Cie yang ngaku suka, tapi
bilangnya cuma teman. Cie. —Andira
⋇⋆✦⋆⋇
Aku suka jalan-jalan, meski itu cuma bolak-balik kamar dan dapur, sampai kadang Kak Novan menegur karena risih melihatnya. Tempat lain yang suka kulalui secara berulang adalah antara rumahku dan rumah Jo, mau itu panas, mendung atau hujan, kalau kakiku gatal mau menyeberang, maka hal itu akan kulakukan.
Namun untuk satu minggu kemarin, aku jarang melakukan hal itu karena Jo tidak di rumah. Jadi rumah yang kudatangi adalah rumah Anan, bagaimana caraku ke sana? Tentu minta dia yang menjemput, bahkan pakai motor. Lalu kami akan menghabiskan waktu bersama entah untuk saling berbagi cerita lucu —tentang apa saja yang sudah terjadi selama kami tidak sama-sama, atau menikmati masakan Tante Ratna yang selalu terasa enak.
"Pulang sekolah gue langsung mau jalan-jalan sama Renata, lu gak apa-apa 'kan sama Jondara?"
Anan terlihat sok mengkhawatirkan kami padahal seharusnya dia yang patut menerima itu. Bagaimana kalau tersesat lagi? Otomatis aku mau pun Jo tidak bisa memastikan untuk menjemputnya, mungkin kalau dekat bisa saja, tapi kalau sejauh Wong Solo semalam, astaghfirullah jangan saja.
Sehubungan Anan tampak belum pulang, maka aku mainnya di rumah Jo. Kali ini tidak untuk main-main sepenuhnya, karena kami ada tugas untuk membuat quotes dengan tema yang berbeda. Tugasnya padahal individu dan akan ditempel pada mading kelas, tapi aku bukan tipe orang yang suka kerja sendiri hingga dari dulu selalu bekerja sama dengan Jo. Bukan bentuk kekompakan yang menonjol sih, soalnya hanya menjiplak hasil kerja Jo, sedangkan aku hanya menemaninya dengan rebahan cantik. Ya, bukan sepenuhnya kerja, jadi masih ada setengah main-main dan setengah serius.
Yah ... bisa dikatakan aku hadir hanya untuk membebani Jondara.
"Biasanya cewek nih yang suka bikin kata-kata, gue gak jago kali ini, Dir." Jo lebih dulu angkat tangan masalah tugas ringan ini.
"Masa gitu aja lu gak bisa ngerjain, Jo? Perasaan masalah mata pelajaran yang lain aja jago lu," ujarku yang membuatnya menempeleng bagian puncak kepalaku.
"Ngomong lu enak banget ya, Andira! Emang lu bisa ngerjain ini hah?" tanyanya.
Aku tergelak, lalu bangkit dari rebahan santai dan duduk bersila menghadapnya. "Tema punya lu apa emang?" tanyaku.
"Jatuh cinta."
"Anjer!" Aku kembali tergelak mendengar tema yang didapatkan Jo, bayangkan, seorang laki-laki yang keren dan berotot, suka olahraga dengan mengenakan baju tanpa lengan, punya tatapan tajam yang memikat adik kelas, pun suka makanan pedas. Dapat tema jatuh cinta? Astaga, perutku seperti digelitik seribu tangan karena tidak berhenti menertawakannya. "Kasihan banget lu, Jondara. Tema lu rumit banget," ejekku.
Pantas saja mimik wajahnya tampak tertekan, ternyata Jo kena mental sama tugas sederhana ini. "Kayak lu bisa aja bikin kata-katanya, Dir," tegur Jo saat aku mulai menghapus bagian bawah mataku karena nyaris menangis.
"Udah ada yang lu tulis? Gak usah yang keren-keren amat kali, cuma ditempel di mading doang," ujarku sambil meraih kertas yang ada di lantai. "Anjerrr!" Tapi aku kembali tertawa karena melihat isinya.
"Bacot lu, Kampang! Sini kertasnya!" Jo berusaha merebut benda yang ada di tanganku, namun karena tidak mau menghentikan bahan ejekkan ini, kuhindari pergerakannya dengan menyimpan kertas di belakang punggungku.
"Isinya i love you doang? Jondara ... Jondara!" ejekku semakin menjadi-jadi. Serius, isinya hanya kata itu saja, dan dia memang memperlihatkan sisi bodohnya jika nanti sungguhan jatuh cinta pada seorang gadis.
"Andira!" Jo terus berusaha hingga ia mengulurkan kedua tangan untuk mencari sesuatu di belakang punggungku, semakin mendekatkan diri, hingga akhirnya ia berhasil meraih benda itu dan membuatku nyaris terebah di lantai kalau tidak ditahan oleh sikuku sendiri. Tidak ada tawa atau suara memaki lagi, kami sama-sama diam saat mata yang begitu dekat bertemu pada satu titik semirip.
DEKAT SEKALI WOEY!
"Balikin!" Tanganku tidak melakukan perlawanan agar Jo bisa mengambil kertas itu lebih mudah, lalu ia menjauhkan diri dan membuat jarak yang lumayan jauh dariku.
"Cih, gitu aja marah, canda doang gue," kataku, "Eh, buset! Tema punya gue penyesalan?" Dan aku kaget sendiri saat membuat kertas kecil yang menentukan tema dari tugas milikku.
"Mau tukeran?" tawar Jo.
Aku menggeleng. "Lu harus tetap sama tema itu." Kembali aku ingin mengejeknya dan memancing kekesalan Jo padaku.
"Gue gak bisa sama tema ini, gak ada pengalaman," ujarnya.
"Makanya cari cewek, Jo. Masa cowok keren kek lu jomblo? Ada banyak cewek yang ngerebutin elu tau!"
"Gue aja gak tau rasanya jatuh cinta, gimana bisa lu nyuruh gue nyari cewek?"
Aku sejenak berpikir. "Lu gak pernah suka sama orang gitu? Jo! Jangan-jangan lu gak punya hati! Perasaan lu batu!" ujarku.
"Emang lu pernah suka sama orang?" tanyanya balik.
"Ya iyalah!" jawabku percaya diri. "Lu gak tau kalo gue udah punya pacar?"
Jo mengernyit, lalu satu nama yang keluar dari mulutnya membuatku tersedak air liur sendiri. "Anandra?" Begitu katanya.
Coba pikir, bagaimana bisa semudah itu dia menyebut nama Anan? Apa tidak ada nama laki-laki lain di pikirannya selain daripada itu? Lagian sudah nyata-nyata Anan suka Renata, dan detik ini mereka sedang berduaan. Kecuali kalau aku adalah selingkuhan, IYA, 'KAN?!
"Nih!" Aku menunjukkan postingan atas akun haechanahceah di instagram, hal itu membuat Jo menghela napas dan mengibas tangan untuk menjauhkan layar ponselku di hadapannya.
"Halu lu, masih gantengan gue juga!" ujarnya.
Aku berdecih. "Lu yang halu ngomong gitu." Dan tidak sengaja melihat postingan Renata tiga menit yang lalu sebagai notifikasi baru di beranda instagramku. "Anan." Itu yang kukatakan saat melihat adanya sosok Anan di sebelah foto gadis yang cantik itu.
Jo diam-diam melirik, lalu ikut melihat dengan seksama bahkan mendekatkan jarak padaku. Ada lima foto yang diposting, dan itu adalah bukti dari mahakarya Tuhan mengenai dua makhluk luar biasa yang menyatu. Mau mereka berdua foto di lumpur sekali pun, aku yakin lumpurnya akan tetap estetik di kamera. Apalagi kalau fotonya di cafe cantik ini, mereka sudah seperti mengambil gambar untuk buku undangan nikah.
Iya, sesempurna itu visual mereka.
"Caption yang tertera kayak tema quotes Renata deh," ujar Jo, "Cowokku ganteng karena aku cantik. Tapi dia bilang, cantik di paras bukan hal yang bisa dibanggakan. Karena percuma cantik kalo enggak setia, jadi aku memutuskan untuk dianggap sebagai wanita cantik yang setia sama satu orang. Karena ada istilah yang mengatakan kalo cantik belum tentu setia, tapi yang setia udah tentu cantik. Nah, bener! Tentang kesetiaan punya dia," lanjutnya.
"Semudah itu bikin quotes, ngapain lu malah anggap susah?" tanyaku yang memancingnya untuk berkarya lebih kreatif, supaya nanti dia bisa membuatkan tugas milikku, mwehehe.
"Ngomong lagi gue sleding lu, Dir!"
Kalau saja suara motor tidak mendatangi halaman rumah Jo, mungkin kami akan memulai sesi berdebat yang kedua. Syukur kemunculan Anan membatalkan hal itu, dia bergabung, bahkan masih mengenakan baju sekolah. "Gak kesasar lagi lu?" tanyaku padanya.
"Gelas lu yang mana?" tanya Anan setelah mengangguk, lalu kutunjuk benda yang ingin dia pakai karena terlihat begitu haus.
"Gue ambilkan gelas yang baru." Tapi Jo mengalihkan gelas itu dan bergegas masuk ke dalam, bahkan sangat singkat, kurasa Jo adalah manusia super yang bergerak laju. "Udah pacaran lu sama Renata?" tanyanya.
Anan menggeleng. "Makanya gue mau nembak dia, tapi bingung gimana caranya. Lu berdua ada saran?" tanyanya setelah meminum air jeruk dingin yang sedari tadi menemani kami di sini.
"Asal lu bantuin tugas gue," ujar Jo.
Aku tergelak. "Yakin lu ...." Tapi nyaris ditonjok Jo hingga ku tak sanggup meneruskan kalimat.
"Tugas apa?" tanya Anan.
"Ini, yang bikin quotes buat ditempel di mading kelas," ujar Jo, "Tema punya gue sesuai dengan apa yang lu rasain sekarang."
"Emang tema apa?"
"Jatuh cinta."
Sekarang yang tergelak bukan aku saja, sebab Anan juga geli menertawakannya. Benar, 'kan! Rasanya lucu memikirkan tema ini bersanding dengan Jondara. Sangat-sangat bertolak belakang. "Bayangkan nama lu tertera di bawah kata-kata manis yang menggoda." Dan Anan benar-benar akan membuatku menangis karena tertawa sampai separah ini.
"Tukeran tema aja gimana? Punya lu temanya apa?" tanya Jo.
Anan tampak mengingat, lalu menjawab, "Kematian kalo gak salah."
"Hah?" Kini aku dan Jo yang punya tanggapan kompak, temanya sedikit membuatku merinding, apalagi baru-baru saja minggu semalam kecelakaan.
"Mau tetap berniat tukaran tema?" tanya Anan.
"Jangan!" Aku yang melarang meski Jo tampak mengangguk. "Enggak ya, tetap sama tema masing-masing. Lu bisa aja kali bikinin kata-kata tentang cinta tapi versi cool dan maco', yang sesuai sama bentukan Jondara," kataku.
Anan sedikit tersenyum lalu menunduk. "Setakut itu ya lu kalo Jondara mati?" tanyanya.
"ANAN!" Nyaris aku mau memukulnya dengan wadah minum. "Kalo bisa tema itu jangan dipake, lu ganti aja jadi yang lain. Kita rekayasa. Masa di antara banyak tema harus ini yang didapat?" kataku kesal.
"Gue tetap pake ini," ujar Anan, "Tema kematian gak bikin gue bakal mendadak mati ya."
ANANDRA GILA!
"Tapi gue gak suka tema itu," cicitku.
"Emang apa hubungannya?" tanya Anan.
"Karena dia sahabat lu, Anandra. Kenapa lu nanya gitu seakan Andira bukan siapa-siapa?" Jo tiba-tiba masuk dalam percakapan panas kami, dan ini kali pertamanya kulihat aura kejujuran yang berniat saling menjatuhkan di antara keduanya.
"Gak usah lu kasih tau juga gue udah tau," sahut Anan.
"Terus kenapa lu ngomong kayak gitu tadi?"
"Ini kenapa lu yang terlihat marah?"
"Karena gue enggak terima lu kasar sama Andira, bahkan kejujuran sepele yang asal keluar dari mulut lu yang semalam-semalam, selalu gue anggap candaan supaya Andira enggak sakit hati. Tapi makin ke sini, lu justru makin kurang ajar sama dia. Anandra, jangan jadikan hubungan persahabatan lu sebagai sebutan relasi aja, lu juga harus bisa memahaminya!"
Kalian tahu, terlihat jelas siapa orang yang membuktikan dirinya sebagai sahabatku.
"Jondara, respon lu berlebihan banget, dan sikap lu udah kayak bukan sebagai sahabat lagi," ujar Anan bicara pelan. "Lu suka sama Andira, 'kan?"
Pertanyaan itu, sedikit meragukan penilaianku sebelumnya mengenai pembelaan Jo.
Tbc;