Loading...
Logo TinLit
Read Story - Aku baik-baik saja ¿?
MENU
About Us  

Kita berhenti pada kisah untuk saling memahami, terkadang kita perlu egois untuk bisa mempertahankan prinsip diantara kita, meski itu berbeda dan menjadi pertanda bahwa kita tak harus berada dilorong yang sama untuk terus berjalan beriringan.

...................................................

 

 

 

  Sadar namun seakan tanpa sadar, waktu berkelebat sedetik bak mata berkedip. Tak lagi kudengar protes adikadik santri kala aku tegur sebab tak berdzikir, tak lagi kudengar celetohan Amanda atau Dinda yang sering mengeluh kala aku suruh untuk cepat-cepat menaiki mushollah. Aku tak menjamin bahwa hanya aku yang akan merindukan hal-hal sepele tentang pondok pesantren, begitupun mereka.

  Tepat seminggu lalu aku di demisioner dari pengurus pondok pesantren, kembali menjadi anggota biasa meski seorang senior, dan rasanya belum terlalu siap meninggalkan pondok pesantren ini, meski sudah banyak sekali perubahan sejak 5 tahun yang lalu, dimana waktu itu aku masih belum tahu cara menggunakan kerudung yang apik, bahkan terkadang lupa memakai kerudung ketika keluar dari pintu, senang bermain ditaman belakang pesantren yang memang terbuka, duduk sambil menikmati jajanan serta bercerita ala anak-anak pada umumnya hingga ditegur mbak-mbak pengurus karena tidak menggunakan jilbab, namun kami tidak dihukum berat, hanya saja kami diberi arahan dan diberi tahu untuk senantiasa memakai pakaian tertutup meski bermain dibelakang pesantren sebab gedung yang mengarah ke jalan raya belum sempurna tertutup. Dan hari ini kupandangi gedung itu, gedung yang sudah sempurna tertutup dari keramaian, bahkan sudah banyak area-area terlarang yang wajib dihindari oleh para santriwati, dikarenakan semakin kesini semakin banyak santri yang mulai enteng dan nakal, untungnya mereka masih mau diajari banyak hal, meski tak banyak yang melarikan diri dari pesantren sebab tidak kerasan, entahlah sebenarnya apa cita-cita mereka.

  “Kayla” aku mendengar ada yang berteriak memanggil namaku, belum sempat aku menoleh, rupanya ia sudah memukul bahuku dengan amat sengaja. “Astaghfirullah Dinda, kebiasaan grasah grusuh” tanggapku kesal. “lagian kamu dari tadi menyendiri disini, awas ntar kesurupan” “khuss kalau ngomong itu hati-hati, takutnya kamu yang kesurupan” guyonku. Dinda bukannya tertawa, malah kembali memukulkan tangannya dibahuku, okei pasrah kalau punya teman macam ini. “kenapa? Ada apa?” tanyaku pelan. “cuma mau nanya, untuk persiapan wisuda, kamu udah siap semuanya kah?” tanyanya yang seringkali membuatku enggan menjawabnya, aku tidak bisa membayangkan bagaimana wisuda tanpa bapak, belum lagi ada desas desus wisudawati terbaik jatuh kepadaku. “Kay, kok malah ngelamun” “eh iyya maah Din, persiapan apa aja? Pakaian udh siap semua tinggal di setrika besok pagi, make up kan dari tante kamu katanya” Dinda terlihat lesu mendengar jawabanku, tangannya menggaruk-garuk kepala yang aku tahu itu tidak gatal. “bukan itu maksudku, siap mental maksutnya, kan besok mau naik ke panggung nih, terus wisudawan terbaik si Alfin katanya, ciee ntar ketemu calon mertua di atas panggung ya Kay” jelasnya sambil cengengesan. “alhamdulillah kalau aku terpilih jadi wisudawati terbaik Din”  responku singkat. “eh btw kamu benar ga jadi ngabdi Kay, dari dulu kamu pengen ngabdi kan” “iya ga jadi, udah liat sendiri aku menolak untuk dijadikan pengurus ditahun yang akan datang waktu MUBES dua minggu lalu”. “berarti langsung lanjut kuliah dong Kay” kali ini juga membuatku enggan menjawab pertanyaan Dinda yang sama sekali tidak suka untuk dibahas. “insyaAllah Din” “kemana? Kan kemaren kamu tidak daftar SBMPTN dikarenakan mau ngabdi katanya”. “udah ya Dinda,,, ga semua yang kita rencankaan akan berjalan sesuai rencana, ada Allah yang mengatur semuanya, mungkin jika Allah masih mengizinkanku untuk kuliah, aku bakal cari beasiswa lain nanti” tuturku pilu.

Perbincanganku dengan Dinda berakhir sudah, Dinda memutuskan untuk kembali ke kamarnya, sedang aku masih ingin menikmati kesegaran alam ditaman belakang pesantrenku ini, taman yang menyimpan semua kenangan santri, ada suka pun duka yang tersimpan rapi disini.

###

 Dua hari yang lalu aku sempat ditawarkan untuk mendaftar di salah satu Universitas yang juga masih berada dikawasan kotaku, namun aku menolak, aku sudah berjanji untuk membantu ibu dengan cara bekerja dan sambil lalu mencari-cari beasiswa yang bisa aku ambil, meskipun bapak menawarkan untuk menanggung semua biayanya, aku tetap menolak akan hal itu, sebab seorang ibu tiri tak selamanya berhati tulus, belum lagi penghasilan bapak juga tidak seberapa jika dibandingkan dengan penghasilan isterinya, cukup nafkahi aku dan adik sewajarnya itu sudah cukup.

Dewasa itu memang sakit, terkadang tawa hanya sesekali hinggap lantas berlalu pergi kembali.

Dewasa sering kali melibatkan air mata, meski kerap kering terlihat baik-baik saja.

Dewasa bukan tentang jingga pada senja, yang indah dipuja-puja, ia harus seperti sebatang pohon dengan akar kuat, yang mampu menopang dirinya ditengah kencangnya angin saat hujan.

Dan, dewasa itu harus memahami, layaknya aku, iyya aku yang senantiasa menurut ketika ibu menjemputku untuk pulang dari pesantren sehari setelah malam wisuda terlaksana, meski aku bahagia telah terpilih sebagai wisudawati terbaik malam itu. Namun tidak dengan hari ini, ada rasa sesak yang tak mampu aku ceritakan, sakit hingga tak bisa mengeluarkan air mata kembali.

Pengasuh pondok pesantren senantiasa meridhoi kepulanganku dengan pesan singkat perpisahan,  meski teman seangkatanku masih stay sekitar dua minggu disini, akulah orang pertama yang mengawali kepergian dengan senyum sendu yang kulihat dari teman santri semua, kulihat lambaian tangan mereka yang hanya mampu kubalas dengan senyuman, sebab tanganku sedang memegang tropi kebanggaan dan memegang tasku, “Assalamualaikum” pamitku dengan mata berkaca-kaca, salam serempak terjawab sempurna sebelum akhirnya aku menaiku motor pak de diikuti dengan ibu yang membonceng ke bu de, “terimakasih untuk semua kisah lika-liku yang telah terjadi disini” gumamku dalam hati sebelum pesantren dengan gerbang berwarna hijau tua itu tak lagi terlihat dalam jangkauanku.

###  

Ketika aku tahu bahwa kemungkinan kecil aku untuk ikut andil dalam dunia perkuliahan, tidak menjadikanku putus asa, sebab aku tahu, untuk terjun pada dunia tersebut tidaklah mudah bagiku. Ada yang dengan mudah namun mereka tidak sungguh-sungguh karena dituntut oleh keadaan sehingga menjadikan suatu kewajiban bagi mereka untuk berperan menjadi mahasiswa pada umumnya.

Bukan tidak penting dengan dunia pendidikan, namun dalam hidup begitu banyak memberikan pilihan yang mengharuskan kita untuk memilih salah satunya dan rela untuk mengorbankan salah satunya pula. “Kayla, apa ada seseorang yang terikat dengan hatimu saat ini?” tanya ibuk tiba-tiba, aku kembali memfokuskan diri untuk menyapu sesaat setelah kulirik ibu yang tampak serius. “kay” panggil ibuk kembali, namun enggan kujawab pertanyaan itu. Alih alih menghampiriku, perlahan mendekatkan wajahnya ke telingaku “lanjutkan dulu, kalau sudah selesai menyapu, ceritakanlah pada ibuk ya nduk” seraya mengelus pundakku, beliau berlalu ke dapur untuk memasak.

Kualihkan pandangan pada burung-burung yang berkicau diatas pohon asam tak jauh dari rumahku, pohonnya yang tinggi dan kekar mampu mengalahkan semua pepohonan untuk sekedar mengambil perhatian dari para manusia dibumi ini. Sepasang burung yang kulihat tiap pagi seakan sama dimataku, ia mereka sejenis burung yang mampu beriringan bersama dengan yang lain, bahkan dikala menjelang sore, merekapun beriringan kembali pulang dan terlihat seperti tak ada sedikitpun perbedaan diantara mereka, namun sifat itu tidak sepenuhnya ada pada manusia yang cendrung membeda bedakan kasta pun martabat.

Rasanya percuma jika aku harus menceritakan sosok Alfin pada ibuk, toh beliau akan berkata kita tidak cocok, apa kata tetangga dan semacamnya. Dimata tetangga, keluargaku itu seperti benda didepanku ini ‘sampah’.

“kayla..” panggil ibuk sebab aku tak kunjung datang.

“iyya buk, ini tinggal membakar sampah” .

Setelah membakar sampah tadi, aku bergegas menghampiri ibuk di dapur, rupanya adik sudah bangun, kucium pipi embulnya yang sedang mengunyah makanan didekat ibuk yang sedang memasak, kulihat mukanya memerah dan ingin menangis sebab kuambil makanannya sehingga ibuk menegurku untuk berhenti mempermainkannya, lucu memang, seakan aku mengalihkan topik pembicaraan yang akan ibuk tanyakan kembali, kuharap ibuk lupa dengan pertanyaan yang tak sempat kujawab itu.

Ibuk dengan asyik memasak sambil mengobrol menanggapi ocehan si kecil, tawa mereka terdengar renyah ditelingaku. “mbak Kayla, pertanyaan ibuk belum dijawab loh, iya kan nduk” tuturnya sembari mengangguk-ngangguk pada adikku seakan meminta dukungan atas jawabanku.

“ibuk tahu Alfin ndak?” tanyaku sedikit gusar.

“iyya ibuk tahu, Alfin yang kemaren jadi bintang pelajar putra itu?” aku hanya mengangguk sebagai jawaban, bungkam adalah sebuah pilihan untuk menghindari perdebatan. “tapi itu nggak cocok nduk buat kamu” pernyataan ibuk kembali menamparku, sudah kuduka, pasti ujungnya akan seperti ini.

“kenapa harus nggak cocok buk? Aku juga bintang pelajar kemaren, aku bisa baca kitab kuning, dan aku juga keluaran pesantren, lalu apa yang membedakan?” tanyaku sedikit sarkatis.

“kasta, apa kamu yakin jikalau keluarga Alfin bakal menerima kita?, meskipun bisa, lantas apa kata tetangga nduk?” ada jeda sejenak, tak mungkin kumarah pada ibukku sendiri, ego sedang menguasaiku saat ini.

“buk, jika kita hidup dengan apa kata mereka, maka tidak akan pernah menemukan titik kepuasan, biarlah mereka menilai keluarga kita seperti apa, kan itu semua diluar kendali kita buk, Kayla janji bakal kuliah, dan ga harus sekarang buk” jelasku dengan tutur rapi nan halus, takut jika kata-kata yang kulontarkan akan menyakiti hati ibuk.

“iyya nduk, ibuk paham, tapi ga ada salahnya jika kamu juga membuka hati untuk orang lain”

“tidak segampang itu buk, pasti ibuk lebih paham” kuelus tangan ibuk dengan sayang.

“Justru ibuk yang lebih paham kay, mana yang baik untukmu dan mana yang tidak, terkadang lelaki itu hanya manis di awal”

“buk, yang terpenting kan agamanya kuat, dia tidak akan mendua seperti bapak”

“loh kata siapa kalau agamanya kuat tidak berpaling, itu semua tergantung pada orangnya kay, seberapa berharga perempuan dimatanya” dengan perkataan ibuk yang semakin kesini semakin terlihat bahwa beliau tidak akan setuju jika aku bersatu dengan Alfin, “apalagi Alfin langsung kuliah, belum tentu dia akan menjaganya, dunia perkuliahan itu banyak tantangannya, ya salah satunya menjaga perasaan” lanjut ibuk.

“iyya udah buk, itu adik sepertinya sudah belepotan, aku mandiin adik dulu ya buk” pintaku, namun ibuk tidak menyetujui dengan alasan ibuklah yang akan memandikannya nanti setelah makan.

“apa kamu siap jika penantianmu akan dikhianati?” tanya ibuk kembali.

“biarkan waktu yang menjawab semuanya buk”

“loh ga bisa gitu, kamu harus bisa memilih”

“memilih untuk apa buk?” aku dibuat penasaran oleh ibuk.

“untuk tetap menunggu Alfin yang entah kapan akan datang menemui ibuk disini, atau kamu mau menerima perjodohan yang sudah ibuk sediakan” perkataaan ibuk seakan terdengar bak bunyi petir yang berhasil memecahkan gendang telingaku.

“apa ibuk yakin bahwa dengan perjodohan, sebuah hubungan akan baik-baik saja” ingin kukatakan seperti itu, namun mulutku bungkam, tak ingin membantah lebih banyak lagi.

“buk, kayla izin ke kamar sebentar ya” tanpa ada jawaban, kuputuskan untuk pergi ke kamar, mengambil buku catatan yang didalamnya ada nomer telepon mbak Rara, aku ingin meminta tolong mbak Rara untuk menghubungi Alfin, agar kami bisa bertemu dan ngobrol.

“buk, boleh pinjam Hp ga buat menghubungi mbak Rara, Kayla rindu soalnya” izinku menghampiri ibuk di dapur.

“boleh, sekalian nanya-nanya sama mbak Rara, gimana kabarnya, dan gimana tanggapannya tentang perjodohan”.

Iyya mbak Rara menikah karena dijodohkan, bedanya, mbak Rara belum terpaut pada siapapun, sedangkan aku?.

Drttttt panggilan tersambung, tak lama kemudian

“halo, Assalamualaikum, dengan siapa?” tanya mbak Rara diseberang sana.

“halo mbak, Waalaikumussalam, ini aku mbak Kayla”

“ohh Kayla, suaramu masih sama ya, mbak rindu loh sama kamu, tunggu, ini kenapa suaramu kayak orang lagi bisik-bisik?”

Akupun menjelaskan semuanya kepada mbak Rara secara singkat, dan mbak Rara dengan senang hati ingin membantuku dengan cara akan menghubungi Alfin melalui telepon pengurus pondok pesantren, meskipun Alfin sudah pengabdian, namun tetap dilarang untuk membawa Hp, hanya saja dia bisa tanpa izin keluar pesantren untuk pulang ataupun belanja keluar. Kami sepakat untuk menyimpan rahasia ini dari siapapun termasuk ibuk, mbak Rara juga yang akan menjemput aku untuk bertemu dengan Alfin disalah satu tempat makan yang dekat dengan rumah mbak Rara.

“mbak makasih banyak ya sudah mau membantu” ucapku diakhir perbincangan.

“sama-sama Kay, ya udah besok mbak jemput jam 10.00 pagi ya, jangan lupa pamit ke ibuk, nanti tetap mampir ke rumah mbak, biar kamu tidak bohong ke ibuk” nasihatnya.

“okay mbak, ya udah mbak, kita akhiri dulu ya, itu ibuk sudah memanggil untuk makan”

“baik Kay, salam sama ibuk ya, Assalamualaikum”

“waalaikumussalam”.

Setelah berbincang dengan mbak Rara melalui telepon, aku kembali ke dapur untuk melanjutkan perbincangan sekalian makan bareng dengan ibuk dan adik.

“ibuk ada salam dari mbak Rara” kataku setelah sampai di dapur.

“waalaikumussalam, gimana kabar Rara, sehat?”

“alhamdulillah sehat buk, oh iyya, mbak Rara ajak Kayla untuk main kerumahnya, katanya besok akan dijemput jam 10.00 pagi, kebetulan suaminya lagi kerja, jadi mbak Rara pengen rujakan bareng Kayla” tuturku.

“boleh kalau begitu, besok ibuk juga mau ke rumah tetangga buat bantu-bantu”

“ada apa buk?” tanyaku yang langsung dijawab oleh ibuk, “itu anaknya mpok nini mau berangkat umroh, jadi ibuk mau kesana besok pagi” jelasnya.

Setelah mengakhiri perdebatan yang mungkin tak akan menemukan titik akhir tadi, sejenak kami melupakan akan hal itu, berpura-pura tak ada apa-apa dan begitu menikmati makan pagi sekaligus makan siang ini, pun diwarnai oleh keriangan sang adik.

###

Setiap bangun dari pulasnya mimpi dimalam hari, aku selalu tersenyum dengan penuh harap akan menjalani hari dengan senyum yang merekah pula, sebab ada yang mengatakan bahwa perasaan kita itu tergantung dengan apa yang kita pikirkan, apa yang bisa kita kendalikan dalam diri kita karena kita berkuasa penuh atas hak untuk diri sendiri.

Rasa takut sedikit demi sedikit mulai menghantui, tidak hanya berhenti disitu, aku juga takut untuk menemui Alfin yang memang belum pernah ketemu sebelumnya selain di bel pesantren dulu, tak jarang juga aku akan gugup bicara dengannya, namun tetap berfikir positif bahwa aku akan bisa melewati semua ini.

Tepat jam 09.45 mbak Rara tiba dirumahku, suara motor yang tak kukenal namun aku hafal suara mbak Rara ketika memanggil salam didepan ruamh, keadaanku yang masih menyelipkan jarum pentul pada kerudung pasmina membuatku harus berhenti sejenak, berlari kecil kearah pintu sekedar membukakan pintu untuk mbak Rara, kuraih tangannya untuk kusalami layaknya santri lama bertemu kembali, kupersilahkan duduk dan memberikan suguhan seadanya, lalu berpamit untuk membenarkan kerudung yang memang belum rapi sama sekali.

“Kay, ibuk mana?”

“ibuk lagi bantu-bantu dirumah tetangga sebelah mbak” jawabku setengah teriak dari dalam kamar.

“loh adek dibawa kesana?” tanyanya lagi.

“nggak mbak, adek lagi sama bu de dirumahnya, karena Kayla kan mau ke rumah mbak Rara, jadi ga mungkin bawa adek buat rujakan bareng” tawa kami beradu, mbak Rara yang juga mulai mengeraskan suara dari ruang tamu, akupun menjawab guyonannya dari dalam kamar, kami terhalang dinding yang lumayan cukup tebal namun masih terdengar.

“ciee cakep banget mau ketemu sama si doi” mbak Rara  menggodaku saat aku sudah selesai siap-siap dan menghampiri mbak Rara di ruang tamu.

“nggak kok, ini karena mau mampir ke rumah mbak Rara” jawabku asal.

Tidak berhenti disitu, mbak Rara masih setia menggodaku saat aku sudah mengunci pintu dan bersiap membonceng di motor mbak Rara, dan hebohnya mbak Rara juga masih menggoda sepanjang perjalanan meski disela-sela cerita tentang Alfin yang mau diajak bertemu hari ini.

“Kay, kamu nanti jangan kaku, mbak Rara akan duduk dimeja yang berbeda ya”

“serius mbak??” tanyaku kaget.

“lah iyya, Alfin juga mintanya kayak gitu, kalian ngomong aja berdua, kan juga rame disana, intinya mbak Rara ga mau dengerin kalian debat nanti” kata ‘debat’ sedikit membuatku jengkel, bukankan aku hanya ingin meminta kepastian, perkataan mbak Rara dengan kata debat mampu membuatku ciuutt, nyaliku seakan sudah diuji lebih dulu sebelum benar-benar menemuinya.

“Kay udah sampai”

“oh iya mbak” responku yang sedikit terkejut, bisa-bisanya aku tidak sadar motor ini berhenti, kulihat sekeliling tempat restoran ini, lumayan banyak pengunjung, kusapu seluruh meja, tak juga kutemui Alfin.

“bak, kira-kira dia bakal duduk dimana?”

“di dalam Kay, lebih aman juga karena tidak terlalu berisik dengan bunyi kendaraan dijalan” jelas mbak Rara.

“ayuk masuk, ini si Alfin sudah chat mbak, katanya ada di meja no 15”

“baik bak, ayok”

Sedikit berat untuk melangkah, bahkan jantungku berdetak duakali lipat lebih kencang dari biasanya, apalagi setelah kulihat Alfin yang tersenyum dan mempersilahkan aku dan mbak Rara untuk duduk.

“halo mbak, Assalamualaikum gimana kabarnya?” sapa Alfin begitu lembut dengan menangkupkan kedua tangannya didada.

“Waalaikumussalam, alhamdulillah sehat, Alfin sehat?”

“iyya Alhamdulillah mbak, halo Kay”

“iyya” jawabku gugup, sedikit senyum namun sangat kaku, ah bodoh sekali aku.

“mbak Rara duduk sebelah sana ya, kalian ngobrol lah dulu, kalau sudah nanti kita makan bareng, mbak Rara bakal pesenin ke abangnya” titah mbak Rara yang langsung pindah posisi ke arah pojok, berjarak 3 meja dari tempatku dan Alfin.

Kami tersenyum, belum ada yang memulai duluan, aku yang sangat pemalu membuat suasana semakin tegang, padahal bukan acara pembacaan AKAD.

“gimana Kay” tanya Alfin sekaligus berhasil memecahkan suasana yang sangat mengekang ini.

“kita santai aja ya ngomongnya” pintaku pura-pura santai, hakikatnya tubuhku sudah dipenuhi keringat dingin sedari tadi.

“iyya santai aja, kata mbak Rara, kamu mau nyampain sesuatu, apa? “

“iya benar, namun sebelum kesitu, aku ingin bertanya ke kamu Al”

“apa?” tanya Alfin cepat, kulihat sekilas mukanya yang sangat penasaran, hingga duduknya kembali tegak menghadap ke arahku.

“apa kamu akan serius dengan perasaanmu untuku Al?”

Ada jeda, Alfin sedikit menunduk, terlihat sekali bahwa pertanyaan ini sangat berat untuk Alfin yang masih akna lanjut kuliah terlebih dahulu.

“Kay, aku yakin kamu baklal nanya ini, dan semoga kamu paham dengan kondisiku saat ini, kamu juga tahu bahwa sejak awal aku itu menyukaimu”

“iyya kau tahu Al, tapi suka aja ga cukup”

“kamu butuh keseriusan? Aku serius Kay, cuma untuk saat ini aku belum menyampaikan ke keluargaku, karena mereka lebih mendorongku untuk lanjut kuliah, bulan depan insyaAllah aku berangkat ke Bandung” nafasnya terdengar gusar, tutur katanya juga halus, tanpa ada sedikitpun emosi yang terselip di dalamnya. Alfin memberi spasi untuk mempersilahkan aku menanggapi keputusannya.

“lalu bagaimana dengan aku? Dibiarkan begitu aja tanpa kepastian maksudmu?” tanyaku dengan nada yang sebisa mungkin terdengar pelan dan jelas.

“aku berharap kamu bisa menungguku Kay”

“apa yang membuatku harus yakin Al, sedangkan kamu akan bertemu banyak orang baru disana, dan kamu harus tahu, ibuk juga sedang menawarkan aku dalam hal perjodohan”

Alfin yang sedari tadi berbicara hanya sekilas melihat ke arahku, setelah mendengar penuturanku tentang perjodohan itu, spontan dia mengarah ke bola mataku, seperti ingin tahu apakah ada kebohongan disana, aku tahu ini sangat membuat Alfin begitu terkejut, mengagumi selama kurang lebih 5 tahun itu tak mudah, serasa baru hari ini kita mampu bicara berdua tanpa ada jeda, dan hari ini pula aku bisa melihat ada rasa panik terlihat dari raut wajahnya.

“kamu mau?” tanyanya singkat, ada nada putus asa disana.

“makanya aku nanya kamu Al, jika kamu mau serius dengan hubungan ini, kamu mampu meyakinkan aku untuk tetap menunggumu dengan cara kita harus terikat terlebih dahulu, lebih tepatnya keluarga kita terikat satu sama lain, baru aku bisa menolak perjodohan ini” aku tetap berusaha dengan nada pelan, takut jika pengunjung lainnya malah mendengar jelas perdebatan kami yang mulai sedikit memanas.

“aku belum bisa Kay, aku juga udah berjanji untuk menyelesaikan kuliah terlebih dahulu, dan..”

“dan dengan rela melepasku bersama orang lain” potongku, Alfin menelan ludah gusar, tangannya menggaruk kepala yang aku tahu itu tidak gatal.

“baik kalau begitu Al, terimakasih telah pernah mengagumiku juga membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya” masih dengan tundukan dan tatapan kosong yang sama, Alfin tak menyanggah apapun perkataanku, dia pasti bimbang, aku tahu itu.

“Kay, maaf yaa kalau ada salah selama ini, aku berharap yang terbaik buatmu, itu saja” perlahan mata sayunya kembali menatapku penuh iba, seakan kasihan namun tak bisa berbuat apa-apa.

“aku pamit duluan yaa, salam buat mbak Rara” kujawab dengan anggukan dan senyuman yang menyiratkan ada luka didalam sana, diapun berlalu hingga punggungnya tak lagi terlihat.

###

Setelah kepergian Alfin, kuarahkan pandanganku ke mbak Rara yang juga menatapku sayu, lalu berjalan pelan kearahku sembari tersenyum sendu,  tubuh yang tak asing itu memelukku erat, sangat erat tanpa sepatah katapun yang mengiringinya.

“tak apa, jika jodoh pasti akan kembali” nasehatnya menguatkan. Namun ini bukan perihal jodoh atau tidak, ini tentang memperjuangkan, dimana pada keputusannya seakan menyerahkanku begitu saja kepada orang lain, jujur ini adalah kali pertama aku jatuh cinta dan jatuh hati sedalam-dalamnya.

Setelah reda dengan segala luka, akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke rumah mbak Rara, setidaknya aku mempunyai waktu untuk menumpahkan tangisku dirumah mbak Rara, sebab jika dirumah, ibu akan mempertanyakan panjang lebar tanpa henti.

Sepanjang perjalnan mbak Rara tidak berhenti mengobrol, tidak memberikan ruang untukku menangis walau sekejap, sampai suaranya tercekat sebab terlalu berteriak karena angin terlalu kencang, akupun tertawa dengan candaannya, ia mbak Rara cukup pintar untuk mengalihkan suasana.

“Kay, telefon mbak bunyi, angkatin ya” kata mbak Rara seraya menyerahkan telephonenya ke arahku, sedang pandangannya tetap fokus pada jalan raya. “siapa mbak?” tanyaku tak kalah nyaring melawan angin, “liat dulu siapa, bilangin mbak Rara lagi nyetir, gitu” jelasnya, sedetik kemudian aku menatap layar telephone mbak Rara dengan teliti dan berpegangan erat, tertera nama ‘dek Alfin’ disana, seketika jari-jariku berhenti, tak jadi menggeser panel berwarna hijau pada telephone itu, mbak Rarapun menyadari keberhentianku secara tiba-tiba, “kenapa Kay? Siapa?” tanyanya menyadari tak ada suara seperti orang mengangkat telephone pada umumnya, “Alfin mbak” jawabku sedikit kaku, ada apa kiranya ia menelphone mbak Rara setelah kejadian tadi, akankah ia ingin bertanya tentang keadaanku? Ah percaya diri sekali aku ini.

“angkat aja” titah mbak Rara yang masih fokus menyetir.

“nggak usah mbak, nanti aja mbak telfon balik pas udah nyampe rumah”

“oke, sini hpnya” akupun menyerahkan kembali hp ke mbak Rara. Tak lama setelahnya tergengar kembali deringan handphone mbak Rara, namun mbak Rara membiarkan begitu saja tanpa peduli lagi.

“Kay, mau mampir beli sosis ga, kita rujaan yuk”

“boleh banget, ide bagus” jawabku dari belakang mbak Rara.

“suami mbak ada?”

“ada, tapi dia tidak doyan rujak”

Akupun mengangguk-ngangguk tanpa terlihat mbak Rara, mengingat jikalau mbak Rara dan suaminya merupakan hasil dari perjodohan, namun aku enggan bertanya tentang bagaimana ia bisa berdamai dengan keputusan orang tuanya.

Kami berhenti di salah satu warung dekat rumah mbak Rara, membeli sosis, cilok dan sambelnya, tak lupa juga kerupuk dan minuman dingin, seperti bernostalgia kala dipesantren dan di sekolah dulu, aku tersenyum tipis mengingat hal itu bersamaan dengan bayang-banyang dinda dan kawan-kawan lainnya waktu di pesantren, rupanya rindu itu benar adanya.

Setelah membayar makanan, kami bergegas kembali ke sepeda motor untuk melanjutkan perjalanan pulang, terik matahari menghiasi seluruh bumi desa kami, tak jarang alis kami terpaut meringis sebab silau matahari yang begitu panas, terkadang harus menaruk tangan di atas dahi untuk menghindari muka dari panas sinar matahari. “kok ga belok kanan mbak” tanyaku ke mbak Rara yang menyadari bahwa dia berbelok ke arah rumahnya, namun lurus mengikuti jalan raya. “ada yang harus aku beli di toko sana Kay” “hmm” jawabku paham.

“eh tapi sekarang hari minggu ya”

“iyya” responku.

“oalah, aku lupa kalau minggu ibuknya ga buka, lagi ibadah”

“ohh non islam ya mbak”

“iyya, isterinya keturunan cina”

“suaminya?” aku tak henti mengutarakan pertanyaan yang bisa dibilang tidak terlalu penting.

“orang sini, tapi dia pindah agama ikut isterinya”

“serius mbak?” tanyaku lagi, masih dengan nada penasaran.

“iyya, namanya juga cinta beda agama, harus ada yang dikorbankan salah satunya” jelas mbak Rara.

Akupun mengangguk paham, karena cinta itu tidak bisa dipaksa, ia datang dengan sendirinya lalu merekah begitu saja, lain lagi jika cinta itu terletak pada seseorang yang tak sejalan, yang tidak mau mengorbankan apapun untuk mempertahankan.

Rumah dengan arsitektur minimalis sudah mulai terlihat, meski tak begitu ingat aku dengan rumah ini setidaknya aku pernah kesini beberapa tahun yang lalu, waktu masih dipesantren mbak Rara mengajakku kerumah ini ketika dipakon (disuruh ibu nyai).

“ada sedikit perubahan ya mbak”

“iyya, kemaren waktu acara mbak Rara, meski sederhana tapi rumahnya juga di cat dan sedikit diperbaiki Kay” tutur mbak Rara.

Akupun turun dari sepeda motor setelah mbak Rara berhasil memarkir motornya disamping rumah, halaman rumahnya begitu asri dengan berbagai macam bunga yang tertanam, dihiasi kolam ikan yang berada ditengah-tengah kumpulan bunga, ada mawar, seruni, dan melati yang menalar dipagar depan rumah, pemandangan yang sangat menyegarkan mata, begitupun semerbak wangi dari berbagai macam bunga disana, bahkan aku melihat beberapa pohon buah-buahan yang sedang berbuah, ada pohon kedongdong yang buahnya masih kecil, pohon delima yang buahnya mulai memerah merekah, buah naga yang juga mulai memerah, beberapa pohon pepaya yang terletak di pinggir sebelah kanan rumah dekat ladang cabe milik keluarga mbak Rara, dan ditengah ladang tersebut juga terdapat beberapa pohon mangga yang buahnya belum terlalu nampak dari kejauhan, indahnya hidup didesa yang penuh dengan sunyi kedamaian, meski rumahku juga didesa namun tidak seasri rumah mbak Rara, sebab selama aku dipesantren, ibuk tidak bakal sempat merawat beberapa tanaman karena beliau harus menjaga adik yang masih kecil.

“Kay ayuk masuk, sampai kapan kamu mau liatin bunga itu terus” tegur mbak Rara sembari tersenyum meledekku.

“eh iya mbak” akupun masuk ke dalam rumah mbak Rara yang sepertinya sangat sepi meski rumahnya lumayan luas.

“ibuk mbak Rara kemana?” tanyaku penasaran.

“namanya juga petani Kay, kerjanya kemana lagi kalau bukan ke ladang”

“kalau suami mbak?”

“tadi katanya mau ketemu kawannya, mungkin masik asyik ngobrol”

“mbak” panggilku menggantung, membuat mbak Rara menoleh penasaran ke arahku,

“kamu manggil mbak Kay”

“iyya” jawabku cengengesan,

“ngomong aja mau ngomong apa, jangan setengah-setengah” keluhnya,

“kira-kira tadi Alfin telfon mbak ada perlu apa ya?”

Barangkali mbak Rara enggan membahasnya sehingga ia tidak menjawab pertanyaanku, melainkan mengalihkan untuk fokus pada ulekan cabe didepannya, aku diam tak melanjutkan, enggan membahas namun seperti masih ada rasa tak rela jika aku biarkan, hatiku seakan tak menerima jika aku menerima keputusannya begitu saja.

“Kay, btw mbak ada hadiah buat kamu”

“hadiah apa? Perasaan aku tidak sedang ulang tahun mbak, wkwkwk” guyonku memecahkan suasana,

“bentar ya mbak ambil dulu dikamar, ini minta tolong bumbu rujak dan buah yang sudah dikupas bawain ke ruang tamu ya, kita rujak sambil nonton hehe”

“siap mbak”

Setelah membawa semua perlengkapan rujak ke ruang tamu, kembali kuarahkan pandangan pada taman mini didepan rumah mbak Rara yang bisa dijangkau dari ruang tamu, tak lama kemudian mbak Rara datang membawa sebuah kotak box berwarna putih dongker, terlihat seperti box hp, namun aku tidak mau terlalu PD.

“ini buat kamu, biar kamu ga pake hp ibuk terus buat komunikasi, mbak tahu, kamu pasti butuh benda ini, ntah untuk bekrja atau berkomunikasi dengan kawan-kawanmu” mbak Rara menyodorkan kotak box itu ke arahku, aku yang masih tidak percaya akan hal itu, masih setia menatap kosong ke arah mbak Rara dengan mulut terbuka.

“Kay, udah ini terima aja, anggap aja ini hadiah kasih sayang dari mbak yaa” aku menelan ludah, perlahan kuambil kotak itu diikuti dengan kata “terimakasih banyak mbak” kataku tak percaya, “nanti jangan lupa hubungin mbak ya, sekedar nanya kabar” kata-kata mbak Rara membuatku spontan berhenti dari kegiatan membuka box hp darinya.

“loh mbak Rara mau kemana?” tanyaku setengah kaget

“sebenarnya mbak bohong Kay ke kamu, suami mbak tidak sedang bermain dengan kawannya, tapi kami sudah merasa tidak cocok, sudah satu minggu kami pisah rumah, dan sudah diomongin dua keluarga, akhirnya mbak dan suami memilih untuk pisah, setelah proses pencaraian lusa nanti selesai, mbak bakal merantau untuk bekerja disana, ingin mencari pengalaman baru juga, mungkin ini udah jalannya seperti ini” bukan lagi kaget setelah mendengar penjelasan panjang dari mbak Rara, satu kalimat yang berputar diotakku, yaitu ‘kok bisa’, iyya kok bisa sampai sejauh ini yang terjadi, rupanya yang kukira perjodohan ini tidak sama dengan perjodohan lain yang berakhir dengan perpisahan sebba tidak cocok satu sama lain, ternyata mereka sama saja, hubungan yang kukira baik baik saja, ternyata terdapat duri didalamnya, sungguh mengharukan bukan.

“kenapa mbak tidak perah cerita ke Kayla?”

“udah gapapa, mbak baik-baik saja kok, cuma mbak ga suka dengan kelakuan buruknya yang ga bisa dia rubah sampai sekarang”

Aku paham, wanita se sholehah mbak Rara akan sulit menerima seorang pria yang memang tidak pernah mondok sebelumnya, bukankan seorang suami adalah imam dari keluarganya?.

“udah Kay, ga perlu dipikirkan, kita rujakan aja, bawa santai”

“mbak boleh aku tanya sesuatu”

“boleh” kuhela nafas dalam-dalam, mencari-cari kalimat yang sekiranya tidak membuat hati mbak Rara rapuh lebih dalam.

“gini kak, kayla kan pernah baca buku, katanya kalau perempuan sholehah dapat laki-laki yang tidak sholeh, bisa jadi itu ujian untuk si perempuan, yang mana si perempuan akan mendapatkan pahala setelah sabar dalam menuntun suaminya, kalau menurut mbak Rara gimana?”

Mbak Rara terlihat dengan lahap menyantap rujak mangga, aku masih sibuk dengan segudang pertanyaan, “iyya benar Kay, cuma mbak itu manusia, ada keterbatasan dalam diri mbak”

“eh mbak, bukan maksud Kayla untuk menyinggung hubungan mbak yaa, Kayla cuma penasaran aja”

“iyya gapapa, santai aja” kamipun tertawa setelah tanggapan mbak Rara menjadi penutup cerita sore ini, rasanya lega saling bertukar cerita bahkan galau bersama, cerita kami sedikit sama namun lebih banyak yang berbeda hehe.

Hari ini aku dilema, antara sedih dan bahagia, sedih karena mengingat keputusan Alfin tadi pagi, bahagia karena hadiah dari mbak Rara, dan sedihnya lagi karena mbak Rara bakal pergi jauh dari sini, itulah salah satu alasan mbak Rara memberikan hadiah hp untukku, agar kami tetap bisa bercerita meski berjauhan, kami tidak seumuran namun mempu untuk saling menyesuaikan satu sama lain, mbak Rara sama halnya aku yang tak mempunya banyak teman, namun senantiasa merawat yang ada.

Langit mulai menguning dan condong ke arah barat, pertanda bahwa sore hari telah tiba, aku berpamitan ke ibuk mbak Rara yang baru pulang, sedang mbak Rara sedang menyiapkan motornya untuk mengantarkanku pulang, pantas saja rumah mbak Rara asri dengan berbagai tanaman bunga dan buah-buahan, ternyata ibuknya bukan petani biasa, tapi beliau juga mempunyai bisnis, yang dimaksud mbak Rara tadi keladang, rupanya cuma mengawasi para pekerja, alias mandor, hebat, ucapku dalam hati.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Lebih dari Cinta Rahwana kepada Sinta
3135      1585     0     
Romance
Pernahkan mendengarkan kisah Ramayana? Jika pernah mendengarnya, cerita ini hampir memiliki kisah yang sama dengan romansa dua sejoli ini. Namun, bukan cerita Rama dan Sinta yang akan diceritakan. Namun keagungan cinta Rahwana kepada Sinta yang akan diulas dalam cerita ini. Betapa agung dan hormatnya Rahwana, raksasa yang merajai Alengka dengan segala kemewahan dan kekuasaannya yang luas. Raksas...
Rumah (Sudah Terbit / Open PO)
3663      1394     3     
Inspirational
Ini bukan kisah roman picisan yang berawal dari benci menjadi cinta. Bukan pula kisah geng motor dan antek-anteknya. Ini hanya kisah tentang Surya bersaudara yang tertatih dalam hidupnya. Tentang janji yang diingkari. Penantian yang tak berarti. Persaudaraan yang tak pernah mati. Dan mimpi-mimpi yang dipaksa gugur demi mimpi yang lebih pasti. Ini tentang mereka.
EPHEMERAL
137      123     2     
Romance
EPHEMERAL berarti tidak ada yang kekal, walaupun begitu akan tetap kubuktikan bahwa janji kita dan cinta kita akan kekal selamanya walaupun nanti kita dipisahkan oleh takdir. Aku paling benci perpisahan tetapi tanpa perpisahan tidak akan pernah adanya pertemuan. Aku dan kamu selamanya.
Nyanyian Burung di Ufuk Senja
3692      1325     0     
Romance
Perceraian orangtua Salma membuatnya memiliki kebimbangan dalam menentukan suami masa depannya. Ada tiga pria yang menghiasi kehidupannya. Bram, teman Salma dari semenjak SMA. Dia sudah mengejar-ngejar Salma bahkan sampai menyatakan perasaannya. Namun Salma merasa dirinya dan Bram berada di dunia yang berbeda. Pria kedua adalah Bagas. Salma bertemu Bagas di komunitas Pencinta Literasi di kampu...
Drifting Away In Simple Conversation
435      302     0     
Romance
Rendra adalah seorang pria kaya yang memiliki segalanya, kecuali kebahagiaan. Dia merasa bosan dan kesepian dengan hidupnya yang monoton dan penuh tekanan. Aira adalah seorang wanita miskin yang berjuang untuk membayar hutang pinjaman online yang menjeratnya. Dia harus bekerja keras di berbagai pekerjaan sambil menanggung beban keluarganya. Mereka adalah dua orang asing yang tidak pernah berpi...
Highschool Romance
2617      1122     8     
Romance
“Bagaikan ISO kamera, hari-hariku yang terasa biasa sekarang mulai dipenuhi cahaya sejak aku menaruh hati padamu.”
Niscala
350      235     14     
Short Story
Namanya Hasita. Bayi yang mirna lahirkan Bulan Mei lalu. Hasita artinya tertawa, Mirna ingin ia tumbuh menjadi anak yang bahagia meskipun tidak memiliki orang tua yang lengkap. Terima kasih, bu! Sudah memberi kekuatan mirna untuk menjadi seorang ibu. Dan maaf, karena belum bisa menjadi siswa dan anak kebanggaan ibu.
Memories About Him
4159      1779     0     
Romance
"Dia sudah tidak bersamaku, tapi kenangannya masih tersimpan di dalam memoriku" -Nasyila Azzahra --- "Dia adalah wanita terfavoritku yang pernah singgah di dalam hatiku" -Aldy Rifaldan --- -Hubungannya sudah kandas, tapi kenangannya masih berbekas- --- Nasyila Azzahra atau sebut saja Syila, Wanita cantik pindahan dari Bandung yang memikat banyak hati lelaki yang melihatnya. Salah satunya ad...
SEMPENA
4040      1301     0     
Fantasy
Menceritakan tentang seorang anak bernama Sempena yang harus meraih harapan dengan sihir-sihir serta keajaiban. Pada akhir cerita kalian akan dikejutkan atas semua perjalanan Sempena ini
Ketos pilihan
757      524     0     
Romance
Pemilihan ketua osis adalah hal yang biasa dan wajar dilakukan setiap satu tahun sekali. Yang tidak wajar adalah ketika Aura berada diantara dua calon ketua osis yang beresiko menghancurkan hatinya karena rahasia dibaliknya. Ini kisah Aura, Alden dan Cena yang mencalonkan ketua osis. Namun, hanya satu pemenangnya. Siapa dia?