Terima kasih adalah kalimat yang muncul dalam batin untuk diriku sendiri atas keputusan memakai masker. Kusadari sepenuh hati bahwa Allah memberikan wajah yang sangat ekspresif padaku, sehingga begitu sering aku tidak dapat menyembunyikan raut kecewa maupun tak senang. Oleh karena itu, aku hanya berani memandang Farzan sebentar sebelum menunduk menatap monitor untuk membuat notulensi.
"Wah, langsungan dari rumah, Mas?"
"Iya, Ren. Sampai rumah habis beberes langsung otw sini," jawab Farzan, kemudian tampak dari ekor mataku dia menyapu isi ruangan dan melanjutkan, "Berarti yang akhwat kamu aja, Rin? Rajin banget."
Dalam gerakan cepat, aku menurunkan masker untuk memamerkan senyum kecut.
"Aku hadir buat notulensi sekalian mau ke direktorat," jawabku tak kalah kecut.
Walaupun ekspresi dan nada bicaraku demikian, namun tampaknya Farzan menangkap bahwa kekesalanku sekadar gurauan. Terus terang, ini bagus karena dia tidak perlu tahu sekecewa apa aku, sehingga aku masih bisa memasang wajah polos. Namun, di sisi lain, orang ini benar – benar tidak tertahankan.
Ternyata setelah menyelesaikan sambutannya, Farzan meminta izin untuk keluar sebentar. Tidak ada yang menanyakan hendak kemana dirinya, namun entah bagaimana seperti ada sesuatu yang terasa menguap. Seolah ada sudut yang mendadak luang.
Tidak ada masalah setelah kepergian Farzan, namun ketika sosialisasi sudah memasuki sesi penyampaian, jantungku berdebar kencang. Pasalnya, Radit langsung keluar ruangan tanpa mengatakan pergi kemana dan hanya bilang ingin ke depan mencari angin. Tindakan yang Radit lakukan tentu saja membuatku hanya berdua bersama Narendra di ruangan. Pintu hall memang terbuka, namun perasaan tidak enak ini sungguh membuat tak tenang.
Rasa ingin pergi dari ruangan menyeruak, namun jika dipikirkan kembali, Narendra akan sendiri di sini. Wah, betapa seenakdirinya aku!
"Rin, tolong panggilin Mas Radit!"
Terus terang seruan Narendra cukup mengejutkan karena tertangkap intonasi yang sedikit lebih tinggi dalam nada bicaranya. Sungguh sangat sedikit, akan tetapi bedanya sangat kentara jika mengingat betapa halus cara bicara Narendra selama mengenal dirinya di rohis. Namun, tidak ada waktu untuk memikirkan itu sekarang. Aku bergegas menemui Radit yang ternyata sedang berbaring bersama ponselnya di sofa panjang depan hall.
"Mas, bentar lagi Narendra selesai," ujarku.
.
.
.
"Hah … alhamdulillah kelar!" seruan Radit membuatku tersenyum, begitu juga Narendra, ada kelegaan tampak dari ekspresinya.
"Mas Farzan ke mana, Rin?"
"Lho aku juga nggak tau, Ren. Tadi aja cuma bilang mau keluar bentar."
Sampai berakhirnya kegiatan pun, aku masih berpikir kemana sebenarnya Farzan pergi karena tidak juga kembali. Untuk urusan apapun, bukankah setidaknya dia turut membersamai temannya yang mana hanya tiga orang hadir secara luring?
Kembali suasana tak nyaman memenuhi atmosfer ruangan. Membuat diri ingin segera pergi, sayangnya tidak satupun beranjak. Kami hanya membereskan perlengkapan sosialisasi tanpa obrolan sampai Narendra membuka suara menanyakan perkembangan penyusunan proposal kegiatan.
"Masih proses koreksian, Ren. Tapi, targetku pekan depan udah bisa running tanda tangan," jelasku.
"Wah, pekan depan, ya?"
Pertanyaan Narendra yang lebih tepat disebut gumaman menarik perhatian. Membuat dahiku mengernyit.
"Kenapa, Ren?"
Narendra menjelaskan bahwa pekan depan dirinya sudah kembali ke kampung halaman, jadi tidak memungkinkan untuk membubuhkan tanda tangan di lembar pengesahan proposal. Bahkan, hari ini tepat seusai sosialisasi, Narendra harus segera ke Salatiga untuk menjemput sang ibu. Setelahnya, dia akan melanjutkan perjalanan ke kampung halaman.
Aku hanya bergumam dan mengangguk pelan mendapat penjelasan Narendra. Sementara, benakku memikirkan cara untuk mengakali bagian tanda tangan. Jikalau aku menggunakan format "atas nama" hal tersebut sangat tidak dianjurkan saat kali terakhir berkonsultasi dengan bagian kesekretariatan BEM. Tampaknya, Narendra menangkap kebingungan dari rautku karena dia memintaku untuk menunggu sebentar. Terus terang, aku tidak tahu apa yang akan Narendra lakukan, bahkan ketika dirinya kembali bersama selembar kertas polos di tangan.
"Kamu bisa duplikasi tanda tanganku, nggak, Rin?" tanya Narendra mendudukkan diri tepat di hadapanku.
"Nggak bisa, Ren," jawabku sambil menggelengkan kepala.
Narendra merendahkan tubuhnya sehingga posisinya nyaris bersujud. Tangan kanan yang memegang pulpen terus bergerak menarik garis. Membuatku mau tak mau memperhatikan dengan seksama.
"Nah, kaya gini, Rin."
Kala Narendra berucap seraya mendongakkan kepala, pada saat itulah baru kusadari bahwa distansi di antara kami begitu dekat. Jikalau sebatang penggaris ukuran tigapuluh sentimeter diletakkan di tengah, sungguh benda tersebut tidak akan cukup. Sehingga artinya, jarak kami begitu dekat. Kedua pasang manik mata yang beradu memacu jantung berdetak lebih kencang, sehingga refleks aku menelan ludah.
Nervous. Sesuatu yang kurasakan saat ini dan membuat kepalaku sedikit berputar. Bisakah aku meminta bantuannya untuk memutuskan kontak mata sekarang? Pasalnya, aku tidak kuasa menoleh ataupun menunduk. Ada sesuatu yang begitu menarik di dalam sana, menakutkan namun entah mengapa candu.
"Gimana, Rin?"
Pertanyaan yang keluar dari lisan Narendra menyadarkanku. Membuatku kembali teringat bahwa dirinya sedang menunjukkan bagaimana cara tanda tangannya dibuat.
"Nggak paham, Ren, cepet banget," protesku.
Setelah mendengar perkataanku, Narendra justru terkekeh dan turut menularkan seulas senyum di bibirku.
"Ulang, ya, ulang. Aku pelan – pelan, nih, Rin," ucap Narendra.
Secara refleks, tubuhku turut menunduk memperhatikan dengan lebih fokus cara Narendra mengukir tanda tangannya sekali lagi.
"Pertama, gini, ya. Ini huruf N terus melengkung A, lanjut R terus tarik huruf E empat kali. Nah, yang kelima tarik ke atas buat huruf N. Terakhir, ambil garis di sini, coret dikit jadi huruf A di ujung," Narendra menjelaskan perlahan.
"Houu, keliatannya simpel, ya," gumamku.
"Iya, kan. Ayo, kamu coba, Rin."
Beberapa kali tertangkap oleh mataku kala Narendra mengukir senyum tipis. Membuaku mati – matian menahan bibirku agar tidak tersenyum lebih lebar dari yang Narendra lakukan. Kendalikan dirimu, Nayaka Rinka!
"Beda banget, Ren. Kurang natural lengkungannya," ucapku melihat hasil duplikasi tanda tangan Narendra yang kulakukan.
"Bisa, bisa. Pokoknya, kamu latihan lima belas menit sehari pasti udah lancar," sahut Narendra.
"Coba kamu lagi, Ren. Tapi," telunjuk kananku bergerak menunjuk salah satu hasil coretan tanda tangan Narendra, "yang kaya gini. Ini bagus proporsional dan lebar."
Narendra mengangguk beberapa kali sebelum membuat tanda tangan seperti yang kuminta. Di tengah fokus kursus duplikasi tanda tangan, Farzan justru kembali. Dari ekor mataku tertangkap sedikit keterkejutan di wajahnya.
Posisi duduk kalian terlalu dekat, Rin!
Akhirnya, aku kembali tersadar dan langsung menambah sedikit jarak dari Narendra. Beruntung, Narendra yang masih fokus membuat tanda tangan tidak menyadari tindakanku.
"Ini aja, Rin," Narendra menggunting kertas yang terdapat tiga hasil terbaik tanda tangannya, "kamu simpan buat belajar sama duplikasi tanda tanganku. Aman, pokoknya aku udah ngizinin kamu," lanjutnya.
Di luar kendali, aku justru terkekeh. Tidak tahu mengapa, tetapi tingkah laku Narendra menggelitik perutku.
"Siap, Ren. Aku simpen di casing hp, ya," ucapku.
Sesungguhnya tidak ada yang istimewa dari selembar kertas potongan dan tanda tangan. Akan tetapi, tanpa kuketahui mengapa dan bagaimana, potongan kertas tersebut menjadi lain dari sudut pandangku. Sesuatu yang sangat sederhana, sungguh, akan tetapi hal tersebut mampu membuat dadaku hangat. Debaran jantungku juga semakin keras di telinga. Bahkan dari jarak sedekat ini, sungguh, kamu nggak mendengarnya, kan, Ren?