Semua orang enggan menjadi senja, sebab keindahannya cepat memudar dengan waktu yang sangat sebentar, namun ada juga yang ingin menjadi senja agar orang lain terpukau dengan keindahan warna jingganya meski sebentar, dan yakin bahwa esok akan kembali datang.
..........................................
Setelah kepergian Alya hari itu, disusul kepulangan mbak Rara dua bulan setelahnya, membuat hari-hariku semakin sepi. Aku tidak bisa berbagi kisah seperti dahulu lagi, saat mereka masih sama-sam membersamaiku. Aku rindu kala makan sore digazebo sama Alya sembari tertawa, lalu menunggu mbak Rara pulang dari dapur ndalem yang jugaakan membawa makanan, hingga kamipun makan bersama, aku juga rindu nasehat-nasehat mbak Rara yang selalu memberiku arahan, tak lagi kutemukan senyumnya kala matahari tersenyum hingga redup disore hari. Sudah dua bulan senja itu benar-benar redup.
Masa kepengurusanku menjadi sei ubudiah sudah tinggal setengah perjalanan lagi, ujian akhir sekolah yang akan dilaksanakan sebulan lagi membuat teman-teman seangkatanku fokus belajar hingga lupa jikalau mereka juga punya tanggung jawab di kepengurusan tahun ini.terkadang gemuruh amarah harus kututup rapat-rapat, sudah berkali-kali aku mengadu pada ketua Pengurus Pondok Pesantren, namun dia hanya bergumam ‘iyya nanti mbak tegur ya’ kurang lebih seperti itu, namun tidak heran jikalau penegurannya tidak diambil hati, sebab mereka terlalu dekat layaknya teman sehingga tak ada sedikitpun rasa sungkan terhadap senior, beda dengan aku dan mbak Rara, meski kami serasa kakak adik, namun mbak Rara selalu memberi batasan-batasan diantara kami.
“Kay, boleh aku pinjam Matematikamu ga?” tanya Amanda yang akhir-akhir ini tak banyak bicara, bisa jadi karena merasa kehilangan atau karena fokus untuk ujian, entahlah.
“Boleh Amanda, bisa diambil di rak bukuku ya, ada nama dipinggirnya, jadi tinggal kamu cari nama Matematika ya, kalau ga salah covernya warna biru dan agak tebal” aku yang sedang duduk disofa sambil membaca buku hanya sedikit melirik sekilas ke arah Amanda yang sedang berbicara denganku.
“Kay, maaf yaa, aku tidak sengaja membaca ini” ungkapnya seraya menyodorkan kertas warna putih yang terlipat seperti bentuk hati. Aku yang kaget segera merampas kertas itu dari tangan Amanda. “dari mana kamu mendapatkan ini da” tanyaku ketus. “aku tidak sengaja menemukan itu di salah satu buku yang pernah aku pinjam darimu, tapi itu dulu” bodoh sekali aku sampai tidak menyadari bahwa kertas itu tak ada diaku,. “kamu baca semua?” “iyya” jawabnya sambil melihatku takut. “kapan kamu baca ini Amanda” “sekitar 3 bulan yang lalu, cuma aku mencari waktu yang tepat untuk mengembalikan surat ini, maaf ya aku lancang membacanya karena penasaran” jelasnya seakan itu bukan masalah besar. Kertas lipat itu adalah surat yang dikirim oleh santri putra melewati mbak Rara, awalnya aku tidak mau menerima surat itu, sebab dalam peraturan juga tidak diperbolehkan, namun setelah mbak Rara menyarankanku untuk berizin kepada ketua dan sei keamanan akhirnya aku berani baca surat itu tanpa berniatan untuk membalasnya kembali, aku juga meminta mbak ketua dan sei keamann untuk menjaga rahasia ini supaya tidak ada yang sakit hati, salah satunya adalah sahabatku sendiri, ‘Alya’. aku tahu Alya mengagumi Alfin, namun disisi lain aku juga tidak bisa melarang Alfin untuk mengagumiku, meski dalam lubuk hati, aku juga mengagumi kesholehan dan kecerdasannya. Surat itu Alfi kirim setelah aku meraih bintang pelajar lagi di kelas 11 pada semester 2, dan itu cuma aku, mbak rara, ketua pengurus dan sei. Keamanan yang tahu, dan sengaja aku rahasiakan kepada yang lain, terutama sahabat-sahabatku.
“kamu ga cerita ke siapa-siapa kan da”
“maaf Kay, pliss maafkan aku” terlihat jelas wajahnya ketakutan.
“kenapa kamu ngembaliin surat itu sekarang, kenapa tidak dari dulu, kamu ga cerita ke Alya ataupun ke Dinda kan?” selidikku.
“aku udah terlanjur menceritakan ke Alya juga ke Dinda Kay” seketika aku tidak tahu harus bersikap seperti apa, mau marahpun tidak ada guna.
“kamu juga memperlihatkan surat itu kepada Alya?”
“iyya Kay, maaf”
“kenapa? Apa tujuanmu memberi tahu mereka? Bukankah kamu sudah tahu jikalau Alya menyukai Alfi? Aku ini sahabatmu, Alya juga sahabatmu, tidak bisakah kamu menjaga hatinya dan hatiku?”
“Kay, waktu itu aku hanya ingin mereka tahu, sebab kamu menyembunyikan ini semua dari kami, kami merasa dikhianati” jelasnya tak mau kalah.
“bukankah kamu yang mengkhianatiku, kamu diam-diam ambil surat itu, membacanya lalu kamu membagikannya kepada Alya dan Dinda tanpa sepengetahuanku, apa itu namanya jika bukan pengkhianat” emosiku mulai tak terkendali, perdebatan masih berlangsung meski tak terlalu nyaring, dunia seakan menjadi saksi bahwa persahabatan tidak selamanya tentang kasih sayang.
“kamu tahu kenapa aku sengaja menyembunyikan surat itu dari kalian? Karena aku masih menjaga perasaan Alya, tidak seperti kamu yang hanya menyakiti perasaannya, akberbohong karena itu adalah jalan terbaik yang harus aku ambil, dan kamu tahu? Seandainya aku mau mengkhianati Alya, sudah kupastikan aku membalas surat itu, kenapa kamu tidak pikir panjang Amanda” lanjutku.
“maaf Kay, iyya aku salah, waktu itu aku gegabah”
“iyya, kamu salah, kamu emang salah, tidak baik mengambil asumsi yang belum jelas kamu ketahui. Wait, berarti Alya selama ini tahu tentang surat ini”
“iyya, namun Alya memutuskan untuk diam, berharap kamu akan cerita kepadanya dilain waktu, namun setelah Alya tunggu-tunggu, kamu juga tak kunjung menceritakannya, hingga orang tua Alya menjemput Alya, dan itu mengharuskan ia pulang dan ikut bersama kedua orang tua aslinya”.
Aku tidak tahu harus bersikap seperti apa, rupanya Alya sudah mengetahui ini semua jauh sebelum ia pulang dari pesantren, lalu siapakah yang dapat disalahkan dalam masalah ini? .
“aku mau masuk kedalam” pamitku setelah surat itu ada ditanganku, aku tidak tahu ekspresi Amanda, sebab aku enggan melihatnya yang masih berdiri lalu duduk di sofa yang aku duduki tadi, aku lebih memilih mendengarkan murotal Al-qur’an lewat laptop, sembari tiduran, berharap rasa gundah dalam hati cepat menghilang sebelum adzan maghrib berkumandang.
Sungguh ini benar-benar senja yang pilu, mengetahui masa kelam dimana orang tersebut sudah pergi meninggalkan, rasanya tak sempat memberi kejelasan pada alur yang sudah menjadi jalan pilihan.
“Mbak Kay, izin telat sholat maghrib berjamaah yaa” kata adik santri yang tiba-tiba duduk menyamaiku yang juga sedang duduk, seraya mengangguk mengiyakan akupun berdiri untuk segera bangkit dari kasur setelah mematikan laptop.
Aku berlalu, berjalan sendiri ke moshollah sembari menatap langit jingga diufuk sana, rupanya merah merona itu akan segera lenyap ditelan kelabu, terlalu banyak cerita sedih sore ini, mulai ba’da ashar hingga hampir maghrib hatiku gelisah, tak tenang seakan ada yang harus aku perbaiki, koreksi lagi dan lagi, ada banyak kesalahan yang aku perbuat hari ini, mungkin aku tidak menyadari sesakit apa hati Amanda ketika aku caci, ketika aku marah tak terkendali, ya aku sadar bahwa kesalahan itu bukan sepenuhnya kesalahan Amanda, ada kesalahanku juga yang terlalu menyimpan dan tak berbagi cerita kepada mereka terlebih dahulu.
###
“Ujian Akhir Madrasah sebentar lagi, dan dua minggu setelahnya kalian akan mengahadapi Ujian Nasional, jadi minggu depan try out dimulai, jangan leha-leha, fokus pada ujian, jangan buat masalah, karena biasanya anak-anak malah suka mengentengkan peraturan ketika sudah mau mendekati hari ujian, peraturan tetap akan berlaku1, mengerti semua.”
“mengerti pak..” jawab serentar siswa siswi yang mengikuti apel pagi ini, seluruh santrei atau siswa kelas 12 disatukan dalam satu kalfalum yang terhalang tirai ditengah sebagai pemisah.
“iyya nilai kita juga nentuin buat daftar SMPTN”
“beasiswa lainnya juga pake nilai kok, ga mungkin catatan SKCK”
“hahaha kamu ini, udah nentuin toh mau lanjut kemana?”
“aku mau nikah kayanya”
“hah serius, sama siapa?”
“hehehe, canda, aku bakal lanjut kuliah kok”
Aku hanya menjadi pendengar teman-teman disebelahku, sekedar menyimak tanpa harus memberi respon, sedang aku sendiri juga tidak tahu nanti habis pengabdian mau lanjut kemana, masih abu-abu. bahkan tak ada satupun diantara mereka yang mau bertanya kepadaku, toh mereka sepertinya sudah tahu jikalau aku bakal mengabdi terlebih dahulu.
“aku pengen jadi pengusaha hebat, makanya mau masuk management bisnis”
“keren Ran, aku kayanya bakal nerusin jurusan ini, untuk mendaftar kedokteran”
“hah serius Din”
“iyya, orang tua juga pada setuju, jadi kenapa tidak”
“Din, nilai kimiamu kecil wkwk”
“gapapa, toh nanti bakal belajar lagi kan, yang penting Dinda ada kemauan dan juga ada biaya untuk lanjut, iyya kan Din” celetohku tanpa aba-aba. “nah iyya benar sekali kata Kayla”
“ya aku canda Din wkwk, btw Kayla sendiri nanti pengen jadi apa?” tanya Rani .
“Pengen jadi pembisnis” tanggapku singkat.
“ohh mau ngelanjutin usaha ibukmu yaa, apa? Jualan hahaha” serentak teman yang ikut mendengar juga tertawa, iaa mereka menertawaiku. Sekarang ibuk memang sedang jualan gorengan, untuk membiayaiku dan adik, menjual gorengan dan makanan tradisional seperti deonde dan lain sebagainya. Setelah bapak memilih untuk pergi, ibuk menjadi lebih kuat, beliau sangat mementingkanku dan adik yang masih kecil, beliau juga rela kepanasan.
“mau jadi apapun yang penting direstui oleh Allah SWT” responku.
“iyya betul banget tuh kata Kayla, kita boleh berencana, tapi Allah yang tahu segalanya” Dinda membelaku, aku tahu itu.
Senyum tak ingin kupudarkan meski hati ini sakit kian bertubi-tubi, ledekan mereka tak seberapa dibandingkan sakit hati ibuk ketika tahu bapak akan menikah lagi, belum lagi ketika harus bertemu dengan sang madu, disitulah sakit yang benar benar luka namun tak terlihat.
“kalian boleh bubar, kembali ke kelas masing-masing, jaga kesehatan dan jangan lupa belajar” pesan Pak Bowo diakhir acara apel pagi ini.
Setelah acara selesai, semua siswa siswi berdiri untuk beranjak ke kelas masing-masing, mataku tak sengaja melihat Alfi yang juga sedang menatapku dari kejauhan, namun segera kualihkan, berpura-pura fokus pada langkah kaki untuk kembali ke area sekolah putri, mungkin mbak Rara juga sudah menceritakan alasanku yang tidak mau menggubris surat darinya, sebab mbak Rara sangat dekat dengan Alfin layaknya saudara kakak beradik.
“Kay, lagi diperhatiin yaa” guyon Amanda mencoba menyapaku setelah beberapa hari ini tak banyak bicara. Aku yang tak ingin membahasnya, kualihkan senyum untuknya, tanpa kata-kata. “gapapa Kay, Alya juga ga bakal marah kok” ungkapnya lagi. Aku mulai tidak nyaman dengan pembahasan ini sehingga membuat langkah kakiku berhenti, “Amanda, aku ga suka di ceng-cengin kaya gitu, udah yaa, kita fokus ujian, ga boleh main-main tuh kata Pak Bowo” kataku mencoba mengakhiri pembicaraan ini. “baiklah, fokus fokus fokus” tanggapnya menekankan kata ‘fokus’ sambil berekspresi layaknya Pak Bowo yang sedang pengumuman tadi, dan itu membuat kami tertawa secara bersamaan.
###
“ mbak Kayla, di bel bhindhere (santri putra)” teriak adik santri dari lantai bawah, bisa jadi adik itu yang mendengar bunyi bel di dekat dhalem pengasuh, tempat bel tersebut sebagai tempat sarana antara santri putra dan santri putri ketika ingin mendiskusikan suatu acara ataumengadakan projek bersama. Namun santri putri dan santri putra tidak diperbolehkan untuk bertemu berdua saja, harus ada yang mendampingi semisal dari pengurus, alasan tempat tersebut berdampingan dengan dhalem (kediaman) pengasuh, agar terpantau gerak gerik santri oleh pengasuh pesantren.
“siapa dik Ayna” tanyaku pada dik Ayna yang tadi memanggilku. “nggak tahu mbak, Ayna cuma disuruh mbak Wati untuk memanggil mbak Kayla bahwa ada yang nge bel barusan. Mbak Wati adalah teman mbak Rara sebagai mbak abdhi dhalem, Mbak Wati sendiri sebab mbak Rara harus pulang dengan alasan akan dijodohkan, sedikit miris memang.
“Dinda, ikut aku yuk, aku di bel santri putra, kamu sebagai saksi yaa” pintaku pada Dinda yang sedang membaca buku. “oke Kay, bentar aku siap-siap dulu ya”, “emang siapa sih yang nge bel kamu, biasanya juga bhindhere nge bel pendidikan atau nggak sekretaris, ngapain coba nge bel ubudiyah” lanjutnya sembari merapikan kerudung di depan kaca. “gimana kita mau tahu jika kita tidak bertanya langsung kesana Din” timpalku. “iyya benar juga sih, ya udah ayuk”. kamipun berjalan menuju tempat bel (tempat diskusi antara santri putra dan santri putri). sesampainya di pintu dhalem, aku melihat mbak Wati yang sedang mengupas kentang di dekat pintu dapur, segera aku menghampirinya lalu bertanya “mbak punten, siapa yang mengebel saya siang-siang?” tanyaku sopan. “Alfin Kay” jawabnya membuat kelu dilidahku, sedang aku mengajak Dinda. “Hah serius mbak, pulang aja yuk Din, aku kayanya ga ada keperluan juga sama Alfin, dia sei. Pendidikan kan, kenapa memanggil sei.ubudiyah” ajakku pada Dinda. Namun mbak Wati segera menasehatiku, “Kay, ga boleh gitu, mungkin saja memang bersangkutan dengan sei.ubudiah, misal acara Maulid yang memang sei.pendidikan dan sei.ubudiyah saling berkelaborasi” “apa aku harus memanggil Santi mbak sebagai sei.pendidikan?” tanyaku lagi. “nggak usah, kamu datang dulu, temui Alfi, baru kamu bisa nanya ke dia” “baiklah” ucapku akhirnya mengiyakan. Aku tahu Dinda tidak nyaman jika harus menemaniku bertemu dengan Alfin, karena dia juga sangat dekat dengan Alya, juga dia lebih tau tentang Alya di banding aku, meski terlihat akulah yang sangat dekat dengan Alya.
Dengan tangan gemetar kubuka pintu yang menjadi pembatas dhalem pengasuh dan ruangan bel, benar sekali, aku melihat Alfin dengan satu temannya yang entah siapa, kubuang rasa gugup jauh-jauh supaya tidak kentara bahwa aku sedang malu, aku juga berusaha untuk tidak tersenyum kepadanya, sekedar ucapan salam yang aku lontarkan lalu merekapun membalas salamku. “ini Kay la kan” tanya Alif kepadaku, “iyya, kira-kira ada apa Alif memanggil saya?”, “gini Kay, maaf sebelumnya jika mengganggu aktifitas kamu, aku cuma ingin ngasih titipan dari sei.ubudiyah santri putra yang sedang udzur” jelasnya sembari memberikan map biru itu kepadaku, terlampir judul “kegiatan qari’ di sampul map tersebut. “ohh iyya, oke makasih banyak Alfin, berarti ini kolaborasi dengan Sei. Pendidikan bukan?” “nah iyya, betul sekali, nanti kamu juga bicarakan dengan Sei.pendidikan putri untuk memasukkan agenda tersebut dalam jadwal KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) santri putri Kay” jawabnya sambil melihat kearahku, namun aku tak berani membalas tatapan itu, aku hanya berpura-pura sambil membaca map yang Alif berikan. “baik Alif, jika sudah selesai, saya pamit yaa, karena ini sudah mau waktu sholat, kebiasaan adik-adik santri kalau ga disuruh malah ga beranjak ke mushollah, yaa meski ada beberapa” pamitku. “oh iyya tentu Kay, nanti kalau ada yang kurang kamu paham, bisa bel aku atau sei.pendidikan putra yaa, kegiatan Qiraatul Qur’an itu juga sudah disetujui pengasuh”. “aku mengangguk sebagai jawaban, “terimakasih banyak Alif, Assalamualaikum” kataku sebelum beranjak dari tempat bel.
Ditengah perjalanan kembali ke pesantren, jantungku belum kembali secara normal, membuatku bungkam dan fokus pada langkah kaki tanpa menghiraukan cerita Dinda. Sepanjang perjalanan Dinda tak henti-hentinya mengisahkan kelihaian Alfin dalam berbicara, hingga sampai di kamarpun Dinda masih menggambarkan cara Alfin melirikku, entah apa nantinya yang akan Dinda definisikan tentang hari ini, intinya aku belum sempurna mengatur detak jantung yang sedari tadi tak henti berdegup kencang, mungkin karena ini adalah kali pertama aku ngobrol sama lawan jenis setelah beberapa tahun di pesantren, atau bisa jadi karena aku gugup dengan Alfin, terlalu banyak yang harus aku definisikan hingga lupa, bahwa aku harus menyampaikan hal ini kepada Sei. Pendidikan juga.
###
Setelah berbincang panjang lebar bersama Sei.pendidikan, akhirnya aku bisa tenang, bahkan pengajuan dari Sei.ubudiyah putra juga disetujui. “ini tambah bagus Kay, bisa melatih anak-anak yang memang mempunyai skill dibidang qiro’atul Qur’an” “iyya Azka, benar sekali, biar nanti kalau ada acara maulid atau acara khitobah dan lain sebagainya, tim panitia bisa dengan gampang memilih anak-anak yang bakal qori’ diacara tersebut” timpalku. “kalau begitu, nanti biar aku ke sekretaris untuk mengedit kembali jadwal KBM ya Kay, dan akan aku sesuaikan dengan malam kajian yang kosong” “baik Azka, semoga Allah memudahkan yaa” “Aamiin, insyaallah”. aku menarik nafas lega ketika dalam perbincangan kami tak ada ledekan dan semacamnya, Azka memang sangat apik dalam membedakan urusan pribadi dan organisasi, bahkan dia sangat jarang berbicara, namun sekali bicara sangat mengandung arti, tapi kenapa Alfin tidak jatuh hati kepada Azka?. “Kay, ayuk makan siang, keburu kelaperan ntar makan cinta terus” ajak Amanda dari kejauhan. aku tak menggubris ajakan Amanda karena memang belum lapar. “Amanda” panggilku sarkatis ketika menyadari ada perkataan mengganjal dalam ajakan Amanda. “kenapa Kay, mau nitip?” “nggak, sini bentar” kudengar hembusan nafas lesu Amanda sebelum ia menuruti permintaanku untuk duduk disampingku,. “kenapa?, kamu ngapain masih disini, bukankah Azka udah dari tadi pergi?” “iyya gapapa, pengen duduk disini aja” tunjukku pada kursi hijau yang sedang aku duduki. “Dinda cerita ya sama kamu?” tanyaku langsung tanpa basa basi lagi. “wkwkwk kenapa mukamu panik gitu?, santai aja Kay, udah biasa sahabat mengetahui tentang cerita sahabatnya” jawabnya santai. “jawabannya iyya atau tidak Manda” meski sebenarnya aku tahu jikalau Dinda sudah menceritakan ke Amanda. “iyya, Dinda tadi malam cerita kalau kamu dipanggil Alfin ke tempat Bel” “hmm okedeh, ga usah mikir macem-macem yaa, ini cuma tuntutan organisasi” “iyya aku paham Kayla, aku laper nih, mau makan” Amandapun berlalu setelah berhasil mencubit pipiku. Rupanya Dinda cepat sekali menyebarkannya, pikirku.
Sejatinya sahabat itu tak harus mengetahui sama lain, meski sudah sedekat urat nadi, belum tentu mereka bisa menjaganya. Meski sudah seperti keluarga sendiri, ada baiknya untuk tidak mengumbar hal-hal yang tidak perlu diumbar, sebab rasa iri tidak pernah memihak kepada siapa ia akan menghampiri.
###
Tidak ada tempat paling baik tuk berlabuh selain kepada sang Maha Kuasa, seluruh keluh kesah, kebingungan dan lelah yang sering kali menggundah, aku lupa betapa banyak aku mengeluh hingga aku malu dan lupa betapa banyak pertolongan yang telah Allah berikan kepadaku,.
Tepat sebulan setelah kepergian Alya, aku tidak pernah mendengar kabar tentangnya lagi, dan hari ini ibu berjanji untuk menyambangiku setelah dua minggu beliau tak menyambangiku dikarenakan adek yang sedang sakit hingga tidak bisa kemana-mana.
Namun, hingga sore hari ini, hingga adzan maghrib sebentar lagi akan berkumandang, saat semua santri perlahan pergi ke mushollah, aku masih senantiasa menunggu didekat pintu kamar dengan mukenah yang melekat nan bersiap untuk ke mushollah, tartil Al-qur’an juga sudah selesai, pertanda adzan sebentar lagi berkumandang. “Kay, tumben masih disini, ayuk ke mushollah” ajak Dinda yang memang sering kali datang paling akhir ke mushollah.
Bisa dibilang sedikit tak terarah meski satu tujuan, dengan penuh kecewa aku bergegas ke mushollah, terselip segala rasa yang beradu dalam jiwa, tak sengaja aku meneteskan air mata, tanpa sadar bahkan tak terasa, rasa kecewa yang sering kali aku tahan dengan lapang dada, terkadang harus berkeluh kesah, rasa capek dengan semua tokoh yang membersamai namun harus disyukuri, iyya seperti itu kira-kira. Jatuh bangun, tangis senyum, suka duka, semuanya harus disyukuri.
“mbka Kay, ada yang menyambangi” tutur adik santri yang setengah berlari menghampiriku. “oh iyya” rasa senang yang tiba-tiba menghampiri membuatku lupa mengucapkan terimakasih kepada adik santri tadi, berlalu begitu saja seakan tak perduli, hingga langkah ini membawaku tepat didepan pintu gerbang pesantren, menghampiri orang yang menyambangiku, sayangnya ia bukanlah ibu, namun bapak yang kehadirannyapun tak bisa kurindukan.
“bapak” kataku sembari bersalaman. “ibukmu belum bisa menyambangi, dia menelpon bapak buat menyambangimu” “harus disuruh ibuk ya pak buat menyambangiku” tanyaku sarkatis. “Kay, bapak tahu kamu masih marah sama bapak, tapi bapak sangat menyayangimu” “lalu kenapa bapak menyakiti ibuk, aku dan adik yang sama sekali belum mengerti apa-apa” lanjutku. “nanti kamu akan mengerti nak, kenapa bapak menikah lagi” “kenapa?” tanyaku pelan. Namun bapak tidak menghiraukan pertanyaanku, “pak, tidak ada kesalahan yang harus dibela, tidak ada sakit yang sembuh sebelum waktunya, dan sakitku belum sembuh pak, sama seperti sakit hatinya ibuk selama ini, iyya mungkin bapak kira Kayla masih anak kecil yang selalu meng-iyakan apapun yang terjadi, namun sekarang Kayla sudah dewasa pak, Kayla berhak tahu semuanya, sebenarnya ada apa, kenapa terjadi begitu saja” semua pertanyaanku belum terjawab, bapak berpamit untu pulang, kecewa lagi dan lagi.
Masa kecil bahagia, suka cita membersamai maraknya permainan dengan teman-teman sempat hilang karena aku tidak mau mendengar tetangga membicarakan ibuk yang waktu itu terlilit hutang, dan sekarang masa remajaku juga tak seindah yang kubayangkan, aku dihadapi dengan trauma yang begitu banyak, dan rasa sakit sembilu menusuk diulu, sudah kulewati sejauh ini, meski banyak pertanyaan yang belum bisa terjawab, aku seakan dibawa arus dengan gelombang kencang sehingga terombang-ambing meski berpegangan erat.