“Bagaimana tadi latihannya? Sulit nggak?” Tanya Mbak Fara kepada Zahra saat melangkah menuju depan rumah secara beriringan sementara di belakang mereka teman-teman juga kakak kelas 12 asyik mengobrol santai menuju ke arah yang sama dengan Zahra dan Mbak Fara, sambil tersenyum kecil Zahra menjawab,”Lumayan, Mbak? Latihan tadi benar-benar tidak berat, hanya saja sepertinya aku harus latihan otot di bagian lengan agar bisa narik tali busur. Rasanya kram?”
“Saran Mbak, kamu harus lakukan Push Up sebagai pemanasan dan selain itu hanya fokus meningkatan konsentrasi saat menembakkan anak panah!” Timpal Mbak Fara memberi wejangan, namun sedetik kemudian ekspresi Mbak Fara berubah tanpa sepengetahuan Zahra. Sementara Zahra memilih sibuk dengan pikirannya sendiri, saat keluar dan di sambut dengan ramainya siswa yang baru saja selesai latihan barulah Zahra berseru.
“Oh iya, Mbak!” gadis di sebelahnya menoleh ke arah Zahra,”Mbak tahu toko panahan yang Mas Rayan katakan tadi nggak?”
“Toko panahan yang di maksud Mas Rayan!” Beo Mbak Fara. Zahra mengangguk, Mbak Fara berpikir sejenak sebelum akhirnya tahu apa yang di maksud Zahra dan setelah itu menjawab,”Oh toko itu? Mbak tahu letaknya dimana namun Mbak lupa naman jalannya. Kebetulan Mbak mau kesana buat beli Arm Guard karena punya Mbak sudah rusak, kau mau mencoba pergi ke sana bersamaku!” Ajak Mbak Fara.
Mata Zahra melebar serta raut wajahnya berubah antusias,”Benarkah, saya mau ikut, Mbak! Sebentar saya mau izin sebentar ke Ibu!” gadis itu lantas menurunkan tali bagian kanan lalu memindahkan tas tersebut ke depan dada kemudian merogohnya guna mengambil ponsel dan setelah itu mengetik pesan singkat lalu mengirimnya, secara bersamaan seseorang tiba-tiba menekan dan mendorong kedua bahu Zahra membuat sang pemilik bahu tersebut hampir saja menjatuhkan ponsel di tangannya. Sontak Zahra langsung menoleh dan mendapati Rayla yang menatap senyum jahil ke arahnya dan melihat Rayla memakai seragam olahraga.
“Halo, Rayla!” Sapa Mbak Fara ramah.
“Halo juga, Mbak Fara! Ada apa ini? Kok serius amat?” Tanya Rayla penasaran saat melihat Zahra di sampingnya memasukkan ponselnya ke dalam tas lalu meletakkan tali tersebut ke bahunya seperti semula.
“Si Zahra mau ikut denganku ke toko panahan dan dia baru saja minta izin kepada Ibunya?” Jawab Mbak Fara mewakili dan setelah itu beralih ke Zahra.”Bagaimana?”
Baru saja Mbak Fara bertanya suara notifikasi dari ponsel Zahra berbunyi dalam tas, gadis itu kembali menurunkan tali bagian kanan dan menarik tas itu ke depan kemudian merogoh mengambil ponsel lalu membuka pesan,”Sudah di izinin, kau mau ikut nggak, Rayla!” Ajak Zahra kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Rayla langsung menggeleng kepala,”Tidak terima kasih, aku ingin cepat pulang dan mandi! Kalau begitu aku duluan ya, Assalammualaikum!” Tolak Rayla seraya pamit setelah itu pergi meninggakan Zahra dan Mbak Fara. Sepeninggal Rayla dua gadis remaja itu segera pergi ke sekolah untuk mengambil sepeda motor milik Mbak Fara kemudian pergi ke kota, sepanjang perjalanan menelusuri jalan kota Yogyakarta bersama kendaraan lain Zahra sedikit takut ketahuann polisi lalu lintas karena tidak memakai helm dan menilang motor Mbak Fara tiap kali berhenti saat lampu merah menyala, namun perasaan takut itu langsung sirna sat motor yang Mbak Fara kendarai belok dan berhenti di depan salah satu ruko yang terlihat jelas memajang papan target di balik kaca toko. Setelah turun Zahra melangkah masuk ke dalam toko tersebut mengikuti Mbak Fara yang di sambut dengan pemandangan beragam jenis peralatan panahan yang tidak Zahra ketahui nama dan fungsinya di toko itu, bahkan kedua matanya menyapu tiap sudut juga rak yang memajang aksesoris panahan membuat gadis itu tidak sadar kalau Mbak Fara meninggalkannya pergi ke rak sebelah. Barulah gadis itu sadar saat Mbak Fara memanggil namanya lalu menghampirinya.
“Mbak, ini namanya apa?” Tanya Zahra polos tapi penasaran sembari nunjuk ke sebuah benda yang berbentuk seperti huruf “T” terbungkus plastik yang di gantung, melihat arah di tunjuk Zahra Mbak Fara langsung menjawab,”Oh itu namanya ‘Sight’, itu berfungsi untuk mendapat bidikan yang lebih akurat! Benda itu bisa dipasang di Limb Standarbow dan Recuvebow?” Jawab Mbak Fara menjelaskan. Zahra beroh panjang mendengar penjelasan lalu matanya melihat harga benda itu yang seharga empat puluh ribuan sebelum akhirnya pergi mengikuti Mbak Fara mencari benda yang di butuhkan. Setelah berhasil menemukannya gadis itu langsung menunjukkannya kepada Zahra Arm Guard yang dia maksud serta menjelaskan kegunaannya membuat Zahra mulai paham dan tahu, selain itu ia juga tahu harga benda itu yang terdengar cukup murah. Lantas Mbak Fara dan Zahra segera pergi ke meja kasir untuk membayar Arm Guard. Namun pandangannya langsung jatuh pada beberapa busur yang terpajang di sebelah petugas, tetapi yang menjadi perhatian Zahra adalah busur yang memiliki roda kecil di kedua ujung busur serta dua tali yang mengikat di kedua ujung tersebut. Penasaran dengan bentuk busur itu yang lain dari busur lainnya Zahra bertanya kepada sang petugas kasir.
“Mas, saya mau nanya, itu busur apa? Kenapa bentuknya lain dengan busur lainnya?” Tanya Zahra sopan sambil nunjuk ke arah busur yang di lihatnya. Mbak Fara dan lelaki petugas kasir itu langsung menoleh ke arah Zahra setelah itu berpaling ke arah yang gadis itu tunjuk kemudian laki-laki tersebut menjawab,”Itu busur Combadbow, harganya sebelas juta rupiah?” Jawabnya.
Mata Zahra seketika terbelalak ketika tahu harga busur itu, jika di pikir harga segitu bisa melunasi utang Ayah yang sengaja di tinggalkan kepada Ibu juga dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari yang selalu pas-pasan. Setelah bayar Mbak Fara lantas mengajak Zahra untuk pulang, setelah memberitahu alamat rumahnya Mbak Fara dengan baik hati mengantar Zahra pulang. Sekali lagi perasaan takut itu muncul sepanjang perjalanan dan perasaan itu kembali lenyap saat bisa melihat rumahnya sudah hampir dekat, setelah turun Mbak Fara langsung pamit lalu pergi Zahra segera masuk melewati halaman rumah seraya mengucap salam kemudian duduk di teras rumah melepas sepatu yang sejak tadi melekat di kakinya. Merasa sangat lelah serta keringat sudah membasahi tubuhnya membuat Zahra ingin cepat-cepat mandi dan istirahat, baru saja Zahra hendak menaiki anak tangga tiba-tiba dari arah dapur terdengar suara panci jatuh serta gelas pecah membuat Zahra kaget kemudian buru-buru pergi ke dapur untuk mengetahui apa yang sudah terjadi.
“IBU!!” Pekik Zahra kaget setibanya di dapur dan melihat tubuh Ibu yang tergeletak di lantai dapur, dengan perasaan syok dan takut gadis itu langsung menghampiri tubuh paruh baya itu lalu mencoba meluruskan posisi tubuh Ibu yang sedikit meringkuk.
“Lho Ibu kenapa?” Tanya Fani tiba-tiba ada di belakang Zahra dan tampak terpaku melihat pemandangan di hadapannya, sontak Zahra menoleh lalu berseru,”Fani, tolong panggil Bu Ani dan Pak Radit kesini! Ini darurat!” Titah Zahra serius. Seolah paham apa yang Kakaknya suruh, anak laki-laki itu langsung balik badan dan segera menghilang untuk memanggil bantuan.
****
Malam sudah larut di sertai suasana sekitar rumah Zahra terasa tentram, sayangnya suasana itu berbanding terbalik dengan hati Zahra yang sangat khawatir sekaligus takut saat melihat kondisi Ibu tadi sore di puskesmas terdekat. Kata dokter Ibu hanya mengalami kelelahan serta terlalu banyak pikiran membuat wanita itu pingsan akibat darah rendah usai di periksa, setelah Ibu sadar dan sempat di tawar untuk opname di puskesmas wanita itu langsung menolak dan memilih untuk di rawat di rumah saja. Walau sudah memaksa Ibu untuk menuruti perkataan dari Sang dokter Ibu tetap menolak sehingga terpaksa memberikan tiga obat serta dengan catatan Ibu harus banyak istirahat, walau sekarang Ibu sudah minum obat dan istirahat kini Zahra yang banyak pikiran mencari cara supaya bisa mengurangi beban Ibu sebagai tulang punggung keluarga dan saat ini Zahra tengah sibuk mencari lowongan pekerjaan di sosial media yang bisa ia lakukan sebagai seorang pelajar, dua jam kemudian Zahra memutuskan untuk mematikan ponselnya lalu meletakkannya di atas meja belajar sembari membuang napas lelah. Sadar sulitnya mencari pekerjaan membuat gadis itu memutuskan untuk menyampingkan pikiran itu kemudian meraih tas sekolahnya yang tergeletak bisu di samping bawah meja belajar lalu mengambil buku LKS serta tiga buku lainnya saat teringat ada tugas yang harus di kerjakan. Akan tetapi, baru berjalan 10 menit dalam mengerjakan tugas tiba-tiba suara dering telepon berhasil memecah konsentrasinya di tambah dengan suasana di dalam kamarnya yang hening membuat volume dering tersebut terdengar sangat nyaring, sebelum menerima telepon Zahra melihat nama Aura yang terpampang jelas di layar ponselnya lengkap dengan foto profil memakai pakaian terbuka. Tanpa pikir panjang Zahra menekan tombol merah setelah itu menghapus nomor Aura dari kontak ponselnya, usai menghapus nomor itu Zahra kembali mengerjakan tugasnya seraya mendengus ketika kembali teringat kalimat dusta yang Aura katakan sepulang sekolah, padahal dia dan Jasmine sendiri yang sebenarnya memalak uangnya dan selalu memaksanya untuk pergi ke mall bersama mereka berdua juga menjadi pembantu membawa banyak belanjaan berisi pakaian mahal serta kosmetik yang semuanya berasal dari uangnya sendiri. Lelah secara pikiran dan fisik gadis itu memutuskan untuk menyelesaikan satu tugas saja sedangkan tugas yang lain di selesaikan besok, usai mengerjakan tugas Geografi Zahra langsung berdiri dari kursi meja belajarnya kemudian pindah ke atas tempat tidur dan rebahan disana. Baru saja rebahan tiba-tiba pintu kamarnya di buka lebar oleh Fani dan berdiri di depan pintu seraya berkata.
“Mbak Zahra, Ibu minta di belikan sate kambing!” Ucap Fani. Zahra yang menoleh ke arah adiknya itu lantas bangun sembari menjawab, setelah adiknya pergi Zahra segera mengambil jilbab berwarna putih tulang dan jaket tipis serta dompet juga ponsel yang ia masukkan ke dalam saku jaket—yang memiliki resleting, setelah semua sudah siap barulah gadis itu keluar menuju garasi dan pergi.
Mengendarai sepeda kesayangannya menelusuri jalan perumahan menuju jalan besar yang mengarah ke pusat kota Zahra mengayuh sepedanya memakai sandal jepit sedangkan rok panjang serta jaket putihnya berkibar-kibar akibat tiupan angin malam juga kecepatan sepedanya di iringi deretan lampu penerang jalan khas Yogyakarta, setelah mencari sembari menelusuri area pertokoan gadis itu akhirnya berhasil menemukan pedagang kaki lima yang menjual sate kambing dan sate ayam yang berada di samping toko elektronik, lantas Zahra langsung menepikan sepedanya lalu turun dan menstandarkan sepedanya kemudian menghampiri pedagang tersebut yang tengah melayani seorang pembeli. Namun baru Zahra sampai ia di buat terkejut saat melihat Mas Indra ada di sana memakai kaos merah serta memakai jaket cokelat tua, selain itu Mas Indra memakai topi dengan warna yang senada dengan warna jaket. Pemuda itu juga ikut terkejut ketika melihat Zahra dan lebih memilih untuk melihat arah yang lain, merasa canggung Zahra berniat menyapa kakak kelasnya itu namun sayangnya suaranya tidak mau keluar dari mulutnya hingga akhirnya gadis itu memilih untuk melihat sate yang sedang di bakar oleh pria tua itu dengan mengkipasi api dari arang agar tetap nyala. Tanpa Zahra sadari Mas Indra diam-diam memerhatikannya saat gadis itu sibuk memandang sate bakar tersebut, merasa sudah cukup matang pria tua itu segera memindahkan beberapa tusuk sate yang sudah di bakar ke atas kertas minyak yang telah di beri lembaran daun pisang lalu menyiraminya dengan saus kacang dan kecap kemudian membungkusnya serta memasukkannya ke dalam kantung plastik hitam setelah itu memberikannya kepada Mas Indra.
“Ini Mas, totalnya tiga puluh ribu rupiah!” Kata pria tua tersebut. Pemuda itu tidak mengatakan apa-apa dan langsung mengeluarkan dua lembar uang dari dompetnya lalu memberikannya kepada pria tersebut dan menerima kantung tersebut setelah itu balik badan dan menghampiri sepeda motornya kemudian pergi menjauh. Melihat kakak kelasnya sudah pergi Zahra segera memesan sebelum kedahuluan orang lain yang kebetulan jalan menuju ke tempatnya berada, sambil menunggu pesanannya jadi Zahra mencoba memikirkan solusinya sebelum akhirnya buyar dengan bayangan wajah Mas Indra yang terkejut tadi serta punggung tegapnya itu saat pergi menjauh. Sontak gadis itu menggeleng kepalanya pelan menghilangkan wajah kakak kelasnya dari ingatannya kemudian menghela napas sebelum akhirnya ia segera mengeluarkan dompet dari saku jaketnya saat melihat pesanannya sudah mau di bungkus oleh pria tua itu, setelah bayar gadis itu kembali menghampiri sepeda kesayangannya kemudian pulang ke rumah membelah malam yang bergelantungan di langit Yogyakarta.