"Susah banget soalnya, pusing kepala gue," keluh Alam bersama Genandra keluar dari dalam kelas, ujian jam kedua telah selesai dan disusul dengan bunyinya bel pulang.
"Biasa aja perasaan," balas Genandra yang malah berbanding terbalik dari Alam.
"Iya deh si paling suhu," cetus Alam mengangkat kedua bahunya, otak Genandra memang di atas rata-rata jadi tidak heran kalau soal sesulit itu dianggap seperti standard anak TK.
"Eh tunggu," Alam merasakan saku celananya bergetar. Dengan lekas, ia mengambil benda pipih tersebut dari dalam sana.
Novan is calling you~
"Novan telepon bre," ujar Alam melihat nama kontak Novan muncul di layar handphonenya.
"Cepetan angkat!" balas Genandra.
"Assalamu'alaikum Van!" sapa Alam dalam panggilan telepon tersebut.
"Wa'alaikumussalam Lam."
"Van, lo kenapa? Kok nada suara lo aneh begitu?" heran Alam mendengar nada suara Novan tidak sama seperti biasanya.
"Van!"
"Novan, lo masih ada di sana kan? Lo enggak kenapa-kenapa kan?" tanya Alam sebab tidak mendengar sahutan jawaban dari laki-laki itu.
Novan membiarkan Alam berbicara sendiri di panggilan telepon tersebut, sedangkan dirinya termenung sambil memegang sebuah bingkai foto yang bergambar dia bersama almarhumah Mamanya.
Sekarang Novan sedang duduk seorang diri di dalam kamarnya, dengan keadaan yang gelap, dirinya baru saja kembali selepas mengantarkan Mamanya ke tempat peristirahatan terakhirnya.
"Van, lo kenapa? Cerita sama kita," tanya Genandra
Tangis Novan seketika pecah setelah mendengar suara Genandra. "Genan, hiks!"
"Mama gue meninggal Ge."
"Inna lillahi wa inna ilayhi raji'un, gue sama Alam turut berdukacita Van, kapan Mama lo meninggal?" balas Genandra terkejut mendengar kabar tersebut.
"Tadi, waktu gue selesai ujian pertama di sekolah, habis itu gue diminta sama Ayah gue pulang."
"Owh, jadi itu sebabnya gue gak lihat dia ada di ruangannya," gumam Alam ikut merasakan sedih, mendengarkan pembicaraan antara Genandra dan Novan melalui telepon.
"Habis ini gue sama Alam bakal ke rumah lo oke."
"Hm, thanks Genan."
"Tenang aja ya Van, jangan sedih okey, senyum dikit dong!" balas Alam berusaha menyemangati.
"Haha, iya Lam makasih."
"Nah, kalau begitu teleponnya gue tutup dulu ya, assalamualaikum!"
"Wa'alaikumussalam," balas salam Novan lalu menutup panggilan telepon tersebut.
"Kasihan ya si Novan, pasti sedih banget dia," empati Alam kembali memasukkan handphonenya ke dalam saku celana.
"Doakan aja yang terbaik, semoga Novan kuat. Oh ya, habis ini lo bisa kan ke rumahnya dia buat ngelayat."
"Bisa, bisa aja gue mah, sama temen sendiri masa gak ada waktu."
"Oke," balas Genandra, di dekat tangga sebelah ruang lab biologi dia melihat dua orang siswi tengah berdiri di sana. Tiba-tiba isi pikirannya kembali diingatkan oleh perkataan seseorang.
"Saya mau minta tolong sama kamu, Genandra. Tolong... tolong luangkan waktu buat Akira selama lima belas hari aja, perlakukan dia dengan spesial seperti seolah-olah kamu mencintai dia."
"Mungkin sekarang saatnya gue cosplay jadi raja drama," batin Genandra tersenyum smirk.
"Lam, tunggu sebentar ya!" pinta Genandra kepada Alam, lalu melihat laki-laki itu pergi meninggalkan dirinya, menghampiri dua siswi yang berada tak jauh dari mereka.
"Sumpah tadi soalnya sulit banget Ra, otak gue kebakar rasanya. Mau gak mau harus tetep gue jawab dong, tapi asal-asalan yang penting mah gak bolong," ucap Hari.
"Bener Ri, sebenernya gue tadi bawa kertas contekan, tapi berhubung temen belakang gue ketangkep basah waktu dia nyontek juga, jadi takut guenya," jawab Akira, kertas contekan yang sudah dia buat semalaman sampai rela begadang, ujung-ujungnya juga tidak terpakai.
"Akira!" panggil Genandra yang sudah berdiri di depan Hari dan Akira.
"Ka... Kak Genan," kejut Akira melihat kedatangan Genandra, sedangkan Hari merasa sangat kesal dengan keberadaan laki-laki itu.
Tiba-tiba saja Genandra membungkukkan badannya, membenarkan tali sepatu milik Akira yang kebetulan tidak terikat. "Eng Kak."
Selepas selesai mengikatkan tali sepatu Akira, Genandra kembali berdiri lalu sedikit mendekatkan wajahnya dengan wajah Akira. Jantung Akira berdetak kencang, rasanya aliran darah di dalam tubuhnya memompa begitu cepat.
"Nanti malam kita jalan, gue jemput lo di depan rumah," bisik Genandra tepat di depan muka Akira. Lalu berlalu pergi begitu saja, membiarkan tubuh Akira yang masih membeku dengan wajahnya yang memerah seperti kepiting rebus.
"Ra Akira? Lo kenapa?" heran Hari sambil melambaikan tangannya di depan wajah Akira.
"Ra? Lo habis kena hipnotis apa gimana sih?" tanya Hari, tapi Akira tetap saja diam seperti patung.
"RA LO DENGER SUARA GUE APA ENGGAK SIH HAAAHHH!!!" teriak Hari sangat keras tepat di samping telinga Akira.
"Hari! Sakit telinga gue!" sebal Akira memegang telinga kanannya yang kesakitan.
"Habisnya lo gue tanyain malah diem aja, kali aja lo mengidap penyakit budeg sesaat."
"Enak aja mulut lo kalau ngomong!" sebal Akira menepuk pelan mulut Hari.
"Kak Genan ngajakin gue jalan nanti malem Ri, akhirnya dia mau terima perasaan gue," girang Akira menggoyang-goyangkan tubuh Hari begitu semangat.
"Ih, nanti dighosting nangis."
"Ya gak lah Ri, Kak Genan itu orangnya baik," jawab Akira.
"Iya sekarang, nanti kalau udah di sakiti bilangnya semua cowok itu sama."
"Bukannya itu lo ya? Waktu dulu SMP diputusin sama si Bima terus curhat ke gue kalau semua cowok itu sama," balas Akira membuat gadis itu kembali teringat dengan mantannya.
"Gak!" elak Hari tidak mau mengingat kenangan buruk itu lagi.
"Gue gak kenal sama cowok yang namanya Bima, siapa tuh gue gak pernah denger."
"Udahlah ayo pulang! Daripada di sini terus, nanti lo keinget lagi sama si Bima, ehem maksudnya kenangan masa lalu," goda Akira merasa puas melihat wajah kesal temannya.
Semangat kak yok up lagi😗
Comment on chapter Mas fiksi lebih menggoda