Macha dingin yang ada di depanku sekarang tersisa seperempat gelas lagi. Sudah hampir sejam aku menunggunya di kafe ini, di kafe depan sekolahnya. Sekolah Bina Nusantara.
Ini sudah lewat dari jamnya pulang sekolah, tumben sekali dia tak pulang tepat waktu.
Yang ku tunggu saat ini adalah Kayla, dia adalah teman semasa kecilku. Gadis manis itu selalu menemaniku dulu,
Saat kelas dua Smp aku pindah ke Singapure karena orang tuaku harus mengurus perusahaan keluarga yang berada di sana,
Seminggu sudah aku kembali lagi ke Jakarta, aku datang tanpa memberitahunya karena memang sudah hampir empat tahun tak pernah berkomunikasi dengannya.
Tapi jangan heran mengapa aku bisa dengan mudah menemukan sekolahnya, itu karena bantuan koneksi keluargaku, walaupun untuk hal yang satu itu tak semestinya bisa ku banggakan.
Anehnya dua hari yang lalu aku senggaja membuat rencana bertemu dengannya. Rencananya seakan-akan aku tak senggaja berjumpa dengannya di tempat part timenya, ya dia kerja part time di salah satu kafe yang dimiliki oleh orangtua temannya.
Seingatku dulu dia termaksud keluarga mampu, jadi untuk apa dia berkerja?
Aku memesan makan dan minum di kafe ini, dia sendiri yang menjamuku, mulai dari mencatat pesananku sampai membawakan semua pesananku. Tapi anehnya dia sama sekali tak mengenaliku, padahal wajahku tak banyak berubah begitu juga dengan wajahnya,
Dia tak mengenaliku atau dia melupakanku?
Pikiranku teralihkan kepada seorang perempuan yang keluar dari dalam sekolah, perempuan itu adalah Kayla. Perasaanku saja atau mukanya pucat dan ekspresinya wajahnya kosong,
Dia menyebrang jalan tapi pandangannya hanya lurus ke depan, ada apa dengannya? Dari arah samping sebuah mobil melaju cepat.
BRUK! Kecelakaan itu tepat ku saksikan dengan kedua mataku, orang yang ku sayangi tertabrak mobil, Kayla kecelakaan.
Sekarang di sini aku berdiri di depan UGD menunggu Kayla selesai di tanggani. Tadi setelah kejadian kecelakaan itu berlangsung aku langsung berlari ke arahnya. Memanggil ambulan adalah hal pertama yang kulakukan. Tak ku pedulikan lagi si penabrak yang kabur ntah kemana.
Seorang Dokter keluar dari UGD menghampiriku, “Kamu wali dari Kayla Dinarti?”
“Iya saya walinya, gimana keadaannya Dok?”
“Dia sudah melewati masa kritisnya, sekarang dia sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat inap.”
“Baik Dok akan saya urus,”
Setelahnya aku mengurus semuanya, aku menempatkannya di kamar Vip yang hanya ada dua pasien di ruang inapnya.
Di dalam otakku sudah ada rancana bodoh yang tersusun rapih. Ku rasa aku sudah tak waras.
Aku sekarang sedang berbaring di kasur, kasur yang tak bisa dikategorikan empuk dibandingkan kasurku. Di kasur rumah sakit, bersebelahan dengan Kayla yang belum bangun.
“Aw,” suara kecil itu mengintrupsiku bagun, apakah Kayla sudah siuman? Kusibakkan tirai yang menutupi tempat tidur Kayla.
Benar dia sudah bangun, dia tampaknya binggung.
“Kamu udah siuman?”
“Aku dimana?”
“Di rumah sakit, kamu tadi abis kecelakaan.”
Tampaknya dia benar-benar tak menggenaliku, ada apa dengannya? Dia benar-benar memandang ku seperti orang asing.
“Kamu gak kenal aku?”
Dia langsung menggeleng, benar berati dia tak menggingatku. Baiklah akan ku buat dia menggenali ku.
Esoknya aku masih tetap setia di sini, yang membuatku bingung sampai detik ini orangtua Kayla belum juga datang?
“Ehm, maaf mengganggu tapi kenapa orangtuamu belum datang? Bukannya kamu seharusnya sudah diperbolehkan pulang?”
Dia menatapku dengan seksama, pembawaannya sekarang sangat berbeda dari pada kemarin sesaat sebelum dia kecelakaan.
“Nanti sore aku akan pulang, orangtuaku datang nanti sekalian menjemputku.”
Dia mengubah posisi duduknya menjadi sepertiku, saling berhadapan duduk dengan kaki yang menyentuh lantai,
“Kamu sendiri, kapan kamu pulang? Dari yang ku amati kau sepertinya baik-baik saja?”
“Sama sepertimu aku akan pulang sore nanti, aku kesini memang bukan karena sakit kok.”
Dia mengerutkan dahinya, aku menatapnya dan menggangkat kedua bahuku pertanda pertanyaan ini takkan ku jawab,
KREK, pintu terbuka. Kulihat seorang wanita masuk, kalau tak salah dia adalah Mamahnya Kayla.
“Ya amun Kayla kamu baik-baik aja kan?”
Dia membalasnya dengan anggukan kaku, sikapnya berubah tak lagi rileks.
“Iya Mah aku udah mendingan kok.”
“Tante Maya?” wanita itu melihat ke arahku,
“Virgo? Ya ampun kamu pulang ke Jakarta dari kapan?”
Aku memasang senyuman kecil, rasanya pahit bagaimana bisa Mamahnya mengenaliku tetapi anaknya tidak, yang temanku kan anaknya bukan Mamahnya.
“Seminggu yang lalu Tan,”
“Oh kok kamu gak kabarin Tante. Kayla kamu udah tau kalau Virgo udah balik dari Singapure? Kok ga kasih tau Mamah?”
Yang ditanya hanya diam terpancar jelas dia bingung dengan situasi ini,
“Iya Tante Kayla baru tau tadi pas aku abis cek up, ini baru ngobrol-ngobrol lagi.”
Kami kompak memasang cenggiran agar Tante Maya percaya dengan kami, yang hasilnya dia malah pergi menyuruhku mengobrol lebih lama lagi bersama Kayla.
“Jadi kamu Virgo? Temennya Kayla? Kenapa kamu gak bilang dari awal?”
“Kamu yang aneh kamu gak ngenalin ku, Mukaku dan mukamu juga gak berbeda jauh dari yang dulu.”
Dia tampak menghela nafasnya, tanggannya mencari-cari ke dalam tas, dia menggambil hpya. “Tunggu sebentar,”
Aku hanya menggangguk karena aku tak tau apa yang akan dilakukannya.
Setelah berbicara berbisik-bisik dengan orang yang sedang di telefonnya, dia menyodorkan handphonenya kepadaku.
“Halo,”
“Virgo itu kamu?”
“Iya, ini sia..”
“Virgo udah lama banget aku gak ketemu kamu, kamu apa kabar? Pasti kamu mau ngasih kejutan dengan tiba-tiba muncul di depan aku?”
“Ini kamu Kay? Terus yang ada di depanku ini siapa?”
“Maaf Go selama ini aku gak kasih tau kamu aku punya kembaran, dia diurus sama Nenek Kakekku pas kita kecil.”
“Ya ampun kok bisa si kamu gak kasih tau hal sepenting ini?”
“Maaf banget Go aku punya alasan tersendiri kenapa ga kasih tau kamu, tapi kamu bisa tanya-tanya sama dia, namanya Sayla. Aku udah ngeyakinin dia supaya terbuka aja sama kamu. Jaga dia ya Go sebagai pengganti aku.”
“Iya aku jagain dia, tanpa kamu minta.” aku mengucapkanya dengan menatap lurus ke mata Sayla, yang dibalas senyum kakunya.
Setelah percakapanku tadi, aku sekarang berada di Taman Rumah Sakit bersama dengan Sayla, dia menatap lurus ke depannya,
“Jadi kamu itu temen baiknya Kayla?”
“Ya bisa dibilang kaya gitu, tapi setemen baikanya dia sama aku, dia gak pernah kasih tau dia punya kembaran.”
Dia tampak tersenyum masam, aku tak suka melihatnya tersenyum seperti itu.
“Dulu waktu kami kecil aku diurus Nenek Kakekku di Bali, sedangkan Kayla di Jakarta dengan orangtua kami,"
Ini kisah yang baru ku tau, ku kira aku mengetahui semua tentang Kayla ternyata tidak semua.
"Maaf kalau Kayla gak pernah cerita sama kamu, itu semua atas permintaanku."
Dia sepertinya bisa membaca pikiranku,
"Terus kenapa kamu di panggil Kayla sama Mamah kamu? Biodata kamu di sekolah juga biodata Kayla,"
Kali ini wajahnya lebih kecut lagi, aku benar-benar tak suka jika dia memasang wajah seperti itu.
"Orangtua kami bercerai, Kayla ikut Papah ke La aku ikut Mamah. Mamah yang depresi, gak bisa nerima perceraiannya. Dia selalu menginggatku sebagai Kayla,"
Apa itu alasan kenapa dia selalu murung, keceriannya tertutupi oleh rasa sakit yang dia alami.
"Kamu gak cape sandiwara jadi orang lain terus?"
"Jika itu yang terbaik untuk keluargaku, untuk orang yang ku sayangi aku harus bagaimana lagi?"
Dia mencoba untuk tersenyum walaupun aku tau itu adalah senyum palsu,
"Boleh aku panggil kamu Sayla? "
Dia tampak tercengang untuk beberapa saat, sebelum akhirnya dia tersenyum manis ke arahku. Senyumannya membuatku bahagia. Seperti ada sihir di dalamnya, aku ingin membuatnya selalu tersenyum seperti itu.
Rasa sakitnya tak terlihat tetapi begitu menyakitkan, aku akan mengulurkan tanganku agar kau tau aku di sini setia menjadi sandaranmu,
aku tau kau menyayangi orang-orang di sekitarmu tapi tidak dengan meninggalkan jadi dirimu sendiri.
Kau boleh mendegarkan perkataan orang lain tapi jangan karena kata-kata mereka kau menjadi orang lain,
jadilah dirimu sendiri di depanku. Kau adalah kau! Be yourself and love yourself, dengan itu hidupmu akan menjadi lebih bahagia.