Lihat tembok aja emosi. Kirain
kenapa, ternyata tamu datang. —Andira
⋇⋆✦⋆⋇
Jadwal kalau hari senin untuk kelas kami itu pasti penjaskes, hal yang kusuka kalau sudah mata pelajaran ini adalah praktik abal-abal saat gurunya tidak masuk. Serius, Pak Jamal sedang ada urusan dengan kucingnya, mungkin berak hijau lagi, dan beliau lebih memprioritaskan binatang itu daripada kami siswa-siswanya. Mungkin dibanding hewan peliharaan beliau, kami jauh lebih menjengkelkan hingga ia tidak begitu mengemukakan profesinya sebagai guru.
Tidak masalah sih, sebab bukan hal yang menyedihkan kalau Pak Jamal tidak ada. Buktinya kami berlarian ke sana ke mari dan tertawa ... namun bila waktu berpisah tlah tiba, kuingin kau ... ANJAY SLIBAW.
"Lu ngapa, Dir?" Haikal teman sefrekuensiku —dalam mencari gara-gara —kini duduk memposisikan diri di sebelahku, sambil minum, yaitu lepas meraih botol mineral yang juga memang itu adalah minuman milikku. "Biasanya lu aktif guling-guling di tengah lapangan buat ngerebut bola," katanya lagi.
Apa yang dikatakan Haikal tidak salah, tapi untuk membuat onar seperti biasa, kurasa bukan waktu yang tepat saat perut dan juga perasaanku tidak dalam kondisi stabil. Tidak tahu juga, tiba-tiba perutku terasa sedikit nyeri, padahal kalau diingat-ingat mengenai masakan Mama pagi tadi aman-aman saja kok.
"Jo kayak dapat musuh dalam selimut gak sih?" Haikal membuat pemikiranku teralih, lantaran arah bicaranya tepat tertuju pada dua sosok yang bermain dalam pembagian kelompok berbeda, maka tidak mungkin rasa-rasa asing yang menganggu bermunculan lagi di hatiku. "Apa mereka lagi bersaing buat satu cewek, Dir?" tanya Haikal lagi.
"Gak mungkin lah!" sanggahku.
"Lah ngegas lu?" balas Haikal.
"Ya maksud gue si Jo enggak mungkin suka Renata."
"Loh emang gue nyebut kalo mereka berantem gata-gara Renata?"
"Kan lu bilang ngerebutin cewek!"
"Kan cewek bukan cuma Renata doang!"
Kami sama-sama terdiam dalam perdebatan kecil itu, tetapi tampak Haikal punya bahan lagi untuk melanjutkannya. "Lu harus lihat quotes mereka berdua, anjay slibaw temanya itu loh spretetetetew!" Ucapannya membuatku mau menghantam wajah Haikal dengan kepala kambing. "Yang satu bahas cinta, terus yang satunya lagi bahas mati. Jadi kek cinta mati gak tuh?" Dan kalau sudah menggosip dengannya, aku seakan lupa dunia.
" ANDIRA BOLA!" Termasuk itu kehadiran benda bulat yang melayang cepat ke arahku, hantamannya keras sekali, mungkin karma juga sih karena sebelumnya mau menghajar wajah Haikal.
"Andira!" Aku masih mampu mendengar suara-suara yang silih berganti masuk telinga memanggil namaku, dan yang paling jelas adalah suara milik Anan. Namun, jauh dari sekedar daya telinga saja yang masih punya kemampuan minim, mataku juga samar menangkap seseorang yang tengah membawa tubuhku dalam dekapannya.
Orang itu adalah Jo.
⋇⋆✦⋆⋇
Katanya kalau kita bohong, maka kebohongan itu bisa jadi kenyataan. Terus katanya juga, sekali terjadi akan lebih parah dari apa yang dibohongi sebelumnya. Ternyata benar. Kalian ingat kalau pagi tadi aku berkata sedang datang bulan pada Mama dan Kak Novan, bukan? Itu poinnya, dan sekarang imbasnya.
Bangun-bangun dari ketidaksadaran saat jam olahraga tadi, membuat mataku buyar saat terbuka. Keren, sejarah baru di mana aku lemah dan akhirnya merasakan apa itu yang namanya pingsan. "Aduh!" Dan rasa nyeri di perutku yang memungkinkan hal ini terjadi untuk kedua kalinya.
"Sakit perut?" tanya Anan, lagipula kehadirannya tidak membuatku kaget, sebab saat mencoba menyesuaikannya diri, aku tahu kalau dia ada di sini bersama Jo juga.
"Yang kena bola kepala lu, Dir, bukan perut." Tampak Jo begitu malas melihat apa yang terjadi padaku, maklum ya, aku terlalu banyak bercanda hingga ia pikir apa yang terjadi sekarang merupakan bagian dari itu juga.
"Perut gue nyeri," kataku, seraya bangkit dan turun dari kasur.
"Ngapain lu turun? Gimana kalo perut lu meledak?!" Aku tau Anan bicara begitu agar aku diam, ia juga membuatku menepis tangannya yang sempat meraih kuat bahu kananku.
"Lihat rok gue," ujarku sedikit menunjukkan sesuatu yang membuat mereka berdua kagetnya bukan main.
"Lu berdarah, anjir!" seru Anan, "Mba UKS! Ada yang keguguran ...!"
"TOLOL!" Inginku jambak puncak kepala Anan karena ia nyaris berlari untuk menghampiri penjaga UKS. "Gue datang bulan woey lah!" kataku.
"Ngapain lu kasih lihat ke kami, Andira?" Terlihat jelas keinginan Jo yang jauh lebih besar ingin menghajarku, ia sampai menepuk jidat sebelum melepas jaket dari tubuhnya. "Pake!" katanya lagi, tapi Anan menghalangi hal itu dengan menarik lenganku agar menjauh dari Jo.
"Pake jaket gue aja!" ucapnya, pun terlihat kalau dia buru-buru melakukan hal serupa dengan apa yang dilakukan Jo tadi.
Antara kedua jaket yang berbeda warna, nyatanya itu merupakan pilihan sulit dari sekedar mau seblak atau mie ayam. Bendanya sama-sama terulur pada dua tangan berbeda, sama-sama berada tepat di depanku, sama-sama mempunyai fungsi semirip guna menutupi kebocoran sel-sel darah yang semakin lama semakin banyak ini.
Namun, nyatanya Andira memang pantas disebut gadis bodoh dan tolol, karena aku justru menarik selimut dan melilitnya di pinggang sampai mampu menutupi bagian bawah hingga ke lutut. "Gak perlu, gue pake selimut aja," ujarku.
"Andiraaaa!" Anan dan Jo berbarengan ingin menempeleng kepalaku, tapi dengan gesit kutangkis dua tangan itu dan menatap mereka satu demi satu.
"Lu yang make, tapi gue yang malu," ujar Anan masih greget, "Pake aja jaket gue!" paksanya.
Aku tetap menggeleng. "Kalo gue pake jaket lu, nanti Jo marah. Dan kalo gue pake jaket Jo, nanti lu yang marah," ucapku.
"PD banget lu!" Jo menarik selimut dari pinggangku dan mengubah posisi hingga kami berhadapan. "Buat apa Anandra marah kalo lu pake jaket gue?" tanyanya dengan mengalungkan lengan jaket di pinggang dan mengikatnya di depan perutku.
Pertanyaan itu tidak salah, tapi aku juga 'tak menduga kalau Anan kembali menarik bahuku hingga sedikit menjauh dari Jo. "Gimana kalo gue marah karena lu pake jaket Jondara?" tanyanya.
KENAPA MEREKA BERDEBAT LAGI?!
"Buat apa lu marah? Gue bukan lagi ngurus Renata." Kembali Jo menarik bahuku, lama-lama mereka jadi seperti sedang main barbie. Jatuh dari satu tangan ke tangan yang lain, untung tidak dilempar-lempar atau dilepas bagian tangan dan kakinya. "Lu bisa marah kalo gue kayak gininya sama Renata," jelasnya lagi.
"Enggak harus Renata," ujar Anan.
"Emang lu siapanya Andira?" tanya Jo.
Anan sempat diam, tapi setelah itu dia bertanya juga, "Lu siapanya Andira?"
"BODO AMAT! GUE MAKE SELIMUT AJA!" Kembali kuraih benda tipis kesayangan UKS dan membawanya pergi, aku juga tidak perduli mau penjaga ruang tersebut bilang siswi kelas sebelas IPA menjadi pencuri, tapi yang pasti, menghadapi perdebatan Anan dan Jo membuatku berpikir dua kali kecuali kalau aku ingin mencari cara agar kepala bisa migran satu minggu.
"Andiraaa! Itu selimut UKS!"
"Pinjam dulu, Bu!" Baru saja kukatakan teguran tersebut akan keluar, dan aku tidak perduli meski suara Bu Sania menggelegar tepat di depan pintu ruang UKS. Setidaknya yang kulakukan sekarang jauh lebih baik daripada mengharuskan pakai salah satu jaket di antara Anan dan Jo. Tapi kenapa ini jadi terasa rumit sekali? Ada yang mau mengantarkanku ke planet Aga Ga? Sepertinya berteman dengan Adu Du bisa membantu meredakan rasa panas di kepala dan perutku.
"Andira!"
Kalian tahu, Anan berteriak sambil menarik selimut yang melilit di pinggangku. Tepat saat keadaan lorong dipenuhi oleh penghuni sekolah yang bergegas untuk pulang, dan selanjutnya, berita tentang cairan merah seorang perempuan yang sedang halangan mampu menembus kain rok sekolah pasti akan menyebar dengan cepat.
"Aman." Seandainya Jo tidak memelukku dari belakang.
"KYYAAA KAK JONDARA PUBLIS HUBUNGAN!" Itu teriakan adik kelas, untuk beberapa saat aku masih bertahan di posisi percaya atau tidak; sadar atau tidak; merasa atau tidak. Pokoknya yang kutahu Jo diam-diam memposisikan jaket untuk menutupi bagian rok belakangku.
"Oh, jadi pacarnya Kak Jo itu Kak Andira."
"Apa 'kan gue bilang, mereka gak mungkin temenan aja."
"Terpaksa uncrush, pawangnya Kak Andira."
"Anjir, slebew!"
Aku tidak tahu maksud dari ucapan orang-orang sekitar, tapi yang pasti mereka membicarakan kami berdua. "Kita pulang." Dan Jo memberi bimbingan dari belakang dengan mendorong kedua bahuku.
"Tas gue ...."
"Ada." Serta baru kutahu kalau Jo sedang menggendong tasku di punggungnya, dengan tas miliknya juga berada di posisi depan. Jadi dalam waktu bersamaan ada dua tas yang menempel di tubuhnya muka belakang. Masalahnya, tas milikku berwarna merah muda, sangat tidak layak kalau berada dalam genggaman tangan laki-laki tersebut. "Udah gue bilang pake jaket gue aja, kenapa lu gak mau nurut lagi sekarang, Dir?" tanyanya.
Sebenarnya aku juga tidak begitu mengerti kenapa sekarang sedikit membangkang dengan Jo, padahal dulu kalau kata Jo A ya berarti A, terus kalau Z berarti Z. "Gue cuma enggak mau lu sama Anan ber ... Anan mana?" Sayangnya aku baru sadar kalau keberadaan Anan tidak begitu terasa sekarang.
"Bisa-bisanya lu mikirin Anan setelah dia nyaris bikin lu malu di depan umum," ujar Jo, "Dia udah lancang sama lu tadi, Dir. Bayangkan kalo sampe semua orang tau lu lagi bocor?"
Anan memang berlebihan, tapi hatiku sedikit tidak terima Jo mengatakan kalau dia orang yang 'tak sopan dan lancang.
Tbc;