Loading...
Logo TinLit
Read Story - Aku baik-baik saja ¿?
MENU
About Us  

Belum sempat perahu itu berlayar, namun dengan teganya ombak menerjang, membuatnya berbalik arah tak mampu menuju tempat tujuan, tak hancur namun terdengar keras pukulan ombak kala menghantam.

..............................................................

 

 

 Kami banyak berdiskusi tentang pelajaran juga pengalaman, meski harus ada yang terdiam karena tak punya banyak pengalaman, seperti aku misalnya. Sejak awal masuk kelas, kami saling menyemangati satu sama lain, berjanji untuk selalu menegur jika salah satu dari kami berlehay-lehay dan mengentengkan urusan akhirat, begitu erat pertemanan ini hingga tak terasa jikalau keberadaanku ditengah-tengah mereka sudah setengah tahun lamanya, bahkan tanpa sadar jikalau ujian semester awal akan dilaksanakan lusa. Kami mengulangi kembali semua materi serta mengingat soal-soal saat ujian tengah semester 3 bulan lalu.

 Ujian tengah semester yang hanya berfokus pada nilai tanpa mengapresiasi siswa yang mendapatkan nilai tinggi, beda dengan sekolahku yang dulu, seperti memberikan hadiah kepada peraih 3  nilai tertinggi. Aku tidak berkecil hati, meski nilaiku kemarin berada di nomer urut 2, hal-hal kecil seperti itulah yang membuat api semangatku semakin menyala, selain ingin menjadi yang pertama, ada alasan yang ingin kudoakan kuat-kuat, yakni ingin mendapat beasiswa full dari sekolah.

 “gimana siap gak buat besok” tanya mbak Rara, aku yang terlalu fokus belajar, sehingga tak mendengar pertanyaannya, membuat mbak Rara mengulangi kembali seraya menepuk lembut bahuku yang membungkuk sedang membaca buku. “eh iyya mbak, insyaAllah, siap ga siap ya kudu siap” Mbak Rara menguntaikan senyum padaku, seakan mengalirkan energi positif untuk tetap semangat belajar.

###

 Senyumku kian merekah mengikuti rasa hati yang kembang kempis menyorakkan rasa bahagia, rasa syukur yang selalu aku ucapkan dalam diam membuat hari ini sangat begitu berarti, ucapan selamat dari teman-teman membuat diri ini semakin punya tanggung jawab untuk mewujudkan expektasi mereka, namun berbeda dengan Alya yang sepertinya sejak pembagian rapot selesai menjauh dariku.

 “selamat ya Kay atas juara satunya” teman-teman bergantian mengucapkan selamat atas prestasi yang aku raih disemester satu ini, juara 1 sekaligus bintang pelajar putri tahun ini. Aku masih terduduk dengan memegang piala dan hadiah yang diberikan berupa beberapa buku, mataku menyapu semua ruangan tanpa sedikitpun terlewati, namun hasilnya nihil, aku tak menemukan Alya, Dinda dan Amanda sedari tadi, sejak aku kembali ke tempat duduk saat selesai penerimaan hadiah, mereka sudah menghilang. Akhirnya aku kembali kepesantren seorang diri, sepanjang perjalanan pulang, otakku tak henti-hentinya memikirkan apa kiranya kesalahanku sehingga mereka menghilang.

  Belum sampai aku kepintu kamar, aku melihat Alya duduk membaca buku di gazebo pesantren, aku juga melihat Amanda dan Dinda sedang makan diteras pesantren, ingin kusapa mereka, namun aku tak punya nyali tuk sekedar bertanya tentang alasan mereka meninggalkanku begitu saja.

“dek  kayy, selamat ya sayang” Mbak Rara berlari kearahku, langsung kupeluk dirinya dengan kedua tangan yang masih memegang piala kebanggaan dan buku hadiah tadi,  lalu kumenangis tanpa suara dalam pelukannya, disela-sela kebahagian ini, ada hati yang sangat rapuh lagi fikiran yang berantakan. Tanpa bertanya Mbak Rara langsung menggerengku ke kamar, membiarkanku tenggelam dalam kesedihanku, dialah orang yang sangat mengerti akan keadaanku saat ini.

“mbak paham kok dek” mbak Rarapun tak berani melanjutkan perkataannya, melihatku yang sedari tadi tidak bisa menahan isak tangis, bisa dibilang ini adalah tangis pertamaku di depan mbak Rara, “Mbak” panggilku dengan suara yang masih serak, “iyya dek” , “kenapa mereka berubah ya mbak? Apa karena aku menjadi juara? Atau mereka tidak suka dengan beasiswa yang akan aku dapat disemester dua nanti?” Mbak Rara mengelus kepalaku lalu tersenyum mencoba untuk menghiburku, “ingat dengan yang nama Alfin?” akupun mengangguk, “Sepertinya Alya takut jikalau Alfin terkagum akan kepintaranmu dek, kamu masih baru dan tidak banyak dikenal orang, dan hari ini kabar tentangmu akan menjadi pembicaraan dipesantren kita, sebab itulah Alya takut Alfin suka akan dirimu” lanjutnya. “kenapa harus seperti itu mbak? Bukankah kita tidak bisa mengontrol perasaan seseorang?” tanyaku, “Alfin adalah pria yang cerdas, dia juga mendapatkan juara satu namun tidak pernah berhasil menjadi bintang pelajar, hari ini dia juga juara satu, dan Alfin seorang yang sangat mengabdi pada guru, mungkin karena itu Alyadan teman-temannya ga suka dengan posisimu yang sama dengan posisi Alfin, dan seperti yang kamu bilang tadi ‘kita tidak bisa mengontrol perasaan seseorang’ sama ketika kamu tidak bisa mengontrol perasaan Alya ke kamu, kita tidak pernah tahu perasaan dan pandangan orang terhadap kita” jelas mbak Rara,

“aku tetap merasa biasa-biasa aja kok mbak” kataku lagi sembari menghapus air mata, “nah seperti inilah ynag diidamkan Alfin, rendah hati sepertimu” , “nggak mau” tolakku, “iyya, iyya, ga usah kepikiran, mbak dekat kok dengan Alfin, dia selalu ada di ndalem untuk bantu bantu kala waktu luang, makanya mbak tahu apa yang menjadi karakter dan tipe yang diinginkan” akupun terdiam, tak ingin melanjutkan perbincangan tentang ini semua, aku meminta izin ke mbak Rara untuk menelpon ibuk, ingin segera mengabarkan kabar bahagia ini kepadanya.

Setelah mbak Rara memberi izin akupun meminjam hp ke mbak pengurus untuk menelpon, “ga usah nangis lagi Kay” pesan mbak Rara sebelum berlalu pergi.

  Selang beberapa detik, nada sambung berbunyi, aku menunggu dengan mondar mandir di depan lemari, “Assalamualaikum ibuk” aku bingung tuk sekedar memberi kabar bahagia ini, aku tahu ibuk pasti senang mendengar kabar ini, 

“waalaikumussalam, iyya Kay kenapa? Uangnya habis tah nak?” terdengar suara panik dari seberang sana, aku bisa membayangkan betapa  khawatirnya beliau ketika aku menelpon tiba-tiba.

“nggak ibuk, masih cukup kok”

“terus ada apa nak?”

“ibuk udah dengar kabar tentang Kayla gak?”sengaja aku membuat teka teki supaya tidak tegang,

“nggak, kenapa dengan anak ibuk ini? ” candanya,

“ibuk, Kayla dapat juara satu sekaligus bintang belajar buk”

“Alhamdulillah ya Allah, Kayy terus semangat ya, ga boleh merasa puas”

“inggih buk, makasih buat doa yang tak pernah putus”  ungkapku berterimakasih,

“iyya nak pasti, nanti ibuk kabarin bapakmu, biar tambah semangat cari nafkah buat kita, sekali lagi selamat ya udah bisa dapat beausiswa full”  kamipun mengakhirinya dengan salam, sebab adek tidak bisa ditinggal terlalu lama di kasur, takut jikalau kebangun dan jatuh.

  Dalam perjalanan menuju pengurus keamanan untuk mengembalikan telepon pesantren yang tadi kupinjam, tanpa sengaja aku berpapasan dengan Alya, ingin kutersenyum dan menyapanya, namun sebelum aku memulai percakapan, dia berlalu begitu saja tanpa sedikitpun melirik ke arahku.

###

Suasana kelas yang ramai masih terasa sepi bagiku, tak lagi sama seperti hari-hari lalu, bahkan Alya memilih untuk duduk menjauh dariku, hingga jam istirahat tiba Alya, Dinda juga Amanda tidak mau bertegur sapa dengannku, sepenting itukah Alfin dari pada aku?, memang benar kata orang-orang, ‘terkadang pertemanan kita hancur hanya karena seorang lelaki’.

“Al, sepertinya kita perlu bicara sebelum nanti pengurus keamanan tahu dan akan menghukum kita sebab masalah sepele ini” akupun memberanikan diri untuk speak up, berhubung ini adalah waktu istirahat, jadi tidak terlalu rame, banyak siswi yang keluar untuk membeli cilok dan semacamnya dikantin.

“bicara tentang apa? Tentang kebahagianmu?” sama sekali Alya tidak mau melirikku,

“Al, kita sudah umur 16 tahun, sebentar lagi 17 tahun, kita butuh komunikasi Al, bukan diam tanpa menemukan jalan, akupun tidak mengerti kenapa kalian bisa seperti ini, hanya karena kamu takut jika Alfin jatuh hati padaku? ” sepontan Alya membalikkan tubuh lalu menghadap kepadaku, namun ia tak berani angkat suara, “tidak ada sedikitpun rasa itu dihatiku Al, aku tidak pernah memikirkan akan semua hal itu, aku mencoba fokus untuk belajar terlebih dahulu, dan satu lagi yang harus kalian tahu, bahwa aku akan lebih memilih sahabat” tanpa sadar aku menangis didepan Alya, aku tahu Dinda dan Amanda hanya berpura-pura membaca buku dimeja sebelah, hakikatnya dia mendengar percakapan kami, “Maaf” kata Alya yang langsung beranjak dari tempat duduknya lalu memelukku erat, kami sama-sama menangis, membuat Amanda dan Dinda ikut berhambur kepelukan kami, begitu sakit jika sahabat berubah tanpa sebab, hanya sekedar menduga-duga tanpa mengkaji yang sebenarnya, kami memang masih labil dalam hal apapun, setidaknya aku mencoba bersikap dewasa untuk memberanikan diri angkat bicara..

Sahabat itu bagaikan sebatang pohon dengan buah yang sama namun bukan berarti buah itu akan matang secara bersamaan, ada waktu masing-masing kapan buah tersebut akan dipetik lalu dinikmati.

### 

Sepulang dari sekolah, mbak Rara memberi kabar jikalau ibuk mengunjungiku, “iyya mbak, Kayla naruk tas dulu nggeh” jawabku setelah mbak Rara menjelaskan keberadaan ibuk digazebo depan pesantren.

  Aku melihat ibuk dari kejauhan, namun aku tidak melihat adik didekatnya, beliau terlihat sangat lelah dengan menyandarkan kepalanya ke salah satu pilar gazebo,.

“Assalamuaalaikum ibuk” sapaku ketika aku sudah tiba didekatnya. Beliaupun berdiri lalu memelukku setelah sebelumnya menjawab salamku, “selamat ya nak” bisiknya ditelingaku. Bisa kurasakan ada getaran dalam suaranya, aku merasa beliau sedang terguncang dengan posisi masih memelukku, hingga suara tangisnya pecah dan mulai terdengar, beruntung digazebo ini hanya ada aku dan ibuk, sebab hari ini bukan hari kunjungan.

Aku berusaha tetap kuat, sebagai anak pertama yang harus menopang keluarga dalam keadaan apapun, meski ada isak tangis yang tak terdengar dalam relung hatiku, dengan lembut kuusap bahu beliau hingga beliau kembali mengajakku duduk dengan tangan yang masih mengusap air matanya yang mengalir. Aku tak berani bertanya, aku ingin beliaulah yang bercerita dengan sendirinya ketika sudah merasa siap.

“kamu harus kuat ya nak, Kayla harus jadi wanita yang kuat dan mandiri yaa” sekedar senyuman yang bisa kuberikan sebagai jawaban, aku menunggu beliau untuk melanjutkan perkataannya terlebih dahulu, namun beliau hanya terdiam, mengelus-ngelus kepalaku dengan ranum wajah sendu dan itu semua membuatku ingin bertanya lebih, “ada apa buk? Kenapa ibuk sampai menangis? Apa yang membuat ibuk menangis seperti ini?”,  ibuk tetap tidak mau angkat suara, beliau memilih untuk diam dan menundukkan kepala. Aku sengaja membiarkannya lama tertunduk, tanpa harus kupaksa untuk menjawab semua pertanyaanku, aku yakin beliau akan bercerita kepadaku kala hatinya telah tenang.

“bapakmu mau menikah lagi Kay” perkataan ibuk membuat air mata yang sudah sedari tadi aku tahan, kini mengalir tanpa isak tangis, kembali kupeluk erat tubuh rantangnya, aku ingin menjadi penguat untuk beliau yang sedang rapuh, bukan hanya masalah ekonomi saja, namun dengan teganya bapak bermain dibelakang.

 “ibuk masih punya Kayla kok, pak de dan bu de” aku tidak bisa menemukan kata-kata yang cocok untuk kuutarakan, sudah lama sebenarnya aku mendengar desas desus ini, sering kali aku mendengar ibuk marah-marah saat menelpon bapak, namun semua itu aku hanya simpan sendiri, tak berani ngomong sama pak de dan bu de, sebab kukira semuanya akan kembali baik-baik saja, bahkan aku sedikit lega dengan mengira bapak dan ibuk baik-baik saja saat aku mau diberangkatkan ke pesantren, nyatanya itu semua hanya drama semata, supaya aku tidak mengetahui hal sebenarnya.

Dengan lunglai ibuk berpamit untuk segera pulang, karena adek dititip ke bu de, “kamu ga usah kepikiran ya nak, fokus belajar saja, maaf ibuk telah memberi tahumu sebab ibuk tak mau jika kamu tiba-tiba mendengar dari orang lain” kembali kudekap tubuhnya, berusaha mengalirkan sisa-sisa kekuatan dalam diri ini, “ibuk harus lebih kuat yaa, tidak usah terlalu dipikirkan, Kayla janji akan ngebahagiain ibuk nanti” mana mungkin ibuk akan lebih kuat dariku, sebenarnya tidak ada yang kuat dalam hal ini, hanya sekedar berusaha kuat.

Setelah kulihat bayangan ibuk mulai menjauh dari gedung pesantren, hatiku rapuh, kakiku terasa tak lagi kuat untuk menopang tubuh ini hingga membuatku terduduk lemas didekat gerbang, mengusap-ngusap air mata yang mengalir deras, hingga isak tangis yang tak mampu kusembunyikan lagi. Akupun beranjak sambil mengusap pipi yang masih basah karena air mata, takut jikalau akan ada orang lewat dan mengetahui bahwa aku sedang menangis.

“Kay” aku mendengar mbak Rara sedang memanggilku dari belakang, namun aku pura-pura tidak mendengar suara itu, aku terus fokus menunduk menuju kamar mandi untuk meluapkan segala rasa, rasa kecewa, sedih juga rasa putus asa, baru seminggu yang lalu aku merasakan bahagia dan bangga pada diri sendiri, tidak dengan hari ini yang penuh dengan rasa sakit hati, iyya, hati merasa sakit ketika melihat ibuk menangis, ditambah alasannya yang membuatku juga terpukul akan hal itu.

Aku menangis sekuat mungkin sembari mengalirkan air pada wajah, berharap suara aliran air mampu mengalahkan suara isak tangisku. Wanita tetaplah seorang wanita yang akan rapuh saat hatinya sudah tak mampu menetralisir rasa skait yang tak kunjung usai, seorang wanita yang harus dituntut kuat demi keadaan keluarga, seorang wanita anak pertama yang akan menjadi sandaran adiknya, seoarang gadis kecil yang belum sampai pada kata dewasa harus menelan pahitnya kenyataan dunia.

Suara ketokan pintu membuatku tersadar bahwa keberadaanku didalam kamar mandi ini sudah cukup lama, akupun membuka pintu lalu keluar, berjalan dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada, kembali ke kamar untuk berperan layaknya wanita hebat yang tidak pernah rapuh.

“kenapa dik” tanya mbak Rara menyadari jikalau mataku sembam, “nggak papa mbak” aku berusaha tersenyum meski menunduk, mbak Rara juga tidak melanjutkan, seakan dia memberiku waktu untuk sendiri dikamar, akhirnya Mbak Rara keluar dari kamar, “dek, mbak ke kantin dulu ya, kamu istirahat siang aja” pesannya sebelum beranjak pergi.

Dengan mata sembam nan lelah, aku berbaring dengan niat ingin istirahat, kucoba pejamkan mata, ada bayang-bayang ibuk yang menangis, terbayang muka sayunya, dan kacau pikirannya membuatku tak bisa langsung tidur, ingin kuterlelap setenang mungkin, kututup diriku dengan selimut, bolak balik kanan kiri hingga aku mendengar adzan ashar dikumandangkan, aku tidak bisa tidur dengan tenang sementara ibuk tertatih sendirian, oh ibuk, harusnya aku lebih peka sejak dulu.

### 

“kamu kata siapa?”

“ih ga percaya sih, aku mendengar sendiri dari tetangga”

“terus sekarang dimana?”

“siapa?”

“bapaknya?”

“di Jakarta masih, ga tau deh gimana akhir ceritanya”

Aku mendengar desas desus mereka meski berbisik, aku tau jikalau santri kalong yang sekolah disini akan cepat mendengar kabar gosip sana sini, ‘akhir dari ceritanya, bapakku lebih memilih perempuan yang dijakarta itu dari pada isterinya sendiri’ lanjutku dalam hati.

“kringggg”….  Para siswi berhambur ke kelas masing masing untuk memulai pelajaran, aku melihat Alya, Dinda dan Amanda berlari dari gerbang sekolah untuk tidak terlambat, tadi aku sengaja berangkat seorang diri tanpa harus menunggu mereka, aku ingin menyendiri terlebih dahulu sebab tidak mau mereka akan bertanya tentang mataku yang sembam, belum lagi mood ku yang kurang baik, kebetulan semalam ajian kitab libur, aku tidak perlu keluar kamar dan berpura-pura belajar dikamar dengan alasan yang kuat, mereka juga memahami dan tanpa banyak bertanya ini dan itu semalam.

“Kay, kok kamu ga bilang-bilang sih kalau mau berangkat duluan” Alya menggerutu setibanya dikelas.

“eh duduk dulu lah, masih ngos-ngosan udah mau marah aja ni anak” candaku mencoba memadamkan api kemarahannya, “tapi mbak Rara udah sampein ke kalian kan, soalnya tadi aku buru-buru ke sekolah, ada tugas yang harus aku kerjain, kan tadi malam aku rada sakit kepala, makanya aku nitip salam lewat mbak Rara” jelasku.

“kan bisa nyontek punyaku Kay”

“nggak papa, aku ingin mencobanya sendiri kok” elakku,

“iyya paham, anak rajin” ketusnya yang membuat kami tersenyum.

Alya memandangiku sebelum ia duduk rapi disebelahku, semoga ia tidak menyadari mata sembam yang sekarang sudah mulai membaik.

“Assalamualaikum wr wb” kamipun menjawab salam pak Santoso sebagai guru biologi hari ini. Selain lucu beliau juga mampu membuat semua siswi fokus pada pembahasannya, atau bahkan membuat permainan yang berhubungan dengan ilmu biologi seperti kuis dan tebak-tebakan diawal pelajaran, beliau tahu pasti jikalau pagi-pagi banyak santri yang ngantuk karena bergadang.

Beda guru beda tehnik mengajar, beda otak beda pemikiran, begitu pula dengan perbedaan yang sering terjadi didalam kelas ini, ada yang suka nyeletoh sampai ada yang sangat pendiam.

 Aku tidak bisa mengutuk nasib diri sendiri, mungkin saja ini cara Allah untuk menjadikanku wanita kuat melebehi kuatnya baja, wanita mandiri yang harus mengelus dada hampir tiap hari, seringkali menahan air mata supaya tak ingin ada orang lain tahu jikalau dirinya sedih, wanita itu sejatinya hebat.

“Kayla” panggilan pak Santoso membuatku mengedip-ngedipkan mata untuk kembali memfokuskan diri.

“Kay, kamu kenapa sih, tatapanmu kosong keluar dari tadi, pak Santoso manggil udah 3 kali lohh ,” Alya mencoba menyadarkanku.

“nggih pak, maaf” kataku spontan,  “kamu kenapa Kay, sakit?” tanya pak Santoso sedikit menyelidik, “mbonten pak, tadi cuma agak pusing” maaf pak, jika harus berbohong pagi-pagi.

Pak Santoso melanjutkan pelajaran diselingi candaan, aku mencoba untuk lebih fokus dan melupakan masalah sejenak, mataku mengikuti gerak gerik pak Santoso, ikut tertawa jika beliau bikin lelucon yang membuat rasa kantuk semua siswi hilang begitu saja.

###

“kenapa tadi Kay” tanya Dinda setelah pelajaran jam pertama selesai, sambil menunggu pergantian pelajaran, Dinda dan Amanda menginterogasiku, layaknya ruangan sidang yang dipenuhi hakim juga jaksa didalamnya, berlebihan memang.

“udahlah, kalian kembali sana ke tempat duduknya, nanti ustadz Halim datang, kena marah kalian” pinta Alya yang langsung kusetujui, apalagi jam kedua pelajarannya ustadz Halim, beliau sangat tegas dan sangat teliti jika ada murid yang bicara sendiri, usianya yang tidak lagi muda membuat para siswa siswi sungkan dan sangat menghormati beliau dimanapun berada.

Mataku mulai berkaca-kaca, lagi dan lagi aku menahan sekuat mungkin untuk tidak jatuh, berpura-pura menguap supaya dikira lagi mengantuk, aku tidak mau terlihat lemah, apalagi didepan guru. Selalu kualihkan pandangan ketika ustadz Halim melirik kearahku, entah itu karena ingin bertanya atau sekedar mengedarkan pandangan keseluruh siswi.

“Allah itu maha penolong, Maha baik, dan Maha mengabulkan do’a-do’a hambanya, jadi kalau kalian lagi ada masalah atau pengen sesuatu, berdo’alah, jangan banyak tidur apalagi banyak makan” petuah beliau mengingatkanku pada kitab Ta’limul Muta’allim, dawuhnya juga seakan menamparku bahwa aku tak boleh lemah, Allah yang mengatur segalanya, jadi mengadulah dan biarkan Allah yang mengaturnya.

“Kay” Alya memanggilku setelah uatadz Halim keluar dari kelas, sambil menunggu pelajaran ke-3, aku menyibukkan diri dengan membaca buku, tanpa kusadari Alya menatapku memperhatikan gerak-gerikku sedari tadi.

“kenapa Kay, aku siap kok mendengarkan jika kamu berkenan untuk bercerita” tawarnya sedikit berbisik, “terimakasih sudah menawarkan Al” tanggapku.

“kamu tidak bisa menyembunyikan dari kami Kay, apalagi dari aku yang memang dekat denganmu, aku tau kamu sedang gelisah, jelas terlihat dari wajahmu Kay” Alya menatapku tanpa henti, aku tidak mau dia menyadari bahwa aku habis menangis semalam, mata ini tidak mampu melibatkan kontak mata dengan Alya, ada rasa takut dan khawatir jika aku harus membagi kisahku kepada mereka, tak ingin melibatkan mereka dalam masalah hidupku karena kupikir tak semua masalah bisa kau bagikan ke semua orang.

“Kay, masalahmu juga masalah kami, jangan dipendam sendiri, aku tahu kamu butuh tempat untuk sekedar membagi ceritamu, kami siap membantu sebisa kami Kay” Alya memaksaku meski tak kunjung ada jawaban dariku, sampai dia menarik buku yang sedang kubaca seraya berkata, “udahlah Kay, jangan sok kuat, aku tahu kamu sedang rapuh, kami siap menampung segala masalah dan keluh kesahmu Kay, apa gunanya kami ada, jika kamu tidak bisa menjadikan kami sebagai salah satu penyemangat dalam hidupmu, lihatlah dirimu saat ini, kacau Kay, pikiranmu berantakan, kamu ga bisa fokus dalam pelajaran” kuarahkan pandanganku kearahnya, membuat Alya seketika terdiam dan fokus menatapku. “nanti yaa, dipondok, jangan di kelas” Alyapun mengangguk paham dan memelukku erat.

Kami melanjutkan pelajaran ke-3 dengan sisa tenaga yang harus dikuatkan, terlihat beberapa santri/siswi kelas sebelah sudah keluar dengan membawa makanan dari kantin sekolah, membuat fokus kami teralih kepada mereka, anak-anak sering melihat jam tangan untuk memastikan waktu istirahat sudah tiba, namun guru Sejarah ini terlalu asyik menyeritakan beberapa kisah zaman dahulu, beliau salah satu guru yang sangat tepat waktu, salah satunya tidak akan keluar kelas sebelum suara Bel berbunyi, dan akan memberi kami tugas untuk dikumpulkan dipertemuan selanjutnya, begitu disiplinnya guru sejarah ini.

“Pak, lapar” celetoh salah satu anak dibelakangku, namanya Mila, dia suka mengutarakan pendapat bahkan perotesnya kepada semua guru, sayangnya dia kurang mengontrol sifat blak-blakannya sehingga sering kali para guru memberi tatapan sinis kepadanya, Mila kurang berhati-hati untuk bersikap, meski kadang leluconnya juga sering membuat para guru tertawa.

“Assalamualaikum, jangan lupa tugasnya” pesan penutup yang sudah biasa kami dengar di akhir pembelajaran guru sejarah ini, “siap pakkkk” jawab serentak para siswi sebelum keluar kelas.

   “Kay, ke kantin gak?” aku mengagguk sebagai jawaban, Alya mengulurkan tangannya sebagai tanda bahwa ia ingin menggandeng tanganku, Alya memperagakan seolah pangerah yang sedikit berjongkok lalu menyalurkan tangannya ke arahku, “apaan sih Al” gerutuku. “yee lagian dari tadi itu muka kenapa ditekuk terus coba”, “ iyya iyya maaf”.

 “Din, Manda mana?” tanya Alya yang menyadari Amanda sudah tidak disamping Dinda. “ke kamar madi dia, kalian duluan aja ke kantin, aku nunggu Manda dulu” kami mengiyakan perkataan Dinda, tidak bisa dipungkiri jikalau kami juga sedang menahan rasa lapar sejak tadi, dari pada nunggu Manda yang entah berapa menit, kami menyetujui ucapan Dinda untuk tidak menunggu mereka.

Sesampainya dikantin, kami dengan sabar menunggu giliran untuk membeli batagor secara berdesak-desakan, “serasa mau ambil zakat ya Kay” canda Alya mengundang tawaku, “nggak, bukan zakat Al”, “terus apa?” tanyanya heran, “ga paham juga” jawabku sekenanya, tawa kami tumpah hingga mendapat teguran dari kakak kelas dibelakangku, mungkin kurang nyaman dengan keributan yang kami buat,

 “capek banget sama kamu Kay” sindir Alya, “sama, aku juga capek sama kamu”, “wkwkwk udahlah, ketawanya dikelas aja biar puas” kami tersenyum menyembunyikan tawa dengan ekspresi seakan melihat kearah lain, sebab jika aku melihat ekspresi Alya, bawaannya mau ketawa terus, Astaghfirullah.

“kaka kelas tadi lagi pms kali ya Kay” setelah mendapatkan 2 bungkus cilok , 2 bungkus keripik dan 2 air mineral, kami kembali ke kelas untuk makan sebab tempat duduk dikantin tidak ada yang kosong. Sepanjang perjalanan ke kelas, tak henti-hentinya Alya membicarakan kakak kelas yang tadi menegur kami, tidak ada sedikitpun kesempatan untuk kutanggapi pernyataannya, Alya tidak memberi celah untuk pendapatku, sampai kami tiba didalam kelas dan duduk dengan posisi yang enak.

 Alyapun memakan batagor dengan hikmat, sehingga pembahasan yang tadi tak lagi dia bahas dikelas, “kamu lapar ya Al, makanya ngoceh terus dari tadi” , “iyya, pengen kumakan kakak kelas yang sok judes tadi” jawabnya masih dengan ekspresi garang ala kak ros, “wkwkwk udahlah makan aja ga usah ngedumel” pungkasku untuk mengakhiri pembahasan tentang kakak kelas tadi.

###

  Setiap manusia punya masalah masing-masing, ada waktu dimana ia harus bersikap tegas, biasa saja dan lemah. Sejenak aku dapat melupakan masalahku, perbincangan dengan Alya dikelas, juga perbincangan dengan teman yang lain sepulang sekolah tadi, membuat jiwa ini lupa akan masalah yang sedang dirundung pilu.

  Jika hutang harus dibayar, maka janji harus dibayar pula dengan cara ditepati, aku berjanji pada Alya untuk menceritakan masalahku ketika di pesantren, berhubung sejak sepulang sekolah tadi aku belum bertemu lagi, kuputuskan sore ini akan kuceritakan ketika mau masak untuk makan bersama.

  Setibanya aku didapur, Sarah melihatku dengan ekspresi yang kurang mengenakkan, aku menunduk tak berani membalas tatapan elangnya. Telingaku mendengar bisikan Sarah dan teman-temannya sehingga aku kehilangan nyali bukan karena sendiri, namun orang miskin sepertiku harus biasa merendah sebelum direndahkan.

 “Kay” sapa Dinda yang tiba-tiba datang menemaniku memasak, “si Alya sama Amanda mana?” tanyaku. “bentar lagi pasti juga kesini, tadi kulihat dia lagi beli pop ice dikantin depan” jelasnya. Kami memulai dengan mencuci beras, lauk dan sayur. Kegiatan kami terhenti karena teriakan Sarah yang mengarah kepada kami, “hey Kay, kalau gak punya beras bilang dong, gak usah ngambil punya orang”, “siapa yang ngambil” tanggapku cekatan, “aku tidak pernah mengambil sesuatu yang bukan hak aku” lanjutku yang langsung mendapat tatapan sinis dari teman-teman Sarah. “buktinya tadi berasku hilang, pas dicari ada ditempat berasmu” tuduhnya lagi, “eh Sar, kalau ngomong hati-hati, jangan sembarangan nuduh, kali aja kamu salah taruk berasmu ditempat kami” timpal Dinda, “alah, bilang aja lagi pengen beras putih”, “Sar, kami juga punya beras putih, jangan mentang-mentang bapakmu seorang pejabat, kamu malah bertingkah seenaknya” Dinda mulai habis kesabaran, aku memerintahkan untuk tidak melanjutkan perdebatan ini, Sarah tipikal orang yang tidak akan mengalah, kecuali kita yang mengalah.

“gapapa Din, sabar yaa, oh iyya Sar, lain kali kalau naruk beras jangan ditaruk ditempat kami ya, kami tidak mengizinkan” aku langsung mengalihkan pandanganku untuk mencuci kembali beras dan sayur mayur,  “eh Kay” perkataan Sarah pun berhenti ketika ada salah satu pengurus lewat. “udah Sar berhenti deh” titah teman Sarah yang lain. “lagian sih, kamu malah naruk beras disitu Sar” celetoh temannya lagi, “aku ga naruk, sumpah, tiba-tiba ada disitu” jelas Sarah yang masih bisa kudengar.

“kenapa guys” tanya Fiza, salah satu teman Sarah yang baru datang bersamaan dengan Alya, dan Amanda. Merekapun menjelaskan kejadian tadi kepada Fiza, dan sontak membuat Fiza menutup muka dengan kedua tangannya, Fiza menghampiriku lalu berkata, “Kay, Din, kalian semua, maaf banget yaa, aku gak sengaja naruk beras kami ditempat kalian, maafkan kesalah pahaman Sarah tadi ya”  kata Fiza mengahampiri kami dan langsung meminta maaf.

Ternyata Fiza yang lupa memberi tahu kawannya jikalau dialah yang menaruk beras itu ditempat kami. Alya dan Amanda kebingungan dengan arah pembicaraan kami, mereka mengernyitkan dahi lalu mengangguk sebagai tanda paham, “ada apa sih Kay” tanya Alya yang baru saja datang ke area dapur, dengan nada kecil kujelaskan kronologi sejak awal Sarah menuduhku mencuri berasnya, membuat Alya dan Amanda geram bukan main, “dasar emang tuh anak” caci Alya, “dari dulu sukanya main nuduh orang aja” Amanda menambahkan, “udah gapapa, yuk kita lanjut masak” jika aku tidak berkata ‘berhenti saja’ mereka akan terus mengomel sepanjang kegiatan memasak, bisa jadi akan berlanjut sampai makan nanti, Alya tidak peduli jika Sarah mendengar pembicaraan kami, toh menurut dia Sarah pantas mendapat ganjaran.

  Cuaca dingin semakin menusuk tulang, suara qori’ atau tartil Al-quran kala sore tak sampai lagi ditelingaku, suara merdu itu terkalahkan oleh suara hujan sore ini, pohon-pohon yang basah meliuk-liuk menari mengikuti arus angin, gumpalan awan hitam kelabu menutupi wilayah pesantren,.

kami sibuk menyantap makanan hasil masakan kami diteras depan, menikmati rintikan hujan dan rasa dingin yang membuat kami menggigil dan menyantap makanan hangat berulang kali dengan nikmat, nasi merah putih atau biasa kami sebut dengan nasi jagung namun ditambah dengan beras putih menjadi tambah enak jika kami tambah kuah daun kelor, cabe ulek dan telor dadar. Tidak ada yang lebih nikmat dari kebersamaan kami. “Din, ini daun kelor ngambil disamping pesantren ya?”, “iyya Al, lumayan gratis dan enaknya pake banget” tanggap Dinda. Alya kembali fokus menyantap makanan, melihat kami yang tak memberikan respon lebih banyak lagi tentang pertanyaannya, membuat Alya paham jikalau kami memilih untuk menikmati makanan terlebih dahulu.

### 

Malam ini ajian diliburkan sebab ustadz  Rasyid tidak bisa datang disebabkan ada halangan, mbak pengurus menyuruh kami untuk mengganti jam ajian sebagai jam belajar kelompok per kelas. Lagi dan lagi, fokusku terpecah, aku tidak bisa fokus meski berulangkali kucoba untuk fokus. Aku merasa otakku memanas, kepalaku pusing, telingaku tidak bisa mendengar dengan jelas, aku menggeleng geleng berharap itu semua hilang,”Kay, sakit toh?” tanya Amanda yang menyadari keadaanku dan membuat fokus mereka beralih kepadaku, menatapku dengan penuh tanda tanya, mulut mereka bergerak dan aku tahu mereka sedang bertanya kepadaku, namun aku tidak bisa mendengarkan itu, kepalaku terlalu sakit, telingaku mendengung, dan mataku mulai berkunang-kunang hingga akhirnya hitam gelap tak ada orang, badanku terasa jatuh kelantai, melemah dan hilang kendali.

 

 

(bayangan saat Kayla pingsan)

Disebuah bangunan kecil yang biasa orang-orang tempati ditengah-tengah sawah untuk memantau burung-burung disawahnya, terlihat seorang anak kecil bermanja kepada ibundanya, mengajak sang ibu untuk ikut bersamanya, berjalan ditengah sawah yang rindang dan hingga di kebun yang ranum buah-buahnya. Menemui sang bapak diujung sana yang sedari tadi bekerja dibawah terik matahari, anak kecil itu memanggil sang bapak dari kejauhan, membuat suaranya memantul hingga berulang kali, gadis kecil itu suka dengan suara yang memantul, membuatnya memanggil kembali meski panggilannya sudah ditanggapi oleh sang bapak. Dengan sangat hati-hati, sang ibuk sembari menuntun gadis kecil yang ia sayangi, menelusuri sawah ditengah-tengah padi yang sudah lumayan meninggi.

Gadis itu tertawa melihat sang bapak yang membuat lelucon ditengah sawah yang akan ia datangi, “hati-hati” sang ibuk mulai memperingati si gadis kecilnya sebab jalanan mulai licin.

“Kay bangun kay” , “Dek, Kayla, dengerin Mbak Rara yaa, bangun sayang” aku mendengar riuh orang-orang yang memanggil namaku, aku melihat keramaian didepan mataku dengan blur, pemandangan yang sangat membuat hati ini sakit, kulihat raut wajah mereka khawatir, menangis seakan tak tega dengan keadaanku, Mbak Rara membantuku untuk sedikit duduk dari tidurku, dia memberi bantal dibagian punggungku sebagai sandaran, aku kebingungan, seakan mimpi dan memang hanya sekedar mimpi kala aku pingsan, aku memimpikan masa kecilku, keluarga kecilku dulu, desa rindangku dan pepohonan yang ranum buah-buahannya, semuanya indah sebelum pria tamak merenggut semuanya, dia menipu bapakku secara perlahan hingga bapak bangkrut dan harus bergelut dengan hutang sampai saat ini, bukan hanya itu, pria tamak itu berhasil membuat keluargaku berantakan, bahkan nyaris tak tertinggal seperti bapakku yang memilih wanita kaya demi hartanya, namun disisi lain ibu lebih menyayangiku sehingga ia memilih mengikhlaskan menjadi isteri tua tanpa harus diceraikan, ibu memilih bertahan demi aku dan adikku, supaya kami tetap sama seperti yang lain, yakni memiliki seorang bapak.

  Tatapanku kosong, sembari mengalirkan butiran-butiran bening berkali-kali, aku merasakan pelukan hangat seseorang ditubuhku, yang kusadari dia adalah Alya, aku mendengar isak tangisnya, meski aku tak dapat membalas pelukannya sebab aku terlalu pusing dengan pikiranku sendiri, nasibku terlalu sakit untuk masa-masa seperti sekarang ini.

“Kayy, jangan melamun kay, cerita pada kita, aku tahu kamu lagi ada masalah” Alya mengusap air mataku pelan, mengguncang pundakku dan mengulangi ocehannya, dia meracau meski aku tak acuh terhadapnya, “Kay, jangan anggap aku orang lain, kami siap  mendengarkan keluh kesahmu Kay, jangan dipendem sendiri, kami khawatir Kay”. “terimakasih” responku, aku memeluknya, mbak Rara dan lainnya juga ikut berpelukan bak drama-drama di televisi.

 “ya udah Kay aku kekamar dulu ya” Dinda dan yang lain pamit untuk kembali ke kamar masing-masing kecuali si Alya, dia masih duduk disampingku, menemaniku dan mengajak mbak Rara ngobrol, membuat suasana tegang tadi menjadi hangat kembali, aku yang masih sedikit berbaring ikut menyimak meski sedikit lelah, sebab dari cerita merekalah aku bisa tertawa.

###

(Mimpi Kayla ketika tertidur)

Gadis kecil itu berhambur kepelukan sang bapak meski sedikit berlumuran lumpur di tengah sawah, mereka tertawa sembari menengadah kelangit, melihat burung-burung yang terbang diangkasa, lalu si gadis kecil itu bertanya ditengah-tengah tawa yang mereka nikmati, “pak, suatu saat nanti, aku bisa ndak ya terbang tinggi seperti burung-burung itu?” “bisa nak” jawab sang ibunda yang berdiri dipinggir sawah/ lereng sawah yang sedari tadi ikut tersenyum bahagia melihat sang anak dan sang suami begitu menikmati tawa, “gimana caranya buk?” tanya gadisnya kembali, dia menoleh dan menatap serius kearah sang ibunda. “kamu belajar dulu yang rajin, nanti baru bisa keliling dunia menggunakan pesawat dan terbang tinggi menikmati angkasa diatas sana” jelasnya sambil menunjuk kearah atas awan dan tersenyum memberi semangat kepada sang gadis. “kalau begitu, aku akan belajar sungguh-sungguh biar bisa terbang kaya burung-burung itu” “Aamiin” timpal sang bapak dan ibuk.

Keluarga kecil itu sangat harmonis sehingga membuat banyak tetangga yang kurang suka terhadap keberhasilannya dalam bertani, namun keluarga kicil itu tetap rendah hati dan tidak mau mendengarkan apa kata tetangga selagi mereka tidak mengganggu hingga melampaui batas kurangajar. Ditambah kabar tentang kehamilan si isteri yang menjadikan keluarga tersebut semakin semangat dalam mengais rezeki, gadis kecil yang sebentar lagi akan menjadi seorang kakak tampak bersifat lebih dewasa, terlihat dari gaya bahasa dan tingkah lakunya yang akhir-akhir ini suka membantu sang bapak juga ibuk.

Namun naas, sebelum anak dalam kandungan itu lahir kedunia, Allah memberikan ujian yang sangat membuat mereka terpukul, bagaimana tidak? Salah satu teman bisnis bapaknya menipu diam-diam, hingga kabur hilang jejak dan meninggalkan hutang pada banyak orang yang harus ditanggung oleh sang bapak sebagai bawahannya, semua menagih tiap hari tiap malam, tanpa peduli dengan penjelasan, intinya mereka harus mendapatkan uang itu kembali dan tak mau rugi. Hingga si bapak memutuskan untuk menjual barang yang ada untuk dijual dan mengambil tabungan supaya orang-orang tidak menagih terus terusan.

Tahu kan gimana mulut tetangga?, mereka kesana kemari membicarakan tentang keluarga kecil harmonis tadi, banyak yang menggunjing dan tak sedikit pula yang melontar perkataan nyinyir seperti, “ohh jadi selama ini pake uang orang” “oalah pantesan ga kekurangan” “amit-amit deh bahagia diatas uang orang lain” banyak yang berfikiran terlalu sempit, menilai tanpa mencari tahu dan bertanya baik-baik, padahal ketika mereka butuh sesuatu pada saat mereka lagi kekurangan, keluarga kecil itulah yang selalu senantiasa membantu tanpa pamrih.

Bahkan tak jarang gadis kecil itu menangis sepulang bermain dengan teman sebayanya, dia mengadu pada sang ibu dengan mata sembam, bahkan terkadang gadis kecil itu harus kembali kerumah, meninggalkan permainan-permainan dengan anak-anak kampung lainnya sebab ia capek mendengar tetangga yang membicarakan ibunya sendiri, sedang ia tidak bisa berbuat apa-apa selain pura-pura tidak dengar.

“Mbak Kay, bangun mbak ayuk sholat subuh” merasa tubuhku diguncang akupun kaget, kuusap air mata yang tanpa aku sadari mengalir selama tidurku, mungkin karena mimpi semalam, namun aku lupa tentang mimpi tersebut.

Setelah merapikan tempat tidur, aku bergegas untuk mengambil wudhuk, kulihat kearah tempat tidur sebelah, mbak Rara sepertinya sudah ke mushollah duluan,sengaja tak membangunkan aku sebab dia paham akan kondisiku, hingga aku telat bangun dan meninggalkan sholat sepertiga malam kali ini, hati yang gelisah akan semakin gelisah ketika suatu masalah tak diadukan kepada Sang Maha Pencip, walau sejatinya Dialah yang mengetahui segalanya, skenario Tuhan telah rapi sebagai suratan takdir.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
A.P.I (A Perfect Imaginer)
173      147     1     
Fantasy
Seorang pelajar biasa dan pemalas, Robert, diharuskan melakukan petualangan diluar nalarnya ketika seseorang datang ke kamarnya dan mengatakan dia adalah penduduk Dunia Antarklan yang menjemput Robert untuk kembali ke dunia asli Robert. Misi penjemputan ini bersamaan dengan rencana Si Jubah Hitam, sang penguasa Klan Kegelapan, yang akan mencuri sebuah bongkahan dari Klan Api.
The Maze Of Madness
5200      1881     1     
Fantasy
Nora tak banyak tahu tentang sihir. Ia hidup dalam ketenangan dan perjalanan normal sebagai seorang gadis dari keluarga bangsawan di kota kecilnya, hingga pada suatu malam ibunya terbunuh oleh kekuatan sihir, begitupun ayahnya bertahun-tahun kemudian. Dan tetap saja, ia masih tidak tahu banyak tentang sihir. Terlalu banyak yang terjadi dalam hidupnya hingga pada saat semua kejadian itu merubah...
FIREWORKS
514      369     1     
Fan Fiction
Semua orang pasti memiliki kisah sedih dan bahagia tersendiri yang membentuk sejarah kehidupan setiap orang. Sama halnya seperti Suhyon. Suhyon adalah seorang remaja berusia 12 tahun yang terlahir dari keluarga yang kurang bahagia. Orang tuanya selalu saja bertengkar. Mamanya hanya menyayangi kedua adiknya semata-mata karena Suhyon merupakan anak adopsi. Berbeda dengan papanya, ...
Rumah (Sudah Terbit / Open PO)
3663      1394     3     
Inspirational
Ini bukan kisah roman picisan yang berawal dari benci menjadi cinta. Bukan pula kisah geng motor dan antek-anteknya. Ini hanya kisah tentang Surya bersaudara yang tertatih dalam hidupnya. Tentang janji yang diingkari. Penantian yang tak berarti. Persaudaraan yang tak pernah mati. Dan mimpi-mimpi yang dipaksa gugur demi mimpi yang lebih pasti. Ini tentang mereka.
My World
737      499     1     
Fantasy
Yang Luna ketahui adalah dirinya merupakan manusia biasa, tidak memiliki keistimewaan yang sangat woah. Hidup normal menyelimutinya hingga dirinya berusia 20 tahun. Sepucuk surat tergeletak di meja belajarnya, ia menemukannya setelah menyadari bahwa langit menampilkan matahari dan bulan berdiri berdampingan, pula langit yang setengah siang dan setengah malam. Tentu saja hal ini aneh baginya. I...
Cinta dalam Impian
136      108     1     
Romance
Setelah ditinggal oleh kedua orang tuanya, seorang gadis dan abangnya merantau untuk menjauh dari memori masa lalu. Sang gadis yang mempunyai keinginan kuat untuk meraih impian. Voska belajar dengan rajin, tetapi dengan berjalannya waktu, gadis itu berpisah dengan san abang. Apa yag terjadi dengan mereka? Mampukah mereka menyelesaikan masalahnya atau berakhir menjauh?
The Skylarked Fate
6873      2071     0     
Fantasy
Gilbert tidak pernah menerima takdir yang diberikan Eros padanya. Bagaimanapun usaha Patricia, Gilbert tidak pernah bisa membalas perasaannya. Seperti itu terus pada reinkarnasi ketujuh. Namun, sebuah fakta meluluhlantakkan perasaan Gilbert. Pada akhirnya, ia diberi kesempatan baru untuk berusaha memperbaiki hubungannya dengan Patricia.
A Freedom
149      129     1     
Inspirational
Kebebasan adalah hal yang diinginkan setiap orang. Bebas dalam menentukan pilihan pun dalam menjalani kehidupan. Namun sayang kebebasan itu begitu sulit bagi Bestari. Seolah mendapat karma dari dosa sang Ayah dia harus memikul beban yang tak semestinya dia pikul. Mampukah Bestari mendapatkan kebebasan hidup seperti yang diinginkannya?
SI IKAN PAUS YANG MENYIMPAN SAMPAH DALAM PERUTNYA (Sudah Terbit / Open PO)
5532      1879     8     
Inspirational
(Keluarga/romansa) Ibuk menyuruhku selalu mengalah demi si Bungsu, menentang usaha makananku, sampai memaksaku melepas kisah percintaan pertamaku demi Kak Mala. Lama-lama, aku menjelma menjadi ikan paus yang meraup semua sampah uneg-uneg tanpa bisa aku keluarkan dengan bebas. Aku khawatir, semua sampah itu bakal meledak, bak perut ikan paus mati yang pecah di tengah laut. Apa aku ma...
Rembulan
1171      655     2     
Romance
Orang-orang acap kali berkata, "orang yang gagal dalam keluarga, dia akan berhasil dalam percintaan." Hal itu tidak berlaku bagi Luna. Gadis mungil dengan paras seindah peri namun memiliki kehidupan seperti sihir. Luna selalu percaya akan cahaya rembulan yang setiap malam menyinari, tetapi sebenarnya dia ditipu oleh alam semesta. Bagaimana rasanya memiliki keluarga namun tak bisa dianggap ...