan suara tawa siswa-siswi yang asik mengobrol dengan satu sama lain. Valerie hanya diam, mendengarkan percakapan teman-temannya tanpa mengatakan apa pun. Sejak masih berada di rumah, dia merasakan sedikit rasa sakit di perutnya.

            Sudah 10 menit sejak bel sekolah berbunyi, tetapi batang hidung Gavin belum terlihat juga. Apa laki-laki itu tidak akan datang ke sekolah? Izin? Atau mungkin sakit? Valerie sedikit menghawatirkannya. Pesan yang dia kirimkan pada Gavin tadi pagi juga belum dibalas. Jangankan dibalas, dibaca saja belum. Valerie pun memutuskan untuk bertanya pada Atlas, yang juga sekelas dengannya.

            “Las, hari ini Gavin ga masuk?”

            “Waduh gatau ya gue.”

            “Emangnya dia ga ngomong apa-apa?” Raut wajah Valerie menunjukkan rasa cemas yang disadari oleh Atlas.

            “Engga sih. Paling juga telat doang anaknya, bentar lagi juga sampe,” Tepat setelah Atlas menyelesaikan kalimatnya, pintu kelas terbuka lebar, menunjukkan Gavin sedang yang ngos-ngosan. Laki-laki itu baru saja berlari ke kelasnya. Dia terlambat. Valerie langsung mengembuskan napas lega. Sebelum dia bisa menghampiri Gavin, ada sosok perempuan lain yang memanggil pria itu.

            “Weh Gav! Baru dateng aja lu. Udah jam berapa ini?” Kiara, gadis yang sedang duduk di pojok belakang kelas itu berteriak ke arah Gavin. Gavin terkekeh dan langsung menghampirnya.

            “Iya woi. Telat bangun gua. Jam 7 lewat 5 keknya gua baru berangkat.”

            “Anjir! Ngebut bener lu. Dari rumah lu ke sini aja 15 menit kalau ga macet.”

            Gavin dan Kiara terus berbincang sambil tertawa. Entah mengapa percakapan mereka itu membuat Valerie merasa terganggu. Gavin bahkan tak meliriknya sama sekali. Apa mungkin dia cemburu? Tidak! Valerie sangat yakin dirinya tak memiliki perasaan apa pun pada Gavin, jadi kenapa dia harus merasa cemburu?

            Perasaan gadis itu tiba-tiba menjadi kalut. Rasa sakit yang dia rasakan di perutnya pun semakin kuat. Dia memutuskan untuk duduk kembali ke tempatnya, meletakkan kepalanya di atas meja. Di tengah percakapannya dengan Kiara, Gavin melirik Valerie dan menghampirinya. Dia menyadari gadis itu terlihat tak baik-baik saja.

            “Hey. Kamu gapapa?” Ucapnya dengan suara lembut. Valerie pun mengangkat kepalanya. Wajahnya terlihat sangat pucat, membuat Gavin langsung merasa khawatir.

            “Perutku sakit…,” Valerie terus mengelus perutnya sambil memberikan sedikit tekanan, berusaha untuk menghilangkan rasa sakit yang dia rasakan.

            “Kenapa? Lagi ‘dapet’?”

            “Engga….”

            “Udah sarapan?”

            “Belum…,” Maag gadis itu kambuh. Gavin bergegas mencari obat maag di tasnya. Dia tidak memiliki maag, tetapi dia membawa obat maag untuk gadis yang sering lupa membawa obat itu.

            Tidak lama kemudian, guru matematika mereka memasuki ruangan. Karena sedang ada urusan dengan kepala sekolah dan seorang wali murid, guru itu hanya meninggalkan tugas dan langsung keluar ruangan kembali.

            Walau pun sakit di perutnya sama sekali tidak menghilang bahkan setelah meminum obat, Valerie tetap memaksakan diri untuk mengerjakan tugas yang diberikan. Teman-temannya sudah membujuknya untuk beristirahat di ruang UKS tetapi Valerie menolak. Dia memang tak suka membiarkan tugasnya begitu saja. Jika tidak dikerjakan sekarang, Valerie akan merasa malas untuk mengerjakannya nantinya.

            Lama kelamaan rasa sakit itu tak kunjung hilang, justru semakin parah. Valerie pun akhirnya memutuskan untuk pulang saja lantaran tak kuat lagi menahan rasa sakitnya. Saat itu Gavin sedang pergi ke toilet jadi Atlas lah yang menemaninya ke ruang guru dan membawakan barang-barangnya. Begitu Gavin kembali ke kelas, Valerie sudah tidak ada disana.

            “Valerie kemana?” Dia bertanya pada Asther yang sedang mengobrol dengan teman-temannya yang lain.

            “Dia pulang. Dah ga kuat katanya,” Gavin pun terkejut.

            “Terus lo ga nemenin dia ke ruang guru? Dia pergi ke sana sama siapa?”

            “Sama Atlas.”

            Gavin langsung mengepalkan tangannya ketika mendengar nama Atlas. Harus dia aku, dia merasa cemburu. Dari sekian banyak perempuan di kelas itu, kenapa harus seorang lelaki yang mengantarnya? Terlebih laki-laki itu adalah sahabat Gavin sendiri, Atlas. Tetapi bukan itu yang terpenting sekarang.

            Dia sangat menghawatirkan Valerie. Padahal tadi gadis itu bersikeras tidak mau beristirahat di UKS, sekarang dia malah pulang. Gavin bahkan tidak bisa mengirim pesan pada gadis itu untuk memastikan kondisinya. Karena datang terlambat, ponselnya disita oleh kesiswaan. Asther sempat menawarkan pada Gavin untuk menggunakan ponselnya dulu, tetapi laki-laki itu menolaknya.

            Baru saja Atlas sampai di kelas, Gavin langsung menghampirinya dan menanyakan keadaan Valerie. Rasa khawatir dan juga cemburu bercampur di hatinya. Padahal dia dan Valerie tidak memiliki hubungan apa pun, jadi tak seharusnya dia merasa begini.

            “Valerie gimana? Dia beneran pulang? Terus kok lu yang nganterin dia? Mau modus ya lu?”

            “Santai aja kali nanyanya. Baru juga balik,” Gavin mengerutkan dahinya, merasa jengkel pada temannya yang tampak santai itu. Mereka duduk di tempat masing-masing sebelum Gavin kembali melontarkan segudang pertanyaan. Atas rasa penasaran pada situasi yang menurutnya menarik ini, Asther pun menghampiri mereka.

            “Si Valerie dah dijemput orang tuanya. Katanya nanti mereka langsung ke dokter. Terus tadi gua yang nemenin karna dia sendiri yang minta.”

            “Terus lu kok ga bilang ke gua?”

            “Ye lu kan lagi di toilet dodol. Lagian ngapain gua harus laporan ke lu? Lu sama Valerie kan ga ada hubungan apa-apa,” Padahal yang dikatakan Atlas itu benar, tetapi entah mengapa Gavin menjadi kesal.

            “Napa? Lu cemburu? Ngapain cemburu anjir, kan lu sendiri yang waktu itu bilang ga punya rasa apa-apa ke Valerie.”

            “Apa nih? Lu berdua semalem ngomongin Valerie?” Sahut Asther dengan senyum jahil yang muncul di wajahnya. Pembicaraan ini semakin menarik menurutnya.

 

 

 

Kejadian di rumah Gavin beberapa hari yang lalu….

Hari sudah sangat larut, bahkan sudah lewat tengah malam. Para lelaki SMA itu masih belum kembali ke rumah mereka masing-masing. Mata mereka terpaku pada sebuah layar yang menunjukkan game sepak bola, sementara tangan mereka sibuk menekan tombol PS.

            Atlas bersorak, memamerkan kemenangannya pada teman-temannya. Noah menggerutu kesal sebelum melirik pada Gavin yang sedang fokus pada ponselnya. Pria itu sama sekali tidak memperdulikan kericuhan yang dibuat para sahabatnya. Dia justru terus menatap ponselnya sambil tersenyum sendiri seperti orang tak waras. Hal itu membuat Noah teringatkan akan satu hal yang membuatnya penasaran.

            “Lu sama Val pacaran tah? Kok bisa waktu itu dateng ke Gardenia Plaza berdua?” Noah tiba-tiba bertanya karena penasaran. Sejak saat di Gardenia plaza waktu itu, dia memang sempat memperhatikan gerak-gerik sahabat dan sepupunya itu. Mereka terlihat dekat sampai-sampai Noah curiga mereka memiliki hubungan yang lebih dari sekedar teman. Mendengar pertanyaan tiba-tibanya itu, Gavin langsung menatapnya.

            “Tiba-tiba banget jir pertanyaannya. Gua sama Valerie ga ada hubungan apa-apa. Gua cuma lagi gabut aja makanya bisa ngajakin dia.”

            “Halah! Ngomongnya doang karna gabut. Semua orang juga bisa liat kali lu lagi ngedeketin dia.” Sahut Atlas yang tak terima dengan jawaban Gavin. Dia tahu benar temannya itu sedang berbohong, tetapi Gavin masih bersikeras untuk menutupi perasaannya itu.

            “Siapa yang ngedeketin sih? Orang cuman temenan deket aja, anjir.”

            “Iya deh, terserah lu. Tapi entar kalau ada yang ngedeketin Val, ga usah curhat ke gua, lu!” Saat itu Gavin tak begitu menggubris ucapan temannya, entah karena dia belum yakin pada perasaannya sendiri atau dia hanya berusaha menutupi perasaan itu dari teman-temannya.

 

 

 

Kembali ke masa kini….

“Iya deh, iya. Gue emang suka sama Valerie,” Akhirnya laki-laki itu mengakuinya. Asther dan Atlas pun mengeluarkan senyuman puas.

            “Harus begini dulu ya baru lu ngaku. Dah gue duga sih cara ini bakal berhasil.”

            “Ha? Maksud lu?” Gavin kebingungan. Cara apa yang dimaksud temannya itu?

            “Sebenernya bukan Valerie yang minta gue buat nganterin dia. Gue sendiri yang nawarin. Lu kan cemburuan kalau suka sama orang, nah gue pikir sapa tau lu bakal ngaku suka sama dia kalau gue bikin lu cemburu.”

            “Si goblok! Ga gini juga kali!”

            “Ya abis gue greget, anjing! Lu suka kok ga mau ngaku,” melihat situasi yang tiba-tiba sedikit panas, Asther pun berusaha untuk melerai keduanya.

            “Udah, udah. Sekarang kan kita dah tau Gavin suka sama Val. Rencananya kapan nih lu mau nembak temen gue?”

            Sejujurnya Gavin sama sekali belum memikirkan hal itu. Dia sendiri tak yakin Valerie memiliki perasaan yang sama dengannya. Akhir-akhir ini gadis itu memang memperlakukannya dengan lebih ramah, tetapi bagaimana jika itu hanya karena dia mulai menganggap Gavin sebagai teman dekatnya saja? Gavin ingin memastikan dulu perasaan Valerie.

            “Nembak apanya? Gue aja ga yakin dia suka balik sama gue.”

            “Makanya lu tuh peka dikit! Emangnya lu ga liat muka Valerie pas lu lagi ngobrol sama Kia? Muka dia kek jengkel gitu.”

            Walau pun Gavin tak menyadarinya, baik Atlas mau pun Asther, sama-sama menyadari tampak cemburu yang muncul dari wajah Valerie. Jika ditanya langsung pada orangnya, Valerie pasti akan mengelaknya. Gadis itu memang tak ada bedanya dengan Gavin. Mereka sama-sama tidak mau mengakui perasaan mereka sendiri, padahal perasaan itu terlihat dengan sangat jelas.

            Selain itu, ada satu hal lagi yang membuat Asther yakin kalau Valerie juga menyukai Gavin. Dia cukup sering membicarakan laki-laki itu pada teman-temannya. Dan saat ditanya tentang perasaannya, gadis itu akan langsung mengelak dengan berkata, “aku cuman anggep Gavin temen, ga lebih.”

            Hal-hal yang diungkapkan teman-temannya itu tak sedikit pun mengurangi keraguan Gavin. Tidak mungkin Valerie menyukainya. Mereka sangat berbeda sampai terkadang Gavin merasa tak pantas menyukai gadis itu.

            Perempuan itu memiliki paras yang cantik, berkulit putih, bermata hitam yang besar, hidung mancung, dengan rambut hitam panjang yang lurus. Dia juga salah satu murid terpintar di kelasnya. Sementara laki-laki itu.... Dia tak begitu tinggi, berkulit hitam, bermata sipit, dan memiliki rambut yang ikal. Jika dibandingkan dengan Valerie soal akademik, dia masih cukup jauh tertinggal.

            Akan tetapi, Gavin tak bisa menarik dirinya sendiri untuk menjauhi Valerie. Jika saja gadis itu dengan terang-terangan menolaknya, dia pasti akan bisa menghindar. Valerie yang selalu menanggapi usahanya, membuatnya jadi sedikit berharap, walau pun perasaan tak pantas itu masih tersisa.

 

 

 

Valerie terbaring lemas di atas kasurnya. Rasa sakit yang dia rasakan di perutnya memang sudah menghilang, tergantikan oleh sebuah rasa asing yang lebih menggangunya. Bayangan sosok Gavin yang sedang mengobrol penuh tawa dengan perempuan lain itu terus terlintas di pikirannya. Perasaan cemburu yang membuat dadanya terasa sesak.

            Valerie memang selalu menyangkal perasaannya pada Gavin, bahkan pada dirinya sendiri. Jika harus benar-benar jujur, Valerie sudah jatuh hati para sosok pria yang selalu perhatian padanya itu. Hanya saja selama ini Valerie merasa takut. Bagaimana jika perlakuan spesial ini hanya perasaannya saja? Bagaimana jika tak hanya dia yang diperlakukan seperti ini oleh Gavin? Dia tak mau jatuh cinta hanya karena kesalah pahamannya sendiri. Dan melihat kejadian pagi ini, sepertinya memang seperti itu.

            Gadis itu pikir, perasaannya pada Gavin hanyalah hal yang sementara. Jika dia terus menyangkal, maka perasaan itu akan hilang, tetapi ternyata dia salah. Perasaan itu malah semakin besar hingga menimbulkan rasa cemburu. Perasaan gadis itu pun menjadi semakin kacau. Sejak tadi dia terus saja menatap layar ponselnya, berharap segera ada pesan yang dikirimkan Gavin. Satu, dua, tiga jam dia menunggu, tetapi tak kunjung muncul hal yang dia nanti-nanti itu. Dengan perasaan kesal dan sedih, Valerie memutuskan untuk tidur.

 

 

 

Bel sekolah akhirnya berbunyi. Gavin bergegas ke luar dari kelasnya dan berjalan menuju ruang kesiswaan. Dia sudah tak sabar ingin mendapatkan ponselnya kembali. Sejak pagi tadi, Gavin ingin segera menghubungi Valerie, guna mengetahui kondisi perempuan itu sekarang. Akan tetapi, tak semudah itu baginya untuk mendapatkan ponsel tercintanya itu. Dia masih harus menjalani hukuman yang diberikan pada siswa-siswi yang terlambat.

            Dia mendapat hukuman untuk menyapu di ruang guru. Ruangan itu lumayan besar, namun Gavin dapat menyelesaikan pekerjaannya dalam waktu singkat. Gesit tetapi juga bersih. Itulah salah satu hal yang membuat Gavin menjadi anak idaman ibu-ibu di komplek perumahannya. Selain itu, dia juga bisa mencuci baju dan memasak. Wanita yang menjadi istrinya kelak, pasti sangat beruntung. Segera setelah dia mendapatkan kembali ponselnya, dia mengirim pesan pada Valerie.

Gavin: Val,

Gavin: Perutnya masih sakit?

Gavin: Dah makan belum?

           Sudah 1 jam berlalu, namun gadis yang biasanya cepat dalam membalas pesan itu belum juga membalas pesan yang dikirimnya. Jangankan dibalas, dibaca saja belum. “Val lagi tidur kali ya.” Pikirnya begitu. Gavin pun berusaha untuk tak terlalu memikirkannya.

            Dia menghabiskan sorenya bermain basket dan itu berhasil mengalihkan pikirannya dari Valerie. Gavin bermain hingga lupa waktu, matahari sudah terbenam lama. Teman-teman yang bermain basket dengannya pun mulai pulang satu persatu. Dia juga seharusnya sudah pulang sekarang. Tetapi sebelum pulang, dia teringat kembali tentang Valerie.

            Dia buru-buru membuka ponselnya. Pesannya hanya dibaca saja oleh Valerie, tak dibalas. Merasa terganggu akan hal itu, Gavin teringat yang diucapkan teman-temannya. “Apa iya Valerie merasa cemburu pada Kia?”

            Tak ingin pesannya tidak dibalas lagi, Gavin memutuskan untuk menghampiri gadis itu ke rumahnya. Tetapi sebelum itu, dia pergi membeli nasi goreng yang sangat disukai Valerie. Dia pernah mengajak Valerie ke sebuah tempat makan pinggir jalan yang menjual masi goreng. Di luar dugaannya, Valerie sangat menyukai nasi goreng itu.

            Sementara itu, Valerie sedang berbaring di sofa ruang keluarga sambil memainkan ponselnya. Padahal sudah larut malam, tetapi gadis itu belum tidur juga. Dia sama sekali tak merasa mengantuk. Tiba-tiba dia mendapatkan pesan dari Gavin.

Gavin: Keluar bentar dong.

Gavin: Aku di luar.

            Valerie membulatkan matanya, terkejut. Untuk apa laki-laki ini datang ke rumahnya larut malam begini? Dia pun mengambil jaketnya dan bergegas ke luar. Benar saja, Gavin sudah menunggu di luar. Laki-laki itu memarkirkan motornya tidak langsung di depan rumah, tetapi di depan rumah kosong yang ada di samping rumah Valerie. Saat menyadari keberadaan gadis itu, Gavin langsung menghampirinya dengan senyuman tipis.

            “Ini buat kamu,” Dia menyodorkan nasi goreng yang sudah dia beli tadi.

            “Harus banget ya ngasih nasi goreng aja malem-malem gini?” Valerie menaikkan salah satu alisnya. Dia terheran-heran dengan kedatangan laki-laki ini. Akan tetapi, dia juga merasa sedikit senang. Iya sedikit, karena kebanyakan yang dia rasakan saat ini adalah rasa takut ditangkap basah oleh orang tuanya.

            “Iya, harus. Urusan aku kesini bukan cuman itu soalnya.”

            “Terus apa lagi?”

            “Ketemu kamu. Dan itu ga bisa ditunda sampe besok.”

            Bagaimana bisa Gavin mengucapkan itu dengan santainya? Dia membuat jantung Valerie hampir meledak. Perempuan itu terdiam dan wajahnya pun mulai memerah. Gavin menyadari hal itu dan terkekeh kecil.

            “Idih modus.” Ucap Valerie dengan nada kesal. Dia melayangkan pukulan pelan pada lengan laki-laki itu. Dan sebelum dia bisa menarik kembali tangannya, Gavin menggenggam tangannya dengan lembut.

            “Aku serius. Val…. Aku suka kamu.”

            Valerie terdiam. Apa dia tidak salah dengar? Gavin suka padanya? Dia menatap sepasang mata yang sudah menatapnya dengan dalam itu. Laki-laki itu serius. Dia benar-benar suka pada Valerie. Walau pun sebenarnya dia tak pernah berencana untuk mengungkapkan perasaannya, apalagi dengan cara seperti ini, ungkapan itu keluar begitu saja dari mulutnya.

            Valerie masih terus mematung. Otaknya masih butuh waktu untuk memproses kalimat yang baru saja dia dengar. Dia benar-benar tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Sementara itu jantung terus saja berdegup kencang di tengah kesunyian mereka. Gavin yang menyadari itu pun melontarkan sebuah pertanyaan.

            “Mungkin kamu bingung mau jawab apa, jadi jawab ini aja. Kamu…. Mau jadi pacar aku?”

            “Iya….”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Cinta dibalik Kebohongan
731      497     2     
Short Story
Ketika waktu itu akan datang, saat itu kita akan tau bahwa perpisahan terjadi karena adanya sebuah pertemuan. Masa lalu bagian dari kita ,awal dari sebuah kisah, awal sebuah impian. Kisahku dan dirinya dimulai karena takdir ataukah kebohongan? Semua bermula di hari itu.
Unending Love (End)
14509      1991     9     
Fantasy
Berawal dari hutang-hutang ayahnya, Elena Taylor dipaksa bekerja sebagai wanita penghibur. Disanalah ia bertemua makhluk buas yang seharusnya ada sebagai fantasi semata. Tanpa disangka makhluk buas itu menyelematkan Elena dari tempat terkutuk. Ia hanya melepaskan Elena kemudian ia tangkap kembali agar masuk dalam kehidupan makhluk buas tersebut. Lalu bagaimana kehidupan Elena di dalam dunia tanpa...
Konstelasi
741      369     1     
Fantasy
Aku takut hanya pada dua hal. Kehidupan dan Kematian.
Perihal Waktu
360      245     4     
Short Story
"Semesta tidak pernah salah mengatur sebuah pertemuan antara Kau dan Aku"
Evolution Zhurria
292      181     4     
Romance
A story about the evolution of Zhurria, where lives begin, yet never end.
Furimukeba: Saat Kulihat Kembali
398      268     2     
Short Story
Ketika kenangan pahit membelenggu jiwa dan kebahagianmu. Apa yang akan kamu lakukan? Pergi jauh dan lupakan atau hadapi dan sembuhkan? Lalu, apakah kisah itu akan berakhir dengan cara yang berbeda jika kita mengulangnya?
For One More Day
433      296     0     
Short Story
Tentang pertemuan dua orang yang telah lama berpisah, entah pertemuan itu akan menyembuhkan luka, atau malah memperdalam luka yang telah ada.
RINAI
366      262     0     
Short Story
Tentang Sam dan gadis dengan kilatan mata coklat di halte bus.
the invisible prince
1510      807     7     
Short Story
menjadi manusia memang hal yang paling didambakan bagi setiap makhluk . Itupun yang aku rasakan, sama seperti manusia serigala yang dapat berevolusi menjadi warewolf, vampir yang tiba-tiba bisa hidup dengan manusia, dan baru-baru ini masih hangat dibicarakan adalah manusia harimau .Lalu apa lagi ? adakah makhluk lain selain mereka ? Lantas aku ini disebut apa ?
Yang Terlupa
411      223     4     
Short Story
Saat terbangun dari lelap, yang aku tahu selanjutnya adalah aku telah mati.