Nyatanya sahabat tidak selalu tentang aku, kamu dan rindu, sebagaimana harap bersemayam dalam candu, do’apun terpaut sebab rindu,
Sahabat yang kau percaya akan ada disampingmu setiap waktu, itu nihil!, sebab semua orang punya masalah masing-masing dan kamu tidak bisa berperan seolah menjadi orang yang paling tersakiti di dunia ini.
......................................................
Adakalanya kisah yang dibangun dengan perjanjian akan runtuh dikemudian, kisah yang kukira akan selamanya mewarnai hari-hariku nyatanya tak berlangsung lama, semua itu runtuh seketika, ego yang berkuasa diatas rasa segalanya berhasil membuat mata hati buta begitu saja, aku dilema antara percaya atau tidak atas nama cinta.
Seseorang yang kerap kali menjadi candu untuk sekedar penawar rasa rindu adalah seorang sahabat, mereka berani mengambil resiko demi kebaikan sahabatnya, berani kehilangan waktu demi membersamai sahabatnya, bahkan kebersamaan hangat hingga diskusi memanas membuat kami lupa akan masalah yang masing-masing kami alami.
Hari ini aku memutuskan untuk menceritakan semua masalahku kepada Alya, mungkin bisa dibilang tidak adil jika aku melupakan Dinda dan Amanda, namun aku merasa Alya yang bisa menyimpan cerita keluargaku ini secara rapi tanpa harus diumbar kesiapapun, bukan atas dasar tidak percaya, adakalanya harus berhati-hati untuk hal sesensitif ini.
Aku melihat mata Alya sedang berkaca-kaca seiring mendengar ceritaku yang aku saja terkadang tidak mampu untuk kuceritakan, bisa dibilang pahit manisnya hidup selama kurang lebih 16 tahun ini menjadikan banyak pelajaran, aku ceritakan kisahku sedari aku menjadi anak tunggal hingga mempunyai adik, sejak keharmonisan yang kukenal hingga kebejatan seseorang yang membuat keluargaku jatuh, berusaha bangkit dengan merantau hingga sekarang, namun ujian berupa godaan perempuan ditanah rantau berhasil mengubah segalanya, menyisakan luka mendalam sampai saat ini yang belum bisa kuterima sepenuhnya, bertambah kabar tentang pernikahannya yang akan digelar sederhana ditanah rantau semakin membuat jiwa ini jatuh sejatuh-jatuhnya, memikirkan perasaan ibunda yang aku tau saat ini sangat tersakiti, menjadi posisi dimana ia lebih memilih mempertahankan semuanya demi anak-anaknya, rela memendam rasa sakit selama-lamanya.
“maaf Kay, aku kurang peka terhadapmu” Alya memelukku, aku tahu dia menangis dalam diam, air matanya menandakan bahwa dia juga merasakan sakit yang aku derita selama ini.
“itu sebabnya kenapa aku ingin mendapatkan bintang belajar Al, karena aku tidak mau memberatkan ibuk, dengan mendapat beasiswa dari sekolah aku bisa sedikit lega sebab bisa mengurangi beban ibuk” tuturku sembari mengusap air mata dipipi.
“insyaAllah, suatu saat nanti kamu akan bisa merasakan manisnya hidup itu kembali” aku mengagguk pelan, selang berapa detik kemudian aku berhasil menumpahkan segala rasa dihadapan Alya, aku menangis dipelukannya, seakan mushollah ini menjadi saksi bahwa dunia akan berputar sesuai dengan porosnya, ada waktunya tertawa juga menangis karena hidup tidak selalu tentang kisah romantis.
“terimakasih Al, sudah mau mendengarkanku” kataku dengan sesenggukan, “sudah sepantasnya seorang sahabat ada dalam keadaan apapun Kay” siang ini, seiring angin sejuk bersemilir, kami memutuskan tiduran dimushollah hingga tanpa sadar tertidur dengan mata sembam.
###
Dari kejauhan, aku mendengar namaku dipanggil meski sedikit samar, seperti suara Dinda, ah bukan, itu suara Amanda tapi terdengar seperti suara Mbak Rara, sebenarnya ada apa siang hari begini. Alya juga ikut terbangun mendengar keributan dari luar pesantren, tidurnya terganggu karena suara teriakan yang memanggil namamku. “Kay, keluar aja dulu, kali aja ada yang penting” titah Alya dengan mata tertutup dan sedikit menggeliat merapikan posisi tidur kembali. Dengan lunglai aku beranjak, berjalan pelan keteras depan mushollah, mencari-cari siapa kiranya yang memanggilku, satu persatu aku menuruni tangga mushollah dan tak lama dari itu, aku melihat Amanda berlari kearahku, “Kay, udah dari tadi ibukmu nunggu didepan” katanya sedikit teriak dengan nafas yang terengah-engah, mungkin karena lelah mencari keberadaanku sedari tadi, mendengar pernyataan Amanda aku langsung berlari keluar pesantren tanpa mengucapkan terimakasih terlebih dahulu kepada Amanda, sekilas aku juga melihat Amanda sedikit kaget dengan kepergianku yang tiba-tiba.
“ibukkk” berhamburlah aku kepelukan tubuh ringkuhnya saat ini, wanita hebat yang kerap kali ada namaku dalam setiap doanya. “apa kabar Kay, gimana belajarnya” ibuk tidak terlalu pintar untuk menyembunyikan kegelisahannya, aku tau beliau hanya sekedar basa basi sebelum menyampaikan sesuatu padaku. Guratan diwajahnya tampak bertambah, cekung dibawah bola matanyapun nampak jelas, dan hari ini beliau tidak membawa adek, beliau datang sendiri dan bukan dihari jum’at, pertanda jikalau ada sesuatu penting yang ingin beliau sampaikan padaku, meski terlihat membawa makanan sebagai tanda kunjungan, namun ini bukan kunjungan biasa, aku tahu itu.
“Kay, kenapa? Duduklah dulu” pikiranku kacau, mencoba tegar demi semuanya.
“iyya buk, ayok duduk, hehehe, ibuk gimana kabarnya, adek dimana? dititip ke bu de kah?” dengan senyum seribu kebohongan kuberanikan untuk bertanya dan kembali menatap wajah yang sudah tak muda lagi.
Sembari memegang tanganku, ibuk mulai menjelaskan, seakan beliau ingin menyalurkan energi kekuatan untukku, dengan tenang aku mendengarkan penjelasan beliau.
“kamu tidak usah terlalu kepikiran ya nak, ibuk memilih untuk tidak bercerai karena ibuk tidak terlalu mempermasalahkan tentang masalah bapakmu dan isterinya yang sekarang, tadi malam bapakmu menelpon ibuk dan meminta ibuk untuk menjadi saksi di pernikahannya nanti melalui video call, pernikahannya akan digelasr disana nanti malam, dan ibuk menyetujui permintaannya itu Kay, ibuk ikhlas kok nak, dan kamu jangan pernah membenci bapakmu yaa, dia sangat menyayangimu, ibuk harap kamu mengerti dengan semua ini”
“kenapa ibuk terlalu bodoh buk” kata-kataku tercekat, aku tidak bisa melanjutkan lebih banyak lagi, mulutku kelu, tangisku juga pecah, tak habis pikir dengan keputusan yang ibuk ambil.
“Kay, tidak baik mengata-ngatai ibukmu seperti itu, ibuk sudah memikirkan semuanya sebelum mengambil keputusan ini”
“aku tahu ibuk tidak setegar dihadapan Kayla, ibuk terlalu memikirkan Kayla dan adik, ibuk tidak pernah memikirkan diri ibuk sendiri” kuusap air mata yang sedari tadi mengalir tanpa henti, sesenggukan yang aku rasakan membuatku tidak bisa kembali mengeluarkan kaliamat-kalimat berikutnya, aku tahu kalimatku terlalu kasar untuk ibuk, tapi aku tidak rela jika ibuk harus terus-menerus berpura-pura seakan semuanya baik-baik saja.
“Kay, sabar nak, iyya kamu sekarang udah dewasa, udah bisa memilih, tapi adekmu? Dia masih butuh sosok bapak Kay, mentalnya masih labil” kembali kurasakan pelukan hangatnya, tangan keriputnya mengelus halus kepalaku, sembari berkata kembali , “ibuk pulang ya, ibuk cuma mau jenguk kamu, takut sakit karena terlalu kepikiran, doakan semoga nanti malam ibuk kuat untuk merestui penikahan bapakmu ya Kay” perkataan terakhirnya yang sangat mengiris hati, sungguh beliau masih sangat tegar dihadapanku, selembut apa hati yang Kau beri kepada ibuku ya Robb?.
“ibuk yakin?” tanyaku kembali dengan sisa suara yang kupunya. “insyaAllah yakin Kay, Kayla harus tegar ya nak” harusnya ibuklah yang harus lebih tegar dengan semua ini, bukan aku.
Kutatap wajah ibuk dengan sendu, rasa takut yang sedari kemaren begitu kuat menghilang sehingga aku berani bertanya, “boleh minta nomer bapak?” awalnya aku takut untuk bertanya, namun aku ingin sekali menanyai alasan kenapa bapak berubah, aku bukan anak kecil lagi yang harus diam begitu saja, aku berhak tahu dan bertanya semua alasannya. “untuk apa Kay, udah kamu fokus aja belajar”, “bagaimana Kayla bisa fokus buk, sedangkan Kayla masih bertanya-tanya sendiri tanpa menemukan jawaban” aku menyela pembicaraan ibuk yang belum selesai, lagi-lagi sifatku bukan seperti anak yang penurut, ini baru pertama kali aku membantah dan menyela perkataan ibuk, “Maaf buk, tapi Kayla berhak tahu, Kayla udah dewasa, bukankah ibuk yang bilang sendiri jikalau Kayla udah dewasa” ibuk masih bungkam, beliau tidak sama sekali memberi jawaban, aku terdiam, menunggu jawaban ibuk, alhasil? Bukan jawaban yang aku dapat, namun ibuk malah berpamitan dan berlalu pulang, keambiguan yang sama sekali tidak bisa kumengerti, ada apa dengan semua ini ya Robb.
Sekuat alasan apapun itu, yang namanya memilih untuk menduakan wanita yang telah lama bersama, menurutku bukan suatu hal yang harus di apresiasi.
Dirumah Kayla
Tepat jam 19.30 WIB, seorang perempuan ditemani saudara laki-lakinya serta kakak iparnya duudk diruang tamu, rapi nan hening tanpa suara, hanya terdengar suara ngoceh anak kecil yang sedang duduk dipangkuan wanita setengah baya berkerudung coklat susu itu, ia membiarkan anaknya mengoceh tanpa memberi respon, tatapannya kosong jauh kedepan, begitupun sang kakak dan mbak ipar, tidak ada yang berani mengeluarkan kata-kata sampai deringan telefon memecahkan keheningan tersebut, tertera nama ‘suamiku’ pada layar telefon genggam milik wanita tudung coklat susu itu, kedua kakak yang merupakan suami istri itu melihat kearah sang adik, lalu mengambil keponakannya dengan pelan, membiarkan wanita tudung coklat susu itu berbicara dengan sang suami yang jauh disana, mbak ipar keluar menggendong keponakannya, sedangkan sang kakak menemani sang adik sembari memberi kekuatan dan dukungan untuk merestui acara akad sang suami dengan wanita lain, ia juga sangat terlihat lapang dan jelas mengucapkan kata ‘sah’, meski awalnya sang kakak sempat menasehati bahkan sempat memarahi sang adik sebab terlalu keras kepala untuk tetap memilih tidak bercerai dan menjadi isteri tua.
Wanita tudung cokelat susu itu tersenyum seraya menutup panggilan suami dan menjawab salam si madu (isteri kedua) dari seberang sana.
Tidak lamadari menyudahi panggilan, terdengar isak tangis, rupanya wanita tudung coklat susu itu tidak kuat juga menahan semuanya sendiri, seolah kuat tanpa harus mengeluarkan air mata, wanita itu semuanya sama, hatinya rapuh, sekuat apapun ia menahan pasti akan runtuh.
“menagislah, tidak apa-apa” dengan lembut sang kakak menyuruh untuk meluapkan semua sakit yang dirasakan sang adik.
“jika bukan karena anak-anak, aku sudah tidak mau menerimanya kak” bahunya kembali berguncang, tangis yang sedari lama ia tidak perlihatkan, kini terang-terangan menyuarakan rasa yang telah lama dipendam.
Perempuan itu kembali meracau dengan mengungkit kembali kisah sejak awal dikala mimpi dirajut bersama, suka duka berhasil dilewati bersama, namun seketika hancur hanya karena perempuan cantik jelita yang berhasil menggoda sang suami ditanah rantau, kepingan-kepingan itu kembali ia tata rapi meski tidak serapi dahulu, perempuan itu siap menanggung resiko jikalau nanti sang suami harus membawa perempuan itu ke rumahnya untuk bersilaturrahmi, belum lagi anak gadis yang paling ia sayangi akan melihat itu dan pasti sulit untuk menerimanya, apalah daya? Selain pasrah dengan alasan sang suami yang katanya kasihan melihat perempuan itu sendiri, karena sang madu adalah wanita sebatang kara, yatim piatu sedari kecil yang hanya tinggal bersama bibinya, dan menjadi kaya raya sebab karir yang ia rintis sedari remaja berhasil menghasilkan buah yang sangat manis. Hakikatnya bukan cuma berlandaskan cinta, namun nafsu mengalahkan segalanya, sang suami tiba-tiba buta dengan harta dunia semata.
###
Kata orang, roda kehidupan akan berputar, kadang diatas, kadang pula dibawah, semuanya tidak ada yang berada digaris itu itu saja, akan ada masanya tangis berubah menjadi tawa, begitupun sebaliknya, aku percaya istilah itu.
Sayangnya sampai hari ini luka tetaplah luka, bahagia dan rasa sedih berkolaborasi menjadi satu, sejak kabar bapak menikah lagi, aku sudah tidak terlalu memikirkannya, aku mencoba fokus pada tujuanku untuk belajar, mencoba tertawa lepas dan berbaur dengan yang lain, namun hari ini berbeda, rasa sedih itu kembali hadir ditengah-tengah rasa bahagiaku saat ini, hasil ujian akhir semester akan diumumkan siang ini, mungkin aku terlalu percaya diri jika berfikiran bahwa akulah yang akan menjadi bintang pelajar kembali, sayangnya yang akan menerima bukan bapak, tapi ibuk, dan ini kali pertama buku rapot dibagikan dengan menghadirkan wali santri, dan itu membuatku kembali patah namun dituntut keadaan untuk tetap berdiri tegak.
Aku melihat ibuk duduk dikursi depan dibarisan para wali, penampilan beliau sangat rapi dengan abaya warna hitam serta pasmina merah maroon melilit anggun dikepalanya, aku tak melihat kesedihan pada raut wajah teduhnya, namun mata berbinarnya hingga senyum yang disunggingkan dengan tawa sesama wali santri menandakan bahwa ada harapan yang akan beliau dengar, akan ada kabar gembira sebentar lagi, meski aku duduk agak belakang, aku tidak berhenti memerhatikan beliau yang sibuk berkenalan dengan wali santri (ibu-ibu) yang lain hingga acara dimulai.
Acara dimulai dengan pembukaan, pembacaan ayat suci Al-qur’an serta dilanjut dengan sambutan-sambutan oleh kepala yayasan dan kepala sekolah.
Keadaan tiba-tiba hening ketika acara ke 4 yang merupakan pembacaan SK akan segera dimulai, aku merapikan kembali posisi dudukku, tak lupa beribu-ribu do’a kutautkan dalam hati, rasa panik lagi takut kucoba tutup dengan diam dan mengambil nafas pelan-pelan, “Kay, ga usah tegang, wkwk” Alya menggodaku, membuat aku tersenyum kaku.
“Kayyy selamatt” aku merasa teman-teman mengguncang bahuku, bahkan aku tidak mendengar namaku dipanggil, kudonga’kan wajahku yang tertunduk sedari tadi, mencoba mencari wajah ibuk yang ternyata sudah berdiri diatas panggung, aku terpilih untuk menempati rangking 1 kembali, namun aku tidak mendengar namaku dipanggil sebab aku sengaja menundukkan kepala dan menutup kedua telinga dengan tanganku, disisi lain aku ingin mendengar namaku dipanggil, namun disisi lain aku tak ingin mendengar nama bapakku yang akan menggiringi namaku.
“Kayla kamu hebat” sorak Amanda dan yang lainnya, “kalian juga hebat” jawabku kemudian, kami saling berpelukan, saling memberi semangat satu sama lain, saling mentransfer rasa apapun yang tidak bisa dimiliki oleh salah satu dari kami, “terimakasih yaa” ucapku ditengah-tengah pelukan kami, sebagai ungkapan bahwa tanpa mereka mungkin semangatku telah hilang begitu saja, tanpa mereka mungkin aku akan menyimpan kisah pilu ini sendiri, tawa yang kerap kali mereka bagikan, membuat diri ini sejenak lupa tentang kejamnya dunia.
Acara tetap berlangsung dengan khidmat, aku juga belum sempat mendatangi ibu sebab acara belum selesai, jika aku berlalu-lalang diantara mereka sama saja aku mengalihkan perhatian mereka yang fokus pada acara. Masih dengan perasaan yang sama seperti tadi, saat SK terakhir dibacakan, SK tentang bintang pelajar di semester akhir ini. Aku tidak terlalu berharap dengan bintang pelajar ini, menjadi tetap pada rangking yang sama saja aku sudah bersyukur, setidaknya aku tidak lengser, mempertahankan semua aktifitas seperti semula ditengah-tengah masalah yang kian merajalela membuat diri ini sadar, bahwa ada sesuatu yang tidak bisa dipaksakan.
Benar saja, namaku tidak disebut sebagai pertanda bahwa aku tidak bisa menjadi bintang pelajar disemester akhir ini, dalam artian aku tidak akan menerima beasiswa di semester depan, hal inilah yang membuatku menjadi kepikiran, meskipun ibuk pasti paham dengan semua ini, intinya aku berterimakasih pada diriku sendiri, sebab telah mau berjuang hingga hari ini.
###
Jika diam adalah salah satu cara untuk memendam emosi, aku akan memilihnya untuk tetap setia pada bungkam tanpa sepatah kata, biarkan gerak gerik bola mata mewakili semuanya, bersama pada ketangguhan hati yang semakin hari semakin luntur hanyu begitu saja, kakiku mulai bergetar tak sanggup untuk menopang tubuh ini, bahuku mulai lelah merasakan guncangan-guncangan tangis selama ini, lalu sandiwara apalagi yang harus digambarkan sekian duka?.
Tega, sungguh beliau tega, rasa hormat yang sejak dulu terpaut dalam diri ini, kini tidak lagi kurasakan jikalau aku harus hormat kepada beliau, rasa agung yang sejak dulu ku agungkan, kini hilang begitu saja, beliau dengan tega membawa wanita lain kehadapanku, beliau tega memperlihatkan wanita yang telah tanpa malu menggantikan posisi ibukku, beliau sangat tidak merasa bersalah ketika dengan santainya memperkenalkan wanita itu didepanku, mulutku kelu, bahkan tanganku kaku kala wanita itu menyalurkan tangannya di depanku untuk mengajak bersalaman, sekilas aku bisa melirik wajahnya, wanita dengan gaya kerududng yang dililit dileher itu tampak lebih muda dari ibuk, bibirnya bergerak, tersenyum kaku kepadaku yang sedari tadi enggan mengangkat kepala dan memberi sepatah kata, melainkan aku berkomunikasi dengan gelengan atau anggukan kepala saja, sebab aku takut, takut jika kata-kata kasar mulai tak teralihkan, takut jika harus menyambut bapak yang baru datang dari jauh dengan kata-kata menusuk, tapi inilah aku, manusia biasa, seorang remaja yang masih sangat labil perasaannya.
“Kay, jangan gitu, ini bundamu juga, bapak datang kesini karena kangen sama kamu nak” mendengar perkataan bapak membuatku merasa mual tiba-tiba, aku tidak akan memanggilnya dengan sebutan bunda, melainkan dengan sebutan ‘tante’, cukup dia bisa menggantikan posisi ibuk sebagai isteri satu-satunya, namun dia tidak bisa menggatikan ibuk sebagi ibukku satu-satunya. “halo tante” kuterima uluran tangannya sembari tersenyum dan menyapanya, namun aku tidak sudi mencium tangannya, aku hanya bersalaman layaknya seorang teman biasa, jika aku tidak menghargai keberadaan bapak disini, mungkin sudah aku caci maki wanita didapanku ini, oh sunggu ini sangat berat sekali.
“monngo pak duduk” tidak ingin berlama-lama berdiri di dekat gerbang, aku persilahkan mereka untuk duduk di gazebo, entah persepsi apa nantinya yang ada dipikiran anak-anak pesantren, karena memang sebelumnya aku belum pernah dikirim bapak, dan ini adalah kunjungan pertama bapak bersama isteri barunya.
“gimana Kay sekolahnya, lancar yaa, Kayla semangat yaa, bapak bakal kerja keras untuk Kayla supaya bisa kuliah” tuturnya halus, aku masih menunduk, menenggelamkan gerumuh amarah.
“iyya pak, Kayla juga mau usaha untuk bisa mendapat beasiswa nanti”
“Oh iyya sekarang banyak jalur beasiswa Kay, anak teman-teman bunda juga ada yang dapat beasiswa kuliah, nanti kamu bisa nanya-nanya mereka, biar bunda kenalin”
Siapa dia? Who is she? Kenapa ikut campur? Dia sama sekali tidak ada hak atas diriku, meskipun dia mendukung keinginanku untuk kuliah tapi aku tetap saja tidak menerima.
Suasana hening, sejak wanita itu berargumen, aku tidak berkata-kata lagi, kecuali bapak mengajakku bicara, itu saja. Hingga mereka berpamitan untuk pulang, bapak juga memberiku uang dan bingkisan, sepertinya ia paham jikalau aku tidak nyaman jika harus menerima bingkisan dan uang tersebut dari wanita yang sekarang menjadi isterinya.
Lambayan tangan tanpa senyum kuhaturkan mengiringi kepulangan mereka dari pesantren, bapak mencium keningku dan berbisik “maaf yaa”, kata maaf yang dengan gampangnya beliau lontarkan, kata maaf yang tak seimbang dengan sakit hatiku juga retaknya kepercayaan ibuk selama ini tidak bisa menjadi penawar.
Mereka berlalu dengan menaiki motor, lalu sekilas tersenyum kearahku, perlahan menghilang dikejauhan, bahuku mulai berguncang sebab masih tidak terima dengan semua ini, tak ingin menangis di khalayak ramai, hatiku sakit hingga tak tahu lagi bagaimana untuk menyembuhkan lagi dan lagi, kuusap air mata yang mengalir mengiringi langkah kakiku menuju kamar pesantren, kuputuskan untuk menahan pedihnya rasa sakit dengan menangis dalam diam, hingga tak ada satupun yang tahu jika aku sedang dalam dimensi rumitnya kisah kehidupan.
“Alya tadi dijenguk siapa dik” tanya mbak Rara sesampainya aku di kamar, rupanya mbak Rara tak paham jika aku tak ingin membahas itu, kendati diri ini ingin melupakan wajah wanita yang telah dengan lancang menyakiti hati ibuku.
Satu, dua sampai detik kelima aku tak memberi jawaban, namun aku sempat memberikan seukir senyum sayu kepada mbak Rara, semoga ia paham dengan senyuman yang kuutarakan barusan.