Akira dan Hari dalam perjalanan menuju kembali ke kelas, setelah selesai mengenyangkan perut mereka di kantin sekolah.
"Nyesel gue beli gorengan," ujar Hari bersama Akira berjalan berdampingan di sampingnya.
"Kenapa?" tanya Akira menyadari perubahan ekspresi wajah kesal dari Hari.
"Bayangin Ra, gorengan satu harganya tiga ribu, itupun rasanya macam karet. Sakit gigi gue makannya."
"Mau duit gue balik, tapi takut dibilang pelit sama Mbaknya."
"Ya salahnya siapa, kan gue sudah bilang beli soto atau rawon aja, lah lo ngotot pingin beli gorengan. Kelihatannya aja udah mencurigakan, dari awal kantin buka sampai kita mau balik ke kelas, masih utuh aja gorengannya gak ada yang mau beli," balas Akira.
"Iya, gue nyesel gak dengerin lo."
"Makanya, kan gue-"
"Ra, lo kenapa?" heran Hari sebab tiba-tiba saja Akira berhenti, seraya menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Hump," Akira merasakan seperti ada sesuatu yang keluar dari dalam mulut dan hidungnya.
"Ra," panggil Hari sekali lagi, dia dibuat khawatir sebab Akira tidak menjawab pertanyaannya. "Lo gak kenapa-kenapa kan?"
"RA, LO MAU KEMANA???" Akira berlari begitu saja meninggalkan Hari di sana, sebelum semakin jauh dia segera menyusul kepergian gadis itu.
Setelah lama berlari, Akira langsung masuk ke dalam toilet siswi dan menutup pintunya rapat-rapat. "Ra? Lo ada di dalam sana? Akira lo kenapa?" tanya Hari seraya menggedor-gedor pintu toilet.
Di dalam toilet siswi, Akira langsung menyalakan keran air di wastafel, sesuai dugaannya bahwa cairan yang mengalir keluar dari dalam hidung dan mulutnya adalah darah.
Akira membilas cairan berwarna merah itu dengan panik, ia merasa jijik dan sangat membencinya. Kenapa bencana seperti ini harus terjadi kepada perempuan malang seperti dirinya. Apa tidak ada manusia lain yang bisa?
Mata Akira memerah, menatap pantulan wajah pada sebuah cermin di hadapannya. Ia terlihat sangat menyedihkan, bahkan dia sudah tidak tahu lagi kata-kata apa yang dapat menjelaskan mengenai keadaannya yang sekarang, selain 'lelah'.
"Ra, lo kenapa? Tiba-tiba lari ninggalin gue gitu aja," tanya Hari mendapati Akira keluar dari dalam toilet siswi.
"Hehe maaf ya, gue kebelet pipis tadi," balas Akira tersenyum.
"Owh gitu, gue kira apaan, lo buat gue khawatir tahu gak."
"Iya Ri maaf, udah buat lo panik," Jawab Akira.
"Sorry Ri, gue gak bisa jujur sama lo soal penyakit ini. Karena gue gak mau buat lo khawatir, dan gue juga gak mau lihat lo sedih seperti Kak Arzan. Sebelum Akira pergi, gue mau lo tetap menjadi Hari yang ceria," batin Akira.
********
Di tempat parkir sekolah, Alam mengantarkan Genandra untuk mengambil sepeda motornya.
"Lo mau bareng gue gak?" tawar Genandra yang sudah menaiki motornya sambil mengenakan helm full face.
"Enggak, lo pulang duluan aja, gue naik taksi," jawab Alam.
"Yakin? Udah bareng gue aja Lam, daripada nanti lo nunggu lama, sama temen sendiri gak perlu sungkan," ajak Genandra sekali lagi, ia merasa kasihan jika meninggalkan Alam begitu saja. Sebagai teman yang baik, ia berusaha untuk memberikannya tumpangan.
"Gak perlu, gue bisa pulang sendiri kok. Santai, lo pulang aja," balas Alam menolak ajakan dari Genandra.
"Beneran nih? Ya udah kalau lo emang gak mau. Gue pulang duluan ya, hati-hati!" Genandra menyalakan mesin motornya, dan pergi melalui Alam menuju gerbang sekolah.
"Oke, sorry ya!" balas Alam sedikit berteriak.
Setelah kepergian Genandra, Alam memutuskan untuk pergi ke depan pintu gerbang sekolah, menunggu kedatangan taksi yang sudah ia pesan. Sesampainya di sana, suasananya tidak terlalu sepi, masih ada beberapa siswa yang menunggu untuk dijemput.
Sambil mengusir rasa kebosanan, Alam memainkan handphonenya, sembari mendengarkan musik dari earphone yang terpasang di kedua telinganya.
Beberapa menit kemudian, ada sebuah mobil berwarna putih yang berhenti tepat dimana Alam berdiri. Seorang sopir berpakaian rapi, keluar dari dalam mobil tersebut dan menghampiri Alam.
"Permisi Tuan Alam," ujar Pak sopir tersebut hanya diacuhkan oleh Alam.
"Tuan Alam," panggilnya sekali lagi kini sedikit keras, sebenarnya Alam sudah sadar dengan kedatangannya dan musik yang ia mainkan juga tidak terlalu keras. Namun, Alam sama sekali tidak perduli dan menganggap kehadiran Pak sopir tersebut tidak pernah ada.
"Tuan," panggilnya terus menerus, hal itu membuat Alam mendesis kesal.
"Iya?" balas Alam malas, melepaskan earphone dari telinganya.
"Ayah anda meminta saya untuk menjemput Tuan Alam pulang," ucap Pak sopir membuat Alam tersenyum smirk.
"Tumben Ayah ingat sama anak kandungnya," balas Alam.
"Tidak perlu Pak, saya pulang naik taksi saja. Bapak boleh pergi sekarang," pungkasnya.
"Tapi Tuan, ini perintah dari Ayah Tuan. Kalau saya tidak bisa menjalankannya, beliau pasti marah dan gaji saya akan dipotong lagi Tuan."
"Baiklah, saya mau pulang bersama Bapak. Tapi ingat, ini bukan atas kemauan saya, tapi karena terpaksa."
"Terima kasih Tuan Alam, mari saya antar anda pulang!" balasnya senang, lalu membukakan pintu mobil untuk Alam.
Dalam perjalanan pulang, tidak ada perasaan lain kecuali marah bercampur kesal di dalam hati Alam. Alam sangat membenci Ayahnya, dan juga keluarganya yang sekarang. Pasti ada cerita tersendiri kenapa laki-laki itu begitu tidak menyukai sesosok manusia yang kebanyakan anak menyebutnya sebagai pahlawan.
Sesampai di kediamannya, Alam memasuki pintu rumah. Di dalam sana, sudah ada dua orang laki-laki yakni Ayahnya bersama seorang remaja laki-laki yang umurnya sedikit lebih tua dari Alam.
Alam tidak memperdulikan keberadaan mereka, ataupun sama sekali tidak tertarik dengan apa yang mereka perbincangkan. Ia berjalan begitu saja, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Alam," panggil ayah Alam melihat anaknya berjalan begitu saja melewati dirinya.
Alam memberhentikan langkahnya dan berbalik badan. "Iya Yah?"
"Dimana sopan santun kamu? Pulang-pulang bukannya salam sama orang tua, malah pergi begitu aja," ujar Ayah Alam kesal.
"Sudah kok, Ayah aja yang gak denger, kan lagi asik ngobrol sama anak kesayangannya Ayah," balas Alam sontak membuat sang Ayah berdiri dari duduknya, menghampiri Alam hendak menampar wajah anak itu.
"Ayah!" teriak Devan berusaha untuk menghentikan sang Ayah.
"Sudah Yah jangan marah, jangan pukul Alam Yah kasihan," sambungnya.
"Lihat Devan Kakak kamu, sopan anaknya tidak seperti kamu! Bisanya membuat saya marah terus, dasar anak tidak berguna," sarkas Ayah Alam, sekali lagi kata-kata itu membuat hatinya terluka.
"Hah," desahnya lalu berjalan pergi begitu saja.
"Kenapa o gak biarin Ayah pukul gue?" ujar Alam membuat Devan mengerutkan keningnya.
"Maksud lo? Ya karena kita berdua ini saudara, gue gak tega kalau lihat sampai dipukul Ayah," balas Devan.
"Saudara? Haha, memang sejak kapan lo jadi saudara gue?" ucap Alam tertawa sinis.
"Saudara tidak mungkin tega menghancurkan keluarga saudara dia sendiri Van, lo dan Ibu lo itu datang ke rumah ini sebagai orang asing, dan merenggut semua kebahagiaan gue dan keluarga gue selama ini."
"Puas? Puas lo sekarang? Gara-gara kalian berdua orang tua gue pisah. Gara-gara kalian berdua gue gak bisa ketemu lagi sama Ibu gue. Dan gara-gara kalian berdua juga, gue gak bisa merasakan lagi bagaimana kasih sayang seorang Ayah," sambung Alam membuat Devan terdiam.
"Gue sebagai anak kandungnya hanya dianggap seperti parasit di rumah ini, sedangkan lo, seperti permata di hadapan Ayah, padahal lo cuman anak tiri."
"Lam maksud-"
"Cukup, gue gak mau dengar omongan lo lagi. Dan sampai kapanpun juga, gue gak akan pernah mau mengakui lo sebagai saudara. Karena itu memang seharusnya," Alam berjalan meninggalkan Devan, pergi menuju ke kamarnya.
Semangat kak yok up lagi😗
Comment on chapter Mas fiksi lebih menggoda