Setelah aku merasa bahwa sesi menyendiri ini cukup, kuputuskan kembali ke posko untuk lanjut menemui pembina bersama Vega. Seharusnya, mereka sudah berangkat sekarang. Namun, ternyata mereka baru saja akan berangkat dan saat ini tengah memakai jas hujan di pelataran gedung mahasiswa.
“Ayo, Rin, ikut sekalian,” ajak Arga setelah aku turun dari posko.
“Nggak, ah, aku mau ke Pak Iwan buat ambil laporan pertanggungjawaban kemarin,” jawabku ketus.
Tidak peduli bagaimana respon mereka atas nada bicaraku yang ketus, langsung saja kuhampiri Vega yang sudah menunggu di gerbang. Fokus utamaku saat ini adalah mengambil laporan, kemudian kembali ke kos untuk mengistirahatkan kepala.
Kupikir, bahwa ini sudah selesai, namun ternyata salah. Siangnya, ketika Narendra mengirimkan dokumentasi hasil survei lokasi ke group, refleks pesannya aku reply privately. Was – was jika benar bahwa Narendra sungguh pergi survei seorang diri. Untunglah Narendra tidak melakukannya sendiri, dia sungguh pergi bersama Eden. Dan menyadari kecepatan respon Narendra, tanpa sadar membuatku mengatakan keruh di dalam kepala.
“Kalau mau marah, marah aja, Ren, nggak papa. Silakan.”
“Wkwk marah kenapa, Rin?”
Bisa – bisanya Narendra bertanya seperti itu. Pasalnya, kemarin dia sungguh terlihat geram dan gemas, tetapi justru lebih memilih menghela napas. Kemudian, sudah.
“Dilihat aku gitu banget, ya?”
Emoticon tawa di ujung kalimat membuatku refleks mengernyit. Bagaimana mungkin aku tidak sadar jika mata dan cara Narendra menyorot menunjukkan emosi yang selalu dipendam? Kemarin, dia benar – benar terasa tenang sebelum badai. Bahkan, terlalu tenang sampai rasanya begitu kesal dan sakit di saat bersamaan.
.
.
.
Mendengar suara Nadila yang memintaku untuk datang ke posko sekarang juga membuat pikiranku tidak karuan. Pasalnya, suara Nadila di seberang betul – betul suara orang menangis. Jantung berdebar kencang dengan berbagai spekulasi negatif membuat diri kian overthinking. Aku takut, jika Nadila telah mengalami hal buruk semacam tindak kejahatan atau yang lebih parah lagi pelecehan seksual seperti yang sedang panas belakangan ini.
“Rin …!”
Tangis Nadila pecah begitu aku membuka pintu posko. Tepat setelah aku mendudukkan diri di sampingnya, pelukan erat melilit diri.
“Farzan … bisa – bisanya malah pergi ke Jogja, padahal sosil MR III, tuh, besok, Rin! Astaghfirullah, mereka bahkan nggak ada yang bisa dihubungi, Rin!”
Detik itu juga, tangisku turut pecah. Amarah dan sakit hati mengingat raut menyakitkan Narendra langsung meluap. Di hadapan perempuan ini, aku meraung sejadinya. Air mata yang kupikir telah habis saat menangis di masjid kemarin, nyatanya hari ini seluruhnya keluar.
“Bisa – bisanya, mereka semua pergi. Maksudku, Mbak, Mas Farzan sama Mbak Aisya, tuh, ketua sama wakil. Belum lagi, Mas Arga, Ali, terus Nida juga, mereka itu PJ, Mbak. Padahal besok sosil dan ini Narendra survei sendiri. Mana ide dia nggak ada yang diterima, rasanya sakit banget!” raungku.
Pelukan dan usapan lembut di kepala dari Nadila justru membuat air mataku menguncur kian deras. Bertahun – tahun aku mengikuti dan menjadi panitia berbagai kegiatan, sungguh kali ini paling tidak karuan. Di dalam benakku, alasan mengapa aku menangis dan rasa sakit yang tak kunjung hilang maupun mereda selama berminggu – minggu, tidak lebih karena ini adalah kondisi kedua di mana ketuaku ditinggalkan oleh anggotanya.
Dan … orang kedua yang mengalami itu adalah Narendra. Narendra. Dia Narendra!
“Peduli amat, mau dilarang siapapun, terserah, Mbak. Aku tetep bakal ikut sosil, walaupun cuma berdua sama Narendra,” putusku dengan air mata yang masih tidak berhenti mengalir.
“Nggak boleh, Dek.”
Kekeraskepalaan Nadila membuatku gemas, pasalnya perempuan ini menangis karena hal yang kurang lebih sama denganku, akan tetapi tetap tunduk pada aturan – aturan yang merupakan larangan dan pantangan di dalam rohis. Baik, aku tahu bahwa aturan tersebut bukan sekadar aturan yang dibuat sendiri oleh organisasi rohis, namun berdasar pada syariah islam. Akan tetapi, hei!
“Mbak, sungguh, cukup sekali ketuaku ditinggal sama anggotanya kaya gini, terus sekarang? Narendra juga? Nggak, aku nggak mau. Pokoknya aku nggak mau dia sampai sosil sendiri. Banyak banget, Mbak Nad, dia terjun langsung ke lapangan karena banyak kader yang ilang – ilangan,” kekesalan di dalam dada berhasil diluapkan.
Emosi dan air mata yang sedang puasnya diluapkan, seketika terpaksa berhenti di kerongkongan. Kala pintu posko terbuka secara tiba – tiba, suasana ruangan sungguh awkward. Sosok Putri yang baru saja melangkahkan kaki ke ruangan, sontak tersentak. Aku tidak tahu bagaimana ekspresi yang dia tampilkan, pasalnya aku langsung berbalik badan agar wajah penuh air mata tidak dapat dia lihat. Satu hal yang paling kuketahui adalah obrolan singkatnya dengan Nadila ketika Putri meletakkan barang ke dalam loker divisi.
“Dek Rinka?” suara Nadila mengalun begitu lembut memanggil namaku, tampaknya dia memang lebih baik dalam mengendalikan emosi dan tangisan.
.
.
.
Ini harinya!
Semalam, tidak ada konfirmasi mengenai siapa saja yang bisa ikut sosialisasi bersama Narendra. Satu – satunya informasi pasti adalah rombongan camping sudah dalam perjalanan kembali ke Semarang semalam. Sehingga, jikalau boleh jujur, aku tidak berharap lebih bahwa akan ada panitia yang hadir di hall mahasiswa pagi ini.
Ketika sudah berada di depan hall, tampak beberapa kepala dari jendela. Benar, saat sudah di pintu masuk, hanya ada tiga panitia termasuk Narendra sendiri.
Wah, maa syaa Allah!
"Jam berapa ini, Ibu Wakil Divisi ADK?"
Aku terkekeh untuk sarkasme Radit atas keterlambatanku yang disengaja. Perkataan Radit tersebut membuat Narendra dan Nida yang semula berkutat dengan komputer mendongak. Pikiran positifku sudah berpikir hal baik, setidaknya aku bukan satu – satunya perempuan di sini. Namun, pikiran tersebut terbantah menyadari helm hitam di dekat Nida.
"Soalnya, ini aku mau pulang, Rin."
Heh?
"Kalau kamu otw sekarang, kekejar nggak acaramu?"
Justru pertanyaan itu yang meluncur dari lisanku. Ternyata, segemas apapun, nyatanya tetap tidak tega untuk marah. Takut kalau ucapanku akan melukai, karena jujur aku sangat menyadari betapa tajamnya ucapanku kala marah walaupun nada bicaraku tetaplah lembut.
"Kalau sekarang masih kekejar, Rin. Tapi, ini …" Nida melempar pandang ke Narendra sesaat sebelum kembali ke arahku.
"Nggak papa, Nid," ucap Narendra.
Aku mengangguk, kemudian berkata, "nggak papa, Nid. Kalau makin nanti, takutnya kamu malah jadi buru – buru."
"Hehhh, tapi kamu akhwat sendiri nanti," cemas Nida yang diakhiri tawa canggung.
"Halah nggak papa, Nid. Rinka nggak bakal kita apa – apain. Percaya sama kita," ucap Radit.
Nada bicara Radit memang bercanda, tetapi aku tahu dia serius. Walaupun begitu, nyatanya Nida masih tetap memasang ekspresi tak enak. Bibirnya mengukir senyum getir, bimbang untuk tetap tinggal atau segera berangkat.
"Nggak papa, Nid. Kalem aja," imbuhku tersenyum lembut.
Nida menghela napas kasar, kemudian mengeluarkan ponselnya. Dia mengaktifkan jaringan seluler dan mengatakan bahwa dirinya tetap standby jika ada apa – apa nanti.
Kepergian Nida membuatku menjadi satu – satunya perempuan di ruangan. Tak apa, kamu bisa melakukannya, Rinka!
"Mas Radit nanti tilawah, ya?" tanyaku kala Radit turut mempersiapkan laptop yang baru saja dikeluarkan dari tas.
"Nggak, Rin, Mas Radit MC, yang tilawah Eden," justru Narendra yang menjawab seraya mengatur room meeting.
"Lho Eden mana?"
"Masih tidur mungkin, orang ditelepon masih memanggil terus," sahut Radit.
Ternganga mendapatkan jawaban Radit membuatku memasang ekspresi tak habis pikir. Mengingat bahwa waktu pelaksanaan sosialisasi kurang dari seperempat jam lagi, aku memutuskan bagaimana jika Radit bertugas tilawah dan aku menjadi MC.
"Boleh, Rin, yang tugas akhwat?"
Menoleh pada Narendra, aku menjawab pelan, "boleh, Ren. Ya, gimana, daripada nggak ada."
Narendra menanggapi ucapanku dengan gumaman yang mengisyaratkan persetujuan. Kemudian, saat dia sudah kembali ke depan monitor, dia kembali bertanya mengenai sambutan ketua umum. Pasalnya, Farzan belum ada kabar sudah kembali dari Jogja atau belum.
"Kalau kepepet, nggak ada aja, Ren. Habis aku pembukaan, Mas Radit tilawah, kamu sambutan, terus lanjut aja langsung inti," putusku.
Sungguh sudah pupus harapan akan kehadiran Farzan maupun Aisya. Memang baru saja mendapat kabar bahwa rombongan camping sudah kembali pagi ini, tapi terus terang, tak ada sedikitpun asa bahwa salah satu dari mereka akan kemari. Tentu saja, bukankah mereka pasti kelelahan setelah perjalanan jauh?
Ahaha.
Akan tetapi, bukan Farzan jikalau tidak gemar membuat gebrakan maupun kejutan pada anggotanya sendiri. Tepat dua menit sebelum sosialisasi dibuka, terdengar salam dari arah pintu. Ya, tebak siapa yang muncul!
Sosok tinggi jangkung di ambang pintu mengulas senyum tanpa rasa bersalah. Astaghfirullah, rasanya aku ingin memarahi orang itu sekarang!