Memang terkadang tak semua tempat bisa kau sebut rumah, banyak diluaran sana yang bingung hanya sekedar tak bisa menemuhi rumah yang sesungguhnya, namun tempat ini akan menjadi rumah bagi siapapun didalamnya termasuk aku.
.................................................
Allahuakbar Allahuakbar. Terdengar adzan berkumandang dari masjid pesantren putra, ada sedikit perasaan tak enak dalam hati sebab suasana yang berbeda. Aku melihat pada sekitarku, ada yang sudah bangun, dan ada yang sudah dari kamar mandi. Aku baru sadar jikalau ini adalah pesantren, bukan rumahku lagi, pantas saja ada rasa yang berbeda. Malam ini pertama kalinya aku tidur dipesantren, meski sebelumnya aku sudah terbiasa tidur sendiri tanpa ibuk, namun mesti ada yang berbeda. “udah bangun dek, ayok ke kamar mandi” sejatinya aku bisa ke kamar mandi tanpa mbak Rara, namun kata mbak Rara dan kata teman-teman yang lain, santri baru biasa dididik paling sebentar satu bulan.
Hari ini adalah hari jum’at dimana semua santri dikunjungi sanak keluarganya, namun aku tidak, sebab baru kemaren aku diantar ke pesantren ini. Aku melihat begitu banyak pemandangan yang sangat membuat hati ini tersentuh, mulai dari mereka yang sangat lembut menyambut keluarganya hingga ada yang makan bersama diteras pesantren, hari ini merupakan hari rayanya anak santri.
“Kay ayuk makan bareng, aku udah disambangi dan dibawain makanan nih, kita udah biasa makan bareng kok” ajak Alya, “iyya ini nasiku juga banyak, yuk makan ber4 sini Kay” timpal Dinda, tanpa berfikir panjang akupun bergabung dengan mereka, “makasih banyak ya” kataku pada mereka, “sama-sama, udah makan aja, kami udah biasa kok gini, kalau dipesantren itu yang mana yang ada, artinya saling memberi satu sama lain” Dinda menjelaskan dengan ekspresi khasnya sambil mencomot makanan, hahaha.
“boleh ngumpul ga” kata Sarah yang seangkatan dengan kami namun beda kelas. “duduk sini, ayok makan bareng” Alya mempersilahkan, “ini aku juga bawa makanan, kalian ambil yang mana kalian mau ya” Sarah memperlihatkan makanannya pada kami, ada banyak seafood, dan sayur mayur lainnya, “Kay ayok ambil, Din kamu juga, ambillah, kamu juga” titahnya pada kami, aku hanya mengangguk tanpa mengambil makanannya sebab merasa kurang selera, “makasih banyak, tapi aku udah kenyang Sar” aku mengelak dengan berpura-pura mengusap perut yang sudah merasa kenyang. “kenapa? Ga suka ya Kay, atau belum makan makanan seperti ini sebelumnya?” Degg.. perkataan Sarah yang sontak membuat kami semua melotot kearahnya. “Sar, suka gak dikontrol deh kalau bicara” Alya mengingatkannya.
Perkataan Sarah sangat menyayat, aku memang miskin, tapi aku tidak hobi minta-minta, aku menolak sebab memang tidak terlalu selera dengan seafood, meski makanan tersebut terlihat mewah dan super duper enak. “hehe, gapapa kok, Sarah pasti bercanda, iyya kan Sar” belum sempat dia jawab pertanyaanku, temannya datang menghampiri lalu mengajaknya berlalu pergi. “sabar ya Kay, si Sarah emang suka ceplas ceplos kalau ngomong” , “gapapa kok Al” tanggapku dengan senyum menahan rasa sakit, “udahlah yuk lanjut beres-beres, bentar lagi sholat dhuhur soalnya” kata Amanda yang sepertinya tau dengan kondisi hatiku saat ini. Merekapun membereskan makanan dan membiarkan aku membasuh tangan terlebih dahulu. Aku juga berpamit untuk ke kamar lebih dulu, beralasan ada sesuatu yang harus aku kerjain.
Begitulah manusia, kadang lupa ketika berbicara untuk memilih kata-katanya kepada siapa dia akan diucapkan hingga tanpa sadar perkataannya melukai lawan bicaranya.
###
Setelah pembayaran kitab selesai, aku menemani mbak Rara memeberi nama pada buku-buku dan beberapa kitab milikku. “mbak kenapa para pengurus ga disatuin aja ya mbak, misal nih dalam satu kamar yang luas gitu” tanyaku pada mbak Rara, “nggak Kay, kalau misal disatuin, terus siapa yang mau ngepantau setiap kamar, belum tentu semua santri jujur” “tapi kalau misal santri bersekongkol dengan pengurusnya, gimana mbak?” kataku, “kamu ini mempunyai rasa penasaran yang tinggi rupanya dek, deri kemaren aja diam terus, malu yaa” ledek mbak Rara, “hehe nggak mbak, sedikit penyesuaian dulu” mbak Rara langsung menoleh kearahku, sambil merapikan beberapa buku yang sudah selesai diberi nama. “nanti kalau kamu sudah jadi pengurus, apalagi jadi ketua, kamu pasti tau gimana rasanya dek, Kadangkala ada yang perlu kami tutup rapat-rapat demi nama baik” jelasnya. Aku senang meski sedikit diskusi sore ini, intinya aku dapat ilmu baru tentang pengalaman mbak Rara, dia juga banyak menceritakan tentang waktu sekolah dulu hingga lika likunya. “nanti ajiannya ustadz Munif, kitabnya yang ini ya, jangan lupa bawa Alfiyah karena nanti bakal baca Alfiyah sampai ustadz rawuh (datang)”pesan mbak Rara sambil menyerahkan kitab itu padaku, “oke mbak” akupun menerimanya dan tak lupa berterimakasih. Mbak Rara berpamit untuk ke ndalem nyai, aku ngobror dengan adik-adik yang lain. Mereka masih 1-2 tahun lebih muda dariku, tapi pengetahuannya sudah melebihiku, apalagi tentang kitab seperti nahwu shorraf dan kitab-kitab lainnya.
Setelah sholat isya’ berjamaah, anak-anak pada berlarian ke kamar masing-masing untuk memepersiapkan diri, bel sudah berbunyi. Aku dan teman kamar lainnya saling menghitung menit, takut terlambat akhirnya satu kaca kita pake ber empat, mulai dari yang paling pendek didepan hingga yang tinggi tersusun kebelakang, “ayok cepat dua menit lagi” kata mbak Rara, “iyya mbak” jawabku yang masih sibuk merapikan sarung, hingga aku berhasil merapikannya, mbak Rara mengingatkan lagi “jangan lupa kitab dan Alfiyahnya juga dek” dengan cekatan kuambil kitab dan pena yang sudah kusiapkan tadi sebelum berangkat ke mushollah.
Qolamuhammadunhuwabnumaliki
Ahmadurrobbillahakhoirumaliki
Mushollian’alannabiyyalmusthofa
Waalihilmustakmilinassarofa
Hatiku terasa sejuk lagi tentram mendengarkan lantunan nadhoman Alfiyyah, bait-baitnya menjadi candu untuk selalu ingin kudengar, “Kay, duduk sini” ajak Alya dengan menepuk-nepuk lantai sebelahnya yang masih kosong. “iyya boleh, disitu aja dek, mbak kesana ya” kata mbak Rara yang menyadari ajakan Alya. Kamipun melanjutkan pembacaan nadhoman Alfiyyah sampai ustadz rawuh.
Belum berlangsung lama, “aaahhhh” “keep silent please!” “adek-adek jangan berisik yaa” teriak teman-teman semua, “Kay sini kay takut” aku dan Alya saring meringkuh ketakutan sebab tiba-tiba saja mati lampu, membuat semua santri putri ketakutan. Kulihat mbak Rara menghampiriku dengan membawa lilin, ada juga beberapa anak yang sudak menyalahkan lilin.
“dek Kay, gapapa yaa, udah biasa anak-anak suka teriak kalau lampu tiba-tiba mati, sepertinya emang lagi mati lampu” jelas mbak Rara,
“iyya Kay, udah biasa, tapi kalau ntar ada yang kesurupan, kamu yang tenang ya” lanjut Alya yang membuatku kaget,
“hah kesurupan? Ada tah begituan” aku tidak bisa membiasakan mimik wajahku, intinya aku belum biasa dengan suasana menegangkan seperti ini,
“udah gapapa, yang penting jangan bengong ya dek” kata mbak Rara lalu berpindah ke barisan depan,
“Al, emang ada yah yang kaya kamu katakan tadi?” tanyaku pada Alya sebab penasaran,
“iyya Kay, sering malah, yaa meskipun kadang ada yang nyata, juga ada yang rekayasa” jawabannya sedikit membingungkan,
“hah rekayasa gimana Al” cerocosku. “hey jangan nyaring-nyaring kalau ngomong Kay” “iyya maaf wkwk”
“ horeee” kata kami serentak. Aku belum mendapatkan jawaban dari Alya, lampu pesantren hidup kembali dan nadhoman Alfiyah kembali dilantunkan. “Al, kenapa ustadznya tidak hadir ya” tanyaku berbisik,
“sssttt, kalau jam 21.00 belum hadir itu pertanda ajian kitab malam ini libur Kay, udah lanjut lagi, ntar didenda kalau berisik” aku cengingisan mendengar kata ‘denda’, diotakku yang namanya denda pasti berhubungan dengan uang, padahal dipesantren tidak cuma uang, bisa berupa hafalan juga hukuman lainnya. Tepat jarum jam berada di angka sembilan, ajian kitab dibubarkan. Dilanjut dengan jam belajar selama satu jam. Aku duduk bersama teman seangkatan, yakni Alya, Dinda, Amanda, Sarah, Firda Dan Ratih. aku sudah melupakan perkataan Sarah tadi siang, kamipun bercanda dan belajar dengan hangat seperti biasa.
Dipertengahan kelompok belajar, aku tertarik untuk melihat bank data yang tertempel didinding. Warna pink cerah membuat Bank Data ini seakan hidup, lukisan tangan berupa bunga dengan tangkai yang melilit satu sama lain seakan menandakan persaudaraan dipesantren yang saling mengenggam satu sama lain. “Kay liat apa? Liat jadwal ajian tah” tanya Dinda, “ini lagi liat semuanya, mulai dari jadwal ajian kita, hingga jadwal kegiatan” jelasku. Maklum, aku masih baru yang harus mengingat semua kegiatan dan jam kegiatan itu sendiri. Tertulis jelas disana, urutan ajian, jam serta ustadz dan ustadzahnya, bahkan hingga aturan dan denda-dendanya terpangpang jelas disana.
###
Hari ini hari dimana MOS dan Basis dimulai, kami memakai seragam putih-abu dilengkapi dengan atribut kelompok yang sudah ditentukan, aku memakai selendang yang terbuat dari snak berwarna merah (potato), dan kalung yang terbuat dari tali rafia juga kertas karton berwarna pink berbentuk persegi yang diberi nama diri sendiri, nama kelompok, juga asal kedatangan (alamat rumah). Aku satu kelompok dengan Amanda, kami berada dikelompok yang bernama ‘Abu bakar Ash Siddiq’ kholifah pertama yang menggantikan Rosullullah setelah wafat.
Aku berdecak kagum melihat bangunan serta pemandangan sekolah baruku, bangunan ini mempunyai dua lantai dengan tangga ditengah, terlihat seperti dua bagian namun tetap menyatu, diatasnya tertulis MA Al-kautsar, sedang disamping kirinya juga ada bangunan yang bentuknya sama persis yang bertuliskan MTs Al-kautsar, adapun disamping kanannya ada dua bangunana lantai satu yang terpisah, aku menduga itu adalah kantor MA dan MTs yang dipisah menjadi dua bangunan. Bangunan ini seakan membentuk huruf U yang didepannya terdapat kantin sekolah berdampingan dengan tempat parkir.
Alya terlihat mulai kewalahan mencari semut merah yang diperintahkan oleh salah satu mbak pengurus osis yang sedang dimintai tandatangan, “semangat Al hahaha” ledekku pada Alya, wajahnya cemberut dengan bercucuran peluh, “awas kamu ya” ancamnya, aku dengan santai berjalan mendatangi mbak osis lainnya meski harus diuji dengan berjoget ataupun menghafal kosa kata.
###
“Al, ini siapa nanti yang memanen buahnya?” tanyaku melihat beberapa tanaman segar di lorong sebelah pesantren ketika pulang dari sekolah, kebetulan pesantren kami tidak bertatatapan langsung dengan sekolah utama jadi harus sedikit berjalan untuk pergi-pulang sekolah.
“itu semua program dari pengasuh Kay, kami yang menanam, merawat juga memanen nantinya untuk lauk atau dimakan biasa semisal jambu biji dan belimbing, jadi siapa cepat dia yang dapat, namun kami dilarang untuk menyimpannya, kami hanya diperbolehkan untuk mengambil ketika benar-benar ingin memakannya, gitu Kay” Dinda dengan semangat menjelaskan pertanyaanku hingga kakinya hampir kesandung dan kami malah menertawakan Dinda yang hanya dibales dengan muka ketus ala Dinda.
“ini juga dalam pantauan Kay, mbak-mbak pengabdian yang memantau alias memperhatikan kita” kami tertawa lepas melihat gaya bahasa dan gaya tangan Amanda yang berlenggak-lenggok seakan menggambarkan kalau Mbak-Mbak pengabdian sangat ketat akan hal ini.
“berarti setelah MOSBasis kita libur ya” tanyaku ingin memastikan,
“iyya bener, karena kan sekolah juga butuh dirapikan terlebih dahulu kayak semula” jawab Alya,
“terus kita ngapain dipondok selama libur Al”
“tidur lahh” jawaban Alya singkat namun berhasil membuat kami tertawa, “nggak canda guys” lanjutnya, “ya kita nyantai aja dan mungkin nanti bisa baca buku atau hal positif lainnya Kay” aku mengangguk paham.
###
“Kay, ada tip-x ga? Punyaku ketinggalan” Alya terlihat mulai ngantuk dengan cara pembelajaran yang sangat menoton ini, apalagi ini adalah kelas pertama setelah libur sehabis MOSBasis kemaren, aku berusaha untuk tetap segar sampai nanti bel pergantian pelajaran berbunyi, “ini” kataku menyodorkan.
“kring….” bel sudah berbunyi setelah menahan segala emosi untuk tidak menggerutu terhadap guru muda kaku ini, beliaupun Berpamit untuk keluar, aku pikir dia terlalu dingin untuk sekedar menghangatkan kelas ini. “beliau guru baru deh kayanya” “iyya bener, mana dingin banget sampe menggigil” tanggap teman yang lain diselingi tawa. Kami begitu menikmati sampai pembelajaran terakhir, guru kami hari ini akan berbeda dengan guru besok, sama seperti sekolah pada umumnya yang mempunya 4 mata pelajaran setiap harinya dengan guru berbeda.
Setelah jam menunjukkan jam pulang, aku dan teman-temanpun kembali ke pesantren, menjalani jalan setapak seperti biasa dibawah terik matahari, aku mengambil salah satu buku kecil untuk menutupi sedikit cahaya yang terkena langsung pada wajahku, ada pula teman-teman yang menggunakan tangan mereka dengan cara diletakkan diatas ubun-ubun tanpa menyentuh bagian kepala, hal ini kerap kali terjadi saat musim kemarau, apalagi kami cewek yang sangat perduli dengan yang namanya penampilan.
“seandainya hujan salju ya Din”, “sekalian hujan es” ketus dinda yang sudah mulai kecapean, kamipun tertawa mendengar tanggapan Dinda. Aku melihat ada dua santri putra dilorong setapak yang sedang kami lewati, terlihat sedang membelakangi kami dan mengangkut kayu yang berserakan disamping pesantren.
“Alya, itu Alfin ga sih, terus yang satunya kayak si Gala” jelas Amanda kepada Alya yang langsung membuat mata Alya fokus pada dua santri putra tadi. “Al, gimana sejauh ini?” Dinda juga mempertanyakan namun tidak kunjung ada jawaban dari Alya, hingga kami sampai pada pintu belakang dan harus masuk ke pesantren. Santri putra juga tidak terlalu banyak, sehingga banyak santri putri yang tahu dan hafal namanya. Kalau kata Amanda, dua santri putra tadi sudah banyak yang kenal sebab mereka sering bantu-bantu di ndalem (rumah pengasuh), makanya tak heran jika mereka sering masuk ke lokasi putri untuk mengambil beberapa barang atas perintah pak kyai, kadang pak kyai juga ikut membersamai mereka.
“ciee merah ga tuh pipi” Dinda mulai meledek Alya, namun Alya tetap fokus membuka tali sepatu dan langsung masuk ke dalam kamarnya, kami tahu kalau Alya menyembunyikan senyum dari kami, samar namun tetap terlihat. Aku penasaran, hingga kuputuskan untuk bertanya pada Amanda sebelum masuk ke dalam kamar, “ada apa sih da, jadi penasaran, haha”, “ada cinta sepihak Kay” jawab Amanda, “hah? Bertepuk sebelah tangan maksudmu?” tanyaku sedikit berbisik, “iyya, tuh si Alya, dia ngefans banget sama si Alfin, selain suara qori’ dan adzannya bagus, akhlaknya apalagi, ditambah orangnya emang ganteng si Kay” jelas Amanda yang langsung berlalu, sengaja membiarkan aku tercengang dengan tawa usil yang masih bisa kudengar.
###
Sudah menjadi kebiasaan setiap santri dengan segala tradisi mengantri dan sabar disetiap keadaan. Sejak tadi aku mengantri di depan kamar mandi menunggu giliran untuk memasuki kamar mandi hingga membuatku bosan, dengan gayung dan handuk yang masih aku pegang sedari tadi, ada waktu 5 menit lagi sebelumsholat jamaah dimulai, jika aku terlambat, aku akan kena denda per rokaat satu kali membaca yasin sambil berdiri. Dengan sabar aku menunggu, namun kenapa aku ga dipersilahkan masuk sedari tadi, selalu ada yang mendahuluiku. “Kayla belum masuk dari tadi?” tanya mbak Rara yang tiba-tiba muncul dari belakang. “belum mbak” jawabku polos, “loh udah bilang tapi kan” akupun tak paham dengan pertanyaan mbak Rara. “bilang apa kak?” , “ya ampun dek, Mbak lupa ngajarin kamu, gini, kalau misal kamu mau ngantri kamar mandi, bilang ke orang yang mau masuk kamar mandi tersebut, lalu jika orang tersebut bilang udah ada yang ngantri, kamu samperin orang itu, dan bialng mau masuk setelahnya, gitu dek” oh pantesan dari tadi aku ga bisa masuk kamar mandi, “oalah Mbak, oke paham”, “ya udah ambil wuduknya di kamar mandi pengurus aja yuk, mbak juga lagi berhalangan” akupun mengikuti mbak Rara, dan menggerutui diri sendiri sebab malu untuk bertanya dan juga kurang peka ke lingkungan sekitar, ‘oke ini sebagai pelajaran Kay’ kataku dalam hati, “soalnya dari kemaren kan mbak Rara yang nyariin kamar mandi buat Kayla, jadi Kayla kurang tahu mbak hehe” mbak Rara hanya tersenyum mendengar penuturanku barusan, “gapapa untung mbak kesini, kalau nggak kamu bakal terlambat sholat berjamaahnya”, “ya udah habis ini langsung ke mushollah ya, mbak mau ke dapur ndalem dulu”, “baik mbak” tanggapku sembari berjalan ke mushollah dengan sedikit terburu-buru.
Terlihat semua santri sudah siap dengan mukenahnya, mereka sudah ada yang berdiri sebab sebentar lagi sholat akan dimulai, aku yang baru saja datang langsung dengan cepat mengusap muka yang masih basah dan langsung mengenakan mukenah seperti yang lain.
“Kay udah tau belom kalau disekolah kita ada beausiswa?” tanya Sarah tiba-tiba ketika aku hendak turun dari mushollah, “nggak Sar” jawabku singkat, “nanti bakal ada beausiswa untuk juara 1, 2 dan 3 loh”, “oh iyya” aku mulai antusias mendengar hal tersebut, “makasih infonya ya Sar”, “iyya sama-sama, aku juga mau belajar lebih giat supaya mendapatkan beausiswa itu” aku sekedar tersenyum menanggapi sebelum aku pamit untuk turun terlebih dahulu.
Aku menceritakan tentang perbincangan antara aku dan Sarah kepada Alya, Dinda dan Amanda, mereka menanggapi bahwa Sarah cuma ingin dikenal banyak orang, sebab untuk mendapatkan beausiswa itu sangat butuh perjuangan, dan akan diberikan pada siswa atau siswi yang benar-benar mempunyai potensi. “aku sih udah mundur sebelum berjuang Kay, sewaktu MTs aja aku ga pernah masuk lima besar, apalagi tiga besar wkwkwk”, “apalagi aku” timpal Dinda, “aku juga” lanjut Amanda. Aku hanya tertawa melihat tingkah laku mereka, namun aku harus yakin pada diriku sendiri, sewaktu di bangku MTs dulu aku sering mendapat juara, semoga disini aku bisa belajar lebih giat dan fokus lagi dengan tujuan.
“aku tidur siang dulu ya” pamitku pada yang lain, “aku juga mau tidur deh, biar nanti malam pas ajian kitab ga ngantuk” kata Alya menyambungi, “iyya kan kalau niatnya kaya Alya nih dapat pahala insyaallah” kamipun meng-aminkan ucapan Amanda.
###
Serimg kali Alya bermain ke kamarku untuk bercerita ke mbak Rara, aku mendengar percakapan Alya meski aku terlihat sangat menikmati tidur siang, dia ngobrol bareng mbak Rara yang baru datang dari ndalem, ‘sepertinya Alya tidak jadi tidur siang’ bisikku dalam hati.
“Alfin sering ya mbak ke ndalem pengasuh?”
“iyya dek, wong dia kan suka bantu-bantu di ndalem” ada jeda sejenak, “mau tah dikirim salam” lanjut mbak Rara dengan nada bertanya,
“eh enggak mbak, turun derajad adekmu ini ntar hahaha, aku kan cuma sekedar kagum mbak”
“kagum apa kagum ini dek” ledeknya, “kagum mbak, bener” terdengar tawa yang tak begitu nyaring dari mulut mereka berdua, selang beberapa detik, Alyapun keluar, kurasa dia akan kembali ke kamarnya.
Sebenarnya siapa Alfin itu? Sehingga membuat Alya terkagum-kagum. Tanpa banyak berfikir, aku mulai lelah dengan pikiranku sendiri dan mencoba untuk kembali fokus untuk istirahat siang.
Sore ini hujan turun begitu lebat membasahi bumi yang sedari tadi panas kerontang, membuat burung-burung beterbangan kembali mencari tempat untuk pulang, pohon-pohon bergerak seakan-akan terombang ambing oleh kencangnya angin yang membersamai hujan sore ini. Aku terbangun sebab merasa kedinginan, mengambil selimut yang kutiduri dibantal dan membentangkannya dengan mata yang masih tertutup, rasa kantuk semakin bertambah sebab hujan datang, hingga terlelap kembali sampai adzan ashar berkumandang.
###
Lambat laun semua mulai terasa, pahit manisnya kehidupan di pesantren, lika liku perjalanan bukan lantas menjadi alasan untuk berhenti berjuang, ini bukan masalah besar yang harus mengeluh, inilah proses dimana aku harus kuat, ikhlas dan berani menghadapi semua ketentuan yang telah sang maha kuasa tetapkan.
Tak terasa sudah seminggu aku dipesantren, satu minggu yang banyak sekali merubah kebiasaanku. Hari ini adalah hari jum’at, yang mana semua santri harus kerja bakti dengan berkelompok. Aku misah dari 3 teman dekatku, kelompok kami tidak sama. Aku kebagian menyapu yang ringan-ringan saja, seperti menyapu lantai ndalem, berhubung aku masih baru jadi harus banyak dipantau, takut jika cara menyapuku salah dan di dhukani(dimarahi) ibu nyai, mbak Lely yang merupakan kakak kelas kami dikelompok ini selalu melihatku dan akan menegur hingga memberi contoh yang tepat jika aku salah. Ketika semua kegiatan kerja bakti selesai, banyak santri yang akan menunggu di depan pesantren, dekat dengan gerbang utama pesatren untuk menyambut orang tuanya yang akan berkunjung.
Setelah mencuci tangan sehabis kerja bakti, aku duduk di gazebo depan pesantren untuk menunggu ibuk yang akan berkunjung hari ini, duduk dengan kaki yang diayun-ayunkan sembari membaca buku novel yang kusuka dengan alur ceritanya tentang seorang anak laki-laki yang harus tahan banting dan nahan lapar demi sang adik, saking menikmati cerita itu tanpa sadar aku meneteskan air mata, membayangkan sepatu bawahnya yang bolong dari saking gigihnya berjalan kaki untuk menuntut ilmu, apalagi ketika ia harus mencuri tebu tetangga karena kelaparan, belum lagi ditambah penderitaan-penderitaan lainnya. Aku dibuat berkali-kali bersyukur dengan keadaanku yang jauh lebih baik dari padanya. Novel dengan judul ‘Sepatu Dahlan’ karya Khrisna Pabichara ini berhasil membuatku menangis dengan kisah di dalamnya.
“Kay, ibukmu itu udah digerbang” tegur temanku sebab aku terlalu asik membaca buku, “oh iyya” tanggapku sedikit kaget, dengan kasar kututup buku bacaanku lalu turun dari gazebo, berhambur kepada sang ibu untuk menyalami tangan beliau, kuambil barang bawaannya setelah aku mencium adek gemesku lalu kupersilahkan beliau masuk dan duduk diteras pesantren. “gimana nak selama seminggu ga nangis kan ya” ibuk seakakan meledekku karena aku cengeng, “mbonten buk, Kayla senang disini banyak teman dan suka dengan lingkungannya” aku berjanji pada diriku sendiri untuk selalu menceritakan kebaikan kepada ibuk, tentang lelah bahkan tangis yang sudah pernah aku lewati tak akan aku ceritakan kepada beliau, aku tak ingin menjadi beban pikiran untuk beliau. Alya dan dua temannya yang lain mendatangi ibukku, menyalami tangannya dan akupun memperkenalkan mereka kepada ibu.
“si mbak yang ngurusin kamu kemarin dimana Kay? “ tanya ibuk, “ohh Mbak Rara buk, dia tadi habis dari ndalem, kayanya langsung ke kamar mandi untuk mandi buk” banyak kuceritakan tentang kebaikan Mbak Rara, kami juga membahas tentang indahnya sekolah, dan masak bareng disini, sampai akhirnya ibuk menyuruh kami berempat untuk makan didepannya, ingin melihat betapa bahagianya kami hari ini, hari jum’at. “dulu ibuk juga pengen mondok waktu masih muda, tapi ga kesampaian” “kenapa ga jadi buk?” tanya Amanda dengan mulut yang masih penuh dengan makanan, “iyya ibuk dinikahkan, tradisi jaman dulu kebanyakan nikah muda” “iyya ya buk kita hidup di pulau Madura yang banyak sekali orang tua terlalu eman pada anak perempuannya, hingga banyak yang tidak bisa melanjutkan mimpi yang mereka mau” Alya ikut menanggapi dengan sedikit geram atas pemikiran sempit yang kebanyakan dimiliki orang Madura, “tenang aja Kay, sepertinya ibukmu tidak seperti yang Alya katakan” goda Amanda, “oh jelas itu, ibukku bukan tipe yang seperti itu, iyya kan bu”, “iyya, sebab ibuk sudah bisa mengambil pelajaran dari perjalanan hidup ibuk, kalian harus sekolah tinggi-tinggi biar tidak hidup sengsara, biar kalian punya tujuan dimasa depan, jangan kaya ibuk, masih muda udah punya anak, ya ini Kayla” Alya tertawa ditengah-tengah menyantap makanan, kamipun ikut tertawa membersamainya, hahaha.
Setelah acara makan-makan dan cerita selesai, ibuk berpamitan untuk pulang, kami mengantarnya sampai gerbang tanpa harus keluar gerbang pesantren, sebab ada batasan-batasan dalam artian ada bagian yang tidak boleh kita tapaki, misal garis antara gerbang dan jalan raya, itu harom bagi kami untuk disentuh.
“rajin belajar yaa, tidak boleh malas, harus patuh sama peraturan pesantren” nasehat ibuk kepada kami yang bergiliran mencium tangan beliau, ibuk juga mengajarkan adik untuk melambaikan tangan pada kami berempat, “dadaaaaa”. Ada rasa sedih sebenarnya, namun alhamdulillah bisa kunetralisir rasa tersebut, sebab tak selamanya semua orang harus dituntut untuk selalu tersenyum, aku melihat sesuatu yang sama pada ibuk, seakan tadi hanya pura-pura menyeimbangi cerita kita tanpa harus melihatkan perasaan yang sebenarnya, mungkin jika hanya ada aku sendiri tadi, beliau akan menceritakan tentang kehidupan setelah aku pergi, bisa jadi kesepian, kewalahan dan riweh mengurus sana-sini, apalagi saat ini adekku berada pada masa aktif-aktifnya, “maaf buk” aku hanya bisa berdengung dalam hati. Rumahku memang tidak terlalu jauh dari pesantren ini, namun membayangkan ibuk yang harus berjalan kaki setiap kali akan mengunjungiku, membuat hatiku teriris sakit, pak de tidak selamanya bisa membantu untuk mengantar ibu, semoga aku bisa membalas jerih payahmu nanti ya buk.
“udah mandi belum Kay” Amanda menyadarkanku dari lamunan.
“belum, kan tadi habis piket, aku langsung baca buku di gazebo sambil menunggu ibuk”
“aku udah, Dinda udah juga kayanya, iyya kan din?” celetoh Alya, “iyya udah tadi”
“Hhh ga nanya kalian, aku nanya Kayla karena ingin mengajak dia diskusi tentang PR yang harus dikumpulkan nanti malam ke mbak pengurus”
“kenapa coba diskusinya cuma sama Kayla, padahal kan aku juga belum” sanggah Dinda.
“lah iyya ayo barengan, aku nanya Kayla karena kan secara pengetahuan, kayanya Kayla cepat dalam menangkap pelajaran”
“ohh jadi gitu yaaa, aku sama Alya bodoh gitu ” dengan nada serius si Dinda mulai memancing Amanda untuk marah.
“bukan gitu, tau ah capek” Dinda tertawa sangat keras hingga tawanya menular kepada kami semua, “jangan ramai, nanti ditegur mbak pengurus” canda Dinda dengan nada berbisik.
“kalau mbak pengurus bisa rame, kenapa kita tidak bisa” Alyapun menambah mood ketawa kami dengan nada suaranya yang hanya bisa kami dengar tanpa ada orang lain yang mendengar.