"Rumah lo dimana?" tanya Genandra.
"Di jalan hiu kak, tinggal belok kiri terus lurus ada rumah pagar ungu itu rumahnya Akira," jawab Akira dan dibalas anggukan kepala oleh Genandra, ia sedikit menambah kecepatan pada sepeda motornya agar segera sampai.
Di tengah-tengah perjalanan tiba-tiba saja langit mendung, awan-awan hitam berkumpul rasanya sudah siap menumpahkan semua isi cairan itu. Disusul dengan terpaan angin dingin, Akira yang pada saat ini tidak mengenakan jaket, membuat tubuhnya sedikit menggigil. Ia menggosok-gosokkan tangannya pada kulit, agar tubuhnya kembali hangat.
Tak lama kemudian, rintik-rintik air hujan mulai berjatuhan membasahi seisi kota. "Sial," kesal Genandra yang terpaksa harus memberhentikan motornya di sebuah halte bus dekat sana, sebab hujan yang turun semakin deras. Sangat berbahaya jika berkendara di kondisi seperti ini dan Genandra tidak mau mengambil resiko.
"Ck, pakai acara hujan segala lagi," decak Genandra yang sudah berteduh di halte bus bersama Akira berdiri tak jauh dari sisinya.
"Gak boleh begitu Kak," ucap Akira selepas mendengar keluhan dari Genandra.
"Hujan itu rezeki dari Allah, kalau gak ada hujan tanaman jadi layu, tanah kering, cuaca jadi panas. Emang Kakak mau kemarau terus?"
"Ya enggak, cuman kan waktunya gak tepat, kalau begini gimana gue bisa pulang," balas Genandra.
"Mungkin udah waktunya hujan Kak, jadi terima aja."
Hujan turun semakin deras saja, tubuh Akira menggigil kedinginan. Tangannya sudah tidak mempan lagi untuk membuat tubuhnya tetap merasa hangat.
"Nih!" Genandra melemparkan jaket yang dikenakannya kepada Akira, hingga mendarat tepat di atas kepala gadis itu. Sekali lagi, jantung Akira dibuat berdegup tidak karuan karena ulah Genandra.
"I-ini buat apa?" tanya Akira memegang jaket tersebut yang hinggap di atas kepalanya.
"Gak usah sok polos, gue tahu lo kedinginan," jawab Genandra tidak melihat wajah Akira, melainkan fokus pada rintikan hujan di hadapannya.
"Terus Kak Genan gimana? Kakak gak kedinginan?"
"Gak perlu, badan gue sudah kebal."
"Hulk kali yah?" batin Akira.
Sekarang kedua anak itu kembali diam, hanya sibuk mendengarkan alunan suara hujan serta aliran air yang mengalir deras di jalan raya. Genandra menggerogoh kantong celananya dan mengambil sebuah handphone dari dalam sana.
"Halo Pak," ujar Genandra di dalam panggilan, sedangkan di sisi lain Akira mencoba untuk diam-diam mendengarkan pembicaraan itu dengan seksama.
"Iyah Tuan? Tuan muda sekarang ada dimana? Kenapa anda belum pulang juga."
"Di sini lagi hujan deras Pak, saya lagi neduh dulu di halte bus. Bapak bisa ke sini gak jemput saya pakai mobil?"
"Iyah Tuan siap, saya segera berangkat!" balas Pak sopir.
"Terima kasih Pak! Sebentar, saya mau kirimkan lokasinya dulu."
"Baik Tuan, kalau begitu saya siapkan mobilnya terlebih dahulu."
"Iyah Pak, terima kasih," pungkas Genandra lalu menutup panggilan telepon tersebut.
"Gila, baru tahu gue kalau Kak Genan dipanggil Tuan muda sama orang itu," batin Akira merasa terkejut. "Orang kaya memang beda ya, mau dipanggil Tuan raja juga terserah mereka."
*******
Beberapa menit kemudian, terlihat mobil berwarna hitam dari arah kejauhan datang menghampiri tempat halte bus dimana Akira dan Genandra sedang berteduh.
Nampak seorang laki-laki dengan kumis tipis keluar dari dalam mobil tersebut seraya membawa payung. "Tuan muda, mohon maaf sudah membuat anda menunggu sedikit lama. Hujannya sangat deras, jadi saya cukup kesulitan melihat jalan," ujarnya.
"Tidak apa-apa," balas Genandra tidak masalah.
"Mari Tuan saya antarkan anda pulang!"
"Hmmm, saya memanggil mu kemari bukan untuk menjemput saya pulang Pak, tapi tolong antarkan teman saya yang di sana kembali ke rumahnya," balas Genandra seraya melirik ke arah Akira.
"A-aku?" bingung Akira menunjuk kepada dirinya sendiri.
"Lalu bagaimana dengan anda Tuan? Saya tidak mungkin meninggalkan anda sendirian di sini, bagaimana kalau nanti sampai terjadi sesuatu kepada diri anda? Jawaban apa yang harus saya beri kepada Nyonya Sena."
"Tenang saja Pak, saya bisa pulang sendiri kalau hujannya sudah mulai reda, yang penting tolong antarkan teman saya pulang dulu."
"Tapi Kak, Akira gak mau pulang kalau Kakak gak ikut," sahut Akira.
"Gak usah bawel, lo cewek, gak baik di luar sendirian. Apalagi berduaan sama cowok."
"Kak Genan kan teman sekaligus Kakak kelas Akira, ngapain harus takut?"
"Gue bukan siapa-siapa lo, lagian kita berdua juga gak punya hubungan. Lebih baik mending sekarang lo pulang, sebelum hujannya makin tambah deras. Kakak lo pasti khawatir juga kan."
"Iya, dia pasti lagi mikirin aku sekarang," ucap Akira teringat akan Kakaknya Arzan.
"Pak, antarkan teman saya pulang!" pinta Genandra sekali lagi, lalu Pak sopir itu pun membantu membukakan pintu mobil untuk Akira, sambil memayunginya agar tidak basah terkena air hujan.
Terlihat dari dalam kaca mobil, Akira melambaikan tangannya kepada Genandra, Genandra hanya memandanginya dengan wajah datar. Lalu mobil itu pun berjalan dan meninggalkan percik-percikan air di sepanjang kendaraan itu melaju.
"Nona pacarnya Tuan muda ya?" tanya Pak sopir seraya mengemudi, memandang wajah Akira melalui kaca spion tengah mobil.
"Saya? Bukanlah Pak, tapi calonnya," balas Akira.
"Haha, saya sudah gak kaget," tawa pak sopir.
"Maksudnya Pak?"
"Tawanya ngeledek," batin Akira.
"Sebenarnya sudah banyak perempuan yang mau mendekati Tuan muda, bahkan pernah waktu itu ke rumah sampai rela membawa banyak makanan. Tapi ya begitu, Tuan muda malah bersikap acuh."
"Owh," respon Akira terdengar biasa saja, dia sama sekali tidak perduli dengan apa yang Pak sopir itu katakan.
"Tapi tenang saja, kalau memang Nona suka dengan Tuan saya mesti berjuang dulu, siapa tahu nanti hatinya luluh," sambungnya tersenyum simpul.
"Sudah Pak, jungkir balik, kayang, salto, saya kejar dia Pak, tapi tetap aja sifatnya gak berubah," balas Akira emosi.
"Hahaha, namanya juga proses, enggak ada yang instan. Apalagi kalau soal urusan hati. Kalau gak diterima ya ditolak, kalau gak ditolak yah dighosting."
"Kok bapak tahu?"
"Saya sudah berpengalaman Nona, jadi jangan ditanya, lautan air mata saja sudah pernah saya selami, sampai saya minum lagi."
"Asin gak pak?" tanya Akira.
"Asin sih, tapi ada asem-asem nya dikit."
"Owh, cocok itu Pak kalau garem di rumah lagi habis, nangis aja di atas wajan biar sedep makanannya."
"Hmm boleh juga, tapi makasih deh Non, pikiran saya masih waras. Oh ya, kalau boleh tahu rumahnya Nona dimana ya?" tanya Pak sopir lalu diberitahu oleh gadis itu.
Semangat kak yok up lagi😗
Comment on chapter Mas fiksi lebih menggoda