Kepercayaan menjadi prinsip utama dalam sebuah hubungan, menjadi pondasi paling kuat untuk tetap terus membersamai satu sama lain tanpa harus ada kecurigaan.
............................................
Sebulan setelah keberangkatan Alfin ke Mesir, aku jarang mendapat kabar, dan aku juga sungkan sekedar mengirim kata salam, perbedaan waktu yang juga menjadi penghambat komunikasi kami, kesibukan belajar dan kesibukanku yang juga bekerja mengharuskan kami sama-sama tidka mempunyai waktu untuk tetap saling berkabar, terakhir pesan akmi ketika ia sudah berada di asrama dan izin untuk beristirahat, setelah itu sudah tak ada lagi sederet pesan darinya, dan aku sangat memakluminya dengan segala kegiatan yang pasti sangat padat.
“Kay, kamu ga coba hubungin Alfin nduk?” tanya ibu tiba-tiba menghampiriku ke kamar, naluri ibuk memang kuat, dia tahu bahwa hati anaknya sedang getar getir saat ini,
“buk, boleh ga kira-kira kalau Kayla coba daftar beasiswa lagi tahun ini”
“boleh banget sayang, kamu diskusi sama ALfin, tentang apa aja yang dibutuhkan, coba kali ini ke Mesir juga, siapa tahu keterima” respon ibuk sangat membuatku kembali bersemangat mengejar mimpi, meski sudah pernah ditolak disalah satu univ di indonesia, tak apa siapa tahu Allah memberiku izin untuk merantau ke negeri orang,
“ibuk sama adek gimana, kan nanti Kayla ga kerja”
“jangan pikirin ibuk sayang, ibuk kan sambil kerja juga sekarang, adekmu juga udah bisa dititip ke bu de, udah ga serewel dulu, ibuk akan kerja jadi ART di tetangga yang membutuhkan”
“jangan lah buk, jangan ART, kasian ibuk pasti semakin dikucilkan, gimana kalau ibuk jualan aja”
“dapat modal dari mana Kay” tanya ibuk lesu
“buk, selama aku bekerja aku menyimpan sebagian uang gajian, mungkin tak seberapa, tapi insyaAllah cukup untuk modal usaha kecil-kecilan, dan Kayla janji bakal usahain buat dapat beasiswa ini agar nanti biayanya ditanggung”
“Aamiin ya Allah, oh iyya Kay, keluarga Alfin, ibuk atau bapaknya ada menghubungi kamu?”
“nggak ada buk”
“ohh ya udah mengkin Alfin juga belum sempat ngehubungin kamu” ucap ibuk menenangkan sembari duduk disampingku lalu mengelus kepalaku sangat lembut,
“tapi sudah sebulan buk, apa Kayla coba hubungin ya buk, Kayla risau takut kenapa-kenapa” pikirku meminta persetujuan ibuk,
“iyya gapapa kalau kamu risau, tanyain kabarnya, atau kalau mau telponan juga boleh, biar ibuk juga disini ikut mendengarkan percakapan kalian”
“baik buk, aku coba chat aja yaa”
Jari jemariku mulai mengetik satu persatu abjad hingga menjadi kalimat salam, namun tak langsung ada jawaban, mungkin saja nanti atau bahkan besok baru aku mendapatkan balasan, semoga saja.
“ya udah ibuk ke kamar dulu ya, kamu tidur nduk jangan begadang, ibuk juga mau tidur ini”
“baik bu” jawabku singkat.
Mana mungkin aku bisa tidur nyenyak sedang Alfin entah kemana tanpa kabar, bahkan sudah sebulan lamanya, Derrtt… hpku bergetar, bismillah semoga balasan pesan dari Alfin
“waalaikumussalam Kay, aku baik-baik saja, cuma sedikit setres karena masih awal, banyak kosa kata bahasa arab yang belum aku tahu, akademik gitu, jadi maaf ya kalau aku ga sempat ngabarin kamu, kamu dan keluarga apa kabar Kay” akhirnya setelah keberanianku mengiriminya pesan terlebih dahulu, akhirnya dibalas juga, senang bercampur sedih, takut jikalau bahasa arabku juga kurang maksimal,
“alhamdulilllah kami juga baik-baik saja Al, btw insyaAllah aku bakal daftar beasiswa yang sama seperti beasiswamu tahun ini, jadi boleh ga kalau aku nanya-nanya perihal berkas yang harus aku siapkan dari sekarang”
“kamu mau nyusul aku Kay? Kamu percaya kan sama aku, aku ga mungkin neko neko disini”
“Alfin, aku percaya sama kamu Al, cuma aku pengen kuliah ke luar negeri juga, ibuk sudah memperbolehkan aku untuk kuliah jauh, dan sungguh itu bukan karena ada kamu disana”
“ya udah Kay, nanti kita lanjut lagi yaa, aku mau siap-siap ada kerja kelompok, salam buat ibuk”
“baik Al, Assalamualaikum”
Pesanku centang dua abu-abu, barangkali Alfin langsung bergegas pergi sehingga tak sempat menjawab salam dariku, dan aku sangat memahami akan hal itu.
###
Persiapan pendaftaranku satu persatu mulai dicicil, Alfin juga memberikan kontak salah satu teman ceweknya untuk membantuku sebab Alfin takut jika slow respon sedangkan aku butuh fast respon, mulai dari mengumpulkan berkas dan sertifikat yang dibutuhkan, men scan dan di up di sistem, besok lusa merupakan hari terakhir pendaftaran, qodarullah aku belum selesai hari ini, masih ada satu lagi yang aku tunggu, yakni surak dari orang tua, dari bapak. Aku sudah memintanya sekitar seminggu yang lalu namun bapak selalu memberiku alasan ‘sibuk’ sehingga tak sempat mengirim lagi scanan dari file yang sudah aku kirim dan hanya butuh tanda tangan bapak saja, dan hingga sore ini pesan ataupun email dari beliua belumlah ada.
Senja sore masih sama dengan keindahan jingga meronanya, sedikit mengambil udara segar, keluar sejenak meninggalkan laptop dan berkas-berkas yang sedikit berantakan di atas kasur, maklum aku tidak mempunyai meja belajar layaknya pelajar yang lain.
“Kay, gimana surat persetujuannya, udah dapat?” tanya ibu yang baru saja keluar dari dapur dan menyapaku yang sedang duduk di teras sembari memandangi senja,
“belum buk” jawabku tanpa menoleh ke arahnya, “apa bapak tidak mengizinkan Kayla untuk kuliah diluar negeri?” tanyaku kembali, masih dengan raut wajah datar tanpa menoleh ke arah ibu yang sepertinya sedang berdiri menatapku,
“nanti ibuk coba telfon bapakmu Kay, biar ibuk bujuk supaya..”
“percuma buk, bapak dari dulu egois, apa alasan bapak untuk melarangku kuliah ke luar negeri dengan beasiswa?” selaku,
“ada Kay” jawab ibu dan mulai menghampiriku yang sedang duduk di teras, “barangkali karena kamu perempuan, bapakmu sangat menyayangimu, dia takut kamu kenapa-kenapa” lanjut ibu sembari mengelus pundakku dengan sayang,
“lalu kenapa bapak pergi bu? Kenapa bapak tidak menjagaku disini?”
“karena bapakmu sudah percaya sama ibuk untuk menjagamu dan adikmu”
“lalu bapak dengan seenaknya pergi jauh meninggalkan kita dan bersenang-senang dengan keluarga barunya, aku capek buk” keluhku,
“sama nak, ibuk juga capek, bahkan lebih capek, tapi ibuk tidak pernah ngeluh, ibuk yakin dibalik ini semua pasti ada hikmahnya, hanya saja kamu belum pantas tau nak dengan alasan kenapa bapkmu tega meninggalkan kita” jelas ibu yang membuatku semakin bertanya-tanya tentang bapak.
Ketika rasa benci sudah mengekar kuat sama kuatnya dengan rasa sayang yang lebih dulu hadir, lantas kepada siapa aku memilih untuk memenangkan salah satunya, tak semua orang yang kau anggap baik itu baik, begitupun sebaliknya. Sekuat alasan apapun yang akan dijelaskan, namun hati sudah terlanjur kecewa dan patah atas ketidak percayaan, aku, ibuk, adik dan kita semua percaya bahwa bapak itu baik dan tidak akan neko-neko selama bekerja diluar pulau, kabar baik akan kepulangannya selalu kami tunggu, hingga suatu kabar kepulangan beliau menjadi rasa bahagia tiada tara, namun seketika runtuh dengan kenyataan ketika beliau pulang dengan membawa kabar yang sekali saja dapat meruntuhkan kepercayaan, seketika meminta restu bahkan membawa perempuan lain ketika menyambangiku ke pesantren tak lantas membuatku bangga, namun aku kecewa, dan pada saat itu kepercayaanku hilang seketika, meski berkali-kali ibuk menyemangatiku dengan berkata “bapakmu mempunyai alasan kenapa ia harus menikahi perempuan itu”, namun seberapa indah kalimat alasan tersebut, yang namanya mendua tidak ada yang perlu dibenarkan.
“ya udah Kay, masuk nak udah sore, kita tunggu sampe besok yaa, kalau besok bapakmu belum ngirim, baru ibu telfon”
Aku menuruti titah ibuk untuk masuk ke dalam, karena angin sore juga sudah mulai dingin, sedikit ada rasa ingin tahu apa kiranya alasan bapak sehingga memilih untuk menikah lagi, urung pertanyaan tersebut aku simpan dalam-dalam, tak ingin membuat raut wajah ibuk sedih mengingat malam dimana beliau menagis dalam diam ketika harus menjadi saksi di pernikahan bapak.
Sesampainya di kamar, tak membuatku langsung berbaring sembari menunggu adzan maghrib, namun bingkai foto keluarga masih memikat mataku, terlihat aku yang sedang tersenyum di tengah-tengah bapak dan ibuk yang waktu itu sedang mengandung adek, foto itu diambil sebelum bapak memutuskan untuk merantau ke luar pulau, dan siapa sangkah bahwa beliau pulang dengan membawa keluarga baru dalam kehidupan kami yang menjadikan semuanya semakin rumit, mungkin tak perlu untuk saling menyalahkan saat ini, kejelasan yang belum sepenuhnya aku ketahui, ibu memilih untuk menyimpannya sendiri tanpa berbagi, dan itu sakit, pasti amat sakit bagi beliau.
Derttt… hpku kembali bergetar dengan menampilkan sederet pesan dari Alfin,
“gimana Kay? Apa semua berkas sudah terpenuhi?” tanyanya,
“belum Al, sepertinya memang bapak tidak ingin aku kuliah di luar negeri”
“ya udah Kay, kalau misal nanti ada perubahan, kabarin aku ya, barangkali aku bisa bantu”
“iyya Al, makasih banyak ya”
“sama-sama”
Pesanpun berakhir, sudah kupikirkan matang-matang untuk menelpon bapak besok jika surat itu belum bapak kirim juga, aku akan memperjuangkan pendidikanku, sebab ibuk sudah memberiku izin untuk kuliah ke luar negeri, namun bukan berarti aku ingin mengejar Alfin, setidaknya ada yang kau kenal disana, yakni Alfin.