Loading...
Logo TinLit
Read Story - Aku baik-baik saja ¿?
MENU
About Us  

Pantas, semua orang tak suka merindu, sebab ia akan menjadi candu disetiap waktu, ingin mengukir temu namun tak punya nyali untuk bertemu.

.............................................

 

 

3 bulan bukan waktu yang sebentar untuk menghilangkan rasa yang pernah ada, lama dan sangat sulit untuk lupa, meski kenangan yang dilalui dengannya tidak seberapa namun dia tetap cinta pertamanya, sekali lagi ingin kukatakan bahwa aku tidak pernah merasakan jatuh cinta kepada seorang lelaki sebelum Alfin, sayangnya Alfin jugalah yang menjadi penyebab sakit hatiku untuk yang pertama kalinya, tidak semua pemeran dalam cinta pertama akan membawamu pada bahagia yang nyata. Jika aku terus bersemayam dalam sebuah rasa yang mungkin sudah bisa dibilang bertepuk sebelah tangan, sebab semenjak pertemuanku dan Alfin yang menyatakan bahwa dia harus pergi kuliah dan rela meninggalkanku tanpa mengikat terlebih dahulu, membuatku semakin sadar bahwa cinta tak harus saling memiliki, cinta juga bisa saling merelakan dan mendukung untuk sama-sama memilih jalan tujuan.

Sebenarnya ibuk kerap kali menanyakan tentang perjodohan, pak de dan bu de juga sangat mendukung hal itu, kerap kali juga kutolak dengan alasan ingin bekerja terlebih dahulu, tak lupa juga menggambarkan tentang perjodohan yang dialami mbak Rara, supaya mereka paham bahwa cinta tidak bisa dipaksakan, tak sejalan bukan berarti tidak satu tujuan, namun aku dan orang pilihan ibuk tidak satu tujuan namun berada dijalan yang sama, yakni perjodohan, belum tentu si pria juga akan dengan senang hati menerima aku dalam kehidupannya, belum lagi jikalau dia sudah mempunyai kekasih yang menurutku semakin rumit.

Hingga pada akhirnya mereka merasa lelah untuk membujukku dalam hal perjodohan dan memilih untuk menyerahkan pilihan kepadaku asalkan nanti juga didiskusikan terlebih dahulu bersama keluarga, aku merasa bebas tanpa takut melangkah lebih jauh, hingga pada akhirnya aku menggunakan hp dari mbak Rara untuk mencari lowongan pekerjaan dan tak lama kemudian aku mendapatkannya sebagai penjaga toko buku. Bapak dimana? Jangan ditanya lagi, bukan karena aku tidak peduli, namun lebih tepatnya aku tidak bis aberharap banyak kepada bapak yang sudah memilih hidup baru bersama isteri keduanya, sempat ada kabar bahwa isterinya sedang mengandung anak bapak yang notabene calon saudaraku, ah aku tidak peduli, aku ingin menyekolahkan adik tinggi-tinggi biar tidak jadi penjaga toko sepertiku.

###

“Kayla, nanti ada bakal ada yang mau ngambil buku pesanan disini, kira-kira jam 12.30, kamu lambat istirahat makan siang sebentar gapapa ya Kay, ibuk mau nemenin bapak kondangan ke rumah temannya” titah bu Leli yang punya toko buku ini, orangnya baik, ramah dan penyayang, juga sering menanyakan kabar ibuk dan adik, buk Leli juga sudah tahu tentang keluargaku, termasuk bapak.

“baik buk, dengan senang hati, ibuk hati-hati nggeh”, responku penuh senyum ala kadarnya, bu Leli menimpali senyumku sebelum beliau masuk ke dalam mobil bapak untuk pergi kondangan, aku yang masih tersenyum sampai mobil itu tak terlihat membuatku tak sadar bahwa senyumku juga mengarah ke kak Riki, ‘Astaghfirullah’ dengungku hampir tak terdengar.

“mbak Hanum dimana dek Kay” sapa kak Riki yang membuatku seketika kaku gemetar.

“emmm, lagi beli nasi pecel ke warung sebelah kak” jawabku dengan senyum kaku.

“kalau nanti mbak Hanum datang, minta tolong ini kasih ke mbak Hanum ya” kak Riki memberikan kotak makanan yang aku terima dengan gemetar, taku jika makanan itu jatuh dan tumpah.

“oh iya, bilangin dari mas Reza” lanjutnya seketika, aku mengangguk sebagai jawaban.

“makasih dek Kay” ucapnya sembari menangkupkan kedua tangannya didepan dada.

“iya kak, sama-sama”, belum lagi kak Riki pergi menjauh kebelakang, mbak Hanum datang sambil meneriaki kami, “ehh kalian diem-diem ngasih sesuatu yaa” ledek mbak Hanum yang langsung dijawab “tidak mbak” oleh kami berdua, aku dan kak Riki.

“ini buat mbak, dari mas Reza” kataku menyodorkan kotak makan berwarna abu-abu itu.

“oalah, hehe, makasih Ki, maaf suudzon, tapi kalau beneran gapapa sih, Kayla masih single”

“mbak Hanum ga boleh gitu” tegurku yang mulai tak enak dengan situasi ini.

“saya pamit ke belakang, mbak Hanum mau nitip salam ke mas reza kah?” ledek kak Riki tak kalah tajam,

“salamin aja kak” jawabku membalas ledekan mbak Hanum tadi, seketika aku tertawa dan minta maaf kala mbak hanum memelototiku dengan mata bulatnya, meski hanya sekedar bercanda namun berhasil membuatku takut dengan sekali tatapan sinisnya.

Setelah kak Riki berlalu  prgi ke belakang toko, kamipun bercanda sebiasanya, saling meledek dan mencocok-cocoki, “Kay kamu itu cocok loh sama Riki, baik, dan sangat menghormati perempuan lagi” kata mbak Hanum tiba-tiba.

“mbak Hanum udah berapa lama sama mas Reza kalau boleh tau” tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan

“lumayan lama Kay, aku kerja disini udah mau 3 tahu, mas reza udah mau 4 tahun, kami dulu awalnya malu-malu, sama kayak kamu dan Riki, bedanya kamu kan masih anak baru disini, sedang Riki udah mau 2 tahun” jelas mbak Hanum yang nampak tidak menyadari bahwa aku sedang mengalihkan pembicaraan

“mbak ga mau ke jenjang yang lebih serius?”

“mau, tapi nihil”

Selang berapa detik, mbak Hanum terlihat masih mengumpulkan nafas untuk bercerita lebih detail kepadaku’

“Reza sama mbak itu beda agama Kay, meskipun pada akhirnya Reza mau pindah ke agama kita tapi bagaimana dengan keluarga besarnya, sebab menikah itu bukan cuma menyatukan dua orang saja, namun dua keluarga” lanjut mbak hanum,

“berarti akan kandas begitu saja mbak”

“iyya begitulah, toh disini cuma sekedar penyemangat sambil kerja Kay, kalau kamu gimana sama Riki? Tertarik ga?”

“hehe, aku belum seperduli itu dengan perasaan mbak, karena ketika perasaan suka sudah mulai merekah, nantinya akan sulit jika tidak bisa bersama”

Mbak hanum terlihat sedang mencerna kata-kataku, “kamu pernah trauma dengan perasaan suka?” tanyanya ingin meyakinkan,

“iyya, kami tidak bisa bersatu sebab dia lebih memilih untuk kuliah tanpa mengikatku terlebih dahulu, dan waktu itu ibuk bersikeras menjodohkanku, perasaanku sangat kacau, hingga pada akhirnya kami hilang kontak dan ibuk juga bisa menerima keputusanku untuk tidak dijodohkan dengan pilihannya”

“ohh paham, paham” responnya sambil mengangguk-ngangguk.

 Kembali mengukir cerita dengan orang berbeda membuatku sedikit takut untuk melangkah maju walau sejengkal, setelah kepergian mbak Rara beberapa bulan yang lalu, aku mendapat kerja menjaga toko buku tak jauh dari rumahku, hanya beda kecamatan, berhubung aku tidak mempunyai transportasi untuk kesana setiap hari, aku selalu diantar jemput oleh pak de, hingga pihak toko menyarankan sopirnya untuk menjemput dan mengantarku setiap hari,  awalnya aku menolak karena aku tidak mau dibonceng orang yang bukan mahromku, ternyata ibuk pemilik toko memintanya untuk menjemputku menggunakan mobil pribadi, sungguh bak dewi di kerajaan sana bukan.

Bagaimana bisa menganggap rasa biasa saja, sedang kita selalu bertemu ditempat yang sama, senyum tulusnya menyiratkan bahwa kak Riki ada rasa terhadapku, meski dia belum mengungkapkan hal itu, namun dia pernah menyeritakannya ke mas Reza, dan mas Reza menyampaikan ke mbak Hanum tanpa sepengetahuan kak Riki.

Drtttt….

Terasa hpku bergetar diatas telase buku, tertera nomer tanpa nama membuatku enggan untuk mengangkatnya, kumatikan begitu saja. 5 detik kemudian, hpku bergetar kembali, mbak Hanum yang mulai terganggu dengan hal ini, akhirnya aku silent untuk tidak mengganggu waktu kerjaku.

“siapa sih Kay”

“ndak tahu mbak, nomer baru”

“kenapa ga diangkat, siapa tahu penting” mbak Hanum berkata sambil fokus menghitung pengeluaran hari ini di komputer,

Aku hanya tersenyum tipis tanpa menjawab, kutaruk hpku kembali ke atas telase dengan mode silent.

###

Setelah seharian bekerja, akhirnya jam pulang tiba, seperti biasa warna jingga sore membersamai kepulanganku dengan diantar oleh kak Riki selaku sopir ibu bosku, toko buku yang sangat besar dengan hanya ada 2 pelayan untuk meladeni pembeli membuatku sangat letih, ingin segera membaringkan tubuh ke ranjang dan tidur dengan tenang.

“Kayla udah makan?” tanya kak Riki tiba-tiba mengagetkanku yang mulai memejamkan mata di mobil,

“udah kak” aku lanjut memejamkan mata, meski terlihat terpejam, namun aku sadar seakan ada yang sedang memperhatikanku, siapa lagi kalau bukan kak Riki.

Sepanjang perjalanan aku tidak mengingat apa-apa, tanpa sadar tertidur menikmati alunan lagu yang diputar dimobil, biasanya kau berhenti membeli martabak manis untuk ibuk dan adek sebagai oleh-oleh, namun kali ini aku lupa sebab tertidur, sampai-sampai kak Riki memanggilku diulang-ulang.

“Kay, kayla, bangun” hanya itu yang aku dengar sebelum aku berhasil membuka mata dengan sempurna

“oh udah sampe ya kak” tanyaku merasa malu

“iyya, aku langsung balik ya Kay”

“ga mau mampir dulu kak”

“gapapa lain kali aja” senyumnya sangat manis, semanis orangnya, pikirku.

Akupun keluar mobil dan menunggunya hingga berbalik arah sambil melambaikan tangan sebagai tanda terimakasih sudah di antar, entah mengapa aku merasa nyaman ketika ngobrol dengan kak Riki, sebentar tapi berkesan, “astaghfirullah Kayla ga boleh cepat baper” ucapku dalam hati sambil geleng-geleng kepala.

“kenapa Kay, sakit kepala” tanya ibu dari kejauhan, rupanya ibuk memperhatikanku sedari tadi, begitupun adek yang juga berdiri di dekat ibuk, aku merasa bersalah sebab tidak berhenti untuk membelikan sesuatu untuk merek,

“gapapa buk” jawabku cengengesan, “oh iya buk, dek, maaf ya, kakak lupa beli oleh-olehnya”

“gapapa Kay, yang penting kamu balik selamat aja ibuk udah senang” tanggap ibuk yang begitu sabar dalam keadaan apapun,

“ibuk udah makan?” tanyaku sedikit khawatir, takut jikalau uang yang aku kasih seminggu lalu tidak cukup untuk ibuk dan adek,

“udah kak” jawab adekku dengan gaya bicara khas anak kecil, ibuk juga mengangguk dan tersenyum, lega rasanya ketika melihat orang yang kita sayangi bahagia.

Hendak aku melangkah masuk ke dalam rumah, ibuk kembali mengajak bicara denganku, “kay, bapakmu tadi kerumah” sontak kaget bukan main, sudah beberapa bulan dan hampir setahun bapak tidak pernah menjengukku dan adek, menanyakan kabarpun juga tidak pernah, “ngapain buk?” ibuk menyuruh adek ke kamar terlebih dahulu sebelum beliau menjawab pertanyaanku, “bapakmu datang untuk meminta maaf kepada ibuk dan ke kamu, ibuk juga sudah menyampaikan bahwa kamu sudah mulai bekerja sejak 3 bulan lalu”

“sendiri buk?”

“sama anak dan isterinya” ibuk mengelus pundakku, mukaku mulai memerah sebab tak terima bapak berani mengajak isteri dan anaknya ke rumah ini, ke kerajaan ibuku

“kenapa ibuk terima mereka masuk ke rumah ini” kataku tidak terima

“mereka datang baik-baik kesini, tidak mungkin jikalau ibu usir begitu saja Kay”

“tidak buk, dimata Kayla mereka tidak datang baik-baik, mereka datang membawa duri dan menusuk keluarga kita secara perlahan”

“sudah gapapa, ibuk ikhlas kok”

“tapi Kayla yang tidak bisa ikhlas buk, Kayla dan adek juga berhak hidup bahagia dengan kedua orang tua yang lengkap, bukan cuma anak tiri dan anak barunya itu yang punya rasa ingin bahagia” tanpa sadar suaraku semakin meninggi, ibuk mengajakku masuk ke dalam rumah hingga duduk di ruang tamu untuk membicarakan perihal bapak

“mereka sekaligus berpamitan untuk keluar negeri, tadinya mau menghampiri kamu terlebih dahulu, tapi karena jadwal pesawatnya besok siange, jadi mereka buru-buru untuk ke jakarta malam ini menggunakan trevel” jelas ibuk dengan suara pelan lagi tenang, tak ada sedikitpun tanda kebencian disana, berbeda denganku yang selalu emosi tiap kali ingat tentang muka isterinya yang pernah dibawa mengunjungiku ke pesantren dulu,

“heh, iyya ngapain pamit sama Kayla, toh Kayla udah besar kan, sudah lama juga tidak diberi nafkah, sudahlah buk, terserah mereka mau kemana, Kayla juga tidak peduli”

Ibuk menghela nafas dalam-dalam, membiarkanku berlalu ke kamar, entah aku yang terlalu egois, atau ibuk yang terlalu sakit hingga sakit itu tidak terasa sampai detik ini, kejam.

Kuhempaskan tubuh ini ke kasur dengan kasar, penuh kesal. Belum lagi memejamkan mata tiba-tiba hpku bergetar, masih panggilan dari nomer baru tak dikenal, membuatku ingin melemparkan hp ini jauh-jauh hingga terbelah bak puing puing gelas yang jatuh dari lantai 5, tapi sayang ini pemberian dari mbak Rara.

“halo, assalamualaikum, dengan siapa?” tanyaku yang pada akhirnya berhasil menggeser panel ijo dilayar hpku,

“waalaikumussalam Kay, ini aku Alfin” suara diseberang sana memang mirip suara Alfin, ada apa gerangan, bukankah kami memutuskan untuk tidak saling berkomunikasi, apa cuma aku yang memutuskan hal itu, argghhh kenapa hari ini begitu rumit, sudah kuduga bahwa dia mendapatkan nomerku hpku dari mbak Rara,

“oh Alfin, iya kenapa?” tanyaku sedikit lesu,

“kamu masih marah?”

“enggak, kenapa harus marah” jawabku singkat, moodku bisa dibilang jauh dari kata baik-baik saja,

“aku senang waktu dapat kabar dari mbak Rara bahwa kamu ga jadi dijodohkan” tuturnya dengan suara khas ala kadarnya,

“iyya” responku sedikit cuek bukan karena jual mahal, tapi memang sedang kesal,

“berarti aku ada kesempatan untuk melanjutkan niat baikku ke kamu” seketika mata kantukku terbelalak lebar kala mendengar hal itu, niat baik? Kapan?, “Kay, rasaku ke kamu masih sama, jadi aku harap kamu mau menunggu ya sampai aku lulus kuliah” lanjutnya setelah tak ada jawaban dariku,

“aku tidak janji akan selalu menunggumu Al, dan kamu jangan pernah berjanji untuk menjaga perasaanmu terhadapku, perjalananmu masih panjang, begitupun aku, kita tidak pernah tahu siapa saja yang akan kita temui dalam beberapa tahun kedepan, jadi jangan pernah benjanji untuk apapun ya” putusku,

“iyya, tapi aku harap kamu bisa menunggu ya Kay”

“aku tidak janji, kecuali kamu mau meminangku terlebih dahulu” aku bisa mendengar hembusan nafas panjang dari seberang sana, pertanda bahwa permintaanku begitu berat untuknya,

“aku belum berani ngomong sama bapak Kay, bapakku keras banget orangnya, aku takut”

“sama aku juga takut, takut tidak bisa menjaga perasaan ini untukmu Al, sebab jika sudah ada orang yang mau serius dan orang itu baik, kenapa harus kutolak” kuharap jawabanku tidak menyakiti hati Alfi, semoga Alfin juga bisa paham bahwa perasaanku padanya sudah tidak sama seperti dulu lagi,

“baik Kay aku paham, izin save nomermu yaa, kamu jaga kesehatan dan semangat bekerjanya” pesannya selalu menarik ulur perasaan yang ingin kukubur dalam-dalam,

“iyya kamu juga semanagt kuliahnya” pesanku, kami menutup panggilan dengan salam, entah akan berkomunikasi lagi atau tidak, intinya aku mulai sedikit lega dengan perbincangan singkat ini.

Langit-langit kamar yang tak pernah bosan kutatap, rak buku dengan beberapa buku novel juga karya ilmiah menjadi pemandangan nyaman pelipur lelah, beberapa bingkai foto keluarga juga teman-teman di dinding seakan menjadi penyemangat bahwa hidup tidak sesingkat membolak balikkan telapak tangan, namun butuh perjuangan.

“Kay, mandi dulu baru istirahat” teriak ibuk dari luar kamar membubarkan lamunanku,

“baik buk” jawabku lesu,

Semenit kemudian aku bergegas untuk ke kamar mandi, membersihkan diri, menggosok gigi dan memakai pelembab malam sepeerti anak muda pada umumnya, tak butuh waktu lama, aku sudah siap dengan baju piyama berwarna biru dongker dan paduan warna merah hati di bagian pinggirnya, piyama pemberian bapak waktu aku dipesantren dulu, meski aku masih marah padanya, tidak menutup kemungkinan bahwa dia adalah bapakku, yang akan menjadi wali di pernikahanku nanti.

Kumatikan lampu kamar yang hanya menyisakan remang-remang pancaran cahaya dari jendela yang terpaut dengan ruang tamu, aku sengaja untuk tidak mengecek hp terlebih dahulu sebelum tidur, mataku terasa berat sekali sebab kantuk sedari tadi, sejenak menarik nafas lalu kuhembuskan salah satu kebiasaanku sebelum tidur, mencoba untuk melupakan segala beban kehidupan, dan memantapkan untuk tidur nyenyak tanpa banyak pikiran.

###

“Kayla, bangun nak sudah subuh” dengan samar kudengar ketokan pintu diiringi suara ibuk yang memanggil namaku, ah rupanya pagi sudah tiba tanpa terasa, tidur tanpa mimpi sedikitpun mungkin bisa dikatakan sangat nyenyak, terdengar ibuk terus memanggil namaku, dan akan terus memanggil sampai aku menjawab dan bangun dari kasur,

“iyya buk, Kayla udah bangun” jawabku akhirnya.

Hari-hari dengan pola perjalanan yang tidak sama sekali berubah, sholat, mandi, sarapan, pergi kerja, petang pulang lalu tidur, begitulah kira-kira kehidupanku, lalu bagaimana dengan perasaan? Aku saja masih bimbang akan hal itu, bahkan mencoba untuk bersikap bodo amat, kuliah apalagi, boro-boro kuliah, bisa memenuhi kebutuhan rumah aja udah sangat bersyukur.

“berangkat buk, assalamualaikum” pamitku mencium tangan ibuk dan pipi adek, sembari berlari ke arah mobil yang sudah menunggu di ujung jalan sana, sambil membawa bekal ditangan yang belum sempat aku masukin ke dalam tas kerja, bahkan sisa makanan yang belepotan tak sempat aku hapus hingga kak Riki menertawakanku dan memberikan tisu padaku, malu sekali diri ini, mataku melotot bukan karena kaget seperti di film-film dimana si cowok menghapuskan bekas makanan dipipi sang cewek, tidak. Melainkan melotot karena malu sebab kak Riki memberikan tissue sembari menertawakanku.

“hehe makasih kak” kataku sambil cengengesan karena menahan malu, belum lagi kak Riki pasti melihat aku yang berjalan sedikit berlari dari rumah dengan bawaan rempong layaknya ibuk-ibuk yang ketinggalan angkot ketika mau kepasar,

“duduk yang bener, minum dulu, habis itu kita berangkat ya Kay”

“baik kak, makasih banyak” sedikit kurapikan posisi dudukku dan barang bawaanku, sebelum ditegur lagi,

“Kay” panggilnya tiba-tiba, membuatku hampir tersedak

“iyya kak, kenapa?”

“Kayla boleh jawab, boleh tidak yaa, kak Riki cuma mau nanya” titahnya sembari melihat ke arahku, aku yang sedang meminum air tiba-tiba batuk sampai punggungku ditepuk-tepuk sama kak Riki, “ga usah kaget kay” sambungnya lagi,

“nggnggak kak, cuma keselek aja tadi” elakku berbohong

“karena kamu udah selesai makannya, kak riki nyalahin mobil ya, kita ngobrol dijalan aja” aku mengangguk sebagai jawaban,

Setelah rumahku mulai tak terlihat, kak Riki memulai pembicaraan yang sempat tertunda tadi, “Kayla ada pacar, maksud kak Riki, ada orang yang sedang Kayla tunggu, semacam sudah berkomitmen gitu” pertanyaan kak Riki membuatku kikuk tak berkutik, aku hanya mampu menjawab pertanyannya dengan gelengan kepala, pertanda bahwa aku tidak sedang berkomitmen dengan siapapun, sepertinya aku tahu arah pembicaraan kak Riki, namun aku tidak mau terlalu PD,

“tipe laki-laki Kayla seperti apa kalau boleh tau” kali ini memang pertanyaan yang butuh dengan jawaban, ga mungkin kan kalau aku jawab dengan gelengan kepala lagi,

“tidak muluk-muluk si kak, yang penting agamanya bagus dan bisa menerima aku dan keluargaku apa adanya” jawabku sedikit gerogi,

“kalau misal lelaki itu punya masa lalu, seperti pernah pacaran sebelumnya, apa kamu bisa menerima?” tanyanya lagi sedikit melirikku, sempat kontak mata kami tertaut, namun segera kualihkan,

“bisa, asalkan diselesaikan dulu urusan dengan masa lalunya, sebab seseorang tidak akan fokus dengan masa depannya ketika ia masih memiliki ikatan dengan masa lalunya” ingin kuteruskan kalimatku bahwa hal itu sama halnya dengan diriku sendiri yang masih terombang-ambing dengan perasaan yang entah masih utuh atau tidak kepada Alfin saat ini,

“oke kita udah sampai Kay, selamat bekerja” pesannya, tanpa sadar kita sudah sampai ditempat kerja, obrolan kami juga terpotong begitu saja, dan bagiku itu sangat menggantung, penasaran kiranya apa tujuan kak Riki menanyakan hal tersebut.

Baru saja kau mau menyapa mbak Hanum yang sudah duduk didepan talase buku, tiba-tiba hpku bergetar dan tertera no baru, tapi bukan no Alfin yang kemaren, tanpa banyak berfikir sebba waktuku untuk mengangkat telphone tidak banyak, langsung saja ku angkat dan menyapanya dengan salam seperti biasa,

“waalaikumussalam Kay, ini aku Alya” untuk kesekian kalinya mataku dibuat terbelalak dipagi hari ini, Alya yang sudah lama tanpa kabar, hilang tanpa cerita, tiba-tiba menelfonku dengan suara khasnya,

“Alyaaa, sungguh demi apapun aku rindu banget sama kamu, kamu kemana aja sih, aku nyari nomer kamu tapi tidak dapet, mana kamu ga pernah ngasih kabar semenjak ganti nomer” cerososku dengan kesal,

“iyya aku juga sangat rindu kamu Kay, beberapa bulan lalu aku nyalaf, maksudku aku mondok lagi selama kurang lebih 7 bulan, jadi sebelum kamu pulang dari pesantren, aku udah mondok dan ga boleh megang hp” jelasnya dari kejauhan,

“oalah, senang banget teman aku ini pasti udah banyak ilmu yang bisa dibagi, hehe”

“ga gitu juga, aku masih banyak kekurangan, btw kamu inget ga pas kita ngobrol pake hp pondok dulu”

“iyya, kenapa?”

“nah itu obrolan terakhir kita kan, jadi seminggu dari hari itu aku berangkat, cuma aku sengaja tidak memberi tahu siapapun, maaf yaa”

“jahat” responku bercanda,

“lah kok jahat, jahatan mana sama Dinda yang udah sok sibuk dengan dunia kuliahannya” kami tertwa, menertawakan Dinda dan Amanda yang dulunya sangat manja dan akrab, namun sekarang jarang menghubungiku, dan aku tahu bahwa setahu mereka aku belum punya hp untuk berkomunikasi,

“atau kita buat grup aja ya, kan kamu juga udah punya hp nih”

“wah ide bagus Al, senang banget kalau bisa ngobrol kaya dulu lagi, oh iyya btw kamu dapat no.ku dari mana? Dari mbak Rara ya” tebakku,

“nggak, aku malah ga punya no mbak Rara, ini aku dapat dari Alfin kemaren” jawabnya sangat renyah, aku yang masih berdiri didepan toko sedari tadi semakin membeku, rasanya tulang-tulang dikaki mulai melemas dan memintaku untuk duduk, aku tahu mbak Hanum memperhatikanku sedari tadi, bahkan sudah beberapa kali melambaykan tangannya memintaku untuk duduk di kursi sebelahnya, aku berjalan sangat lamban sembari memikirkan tanggapan apa kiranya yang akan kulontarkan pada Alya,

 apa mungkin perasaan Alya ke Alfin masih sama seperti dulu, sejak kapan mereka saling kontak, bukankah Alfin pernah bilang bahwa ia tidak menyukai Alya, tapi bisa saja perasaannya mulai tumbuh kala berkomunikasi, apalagi aku juga sudah tidak memberi kepastiap akan menunggu Alfin selesai kuliah, lalu apa salahnya jika mereka bersatu, “Kay, kamu masih disana kan?” tanya Alya menyadari aku tak menanggapi pembicaraannya, “iyya Al, ini aku lagi mau cari tempat duduk di toko, karena dari tadi aku berdiri dari saking rindunya sama kamu hahaha” terdengar tawa khas Alya dari seberang sana, “iyya udah duduk dulu, btw kalau kamu mau lanjut kerja gapapa, kita bisa sambung  pembicaraan lain kali” , “iyya Al, maaf ya aku harus kerja soalnya, lain kali kita wajib cerita panjang lebar hehe” tanggapku menyetujui, kami saling berpamitan hingga pembicaraanpun berakhir dengan salam.

“siapa Kay, serius banget sampe lupa duduk” tanya mbak Hanum kala aku duduk disampingnya, aku menggeleng dengan senyum yang terukir diwajahku, pikiranku belum stabil mengingat perasaan Alya ke Alfin hingga saat ini belum pudar, disisi lain aku tak ingin kehilangan Alfin apalagi harus dengan sahabatku sendiri dan mungkin nanti kami akan bertemu kembali, kenapa serumit ini.

Aku menghembuskan nafas lesu, membuat mbak Hanum beralih fokus terhadapku, “Kay, kamu ga lagi sakit kan, udah makan, atau mau istirahat aja” mbak Hanum mulai panik dengan pertanyaan beruntunnya, tangannya mengecek suhu tubuhku dengan cara ia tempelkan di dahiku, “gapapa mbak, aku baik-baik aja kok” jawabku, “cewek itu memang unik ya, kalau ditanya selalu bilang nggak papa, hakikatnya dia banyak menyimpan luka, sepertinya sih seperti itu” ledek mbak Hanum yang tampak tahu bahwa aku sedang banyak masalah.

“mbak, Kayla pengen tanya sesuatu boleh”

“boleh, mbak sambil ngedata pengeluaran ya Kay”

“aman mbak santai, mbak Hanum pernah cerita kan kalau teman SMA mbak ada yang kuliah ke luar negeri?” tanyaku sembari merapika buku yang berserakan,

“iyya kenapa? Kamu mau keluar negeri juga” tanggap mbak Hanum antusias meski sambil bekerja,

“pengen aja nyoba beasiswa gitu mbak, nilai aku bagus-bagus, sayang kalau ga lanjut kuliah”

“terus ibuk sama adek kamu gimana?”

“ada bu de yang bisa jenguk ibuk meski tidak setiap hari mbak, ibuk juga pengen Kayla nerusin kuliah, cuma karena satu dan lain hal aku tidak mau waktu itu” tuturku,

“iyya ada Kay, dia jalur mandiri”, Setelah jawaban mbak Hanum, tidak kuteruskan lagi perbincangan ini, aku ingin jalur beasiswa tanpa biaya, biarlah nanti sambil lalu aku cari di internet tentang kuliah ke luar negeri.

“Kay, ini jus buah dari Riki” kata mbak Hanum yang baru datang dari kamar luar, bukan perasaan senang yang aku rasakan, namun lebih ke penasaran, belum lagi pertanyaannya yang terpotong di pagi hari tadi, apa benar kak Riki mempunyai niat baik terhadapku, pikiranku terus saja terombang ambing antara senang dan sedih, sejenak terkelibat tentang Alfin yang sudah mulai kontakan dengan Alya yang notabene memang pernah mencintainya sejak dipesantren dulu,

“minum Kay, kok malah ngelamun” tegur mbak Hanum begitu tahu bahwa tatapanku kosong pada jus alpukat dari kak Riki, “bentar lagi udah ga bakal minum jus siang bolong kan” lanjut mbak Hanum, sebulan lagi puasa romadhan akan tiba, biasanya akan ada reoni setelah lebaran bersama teman lama seangkatan, kenapa harus setelah lebaran? Karena anak mahasiswa ataupun yang bekerja akan libur dan pulang ke kampung masing-masing, itu pertanda bahwa Alfin akan pulang dan menghadiri reoni tersebut, begitupun anak kuliah lainnya, aku tidak malu meski nantinya anak yang terpandang selalu juara di sekolah ternyata tidak lanjut kuliah, inilah aku, aku tidak akan menjadi siapapun, aku bangga pada diriku sendiri, aku bakal keluar negeri suatu hari nanti, aku yakin.

Kami sudah mulai sibuk dengan urusan sendiri, aku yang sibuk menata buku dan melayani pembeli, mbak Hanum juga kembali sibuk dengan komputer dan data-datanya, belum setengah perjalanan, hpku kembali bergetar, kali ini panggilan dari ibuk, ntah kenapa tiba-tiba perasaanku ga enak sebab tidak biasanya ibuk menelpon di jam kerjaku. “iyya ibuk assalamualaikum, ada apa?” tanyaku langsung panik, “kay, ini ada yang datang kerumah, kamu ada janji sama seseorang kah?” ibukpun kembali bertanya dengan nada panik tanpa memperdulikan sapaan salamku, “siapa buk?, Kayla tidak ada janji dengan siapapun hari ini” jawabku meyakinkan, “udah gini aja, kamu izin ke ibuk tokomu, sini pulang dulu, bilang aja ada acara keluarga, biar pak denya yang jemput kamu ya” belum sempat aku menanggapi perintah ibuk telepon sudah terputus, “halo, buk, halo” panggilku barangkali masih tersambung,, nyatanya nihil, aku harus bergegas untuk berpamitan ke ibuk karena pasti pak de sudah di jalan untuk menjemputku.

Setelah mendapatkan izin dari ibu bos, aku langsung merapikan barangku untuk kumasuki ke dalam tas, mbak hanum juga sempat heran dengan ceritaku yang tiba-tiba itu. Tanpa menunggu lama, rupanya pak de sudah sampai, akupun pamit ke mbak Hanum sembari meminta do’a agar tidak ada masalah yang serius di rumahku, “hati-hati Kay” pesan mbak Hanum sebelum aku menaiki motor pak de.

Sepanjang perjalnan pak de tidak menyampaikan apapun kepadaku, begitu juga denganku yang enggan bertanya, kami hanya sekedar ngobrol seadanya, sekedar tahu bahwa tamu yang datang kerumah adalah satu keluarga.

“tapi benar Kayla ga ada janji sama teman cowok?” tanya pak de disela-sela obrolan,

“tidak pak de, teman cowok Kayla itu cuma sedikit, apalagi sampe ada janji buat bertamu dan semacamnya” jelasku,

Sesampainya dirumah, kulihat salah satu motor Alfin yang terparkir dihalaman rumahku, sejenak  kuberfikir apakah benar Alfin datang untuk memenuhi janjinya, untuk mengikatku terlebih dahulu agar aku tidak menerima orang lain masuk, aku terus berjalan hingga memasuki rumah lalu kedapur menemui ibuk dan bu de yang sedang sibuk menyiapkan hidangan, belum sempat aku lihat ada siapa aja kiranya diruang tamu, “assalamualaikum buk” ucapku kala sudah sampai di dapur, “waalaikumussalam Kay” aku menyalami tangan ibuk lalu bu de, mencoba setenang mungkin sebelum diserbu banyak pertanyaan dari ibuk juga bu de, “Kay, Alfin ada ngomong apa sama kamu” selidik ibuk, “loh itu beneran Alfin buk”, “iyya, ada ngomong sesuatu ke kamu?” aku mulai menjelaskan tentang perbincanganku dan Alfin beberapa hari lalu, “tapi Alfin tidak menyetujui waktu itu” kataku diakhir penjelasan.

Jujur aku bingung antara marah atau senang dengan keputusan Alfin secara tiba-tiba tanpa memberitahuku terlebih dahulu, lalu bagaimana aku akan menjelaskan kepada Alya setelah ini, kulihat Alfin dari bilik jendela dapur, senyum yang ia siratkan sangat manis, begitupun dengan kedua orang tuanya, entah mantra apa yang dia gunakan untuk melembutkan hati kedua orang tuanya sehingga diizinkan untuk meminangku saat ini.

“nduk jangan bengong, ini the kasih ke tamu”

“harus Kayla buk de?” bu de sedikit lesu seakan tak mau menjawab pertanyaanku

“iyya, masa bu de yang dilamar, mereka biar tahu kalau kamu yang namanya Kayla nduk”

Aku menelan ludah dengan kasar, malu dan takut melembur dalam perasaan, kuambil nampan berisikan beberapa gelas the diatasnya dari tangan bu de dengan sangat pelan, rasanya begitu kaku dan gemetar, dengan bismillah kulangkahkan kaki ini menuju ruang tamu, ibuk dan pak de terlebih dahulu sudah duduk disana membersamai para tamu, pak de sebagai pengganti bapak sebab saudara bapak tidak bisa di telfon dan ini dadakan, semuanya serba dadakan.

Dengan penuh hati-hati kududuk sembari memberikan gelas the kepada para tamu, sadar bahwa mereka memperhatikan gerak gerikku membuatku semakin kaki, belum lagi mereka yang berbisik-bisik bahwa akulah yang bernama Kayla itu, “Kay” sapa wanita paruh baya bertudung coklat susu dengan gamis berwarna hitam, aku yang sedang mau memberikan the kepadanya seketika berhenti dan mendongakkan kepala dengan posisi the belum sampai di meja beliau, aku tersenyum lalu menaruk teh itu pas didepan beliau, masih dengan muka bingung ketika ibu menyuruhku duduk disamping beliau setelah pembagian teh selesai, sedang disebelah kananku ialah Alfin yang duduk dengan bapaknya menatap sekilas ke arahku, membuatku paham bahwa yang memanggilku tadi adalah ibuk dari Alfin.

Setelah aku duduk didekat ibuk Alfin salah satu keluarga Alfin menyampaikan niat baiknya untuk meminangku sebagai tunangan Alfin, dengan janji bahwa setelah Alfin selesai kuliah akan menikahiku, sedangkah aku juga belum tahu bagaimana dengan kuliahku nanti, “gimana Kay” sontak aku mengangguk mengiyakan lamaran ini, toh meskipun aku menolak, aku tidak punya alasan yang kuat, bukankah aku yang memang menyuruh Alfin untuk meminangku terlebih dahulu agar aku tidak memberi peluang bagi orang lain, “Alhamdulillah” ucap serempak dua keluarga dalam ruang tamu yang berukuran tidak terlalu besar ini. Ibuk Alfin memasangkan cincin pertungan kepadaku, dilanjut dengan foto-foto dua keluarga, senyum rekah terlukis indah pada malam hari ini, “Fin, giliran kalian foto bareng, biar bapak yang fotoin” titah ibuk Alfin yang juga menatap ke arahku, meski sebelumnya aku belum pernah bertemu dengan ibunda Alfin yang kukira akan menolakku, ternyata beliau baik sekali, nada bicaranya menyiratkan makna kasih sayang, syukur alhamdulillah untuk kejutan yang Allah beri di hari ini.

Setelah sesi foto selesai, para tamu dengan senyum sumringah serta pembahasan yang hangat sembari menikmati hidangan siang ini, aku sengaja kembali kedapur untuk mngecek hp, rupanya sudah banyak pesan selamat yang kudapat dibeberapa deretan pesan, foto pertunangan kami sudah tersebar di grup alumni, membuat mereka dengan mudah menggunakan foto itu di satus WA mereka dengan ucapan selamat, mbak Rara juga mengucapkan kata-kata selamat dengan kalimat yang begitu panjang, begitupun dengan Alya dan Dinda dengan nomer baru yang tertera, rasanya perlahan Allah mengembalikan sahabat-sahabatku, namun ada sedikit rasa yang mengganjal, Alya? Tak ada pesan ataupun status di nome WA Alya, padahal aku yakin dia pasti sudah tahu tentang kabar ini, apakah itu pertanda bahwa Alya masih menyimpan rasa kepada Alfin dan menganggap akulah orang yang mneghancurkan rasa itu, ‘ya Allahh’ desahku dalam diam.

Layar ponselku kembali menyala,pertanda bahwa ada pesan masuk kembali, memang  sengaja aku silent sedari tadi agar tidak mengganggu kelancaran acara yang tiba-tiba ini. Baru saja aku menggeser layar kunci untuk membaca pesan dari temanku, namun ibu keburu memanggilku ke dapur, sebab para tamu akan berpamitan untuk pulang. Setelah merapikan kembali jilbab dan gamis yang kukenakan, akupun kembali ke ruang tamu dan menyalami semua keluarga Alfin kecuali yang laki-laki, begitu sampai digiliran bersalamat dengan calon mertua, alias ibuknya si Alfin, dengan hangat beliau memelukku layaknya anak sendiri, namun adegan tersebut tak berlangsung lama sebba aku juga harus bersalaman ke tante juga sanak keluarga yang lainnya.

“sehat-sehat ya Kay”

“jangan sering telponan, ga boleh belum halal Fin”

“tapi mereka bakal LDR, kan nak Alfin kuliah diluar kota”

“oh iyya, palingan pas liburan aja ya Fin kamu pulang, gapapa kan masih tunangan”

“iyya Alfin juga harus jaga hati disana, apalagi dunia perkuliahan ujiannya berat”

“iyya ntar liat yang bening dikit langsung balik arah”

“enggak, insyaAllah ini anakku kuat iman mbak”

Aku yang hanya diam mendengarkan perbincangan buibu ketika hendak pulang sebenarnya memang sedikit risau, namun apalah arti kasih sayang jika tidak didasarkan pada kepercayaan, Alfin juga pasti sedang memikirkan hal yang sama, sebab dunia kerjaku juga ada seorang laki-laki, apalagi saat ini aku sudah terikat, dalam artian pak de harus mengantar dan menjemputku ke tempat kerja, sebab Alfin juga pasti akan sangat keberatan jika tahu jikalau aku di antar jemput kak Riki.

“Assalamualaikum” ucap serentak para tamu, kamipun menjawab dengan salam sempurna, aku masih setia berdiri di depan rumah sembari menunggu mereka berlalu, hingga perlahan motor merekapun tak terlihat, terakhir yang kulihat Alfin yang sedang menunduk namun berusaha untuk tetap tidak terlihat gerogi, dan menatapku sekilas ketia ia sudah mau mengendarai motornya, ah kenapa aku dibuat malu.

“udah yuk Kay kedalam, ada yang mau ibuk omingin” ajak ibuk tiba-tiba, sudah kuduga kaan banyak pertanyaan yang akan ibu tanyakan, apalagi adik sudah tidur dari setengah jam yang lalu, membuat ibuk semakin leluasa menanyakan ini itu kepadaku, ngeri ngeri sedap ranya

“iyya buk ayuk” jawabku singkat, mengikuti langkah ibuk yang kembali ke ruang tamu bersama bu de dan pak de, terasa hawa panas yang sedang menyelimuti rumah ini, layaknya sidang skripsi yang bikin deg degan meski aku tidak pernah merasakan suasana sebelum sidang tersebut, kali ini beda nama, sidang keluarga lebih tepatnya.

sesampainya diruang tamu, kami duduk secara bersamaan, aku duduk di kursu yang bersebrangan dengan ibuk, sebelah kanan ada bu de dan pak de yang duduk berdampingan,

“apa benar Alfin tidak ngomong tentang lamaran ini sebelumnya ke kamu Kay” tany ibuk yang memulai pembicaraan ini

“tidak buk”

“kenapa dia tidak takut kalau tiba-tiba kamu tolak? Tadi juga kamu langsung menyuruh ibuk untuk menerimanya, apa kalian sudah kenal dekat?”

“buk, sebenarnya Kayla yang menyuruh Alfin untuk melamar kayla agar Kayla tidak membuka hati kepada orang lain, Kayla bilang ke Alfin bahwa Kayla kan menunggu Alfin sampai lulus S1 dengan syarat Kayla sudah diikat terlebih dahulu, dalam artian tunangan” terdengar hembusan nafas berat dari ibuk, pak de dan juga bu de,

“Kay,, lain kali kalau ada apa-apa itu ngomong sama kami, kalau malu sama bu de dan pak de, minimal sama ibukmu sendiri, kamu tidak punya siapa-siapa selain kami”

“baik bu de”

“ya udah kamu ke kamar istirahat, ibuk mau telfon bapakmu dulu, mau ngasih kabar”

“harus ya buk” potongku sebelum beranjak ke kamar

“iyya Kay, bagaimanapun juga dia itu bapak kamu, wali kamu, nanti kalau kamu nikah, bapakmulah yang akan menjadi wali” jawab ibu sedikit dengan nada tinggi

“iyya Aamiin buk, semoga ga sibuk lagi, semoga bisa jadi wali Kayla nanti, ya udah buk, Kayla mau ke kamar”

Tak ada tanggapan lagi dari ibuk, bu de ataupun pak de.

Sesampainya dikamar, bukan rasa lega  yang aku rasakan, masih dengan rasa risau tentang Alya, akankah dia akan marah? Atau ikut senang dengan pertunanganku dan Alfin? Entahlah.

###

Buku harian berwarna silver sudah terlihat rapuh di rak buku, ingin membaca kembali namun terasa sangat enggan hendak mengambilnya, sellau saja waktu bergulir mengalihkan pada pekerjaan yang lain, dan pagi ini rasa enggan itu tiba-tiba hilang ketika aku melihat ada kertas berwarna ping yang terselip di beberapa lembaran putih di dalamnya, dengan rasa janggal dan penasaran kuraih buku diary itu dari rak buku, benar ternyata ada kertas yang terlipat seperti surat tanpa aku tahu selama ini, tertera nama di depannya (From: Alya), rupanya surat ini dari Alya beberapa tahun yang lalu sebelum Alya pindah, dan aku masih di pesantren, sayangnya aku sudah ganti buku diary dan lupa membukanya lagi, begitu kaget dan merasa bersalah sebab surat itu baru bisa kubaca hari ini, qodarullah untuk semuanya. Dengan penuhh penghayatan ku baca bait-bait aksara pada coretan tinta Alya,

‘Dear Kayla,,,

Kenapa harus menyembunyikan semuanya dariku? Kenapa tidak langsung cerita? Takut? Jika iyya, aku tidak apa-apa kok. Memang, aku ada rasa suka terhadap Alfin, tapi aku tidak seegois itu, aku tahu Alfin menyukaimu, dan jikalau kamu juga mempunyai rasa yang sama aku menerima, kalian cocok dengan cinta yang sama, buka sepertiku yang hanya sepihak. Oh iyya, jangan marah sama Dinda ataupun Amanda sebab mereka bercerita kepadaku, sebenarnya aku marah sama kamu karena kamu tidak jujur dan menyembunyikan semuanya dariku Kay, namun aku juga tidak lama lagi di pesantren ini, jadi kenapa harus ribut dengan hal sepele, hehe. Lancar terus ya Kay sampe nanti kalian kuliah bareng, bukankah kamu pernah bilang kalau kamu punya keinginan untuk kuliah ke luar negeri bersama pasanganmu nanti? Semoga Alfin adalah jawaban atas do’amu selama ini Kay.

Salam sayang, Alya sahabatmu.”

Pondok pesantren tercinta, 2019.

 

Dua detik kemudian, ku hempaskan segala penat pikiran dengan nafas lega sembari telentang dikasur, akhirnya salah satu teka teki selama ini sudah terjawab, dan entah kenapa sampai sekarangpun Alya dan sahabat lainnya tidak ada kabar ataupun nge chat ini itu.

“guys besok siang kita ketemuan yuk, sambil rujakan di warung kece dekat rumah mbak Rara..” ajak Alya tiba-tiba di grup dengan pesan suara yang sedikit merajuk, satu persatu balasan dari Amanda dan Dinda juga berdatangan, aku masih kikuk dengan semua ini yang seolah tidak ada apapun yang terjadi, ah memang tidak ada yang spesial dengan acara tunangan secara tiba-tiba itu.

“aku ga janji ya Al, ga tau pak de bisa antar atau tidak besok” responku di grup WA,

“aku jemput Kay, tenang aja hehe, pengen aku peluk kamu sampai diremes-remes dari saking lamanya ga ketemu” jawab Amanda

“nah betul itu, sekali-kali Amanda berguna buat orang lain” timpal Alya dengan stiker julid ala dia, aku menahan tawa dalam masih menahan tawa,

“astaghfirullah, gini gini aku juga berguna buat negara weh” Amanda mulai menanggapi dengan serius guyonan Alya,

“Okay deh kalau gitu, Amanda jangan sampe kelamaan jemput aku yaa, biar kita bisa cepet ketemuannya, hehe” balasku kemudian,

“eh Kay, kau kira aku jet yang bisa terbang secepat mungkin, ya sabar lahh, kali aja ada pawai dijalan kan jadi macet”

“wkwkkw”

“hahahaha”

Perbincangan kami digrup masih berlanjut dengan hangat, hingga selang beberapa menit kemudian, aku pamit untuk tidur duluan sebab mata sudah merasa berat dan meminta untuk istirahat, ada banyak topik yang berkeliaran dalam otakku sehingga menghambat tidur nyenyakku, masih tentang pertunangan yang secara tiba-tiba ini, sebab baru saja aku bilang ke kak Riki bahwa aku tidak mempunyai pacar ataupun orang yang sedang dekat denganku, bingung harus kujelaskan seperti apa nanti ketika sudah di tempat kerja.

###

“morning guys” sapa Dinda di grup WA pagi sekali, aku yang sengaja tidur kembali setelah sholat subuh, hampir saja telat untuk mandi dan siap-siap, beruntung aku dikagetkan dengan getaran hp yang bergetar dengan pesan dari Dinda. Ku abaikan hpku setelah melihat jam sudah menunjukkan jam 9 pagi, bergegas ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk bertemu mereka siang ini, aku berjalan ke luar kamar dengan sedikit sempoyongan, namun tak kudapati sosok ibuk ataupun adek yang biasa di ruang tamu atapun di teras depan, suara merekapun juga tidak bisa kudengar, kemana mereka?.

“bukkk” panggilku sambil mencari ibuk ke dapur, ke halaman belakang hingga aku kembali ke kamar lagi dan mengambil hp untuk menghubungi ibuk, nada tersambung mulai terdengar namun tak kunjung ibuk angkat, suara operator menunjukkan bahwa nomer ibuk tidak dapat dihubungi, tanpa putus semangat aku meneponnya kembali, masih sama tidak ada jawaban, sedangkan aku harus pamit untuk pergi keluar bersama teman-teman, ‘ahhhh’ desahku kesal.

Aku tetap melanjutkan aktivitasku untuk mandi dan siap-siap, karena tidak mungkin aku membatalkan pertemuan yang bisa dibilang hampir tidak pernah ini, aku akan pamit dengan mengirim sms ke ibuk nanti, dan akan menelpon bu de juga tentunya.

“Assalamualaikum Kay, selamat pagi” baru saja aku mau beranjak ke kamar mandi, namun sederet pesan berhasil mengambil perhatianku, ucapan salam dan selamat pagi beserta emoji senyum dipagi hari serasa kembali membangkitkan semangat hari ini, pesan yang sudah aku tunggu sedari malam tadi akhirnya datang juga, yah pesan itu dari Alfin, aku ingin mendengar pernjelasannya tentang pinangan yang secara tiba-tiba tanpa memberiku terlebih dahulu, akhirnya kuurungkan untuk mandi dan lebih memilih membalas pesan itu, toh masih jam 09.20, pikirku.

“waalaikumussalam Al, selamat pagi,” jawabku sesingkat pesannya,

“Kay, aku mau izin kalau aku mau pindah kampus, alhamdulillah aku diterima beasiswa di Al-azhar Cairo Mesir, pengumumannya baru subuh tadi, dan aku harap kamu dengan lapang bisa memberikan izin untuk kepergianku ke luar negeri” jangan lagi ditanya tentang raut wajahku seusai membaca pesan tersebut, jelas merah dan marah, belum juga ia memberikan alasan kenapa bisa datang tiba-tiba kemaren sore, namun malah menambah beban pertanyaan di otakku,

“ Al, boleh ga kamu jelasin dulu kenapa kamu datang secara tiba-tiba tanpa memberiku kabar, setidaknya mengirim pesan jika tidak mau menelpon”

Terdengar hembusan nafas berat dari seberang sana, “Kay, aku tahu kalau kamu lagi di dekatin sama salah satu pekerja di tempat kamu bekerja, jelas aku ga mau kehilangan kamu, aku tau dari mbak Rara soal pria bernama Riki itu, dan akhirnya kau memberanikan diri untuk ngomong ke bapak dan ibuk, alhamdulillah dengan izin Allah mereka merestui dan mau di ajak ke esokan harinya dengan persiapan yang juga tiba-tiba Kay, aku harap kamu bisa memaklumi, dan maaf karena kau tidak mengirimu pesan terlebih dahulu jikalau aku mau datang ke rumahmu, karena aku pikir ini akan menjadi hadiah di hari itu” jelas Alfin cukup memuaskan,

“jujur aku memang bahagia, namun ibuk kerap kali bertanya ‘kok bisa’, pak de dan bu de juga kaget dengan hal ini Al, tapi tak apa, mereka sudah mulai mau memahami kok, kamu tenang aja” belaku menerima,

“lalu bagaimana dengan kepergianku nanti, apakah kamu memberi izin?”

“jujur memang ada rasa tak ingin jika kamu harus pergi ke luar negeri Al, tapi aku juga tidak berhak melarang kamu ini dan itu, kita masih sebatas tunangan, aku akan menghargai jerih payah kamu untuk mendapatkan beasiswa di luar neegeri, apalagi di mesir, kamu sangat memimpikan negeri itu dari dulu, aku dukung kamu, dan semoga nanti aku bisa nyusul kamu dengan beasiswa juga, aku akna kuatkan lebih dalam hafalanku dan juga berkas lainnya, insyaAllah kita akan ketemu disana nanti” dalam jawabanku terselip beberapa do’a yang kuharap Allah akan mempermudah semuanya,

“Aamiin Kay, aku tunggu kamu disana yaa”

“oh iya Al, siang ini aku bakal ketemuan bareng sahabat-sahabatku, aku bakla dijemput Amanda, dan btw kamu kapan rencana berangkat ke Mesir?”

“rencana keberangkatanku seminggu lagi Kay, mungkin nanti kita bisa ketemu dulu, aku akan pamit juga ke ibuk, pak de dan bu demu nanti, oh iyya salam yaa buat sahabat-sahabatmu”

“okay Al, nanti kita sambung lagi yaa, karena aku harus siap-siap”

“iyya, hati-hati yaa, jangan lupa berkabar, assalamualaikum”

“waalaikumussalam” ahh rasanya gini yak ditanyain kabar atau nggak di chat orang pagi-pagi, kayak ada semangat baru yang masuk ke sanubari, “ah sudahlah, aku mau mandi” gumamku dalam hati.

Aku bergegas ke kamar mandi sebab jam sudah menunjukkan 09.30, dan Amnada akan menjemputku kurang lebih jam 11.00, sedang pikiranku masih berkeliaran tentang Alfin yang akan pergi ke luar negeri, pikiran negatif dan positif kerap kali bersahutan hingga terbawa ke kamar mandi, bahkan sedari kamar mandi pikiran tentangnya juga masih enggan pergi, banyak ketakutan-ketakutan yang memang belum terjadi dan hanya sebuah ilusi.

Setelah dari kamar mandi, kembali ku cek hp, namun rupanya belum ada pesan dari anak-anak, dan itu bisa membuatku sedikit lebih lega dan tidak harus terburu-buru, dalam sholat dhuha, banyak permintaan dan ucapan terimakasih kepada Sang Jagat Raya yang telah memberikan kemudahan atas segala urusanku dan keluargaku, tak lupa juga kutitipkan Alfin untuk tetap Allah jaga dan memberikan yang terbaik untuk kami, sebab jodoh hanya Allah yang tahu.

Tanpa banyak memakan waktu, aku sudah memilih salah satu baju yang akan aku kenakn, rok plisket berwarna hitam berpadu dengan baju tunik berwarna hijau lumut serta kerudung segi empat dengan warna senada, entah kenapa aku jatuh cinta pada warna hijau sebab bagiku dunia tidak akan secantik ini tanpa warna hijau, yakni dedaunan dan tumbuh-tumbuhan yang memilika warna hijau.

Derttttt …. hpku kembali bergetar saat aku dengan asyik bercermin membetulkan kerudung yang belum rapi, aku masih melanjtkan memakai jarum pentul tanpa melihat pesan masuk terlebih dahulu, memandangi wajahku di cermin dengan garis senyum bak bulan sabit, dengan olesan make up natural yang sedikit kuhiasi dengan celak, dan sedikit lipblam berwarna pink agar tidak terkesan sangat pucat.

“Kay, udah siap? Aku udah otw ke rumahmu nih” sederet pesan dari Amanda yang mengabarkan tentang keberadaan dirinya,

“ok Amanda, hati-hati yaa, aku udah siap kok” balasku.

Di grup Sahabat WA:

“guys aku ke tempat duluan buat reservasi tempat, karena nomer abangnya lupa ga aku simpan” tulis Alya,

“ya Allah Al, kebiasaan nomer orang penting ga kamu simpan, giliran nomer abang tukang cilok kamu simpan” ledek Dinda,

Sengaja tak ikut nimbrung, hanya membaca seakan mengikuti alur percakapan mereka, aku hanya sekedar senyam senyum sendiri sambil menunggu Amanda yang sudah hampir sampai. Beberapa menit kemudian suara klakson sepeda motor berbunyi di depan rumah, “Assalamualaikum” terdengar pula suara khas Amanda, aku yang sudah siap langsung sedikit berlari ke luar rumah dan menemui Amanda, “Waalaikumussalam, ya Allah Amandaaa, aku rindu sekali, kita udah lama ga ketemu looh” sambutku dengan memeluknya hangat, “iyya aku juga rindu banget Kay sama kamu, kek ilang ga ada kabar gitu setelah tunangan sama lelaki idaman” Amanda meledek perihal tunanganku yang belum juga genap 2 hari ini, “eh dari mana kamu tahu” tanyaku penasaran, “Kay, aku tuh ga ngucapin selamat ke kamu bukan berarti aku nggak tahu, masak sahabat tunangan ketinggalan informasi ya nggak dong, yahh meskipun kamu ga ngasih tahu ke kami, kami juga bisa tahu lewat story anak-anak yang lain wkwkwk” kenapa aku yang merasa salah sebab aku tak memberi tahu mereka, Amanda ada benarnya juga, “loh kok bengong ayuk naik, Alya dan Dinda kayanya udah sampe” tegur Amanda, “kamu ga mampir duduk dulu gitu da” “gapapa lain kali aja, yuk yuk”. sepanjang perjalanan, Amanda terus menanyaiku perihal hubunganku dengan Alfin, bak orang yang sedang menginterogasi, aku menjawab seadanya, tanpa dilebih-lebihkan dan dikurangi, perjalanan singkat namun banyak sekali teka tekinya, “oh jadi kalian sempat renggang Kay” tanya Amanda disela-sela ceritaku, angin kencang dan suara bising membuat kami harus sedikit mengeraskan suara ketika bicara, Amanda juga harus fokus pada jalan yang hampir dipenuhi sepeda motor dan kendaraan lainnya, “iyya kami sempat renggang, nanti aku ceritain deh” pungkasku, sebab tak ingin teriak-teriak tengah jalan, apalagi seorang gadis, malu.

Belum sampai sejam, kami sudah tiba di cafe kece ini, kudapati Dinda dan Alya yang sudah sekian purnama tak berjumpa, rasanya haru, rindu dan banyak perasaan lainnya menjadi satu, kami berhambur berpelukan, tak pedulu seberapa banyak pasang mata yang memperhatikan kejadian ini, intinya kami hanya ingin mengobati rindu kelam ini dengan temu, layaknya sepasang kekasih yang lama terpisah oleh jarak sebab salah satunya harus mencari nafkah, namun ini bukan perihal sepasang kekasih, ini adalah perihal persahabatn yang telah lama kami rakit hingga utuh seperti sekarang.

“akhirnya kita ketemu jugaa Kayy” sambut Alya masih dalam pelukan,

“iyya akhirnya aku bisa ketemu kalian semua” responku tak kalah haru,

“yuk duduk dulu, aku sama Dinda udah pesan, Kayla sama Amanda mau pesan apa”

“aku mah samain aja gapapa Al, eh Din, aku kangen banget ga di usilin kamu” guyonku ke Dinda,

“ohh gitu yaa, giliran aku malah di inget jeleknya doang, sekali-kali inget baiknya lah Kay” Dinda merajuk ala anak smp yang kutemua beberapa tahun yang lalu,

“candaa, kamu baik kok, kalian semua baik,”

Terdengar Alya sedang memanggil pelayan cafe dan memesankan makanan untukku dan Amanda, aku masih sedikit getir dengan pertemuan ini, bagaimana jika Alya memang sudah tahu tentang tunangan aku dan Alfin namun ia pura-pura ga tau dan terlihat baik-baik aja, sejatinya ia sakit hati, banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang masih belum terjawab, hanya sekedar kalimat ‘semoga’ yang terselip dalam pikiranku, semoga persahabatan ini masih Allah jaga hingga menua nanti.

“sebentar lagi makanannya datang, sambil nunggu makanan kita cerita aja sampe mulut berbusa” ajak Alya sedikit melirikku, “Kay, cerita dongg, penasaran nih kami” lanjutnya, semua tatapan menuju ke arahku, bingung dan canggung yang aku rasakan sama sekali tak bisa disembunyikan, “kok aku? Cerita apa?” tanyaku bingung,

“cerita tentangberita yang viral tadi malam ya guys” rupanya Dinda juga sudah tahu, yah mereka sudah tahu tentang tunanganku dan Alfin,

“buru Kay cerita, aku udah ga sabar nih ngedengerin, si Alfin malah mengalihkan pembicaraan terus kalau aku tanya” ungkap Alya,

“kamu udah tahu Al” tanyaku ragu,

“iyya Kaylaaa, gapapa cerita aja, kan kau udah dukung kamu sama Alfin, kenapa? Kamu mikirin perasaanku yang selama ini suka sama Alfin?, gini nih Kay aku ke Alfin sudah ga ada perasaan lagi, kami hanya kontakan layaknya teman biasa, ya aku sadar kalau Alfin tuh sukanya sama kamu bukan sama aku” tutur Alya sedikit membuatku lega,

“maaf ya Al, aku ga maksud buat rebut Alfin dari kamu”

“astaghfirullah, nggak Kay, aku juga ga merasa kamu rebut Alfin kok”

“udah Kay tenang aja, si Alya mah udah ada calon, cuma dia diam-diam aja ke kita” bongkar Amanda sembari melirik pelan ke arah Alya yang langsung disambut dengan tatapan sinis oleh Alya,

“ohh gitu, okay aku bakalan cerita, tapi nanti giliran kalian yah yang cerita”

“ok aman” jawab mereka bertiga serentak,

“sebenarnya pertunangan aku dan Alfin itu dadakan guys, kami sempat renggang dan nyaris tak ada kabar, namun,,, “

“namun apa Kay, jangan digantung”

Kutarik nafas untuk melanjutkan cerita yang ku jeda tadi, sedikit demi sedikit kujelaskan kepada mereka bahwa aku dan Alfin hampir tidak saling mengabari, akupun menjelaskan tentang kak Riki yang juga sempat dekat denganku, alasanku untuk membuka kembali pintu hati untuk orang lain sebab Alfin tak mau menemui keluargaku sebelum ia kuliah, sedetail mungkin aku menceritakan semua tentang Alfin dan berakhir ke pertunangan tadi malam yang secara tiba-tiba itu, mereka cukup kaget dengan ceritaku yang terakhir, namun mereka juga tidak menyela pembicaraanku, mendengarkan bahkan ikut berekspresi dengan kisah suka,duka yang penuh lia liku ini, sampai pada akhirnya aku berhenti sebab pelayan datang membawa makanan kami yang sudah siap, “terimakasih mas” balas Amanda kepada pelayang cowok yang mengantar makanan sembari mengucapkan ‘selamat menikmati’,

“keluargamu kaget ga Kay” tanya Alya masih dengan raut wajah penuh penasaran,

“jelas iyya, tapi setelah aku jelasih semuanya, mereka mulai paham kok” jawabku singkat, tangan kami masih sibuk membagi bagikan maknanan dan minuman di meja bundar ini,

Setelah semuanya sudah kebagian makanan dan minuman, perlahan kami mulai menyantapnya, “lanjut Kay” bujuk Amanda dengan mulut yang masih penuh makanan,

“kok aku terus, gantian dong” aku melirik dan menyenggol tangan Alya yang duduk disebelahku, namun Alya masih bersikap bodoh amat dan pura pura ga merasa tersenggol, akhirnya aku memutuskan untuk memberi tahu mereka tentang Alfin yang akan berangkat ke luar negeri,

“sebenarnya aku sedikit risau sih, karena Alfin bakal pindah kuliah ke Mesir, beasiswa yang dia ajukan sudah resmi keterima” jelasku, sontak mereka yang sedang lahap mengunyah makanan berhenti, memandangiku lalu berkata “LDR dong” secara bersamaan, “itu nada kalian bisa dikecilin dikit gak, udah kayak paduan suara aja” tegurku pada mereka,

“tapi kamu bisa LDR Kay” tanya Alya,

“ya gapapa, toh kami juga masih tunangan, keluarga Alfin sudah memberikan izin, lalu kenapa aku harus melarangnya” tanggapku,

“iyya sih benar kamu Kay” Amanda ikut menanggapi,

“yang namanya jodoh kan ga ada yang tahu, cuma Allah yang tahu” Dinda mulai ikut menimbrung dan berhenti mengunyah makanannya sejenak,

“tumben Din kata-katamu bijak” ledek Amanda

“sok soan dia ngomongin jodoh, tanya aja udah ada yang kepincut ga, pasti nggak” Alya ikut meledek dengan keusilannya

“aku kan anti pacaran guys, ntar kalau udah ketemu oppa oppa bakal aku deketin” jawab Dinda santai,

“kamu masih suka nonton drakor Din?” tanyaku sambil menahan tawa

“iyya dong,” jawabnya tanpa dosa

“kuliah kamu gimana? Kasian loh orang tuamu biayain kamu, yang bener belajarnya Din”

“yah lagian aku minta sekolah di Korea, bapak ibuk ga ngasih izin, malah disuruh kuliah dekat-dekat sini, ya udah anaknya gini gini aja ga tau dunia luar”

“emang bisa bahasa inggris atau korea Din?” tanya Amanda

“kamsemidaa, thank you” Dinda memperaktekkan bahasa inggris dan koreanya yang pas pasan dengan sangat polos, kami serentak tertawa, namun kami tak hanya menertawainya, kami juga memberi semangat untuk dinda agar bisa ke korea beneran, diantara kami memang Dindalah yang paling suka nonton drakor, berbeda memang.

“kita udah lama banget tahu ga tertawa lepas kayak gini, habis dari sini mau kemana guys” Alya mengalihkan topik pembicaraan setelah habis habisan kita meledek Dinda yang dengan senang hati menerima begitu saja, karena Dinda tahu jikalau kami hanya bercanda,

“Al, sepertinya sedang dekat dengan seseorang yah, apa jangan-jangan kepincut pas di sekolah baru, oh iyya tumben kamu balik kesini”

“gini Kay, Da, Din, aku sebenarnya ga lama disini, hanya untuk silaturrahmi ke ibuk bapak, kalau maslaah percintaan, aku belum kesana karena aku ga mau salah pilih lagi, I mean salah menaruk hati” tertangkap rasa kecewa bahwa Alya pernah menaruk rasa terhadap Alfin, namun aku tak ingin memperkeruh keadaan, aku hanya ingin mendengarkan tanpa memebri respon terlebih dahulu,

“dan kayanya aku bakal disini dulu 2 bulan kedepan, baru akan dijempu sehabis lebaran nanti” lanjutnya,

“wah kita bisa bukber dong kalau gitu”

“iyya kita bisa sering ketemu”

“kalau gitu sering-sering lah main ke rumahku, di rumah sepi, cuma ada ibuk dan adek” tawarku,

“enak kayanya buat markas kita, wkwkwk” timpal Alya,

Kami dengan khidmat melanjuti pembicaraan sampai makanan kami habis bahkan sempat menambah snak kentang, rasa nikmat senikamat pertemuan kami hari ini membuatku semakin yakin bahwa sahabat itu ibarat rumah kedua dari keluarga, mereka akan selalu mengalah dan mendukung satu sama lain, meski cinta sekalipun yang hampir memporak porandakan hubungan kami, itu tak berhasil sebab kami lebih mengutamakan persahabatan ini kokoh hingga nanti.

Tak sedikit orang yang sudah berganti masuk ke cafe ini, kami yang juga sudah terlalu lama dengan keramaian tanpa peduli mata memandang, seakan dunia milik kami ber4 tanpa ada orang lain, syukur alhamdulillah untuk hari ini Allah sempatkan kami mengukir kisah kembali, kami memutuskan untuk kembali ke rumah masing-masing, sedang Amanda dengan senang hati mau mengantarku pulang kembali ke rumah, pelukan erat kami haturkan satu sama lain, saling berpesan untuk tetap menjaga silaturrahmi dan berkabar, saling mengingatkan bahwa kami selalu ada untuk persahabatan ini, masyaAllah indahnya pertemanan yang Engkau anugerahkan kepada kami, “hati-hati” pesan Alya kepadaku dan Amanda, begitupun Dinda, “kalian juga hati-hati ya” balasku, kami pulang dengan arah yang berbeda, hingga keduanya sudah tak terlihat dan kamipun juga sudah semakin jauh.

Sepanjang perjalanan, Amanda bungkam, tak seperti tadi yang sangat ceria, barangkali lelah sehabis bergurau tadi membuatnya enggan untuk berbicara, aku menikmati angin sore dengan tenang disepanjang perjalanan, melihat bagaimana banyak kendaraan yang kadang tanpa sabar menyalip begitu saja, melihat beberapa masyarakat yang lebih senang berjalan kaki bersama anak dan cucunya, suasana sore ditengah keramaian desa yang tak seramai kota, asri dengan rerumput dan pepohonan yang berwarna hijau segar, “Kay” mendengar Amanda memanggilku, dengan semangat aku menjawabnya, “iyya Amanda kenapa”, “sebenarnya aku sama Dinda sudah lama ga saling bertegur sapa” tuturnya, “iyya kan sama aku juga gitu, eh bukannya rumah kalian deketan yah, atau kamu pindah” , “nggak, nanti aku jelasin pas nyampe ke rumah kamu” aku mengangguk meski tak terlihat oleh Amanda, diamku sembari berfikir tentang apa kiranya yang akan diceritakan, pandanganku masih sama, memandangi jalanan dan awan yang sudah mulai menguning diujung barat, matahari mulai menenggelamkan wajahnya pada awan kelabu, senja selalu membuatku tertarik untuk tetap memandangnya dengan senyum merekah.

“alhamdulillah udah sampe” ucapku menyadari sepeda motor Amanda sudah berhenti di depan rumah, kudapati ibuk yang sedang menungguku dikursi teras rumah bersama adik, Amanda juga ikut turun bersamaku menyalami ibuk, “udah makan-makannya Kay, ini siapa?”

“ini Amanda buk, teman Kayla waktu dipesantren dulu, itu loh buk yang kadang ikut Kayla pas disambangi ibuk” jelasku,

“ohh iyya, maaf ibuk suka lupa, ayuk duduk nak”

“baik buk, ibuk apa kabar” selang Amanda mengobrol dengan ibuk, aku ke dapur untuk mengambil maknanan dan minuman seadanya,

“Amanda, ini dimakan yaa”

“yah kenapa repot-repot Kay, kan aku cuma mampir” keluh Amanda merasa ga enak hati,

“gapapa, menyambut tamu dan menyuguhinya sesuatu itu adalah sunnah, makanlah”

“terimakasih banyak” balasnya,

“btw mau cerita apa tadi?” tanyaku pada Amanda yang asyik ngemil kue kering,

“ya udah ibuk ke dalam dulu yah, kalian cerita-cerita aja” pamit ibuk, beliau paham jika kami butuh ruang untuk bercerita empat mata, Amanda juga hanya tersenyum kala ibuk pamit ke dalam, sepertinya memang ada hal penting yang mau Amanda ceritakan,

“Kay, aku jadi ga enak ke ibuk kamu” tuturnya dengan mengerutkan dahi di wajahnya,

“kenapa harus ga enak Amanda?, beliau itu paham sama kita, hehe”

“oke, jadi gini Kay, to the poin aja ya, sebenarnya aku dan Dinda sempet ga nyapa lamaa banget”

“hah, karena apa?” tanyaku memotong pembicaraan

“iyya makanya dengerin aku cerita dulu” tegur Amanda sedikit kesal

“sama persis dengan ceritamu dan Alya, kami sempat menyukai lelaki yang sama, bodohnya aku keras hati tidak mau mendengarkan penjelasan Dinda, dan Dinda juga egois terus menyalahkan aku, hingga pada akhirnya kami tengkar bertiga dan putus”

“hah kalian udah status pacaran gitu?” tanyaku dengan suara sedikit menggeretak

“hampir tunangan Kay, orang tuaku udah tau, orang tua Dinda juga, semuanya terbongkar waktu aku menemui Dinda di warung makan, Dinda tidak tahu apa-apa karena memang si mantan pacarku ini ga cerita ke Dinda kalau dia udah pacaran sama aku, setelah aku pulang dari sana, aku marah besar ke Dinda lewat chat hp, aku bodoh ga langsung nanya ke si Wildan waktu itu, orang tua kami juga tahu kalau kami sedang tidak bertegur sapa, akhirnya kami mau bicara setelah dibujuk oleh kakaknya Dinda, dan aku juga sadar bahwa yang salah itu si Wildan bukan Dinda” klarifikasi Amanda membuatku sadar bahwa kita tidak boleh percaya sepenuhnya kepada semua orang, apalagi baru kenal sebentar,

“terus Dinda juga udah tidak ada hubungan sama Wildan itu?”

“iyya udah nggak juga, Dinda juga pasti mikir jikalau seseorang sudah pandai berbohong, maka itidak menutup kemungkinan untuk mengulanginya lagi”

“hmm iya bener banget, ini pelajaran buat kita semua untuk tetap hati-hati memilih pasangan hidup”

“lah kan kamu udah ada Alfin Kay” tegur Amanda seketika menyadari kalimatku barusan

“iyya bener, tapi kan hanya Allah yang tahu jodoh kita yang akan menemani kita sampai akhir hayat nanti siapa” jawabku dengan senyum

“iyya semoga kalian jodoh ya Kay”

“Aamiin, aku juga selalu minta yang terbaik dan semoga ga ada fitnah apapun nanti ketika Alfin sudah pergi ke Mesir”

“Aamiin” Amanda ikut mengaminkan sebelum ia pamit untuk pulang sebab matahari sudah hampir mulai tak terlihat.

“hati-hati yaa, salam buat keluarga” pesanku mengakhiri pertemuan penuh makna hari ini, kupandangi Amanda yang mengendarai sepeda motornya hingga lambayan tangan dan punggungnya mulai tak terlihat, berharap semoga masih ada kesempatan untuk bisa kembali menuai cerita dalam temu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Seharap
7614      2634     2     
Inspirational
Tisha tidak pernah menyangka, keberaniannya menyanggupi tantangan dari sang kakak untuk mendekati seorang pengunjung setia perpustakaan akan menyeretnya pada sebuah hubungan yang meresahkan. Segala kepasifan dan keteraturan Tisha terusik. Dia yang terbiasa menyendiri dalam sepi harus terlibat berbagai aktivitas sosial yang selama ini sangat dihindari. Akankah Tisha bisa melepaskan diri dan ...
Premium
Take My Heart, Mr. Doctor!
6535      1942     2     
Romance
Devana Putri Aryan, seorang gadis remaja pelajar kelas 3 SMA. Ia suka sekali membaca novel. Terkadang ia berharap kisah cintanya bisa seindah kisah di novel-novel yang ia baca. Takdir hidupnya mempertemukan Deva dengan seorang lelaki yang senantiasa menjaganya dan selalu jadi obat untuk kesakitannya. Seorang dokter muda tampan bernama Aditya Iqbal Maulana. Dokter Iqbal berusaha keras agar s...
Teman Berakhir (Pacar) Musuhan
739      453     0     
Romance
Bencana! Ini benar-benar bencana sebagaimana invasi alien ke bumi. Selvi, ya Selvi, sepupu Meka yang centil dan sok imut itu akan tinggal di rumahnya? OH NO! Nyebelin banget sih! Mendengar berita itu Albi sobat kecil Meka malah senyum-senyum senang. Kacau nih! Pokoknya Selvi tidak boleh tinggal lama di rumahnya. Berbagai upaya buat mengusir Selvi pun dilakukan. Kira-kira sukses nggak ya, usa...
Rekal Rara
12598      3676     0     
Romance
"Kita dipertemukan lewat kejadian saat kau jatuh dari motor, dan di pisahkan lewat kejadian itu juga?" -Rara Gleriska. "Kita di pertemukan oleh semesta, Tapi apakah pertemuan itu hanya untuk sementara?" -Rekal Dirmagja. ▪▪▪ Awalnya jatuh dari motor, ehh sekarang malah jatuh cinta. Itulah yang di alami oleh Rekal Dirmagja, seorang lelaki yang jatuh cinta kepada wanita bernama Rar...
Mendung (Eccedentesiast)
8289      2163     0     
Romance
Kecewa, terluka adalah hal yang tidak bisa terhindarkan dari kehidupan manusia. Jatuh, terpuruk sampai rasanya tak sanggup lagi untuk bangkit. Perihal kehilangan, kita telah belajar banyak hal. Tentang duka dan tentang takdir yang kuasa. Seiring berjalannya waktu, kita berjalan maju mengikuti arah sang waktu, belajar mencari celah kebahagiaan yang fana. Namun semesta tak pernah memihak k...
The Black Heart
1470      854     0     
Action
Cinta? Omong kosong! Rosita. Hatinya telah menghitam karena tragedi di masa kecil. Rasa empati menguap lalu lenyap ditelan kegelapan. Hobinya menulis. Tapi bukan sekadar menulis. Dia terobsesi dengan true story. Menciptakan karakter dan alur cerita di kehidupan nyata.
Fallin; At The Same Time
3144      1424     0     
Romance
Diadaptasi dari kisah nyata penulis yang dicampur dengan fantasi romansa yang mendebarkan, kisah cinta tak terduga terjalin antara Gavindra Alexander Maurine dan Valerie Anasthasia Clariene. Gavin adalah sosok lelaki yang populer dan outgoing. Dirinya yang memiliki banyak teman dan hobi menjelah malam, sungguh berbanding terbalik dengan Valerie yang pendiam nan perfeksionis. Perbedaan yang merek...
Bimbang (Segera Terbit / Open PO)
5868      1908     1     
Romance
Namanya Elisa saat ini ia sedang menempuh pendidikan S1 Ekonomi di salah satu perguruan tinggi di Bandung Dia merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara dalam keluarganya Tetapi walaupun dia anak terakhir dia bukan tipe anak yang manja trust me Dia cukup mandiri dalam mengurus dirinya dan kehidupannya sendiri mungkin karena sudah terbiasa jauh dari orang tua dan keluarganya sejak kecil juga ja...
Premium
Di Bawah Langit yang Sama dengan Jalan yang Berbeda
22008      1894     10     
Romance
Jika Kinara bisa memilih dia tidak ingin memberikan cinta pertamanya pada Bian Jika Bian bisa menghindar dia tidak ingin berpapasan dengan Kinara Jika yang hanya menjadi jika karena semuanya sudah terlambat bagi keduanya Benang merah yang semula tipis kini semakin terlihat nyata Keduanya tidak bisa abai walau tahu ujung dari segalanya adalah fana Perjalanan keduanya untuk menjadi dewasa ti...
Aku Menunggu Kamu
162      143     0     
Romance
sebuah kisah cinta yang terpisahkan oleh jarak dan kabar , walaupun tanpa saling kabar, ceweknya selalu mendo'akan cowoknya dimana pun dia berada, dan akhirnya mereka berjumpa dengan terpisah masing-masing