Tim yang kalo marah
sukanya diemin semua
orang. —Andira
⋇⋆✦⋆⋇
Sebesar-besarnya perdebatan yang pernah kulihat, tidak ada yang bisa menandingi amukan antara dua gadis ketika memperebutkan satu laki-laki untuk dimiliki. Itu pernah dilakukan oleh adik kelas kami, pagi-pagi sekali, cukup membuat Jo pusing mengurusinya sebagai ketua OSIS. Kebetulannya adalah, kami berdua lagi sama-sama balik dari kantin, lalu teriakan yang bersahut dengan segerombolan orang di dalam sebuah ruangan memaksa kami memeriksa apa yang terjadi.
"BISA GAK SIH LU JANGAN IKUT-IKUT BUAT SUKA SAMA KAK JONDARA?"
Itu kalimat pertama yang kami dengar hingga kulirik Jo yang ternyata melakukan hal semirip denganku, perebutan tidak berfaedah adalah bagaimana mereka menjatuhkannya pada sesuatu yang belum dimiliki. Aku mau tertawa, tapi tentu bisa dianggap gila sendirian karena orang-orang pada serius.
"Bukannya gue yang pertama bilang suka Kak Jo, masa lu gak bisa menangkap ciri-ciri yang gue bilang? Pelakor dasar!"
"Lu bukan siapa-siapa Kak Jondara!"
"LU JUGA BUKAN SIAPA-SIAPANYA! JABLAY!"
Saat itu, mungkin cara mereka saling menghajar bisa dijiplak untuk aksi melawan penjahat. Akan tetapi, yang tidak dapat kutahan lagi karena memiliki selera humor seperti sampah.
LAGIAN JONDARA JADI MASALAH UTAMANYA SIH.
Karena itulah, kumencoba untuk memisahkan diri sebab tidak mau sampai pecah tawa, dan kutitipkan cerita di mana Jo akan menyelesaikan masalah tanpa kudamping. Meski dibayar untuk jangan tertawa saat menontoni mereka, aku lebih memilih dibayar tahan tawa melihat celana dalam Jo yang terdampar di tanah karena Bunda Yohana buru-buru mengambil pakaiannya dibandingkan yang ini.
Sungguh, anak-anak muda zaman sekarang berkelahinya aneh sekali, itu terlihat seakan Jo sudah menyelingkuhi mereka berdua. Kejadiannya kuanggap jadi bagian perpecahan membahana dalam sebuah hubungan pertemanan. Mereka berbalas dalam hal menyakiti, mengeluarkan kata-kata tidak pantas untuk saling menjatuhkan, ingin menujukkan diri di hadapan orang banyak biar dipandang paling jago. Padahal, hal itu hanya akan membuat jarak mereka dengan Jo semakin jauh.
"Sepopuler itu gue." Dengan sombongnya dia bilang begitu padaku, meski tak dipungkiri jikalau ucapannya memang serealistis itu jika sudah berada di sekolah.
Namun aku juga tidak tahu kenapa setelah kejadian itu, para adik kelas tidak ada yang mau mengejar Jo lagi, bahkan saat kulihat gerak-gerik mereka yang lebih menunjukkan sikap menghormati, sempat membuatku berpikir seakan Jo sudah punya pawang. Mungkin kepala mereka ditempeleng hingga yang lain iku menjadi jera, atau lebih parah Jo memberi ancaman melapor ke polisi kalau ada yang berkelahi dalam permasalahan yang sama.
Entahlah, sebab Jo sering melakukan dua opsi itu kepadaku, tapi iya sudahlah. Toh setelahnya, tidak pernah kulihat kejadian serupa selain daripada yang terjadi di pelataran rumah Jo sore tadi, itu adalah perkelahian mematikan yang kulihat untuk kedua kalinya. Masa di mana Jondara dan Anandra saling beradu argumen, meski mereka tidak sampai main fisik, tapi auranya jauh lebih dalam dan terasa menakutkan dari sekedar perdebatan yang kuceritakan di atas.
"Lu seakan enggak sadar kalo udah terbiasa sama Andira, bahkan lu tetap bertahan buat bareng dia terus. Padahal gue, sahabat kecilnya udah datang dan kembali. Apa lu gak bisa peka sedikit tentang hal itu? Enggak, 'kan? Karena lu suka sama dia!"
Aku tidak tahu tuduhan macam apa itu, tapi sepertinya Anan tetap tidak mengerti meski sudah kuajak bicara sebelumnya. Begini, Jo itu mau berteman sama dia, tapi masalahnya terlalu gengsi, dan Anan selalu membuat masalah yang membuat rasa itu semakin besar. Kurasa justru saudara Anandra inilah yang tidak peka akan keinginan kecil itu, ingin rasanya kupukul kepalanya menggunakan tai ayam.
"Gue cuma gak mau biarin lu sama Andira doang. Lu mau tau alasannya? Karena lu pasti bakal nyakitin dia, dengan omongan-omongan pedas yang terlalu jujur. Bahkan dengan memuji Renata di depan dia, hal itu udah buktiin kalo lu ngerendahin sahabat lu sendiri. Tentang fisik, tentang sesuatu yang bisa dipamerkan ke dunia dengan bangga, tentang cara lu menggambarkan betapa terjaganya si Renata itu." Aku tahu maksud Jo baik, tapi sebenarnya meski Anan akan begitu, aku akan tetap baik-baik saja.
"Kenapa lu ngerendahin cewek gue? Lagian emang bener, 'kan? Renata itu cantik, dia enggak mau terlalu kotor. Enggak kayak Andira yang bisa guling-guling sembarangan di tanah, lantas kenapa enggak kalo gue bangga-banggain Renata di depan kalian? Emang lu masalah dengan hal itu, Dir?" Anan bertanya, ia bahkan merasa yakin kalau jawabanku akan membela dirinya.
Padahal ketimbang mengarah ke situ, aku lebih ke demi menjaga perasaanku sendiri yang semakin hancur, pun untuk menjaga suasana agar tidak semakin menjadi-jadi. "Gue gak masalah karena gue emang cuma tampil seadanya, lagian siapa juga yang bakal perhatiin gue? Jadi buat apa harus cantik-cantik?"
Itulah yang kujawab sambil bersiap untuk pulang, aku tidak mau mendengar ocehan mereka lagi, entah siapa yang salah atau benar. Hanya saja, aku tidak mampu untuk mendengar hal yang lebih. Rasanya masih tidak begitu percaya mengenai Anan yang terlalu emosional hingga sedikit merendahkanku.
Ya, hati dan pikiranku masih mencoba untuk menganggapnya sebagai masalah sepele. Sangat sepele.
"Lu bakal nyesel karena terlalu muji-muji Renata yang speknya kek bidadari itu." Samar-samar kudengar Jo mengancam, dan hal itu membuat kakiku berlari kencang hingga tidak sadar kalau sebelah sendal yang kupakai adalah milik Jo.
DASAR TOLOL!
Tidak ada niatan bagiku untuk mengembalikannya, bahkan sampai detik ini, sampai pada jam dinding sudah mengarah ke angka sebelas malam. Gara-gara tugas mading yang harus dikumpul besok, menjadikan isi pikiranku semakin berkecamuk hingga menunda jam tidur.
Sebuah kertas berwarna hijau muda, menjadi wadah di mana ceroten kata yang harus kurangkai didaratkan. Namun, untuk memikirkan satu kata saja, cukup membuat otakku tidak berfungsi dengan baik, astaga, apa hanya aku yang belum mempunyai ide?
Bagaimana dengan Jo? Bagaimana dengan Anan? Apa mereka baik-baik saja setelah kejadian sore tadi? Aku jadi takut kalau tema yang mereka punya disalahgunakan. Mulai dari Anan yang bertema kematian, siapa tahu dia akan membuat kata-kata seperti kalian menjengkelkan, mati saja dan bawa seluruh sifat memuakkan itu dari dunia ini.
Atau milik Jo yang tentang jatuh cinta : jangan harap hati yang mati akan jatuh cinta, karena kalian memang tidak pantas dicintai. Astaga! Justru dengan mudahnya aku merangkai kata untuk tema yang mereka dapat, sedangkan untuk temaku sendiri, tolong! Sebentar lagi aku berniat akan melebur dengan abu saja hingga tidak dapat ditemukan oleh satu orang pun.
⋇⋆✦⋆⋇
"BANGUN! ANAK CEWEK KESIANGAN YA LU! MAAAAK, ANDIRA GAK SHOLAT SUBUH MAAAKKK!"
Berisik! Bagaimana suara itu tidak membuatku marah kalau cara dia membangunkan saja berisi fitnah-fitnah begitu? Bahkan, ia menendangku dulu baru mengadu, parahnya sambil berteriak pula, seakan aku kepergok tidur seranjang dengan seorang pria tua.
"MAAAKKK!"
"FITNAH!" Lantas aku mengeluarkan justsu tersembunyi dengan melompat dari kasur dan tancap gas keluar kamar, tepatnya menuju dapur, sebab aku tahu Mama di sana dan Kak Novan pasti mau menyampaikan tuduhannya secara live. "Adek lagi halangan, Ma!" kataku, sambil melayangkan pukulan di udara sebab Kak Novan dengan gesit bisa menghindar.
"Alasan pasti!" Kak Novan masih mau menuduh, dan sialnya aku memang berbohong.
Bagaimana ya, malam tadi aku tidak bisa tidur dan mampu terlelapnya saat jam tiga dini hari. Kupikir suara adzan pasti akan membangunkan karena biasanya begitu, jadi tidak ada niatan sedikit pun untuk membuat alarm dan berakhirlah bangun kesiangan. "ASTAGA, JAM ENAM!" Aku baru sadar kala melihat penanda waktu di dinding dapur.
"Halah halah, alasan! Ma, lihat tuh mau sok ngehindar dengan menyesuaikan diri dan waktu. Laporkan ke pihak berwajib!"
"Kakak ... udah deh. Nanti adeknya telat." Kalau saja Mama tidak melakukan pembelaan, aku pasti akan membuat dapur kebakaran karena hatiku sangat panas. "Sana mandi." Dan apa yang dikatakan Mama barusan membuatku merasakan kemenangan yang adil.
Hanya perlu waktu sepuluh menit bagiku agar sudah rapi dengan pakaian sekolah, bahkan tanpa menambahnya lebih banyak, aku tidak memerlukan waktu untuk menyempurnakan diri di depan cermin. Pokoknya, selama wajahku baik-baik saja, tidak kena luka bakar, atau terkoyak karena dicakar binatang, atau berjerawat di mana-mana, kurasa bercermin dan berdanda itu tidak diperlu-perlukan sekali.
Perdebatanku dengan Kak Novan masih berlangsung selama kami menyantap sarapan, dan hal itu membuatku merasa tidak enak hati hingga pamit ke sekolah dalam keadaan kesal. Kakiku tersandung batu saja, kuperintahkan untuk minta maaf! Kunci motor jatuh ke tanah pun, menciptakan potensi di mana ingin kubanting motornya detik itu juga.
"Aku enggak mau ngomong sama Kak Novan lagi! Awas aja," cibirku bicara sendiri, lalu menghidupkan motor dan berputar ke arah jalan. Namun, motorku berhenti saat menemukan sosok Jo berdiri di pinggir jalan sambil main ponsel, bahkan kutemukan juga keberadaan Anan dengan motornya yang entah kenapa masih menongkrong juga di pinggir jalan.
Aku tidak berniat memulai pembicaraan. Bibirku mati, hanya mata saja yang punya keberanian untuk menyampaikan sapaan abstrak. Namun, ketika mengingat kejadian semalam, tidak ada senyum atau kekehan ceria yang mampu kutunjukkan pada keduanya.
Hingga keputusanku adalah, pergi meninggalkan mereka begitu saja.
tbc;