Ngaku yang sampai sekarang
enggak bisa baca map. —Andira
⋇⋆✦⋆⋇
Suasana sore adalah hal yang paling kusuka, seperti bagaimana matahari yang tertutupi gumpalan awan besar, lalu memadukan warna lembayung yang terpancar di sisi pinggiran tiap-tiapnya. Juga tentang di mana cuaca yang bisa saja cerah tapi tidak begitu panas, yaitu ketika kugunakan buat main di halaman rumah, soalnya tampak pohon-pohon sekitaran yang merendahkan hawa itu.
Aku tidak tahu apakah ini berlaku juga buat orang-orang seumuranku, tapi kalau dibicarakan bareng Jo, maka kami satu frekuensi. Dia juga suka suasana ini, terlihat jelas bagaimana dirinya yang akan menongkrong di depan rumah sambil memainkan ponsel. Kalau aku tidak ke rumahnya, bisa sampai senja ia hanya main sama benda tersebut. Tapi jangan harap itu akan terjadi, sebab nyatanya aku akan tetap mendatangi Jo entah cuma sekedar duduk dan mengganggu dirinya.
Omong-omong aku jadi ingat kalau masih punya hutang mie kuah dengan Jo, semalam porsi miliknya justru kuberi pada Anan yang kemudian ia bagi dua dengan Renata. Mengingatnya sedikit membuatku kesal, masa aku yang sebelumnya bersama Anan tidak ada ditawari?
Iya 'kan karena aku yang bawa.
Sudahlah.
Anandra is calling ....
Lah? Anan menghubungiku? Kenapa dia menelpon padahal rumah kami bersebelahan?
"DIR!" Dia berteriak, dan itu cukup membuatku kaget.
"Kenapa, Anan?" tanyaku.
"Jemput gue dong, ini kayaknya gue tersesat."
"Buset!" Aku tertawa, bahkan mau guling-guling karena mendengar informasi tersebut. "Pakai google map bisa, lu tinggal tulis nama sekolah kita, nah habis itu lu tau sendiri 'kan jalan pulang?" tanyaku.
"Iya."
"Nah, ya udah. Buka aja google map lu, Anan."
"Masalahnya gue gak bisa baca map."
"Anjer!" Dua kali aku tertawa karena fakta ini, Anandra yang ganteng, keren, maco' dan sebagainya itu tidak bisa baca map? "Ya udah, lu kirim lokasi. Biar gue samperin lu," kataku.
Panggilan berakhir dengan pesan masuk yang datang begitu cepat. Kulihat lokasi yang dia kirim, jujur aku juga buta map. Namun, aku bisa mengambil kesimpulan kalau Anan berada di tempat yang lumayan jauh, dan aku juga baru kepikiran kenapa dia bisa sampai ke situ, apa dia belum pulang setelah mengantar Renata pulang sekolah tadi?
BEGITUKAH?
Setahuku rumah Renata tidak jauh-jauh amat, atau mungkin Anan yang tersesat sendiri karena lupa jalan pulang? Entahlah.
Intinya aku tidak ingat lagi tentang mie kuah, sekarang yang ada di pikiranku adalah menjemput Anan yang tersesat.
Sayangnya, lagi-lagi aku mau teriak karena motor dibawa Kak Novan. Ya Tuhan, padahal tadi pas pulang sekolah ada saja tuh motornya. Ini sih dia serius cari gara-gara sama adiknya. "MA, BILANGIN KAK NOPAN JANGAN BAWA MOTOR ADEK TERUS!" teriakku sambil melangkah keluar rumah guna menuju rumah seberang.
Jo juga sudah melihat dengan jelas wajahku yang kusut ini, jadi saat aku duduk di dekatnya, terucaplah kalimat, "Udah gue bilang titipin sini kuncinya, jadi ...."
"Pinjem motor, Jo." Kupotong bicaranya dengan mengulurkan telapak tangan.
"Mau ke mana emang lu?" tanyanya, lalu bangkit dan meraih kunci yang letaknya ada di paku belakang pintu rumah utama.
"Jemput Anan," jawabku menerima lemparan benda yang dilakukan oleh Jo secara dadakan, syukur aku adalah orang yang gesit, jadi lemparannya tidak meleset.
"Jemput Anandra?" Jo sedikit kaget.
"Kesasar," kataku lagi sambil duduk di motor Mio biru miliknya. "Eh, tapi ... Huueee, Jo gue juga gak tau dia ada di mana," rengekku yang membuatnya geleng-geleng.
"Andira tolol!" Jo tampak masuk ke rumah lalu keluar lagi dengan jaket yang telah terpasang di tubuhnya, ia juga memintaku turun dan memberikan helm milik ibunya. "Di mana lokasinya?" tanyanya hingga kuperlihatkan sesuatu yang ada di ponselku.
Jo mengernyit, lalu merebut benda yang kupegang. "Jauh anjirr, ini beneran atau tipuan?" responnya.
"Yo ndak tau, kok tanya saya."
"BACOT LU, KAMPANG!"
Motor tetap berangkat meski yang mengemudi ragu dengan lokasi di ponselku, semoga saja Anan yang buta map tidak buta juga dalam memberikan lokasi keberadaannya.
⋇⋆✦⋆⋇
Awalnya memang kami sama-sama ragu, sebab serius, INI TUH JAUH BANGET WOEY. Aku merasa seperti pulang kampung ke rumah nenek karena jalan yang kami tempuh. "Ngapain si Anan sampe jauh-jauh ke sini?" tanyaku saat motor berhenti tepat di tempat makan Wong Solo.
Halo! Ini Anan serius makan di sini? Harganya mahal loh, aku saja jera karena habis empat puluh satu ribu dalam satu pesanan. Dulu, waktu ada acara study banding ke pantai. Bahkan dua puluh satu ribunya kupalak dari Jo karena uangku hanya tersisa dua puluh ribu.
"Enggak masuk gih, kita telpon aja si Anan," kataku.
Namun, bukannya keluar, Anan justru meminta kami masuk saja. Serius dong! Anan jalan-jalannya sampai sejauh ini. Buktinya dia ada di sana, bahkan duduk sendiri dengan baju sekolahnya yang masih terlihat rapi. Benar-benar belum pulang ke rumah, dia juga kaget melihatku karena datang tidak sendiri melainkan bersama Jo.
"Kenapa lu bisa ada di sini?" tanya Jo.
"Renata ngajak makan, katanya mau ke rumah makan favorit dia. Dan sampailah gue di sini," jawabnya.
"Tolol lu," ujarku.
"Lu lebih tolol ya, Andira," sahut Jo membela Anan.
"Loh kok gue?"
"Asssstt sstt! Gue pesen makan lagi, buat lu berdua juga karena udah mau ke sini. Makasih ya, nih dimakan." Anan mengatakan hal itu saat seseorang mengantarkan makanan ke meja kami, dan melihat pesanannya membuatku mau pingsan memikirkan harganya.
"Dulu gue pesen ayam penyet harga tiga puluh tujuh ribu, apa kabar sama pesanan lu ini, Anan," kataku. "Lu enggak makan?"
"Gue udah tadi, lu makan aja. Gue yang bayar kok," sahutnya.
"Kalo Tante Ratna tau kita makan mahal kek gini, uang jajan lu bisa dikurangin ...."
"Bacot ah lu berdua. Makan aja ngapa," tegur Anan memotong bicara Jo.
Memang sih, makanan di Wong Solo akan selalu terasa enak, tapi porsinya terlalu sedikit untukku dan Jo yang kalo makan suka pesen porsi kuli alias bejibun. Misal kami yang beli makanan, mendingan ke warung makan Mama Ijah, di sana cuma sepuluh ribu seporsi dengan nasi dan sayur yang prasmanan sepuasnya, ikan saja yang boleh ambil satu. Kalau pesan sama minum jadi dua belas ribu, tapi aku dan Jo memang kelewat pintar karena kami bawa botol minum sendiri. Jadi satu hari sangu sepuluh ribu juga cukup kalau kami memilih makan di luar sekolah.
"Kemarin sore lu gak jadi ngajak gue main raket? Kenapa?" tanya Anan di kegiatan kami yang menikmati makanan.
"Ada Renata lah, masa gue ngajak lu main sedangkan lu berdua lagi serius bagi materi pelajaran," sahutku.
Anan tampak mengangguk. "Syukur deh lu peka," katanya lagi. "Tapi bagi materi cuma sebentar, kayak dia tuh cuma jelasin bagian yang harus gue salin. Padahal bisa aja kita main bertiga," ujarnya.
Aku tergelak, dan hal itu cukup menarik perhatian kedua laki-laki yang duduk di seberangku. "Renata yang anggun gitu mau kamu ajak main? Jangan ngarep, bahkan dia enggak bisa kita ajak panas-panasan," kataku.
"Oh, pantes." Anan terlihat senyum-senyum sendiri. "Tadi pas motor gue kehabisan bensin lagi, dia jalan di bawah pohon gitu, bener-bener ngejaga diri banget dari sinar matahari," ujarnya.
Namun perkataan itu justru membuatku dan Jo sedikit bingung. "Gak bantu lu dorong? Motor lu boros amat dah," kata Jo, soalnya dia tahu kalau bersamaku pasti kami berdua akan saling membantu untuk mendorong motor, pernah dulu kena musibah ban bocor. Bukan kehabisan minyak ya, jadi kami berdua harus mencari bengkel. Nah, bayangkan saja siang yang terik tadi Anan mendorong motor sendirian.
"Sesuka itu lu sama Renata?" tanyaku padanya.
Anan pun mengangguk.
tbc;