"Gila, si Novan dapat peringkat tiga Gen," ucap Alam yang baru saja sampai bersama Genandra di depan papan pengumuman sekolah, untuk melihat hasil ujian mereka.
"Pinter juga itu anak," balas Genandra tersenyum bangga.
"Tapi, kok gue gak kelihatan dia daritadi? Novan kemana ya?"
"Di ruangannya mungkin," jawab Genandra.
"Yang bener? Kita kan tadi lewat di depan ruangannya dia, gak ada tuh anaknya," ujar Alam.
"Coba telpon!"
"Oke gue coba," Alam mengeluarkan sebuah handphone dari dalam saku celananya, lalu mencoba untuk menghubungi Novan.
"Diangkat gak?" tanya Genandra.
"Enggak," balas Alam, sudah tiga kali ia mencoba untuk menghubungi Novan, namun tidak satupun diangkat oleh laki-laki itu.
"Ya udah biarin, nanti dia juga bakal telepon balik, kita balik ke kelas yuk!"
"Oke deh."
********
Sekarang, Novan sudah berada di dalam mobil, diantarkan oleh Pak Mat—sopir pribadinya menuju pulang ke rumah.
"Pak Mat, Ayah ngapain nyuruh aku pulang?" tanya Novan penasaran.
"Mmm, sa-saya gak bisa jelaskan di sini Tuan, nanti Tuan Novan bisa tahu sendiri kalau sudah sampai di rumah," balas Pak Mat.
"Tapi Pak, memangnya kenapa? Kasih tahu sekarang aja lah Pak, jangan bikin Novan penasaran," ujar Novan sedikit kesal.
"Gak bisa Tuan, nanti saja kalau sudah sampai di rumah, jangan di sini," jawab Pak Mat sekali lagi.
"Ck," decak Novan bersedekap dada, dia merasa kesal karena semua orang seperti sedang menyembunyikan sesuatu dari dirinya.
Beberapa menit kemudian, akhirnya mereka berdua telah sampai di kediaman, mata laki-laki itu dibuat terkejut dengan banyaknya orang yang datang ke rumah. Juga beberapa mobil-mobil dan motor yang terparkir di halaman.
"Ada apa ini?" batin Novan bertanya-tanya.
"Pak Mat, di rumah lagi ada acara apa? Kok banyak orang."
"Tuan Novan langsung masuk aja ke dalam ya, Ayah anda sudah menunggu di sana," ujar Pak Mat tidak menjawab pertanyaan dari Novan, ia langsung keluar dari dalam mobil untuk membukakan pintu Tuannya.
Novan keluar dari dalam mobil dengan dipenuhi perasaan bingung, menyaksikan ada banyak sekali orang di dalam rumahnya. Ada apa ini? Pertanyaan itu terus saja muncul memenuhi isi pikiran Novan, bahkan Pak Mat pun tidak mau memberikannya jawaban.
Seperti yang sudah dikatakan oleh sopirnya, Novan lekas masuk ke dalam rumah menemui sang Ayah, sekaligus mencari jawaban dari semua kejadian yang membingungkan ini.
"Ayah!" panggil Novan melihat sang Ayah duduk seorang diri di sebuah sofa, di dalam ruangan yang biasa ia gunakan untuk bekerja. Wajahnya nampak sedih bercampur gelisah.
"Ini ada apa Yah?" tanya Novan.
"Novan," suara pria itu terdengar serak, sambil menengadah menatap wajah sang anak. Matanya nampak sebab, seperti sudah menangis dalam waktu yang lama.
"Mata Ayah kenapa? Ayah habis nangis?" tanya Novan sekali lagi, ia tidak mengerti kenapa banyak sekali hal aneh yang terjadi di rumahnya saat ini.
"Ayo ikut Ayah!" ujar ayah Novan sambil memegang tangan anaknya, mengajak laki-laki itu menuju ke suatu tempat.
Lorong demi lorong mereka lewati, tangan Novan masih tetap di genggam oleh sang Ayah, menuntunnya ke suatu tempat. Ada satu hal yang baru Novan sadari, kenapa semua orang mengenakan pakaian yang sama? Kenapa pakaian mereka semua berwarna hitam?
"Sebenarnya apa yang sudah terjadi?" batin Novan.
Langkah sang Ayah berhenti tepat di hadapan sebuah pintu berwarna coklat, Novan pun juga sudah tahu ruangan apa itu. Ini adalah kamar, dimana Mama Novan dirawat.
"Yah," panggil Novan melihat Ayahnya yang sedari tadi diam seperti patung, situasi seperti ini terlalu aneh untuknya.
"Mama mau ketemu sama kamu Novan," lirih Ayah Novan lalu membuka pintu tersebut.
Perlahan pintu mulai terbuka, sedikit demi sedikit mulai terlihat seorang wanita yang sedang terbaring di atas kasur, tanpa ada satupun alat medis terpasang di tubuhnya.
"Mama!" kejut Novan langsung berlari ke dalam kamar.
"Ayah, infusnya Mama mana Yah? Mama masih belum sembuh, kalau dilepas nanti-"
"Mama kamu sudah sembuh Novan," balas sang Ayah dengan tatapan sayu.
"Sekarang Mama kita sudah sembuh, Mama sudah gak nahan sakit lagi sekarang. Dia sudah tenang di sana," sambung Ayah Novan, tak terasa sebutir air mata mengalir melewati pipinya.
"Mak-maksud Ayah? Maksud Ayah apa?" cengang Novan tak percaya.
"Maksud Ayah, Mama pergi ninggalin kita selamanya?"
"Enggak Yah enggak!" bentak Novan tidak terima.
"Mama itu masih hidup, dia cuman lagi tidur. Sebentar lagi juga bangun," Novan memegang lengan sang Mama berniat memeriksa denyut nadinya, untuk membuktikan kalau perkataan ayahnya itu salah.
Setelah mengetahui bahwa denyut nadi di pergelangan tangan Mamanya tidak lagi berdetak, Novan tidak berhenti sampai di situ saja. Ia mulai memeriksa denyut leher wanita itu beserta detak jantungnya. Tetapi, tidak ada lagi yang bisa Novan temukan selain kenyataan pahit.
"I-ini, ini pasti bohong kan," batin Novan masih tidak bisa menerima kenyataan.
Diri Novan langsung tertarik, untuk memeluk tubuh wanita tersebut sangat erat. Remaja yang terkenal ceria itu, kini menangis sekeras-kerasnya, kebahagiaan di dalam hidupnya terasa runtuh seketika.
"Hiks, Mama sudah janji kalau aku pulang sekolah nanti Mama pasti sembuh. Tapi bukan seperti ini yang Novan mau," tangisnya.
"Novan masih belum siap kehilangan Mama, Novan masih butuh Mama di sini."
Hanya menangis yang bisa ia lakukan untuk saat ini, kalau dengan itu bisa membuat wanita yang paling berharga di dalam hidupnya itu hidup kembali. Mungkin sekarang, Novan sudah merelakan pita suaranya.
Tidak, ini hanyalah sia-sia. Pada akhirnya kita akan dituntut agar bisa mengikhlaskan, dan Novan tidak bisa berbuat apa-apa, selain memeluk tubuh yang sudah tidak bernyawa itu.
Semangat kak yok up lagi😗
Comment on chapter Mas fiksi lebih menggoda