Denting lonceng terdengar cukup keras membuat lamunanku tentangnya pecah. Hujan masih bertahan di luar. Tak memberikan kesempatan bintang untuk muncul sejenak.
“Bos, ayo kita tutup café ini, aku sudah membersihkan dapur,” ujar salah satu pekerja paruh waktuku. Dia yang paling aku suka karena sangat pekerja keras. Selalu merapikan banyak hal dan pulang terakhir. Anak yang sangat ceria.
“Baiklah,” balasku dengan senyum tanda aku puas dengan pekerjaannya.
Denting lonceng yang memekakkan telinga itulah yang selalu mengingatkanku untuk segera menutup café ini. Tidak pernah terlambat untuk berdentang. Tepat pukul 08.00 malam. Aku segera beranjak mengambil tasku. Kamipun segera mengunci seluruh pintu. Pada pintu terakhir, aku menyimpan kuncinya. Hanya aku yang memiliki kunci café ini. Bukan masalah aku tidak bisa mempercayai seseorang. Aku hanya sedang menuntut diri sendiri untuk datang paling awal.
“Bos, aku besok akan datang terlambat. Aku harus ujian,” ujar pekerja paruh waktuku, yang membuyarkan lamunanku.
“Tak apa Ran, sukses untuk ujianmu. Oh iya ini untukmu.” Aku memberinya vitamin.
“Jangan sampai sakit.”
“Siap Bos.” Ujarnya dengan sikap tangan hormat. Aku tersenyum dan membelai kepalanya.
“Pulanglah, hari sudah gelap. Jangan mampir kemana-mana ya Ran.”
Dia segera beranjak pergi sembari melambaikan tangan dan mengenakan mantelnya. Tubuh Ran selalu menghilang di balik tikungan itu. Tikungan yang sama yang selalu menelan lelaki 07.50 malam. Jalan yang kini mulai ku hafal. Kota ini, kota yang tidak terlalu besar tetapi cukup aman. Sehingga aku tak pernah takut pulang sendirian. Sampai, kejadian itu terjadi.