Aku berdiri di belakang meja kasir, menatap jam dinding yang berdetak lambat. Aku merasa seolah-olah waktu berhenti bergerak. Aku ingin segera pulang dan mengurung diri di kamarku yang sempit. Aku ingin melupakan semua masalah yang menumpuk di kepalaku. Aku ingin melukis gambar-gambar indah yang bisa membuatku bahagia.
Namun, aku tidak bisa melakukan itu. Aku harus tetap bekerja di kafe ini, meskipun aku tidak suka pekerjaan ini. Aku harus mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk membayar hutangku. Aku terjerat pinjaman online yang bunganya terus membengkak. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa terjebak dalam situasi ini. Aku hanya ingin membeli alat-alat gambar yang bagus untuk meningkatkan kualitas karyaku. Aku berharap bisa menjadi seorang ilustrator sukses seperti yang aku impikan.
Tapi, mimpi itu tampaknya semakin jauh dari kenyataan. Aku tidak punya waktu untuk menggambar lagi. Aku harus bekerja dari pagi sampai malam, melayani pelanggan-pelanggan kafe yang kadang-kadang kasar dan sombong. Aku harus menahan emosi dan senyum palsu, meskipun aku merasa tersakiti dan marah. Aku harus bersabar dan sabar lagi, meskipun aku merasa lelah dan frustasi.
Dan yang paling aku takuti adalah debt collector. Mereka sering menghubungi dan mengancamku. Mereka bilang kalau aku tidak segera membayar hutangku, mereka akan datang ke rumahku dan menyita barang-barangku. Mereka bahkan mengancam akan menyakiti tubuhku atau keluargaku. Aku merasa ketakutan setiap kali mendengar suara mereka di telepon.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku merasa terjebak dalam lingkaran setan yang tidak ada jalan keluarnya. Aku merasa hidupku tidak ada artinya lagi. Aku merasa tidak ada harapan lagi.
Aku menundukkan kepala dan meneteskan air mata. Aku berdoa kepada Tuhan agar memberikan keajaiban. Aku berdoa agar ada seseorang yang bisa menyelamatkanku dari kesengsaraan ini.
Aku tidak tahu apakah doaku akan terjawab dalam waktu dekat, dalam hidupku saat ini atau nanti di kehidupan selanjutnya.
Aku melihat jam tanganku dan menyadari bahwa sudah hampir jam sepuluh malam. Kafe sudah tutup dan semua pelanggan sudah pergi. Hanya tersisa aku dan beberapa rekan kerjaku yang sedang membersihkan tempat kerja kami. Aku ingin cepat-cepat pulang, tetapi aku masih menunggu bosku datang.
Aku ingin meminta uang gaji bulan ini dan sebelumnya yang belum dibayar. Sudah dua bulan aku bekerja tanpa mendapat gaji sama sekali. Bosku selalu beralasan bahwa ia sedang mengalami kesulitan keuangan dan meminta kami untuk bersabar. Tetapi, aku tidak bisa bersabar lagi. Aku butuh uang sekarang juga untuk membayar hutangku.
Aku melihat bosku masuk ke kafe dengan langkah gontai dan wajah muram. Ia mengenakan setelan jas hitam yang tampak mahal, tetapi juga kusut dan kotor. Ia membawa tas kulit cokelat yang besar di tangannya.
Aku segera mendekatinya dengan harapan besar di mataku.
"Pak, maaf mengganggu, tapi boleh saya bicara sebentar?" tanyaku dengan sopan.
Bosku menoleh ke arahku dengan ekspresi datar.
"Apa sih? Cepat saja, saya tidak punya banyak waktu," jawabnya dengan ketus.
"Pak, saya belum menerima uang gaji saya bulan ini," kataku dengan sedikit gemetar.
Bosku mengernyitkan dahinya dan menarik napas panjang.
"Iya nanti saya kirim, gak sabaran amat sih," ujarnya dengan nada tinggi.
"Tapi, Pak, saya sudah bekerja keras selama dua bulan tanpa digaji. Saya butuh uang untuk membayar hutang saya. Saya terancam oleh debt collector. Tolong, Pak, kasihani saya," rayuku dengan nada memelas.
Bosku menggelengkan kepalanya dan menghela napas.
"Iya nanti saya kirim uangnya, nunggu sebentar apa susahnya?”
Aku merasa kecewa dan marah mendengar perkataannya.
Tetapi, sepertinya ia tidak ingin berhenti bicara dan terus mengoceh.
“Kenapa matamu gitu? Gak suka? Kamu ngajak berantem? Harusnya kamu beruntung aku memberimu tempat kerja. Kamu gak tahu ya seberapa beruntungnya kamu? Kamu tuh gak punya pengalaman kerja, kalau di luar sana kamu kayak ini pasti kamu dimarahin karena urusan sekecil apapun, itu yang namanya dunia kerja.”
Tepat, kalau sudah mulai mengoceh, bisa seperti pembina upacara yang terus mengoceh.
“Aku ini ngasih tahu pelajaran hidup yang berharga, seharusnya kamu belajar. Gak akan ada yang ngajarin kamu kayak gini, harusnya kamu berterima kasih padaku. Sudah, sana kembali bekerja.”
Ia hanya mau membayar gaji satu bulan, padahal aku berhak mendapat dua bulan gaji. Ia bilang ia sedang kesulitan keuangan, padahal ia masih bisa memakai pakaian dan tas yang mahal. Ia bilang aku harus ikhlas, padahal ia tidak menghargai kerja kerasku.
Aku ingin protes dan menuntut hakku, tetapi aku tidak berani. Aku takut ia akan marah dan memecatku. Aku takut aku tidak akan mendapat pekerjaan lagi. Aku takut aku tidak akan bisa membayar hutangku.
Aku hanya bisa mengambil uang yang ia berikan dengan tangan gemetar. Aku menghitungnya dengan cepat dan menyadari bahwa jumlahnya tidak cukup untuk melunasi hutangku. Aku masih harus mencari uang tambahan dari sumber lain.
Aku mengucapkan terima kasih dengan suara parau dan berbalik untuk pergi.
Aku merasa putus asa dan hancur.
Aku merasa tidak ada yang peduli padaku atau mau membantuku.
Aku merasa sendirian di dunia ini.